Share

Bab 2

Author: Mandy Toussaint
Aku membalikkan badan, menatap langsung ke arah Joshua.

Dia sama sekali tidak peduli dengan penampilanku yang berantakan, hanya mengerutkan kening.

"Siapa yang menyuruhmu datang mencariku ke rumah sakit tanpa izin? Aku sudah bilang kalau ini tempat aku bekerja, bukan tempat hiburan," kata Joshua.

Wajah seriusnya kini benar-benar berbeda dari sikap lembut yang dia tunjukkan pada Bella tadi.

Seharusnya aku merasa sedih, sama seperti setiap kali dia mengabaikanku sebelumnya.

Namun, kali ini yang aku rasakan hanyalah dingin yang menusuk di dada.

"Kamu mengatakan di telepon kalau kamu sakit, jadi aku datang untuk menjengukmu," jawabku.

Hari ini aku menunggu seharian di depan Kantor Catatan Sipil. Baru saat jam kerja selesai, aku berhasil menghubungi Joshua.

Dia mengatakan bahwa dirinya sedang sakit, sementara aku langsung datang tanpa berpikir panjang.

Sekarang, aku bersyukur aku datang.

Jika tidak, mungkin aku masih akan terus dipermainkan seperti ini.

Joshua tertegun sejenak, lalu mengalihkan pandangan dengan rasa bersalah.

"Kamu salah dengar. Yang sakit bukan aku, tapi Be …."

"Nggak, ini salahku."

Aku memotong ucapannya.

Ini memang salahku.

Sejak awal memang salahku.

"Kalau begitu, aku nggak akan mengganggu kalian lagi," kataku.

Aku berbalik untuk pergi.

Joshua tidak mengejarku, karena Bella sedang menangis.

"Apa Bu Amelia marah padaku? Semua ini salahku .… Kenapa aku selalu sakit .…"

Joshua menenangkannya dengan suara lembut, "Bukan salahmu. Itu karena hatinya yang terlalu picik."

Aku mempercepat langkahku.

Di dalam mobil saat perjalanan pulang, aku menerima telepon dari Joshua.

Sebenarnya aku tidak ingin mengangkatnya, tetapi dia terus menelepon.

"Halo?"

"Kamu akhir-akhir ini seharusnya nggak terlalu sibuk, 'kan?"

Suara Joshua kini terdengar lembut.

Aku hanya diam, tidak menjawab.

Namun, dia tetap melanjutkan kata-katanya sendiri.

"Bella baru saja menjalani operasi kecil, dia harus dirawat inap selama tiga hari."

"Kamu juga nggak ada kesibukan, 'kan? Jadi, selama tiga hari ini kamu bisa memasak, lalu membawakan makanan untuknya setiap hari."

"Dia hanya seorang gadis yang baru mulai bekerja, nggak ada siapa-siapa di sisinya untuk merawatnya. Kamu adalah istri gurunya, jadi kamu harus merawatnya."

Saat menyebutkan tentang Bella, kata-kata Joshua dipenuhi dengan rasa sayang.

Padahal demi pria itu, aku sampai bertengkar hebat dengan orang tuaku, hingga akhirnya memutuskan hubungan dengan keluargaku. Aku sering terbangun dengan air mata karena merindukan rumahku.

Di kota yang asing ini, satu-satunya orang yang aku kenal hanyalah Joshua.

Namun, pria itu tak pernah memperhatikanku dengan kepedulian seperti itu.

Karena ketika mencintai seseorang, barulah kamu akan peduli padanya.

Aku butuh waktu lima tahun untuk aku memahami hal ini.

Karena aku terus diam, Joshua seperti ingin mengatakan sesuatu lagi.

Namun, aku langsung memotongnya, "Baiklah."

Telepon di seberang langsung hening.

Joshua mungkin tidak menyangka aku akan setuju secepat itu.

Lagi pula, ini adalah masalah memasak untuk wanita lain, wanita yang begitu dekat dengannya.

Namun, yang tidak Joshua tahu, aku sudah membuat keputusan untuk meninggalkannya.

Sebelum keluar dari rumah sakit tadi, aku sudah membuat janji untuk melakukan operasi aborsi dalam tiga hari, juga membeli tiket pesawat pulang untuk hari itu.

Joshua pernah berkata padaku bahwa selembar surat nikah tidak bisa mengikatnya, hanya cintaku yang bisa.

Namun, jika cintaku pun tidak bisa mengikatnya, aku tidak menginginkan pria itu lagi.

Setelah sampai di rumah, aku menggunakan air dingin untuk mandi.

Pemanas air sudah rusak setengah bulan lalu. Hanya butuh satu suku cadang kecil untuk memperbaikinya.

Joshua mengatakan tidak perlu memanggil teknisi, dia sendiri yang akan mengurusnya.

Namun, selama hari-hari berikutnya, dia selalu mengatakan sedang sibuk karena harus merawat Bella yang selalu saja dalam masalah.

Aku terus menunggu, sama seperti aku menunggu pernikahan yang pernah dia janjikan.

Namun, hubungan kami sama seperti pemanas air itu, yang sudah lama rusak.

Dengan menahan rasa sakit, aku akhirnya mencari tukang reparasi profesional lewat internet.

Saat pemanas air akhirnya diperbaiki, hatiku pun ikut tenang.

Ternyata, tanpa Joshua pun aku masih bisa tetap hidup.

Sepanjang malam itu, Joshua tidak pulang.

Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan, aku membawakan makanan untuk Bella.

Malam kedua, Joshua masih belum pulang juga.

Siang di hari ketiga, saat aku turun membawa kotak makan, aku melihat Joshua berdiri di pinggir jalan menungguku.

Dia bersandar di pintu mobil sambil merokok, wajah sampingnya tampak tampan.

Aku tak menyangka dia akan datang tiba-tiba. Aku merasa cukup terkejut.

Namun, pria itu langsung berjalan ke arahku, mengambil kotak makanan dari tanganku, lalu berkata, "Terima kasih atas kerja kerasmu …."

Tentang masalah mengurus surat nikah denganku, dia terus menundanya. Namun, jika ini adalah tentang membawakan makanan untuk Bella, dia begitu antusias.

Aku merasa itu lucu. Aku pun tertawa dalam hati.

Kemudian, dia menyentuh rambutku yang terurai di sisi telinga, lalu berkata, "Maaf, aku yang salah karena sekali lagi nggak menepati janji. Begini saja, setelah Bella keluar dari rumah sakit, kita akan langsung mengurus surat nikah, ya?”

Aku tidak lagi merasa bahagia seperti dulu. Pikiranku hanya dipenuhi cara untuk menolaknya.

Sampai ponselnya tiba-tiba berdering.

Sekilas, tulisan nama Bella di layar menusuk mataku.

Baru dua detik berbicara di telepon, Joshua langsung berbalik dengan cemas.

"Bella merasa nggak enak badan, aku harus ke sana dulu. Kamu pulanglah, jaga dirimu baik-baik," kata pria itu.

Sama seperti 16 kali sebelumnya, telepon dari Bella adalah perintah, sementara Joshua adalah pelayan paling setia.

Aku menatap punggungnya yang menjauh, lalu mulai berkemas begitu aku sampai di rumah.

Karena aku yang menyesuaikan diri dengan kehidupannya, barang-barangku di rumah ini tidak banyak. Hanya dalam waktu singkat, semuanya sudah rapi di dalam koper.

Aku memandang sekeliling, menyadari bahwa meskipun semua barangku sudah dikemas, rumah ini tidak berubah sedikit pun.

Seolah kehadiranku selama ini sama sekali tidak berarti.

Saat hendak beristirahat, tiba-tiba pesan baru masuk di ponselku. Pesan itu bertuliskan, [Ini Bella.]

Aku pun berniat membalasnya.

Namun, aku langsung menyesal pada detik berikutnya.

Aku sudah menduga wanita ini tidak memiliki niat yang baik, tetapi aku tidak menyangka dia tidak berbasa-basi.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kata Cinta Membuat Sakit Hati   Bab 8

    Saat ini, ekspresi penuh sanjungan di wajahnya adalah ancaman yang paling mengerikan di mataku.Pria ini sudah menyakitiku hingga seperti ini, tetapi masih ingin terus tinggal di rumah orang tuaku.Jika bukan karena Joshua, aku tidak akan pergi. Orang tuaku juga tidak akan mati!"Pergi! Rumah ini nggak akan aku jual padamu! Aku juga nggak akan membiarkanmu tinggal di sana dan mengotorinya! Pergi!" teriakku.Aku berjalan ke tangga, ingin melepaskan diri dari Joshua.Namun, dia terus menggangguku.Saat kami bertengkar, kakiku terpeleset, hingga aku hampir terjatuh berguling dari tangga.Pada saat kritis, Joshua ternyata mengulurkan tangan untuk menahanku.Sementara itu, dia sendiri terjatuh berguling menuruni tangga."Ah ...."Suara teriakan terdengar.Joshua memeluk kaki kanannya sambil berguling-guling di tanah.Aku menatap keadaannya yang menyedihkan dengan tatapan dingin, tanpa perasaan.Pada saat itu, orang yang tidak terduga masuk ke pandanganku."Joshua!"Itu adalah Bella.Wanita

  • Kata Cinta Membuat Sakit Hati   Bab 7

    Joshua tampak sangat gembira, tetapi aku hanya merasakan kebencian."Joshua, jangan berpura-pura. Kamu pasti sangat kecewa melihatku masih belum mati, 'kan?"Joshua terdiam sejenak, lalu dia tiba-tiba berlutut di tanah."Maafkan aku, Amelia! Aku tahu kalau aku telah mengecewakanmu berkali-kali selama lima tahun ini! Tapi aku benar-benar sangat mencintaimu, aku nggak bisa kehilanganmu! Aku mohon, beri aku satu kesempatan lagi, kesempatan untuk mencintaimu dengan baik!" ujar pria itu.Joshua menarik tanganku, lalu melanjutkan, "Hari ini, kita bisa langsung mengurus surat nikah! Aku nggak akan mengecewakanmu lagi! Aku akan mencintaimu seumur hidupku!"Tanganku yang ditariknya terasa seperti dirayapi kecoak yang menggelikan.Aku langsung menepisnya dengan kasar."Menikah denganmu? Nggak akan pernah!"Joshua menatapku dengan tatapan tidak percaya.Jantungku berdebar kencang, ingin menusukkan pisau ke dada pria itu."Joshua, aku nggak akan menyalahkanmu karena bersikap dingin, tapi aku membe

  • Kata Cinta Membuat Sakit Hati   Bab 6

    Kepergian orang tuaku seperti musim hujan lembab yang memerangkapku.Awalnya aku berpikir, setelah meninggalkan Joshua, aku akan kembali bekerja, menemukan kembali jati diriku yang sesungguhnya.Namun, sekarang aku hanya ingin menyembuhkan lukaku.Aku meminta orang merenovasi rumah, memasang foto almarhum orang tuaku di rumah, lalu mendoakan serta mengakui kesalahanku setiap hari.Selama tiga bulan penuh, aku hidup tanpa arah.Aku berpikir, aku tidak akan pernah sembuh lagi. Sampai akhirnya sebuah telepon asing masuk."Permisi, apakah ini Nona Amelia?""Ada apa?"Aku menjawab dengan penuh kewaspadaan.Suara orang di ujung telepon terdengar lembut."Aku ingin bertanya, apakah kamu masih melukis sekarang?"Setelah mendengar penjelasannya, aku baru mengetahui bahwa dia adalah seorang kurator pameran lukisan.Sebulan yang lalu, dia melihat lukisanku di pameran. Dia sangat menyukainya. Setelah bertanya ke berbagai pihak, dia akhirnya menemukan kontakku.Kami pun saling bertukar kontak.Keti

  • Kata Cinta Membuat Sakit Hati   Bab 5

    Penerbanganku tiba-tiba ditunda, hingga perlu menunggu selama dua jam. Namun, aku tidak bisa menunggu sedetik pun lagi.Aku membeli tiket penerbangan lain yang terdekat. Setelah sampai di sana, aku menyewa mobil.Setelah perjalanan lebih dari lima jam berkendara, akhirnya aku kembali ke rumah yang sudah aku tinggalkan selama lima tahun.Namun, yang mengejutkanku, pagar besi di depan pintu ternyata dipenuhi dengan tanaman merambat. Rumput di halaman juga tumbuh dengan liar.Tidak hanya itu, di dinding juga ada bekas hitam seperti terkena asap.Seluruh rumah tampak terbengkalai, seolah sudah lama tidak dihuni."Ayah, Ibu! Ini aku, Amelia!"Aku berdiri di depan pintu sambil berteriak keras, tetapi hanya suara angin yang menjawabku.Seketika, kepanikan seperti tanaman merambat memenuhi hatiku."Amelia?"Suara penuh tanya terdengar dari lantai atas rumah sebelah.Aku melihat Bibi Nia di sebelah menjulurkan kepalanya dari jendela."Bibi Nia, ini aku!"Aku berjalan cepat menghampiri.Bibi Nia

  • Kata Cinta Membuat Sakit Hati   Bab 4

    Saat mendengar nama Amelia, Joshua langsung membeku seperti batu, terpaku di tempat.Tak lama kemudian, dia akhirnya tersadar, lalu dengan tergesa-gesa menghubungi nomor Amelia.Namun, dari telepon terdengar suara pemberitahuan yang mengatakan bahwa nomor yang dituju sedang dalam panggilan.Joshua berusaha menelepon berkali-kali, tetapi tetap saja begitu.Saat dia sedang kebingungan, rekan kerjanya dengan hati-hati mengingatkan bahwa ini artinya nomor Joshua telah diblokir.Joshua yang semula masih memiliki sedikit akal sehat, akhirnya benar-benar kehilangan kendali.Joshua tidak percaya bahwa wanita yang rela memutuskan hubungan dengan orang tuanya demi dirinya, ternyata bisa meninggalkannya dengan begitu mudah. Dia bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun.Ketika mengingat kembali pertemuan terakhir mereka, itu adalah hari ini di rumah sakit.Saat itu Joshua mendengar semua kata-kata menyakitkan yang diucapkan Bella. Namun, dia membela Bella tanpa sadar, menyuruh Amelia untuk melaku

  • Kata Cinta Membuat Sakit Hati   Bab 3

    Bella mengirimkan beberapa foto.Itu adalah foto-foto yang diambil di bioskop ketika dia sedang bersandar di bahu seorang pria.Kemeja pria itu begitu aku kenal. Aku baru saja melihat Joshua memakainya.[Pak Joshua sangat baik. Ketika mendengar aku ingin menonton film horor, dia langsung membawaku ke sini tanpa basa-basi. Bu Amelia, apa dia pernah menemanimu menonton?]Tidak.Jangankan menonton film horor, aku bahkan tidak pernah pergi ke gedung bioskop.Karena Joshua mengatakan bahwa duduk di tempat gelap gulita seperti itu membuatnya merasa tidak nyaman. Orang yang suka menonton film horor juga memiliki masalah mental.Pria itu memang pandai mencari alasan.Aku lagi-lagi tertawa dalam hati, menertawakan kebodohanku sendiri.[Bu Amelia, terima kasih karena sudah memasakan makanan untukku. Pantas saja Pak Joshua selalu mengatakan kalau masakanmu lezat.][Mungkin ada perempuan yang memang ditakdirkan untuk bekerja di dapur.][Aku nggak bisa melakukan itu.]Aku seolah bisa melihat senyum

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status