Setelah diusir dari keluarganya, kehidupan Lina benar-benar hancur. Tanpa dukungan keluarganya, Lina hanya bisa meringkuk di sebuah rumah kontrakan termurah dan paling kumuh di pinggiran kota. Tidak lama kemudian, rumor tentang dirinya yang membunuh kakak kandungnya sendiri menyebar ke seluruh lingkaran sosial.“Orang yang bisa menyakiti keluarganya sendiri...” ujar para tetua dengan nada dingin. “Selamanya nggak pantas untuk masuk ke keluarga ini selangkah pun!” Lina mencoba mencari orang yang dapat menerimanya selain keluarganya, tetapi tidak ada yang mau menerima wanita yang dijuluki sebagai "Pembunuh Kakaknya". Sejak saat itu, Lina kehilangan identitas dan keluarganya, dia menjadi sasaran ejekan banyak orang.Kehidupannya perlahan-lahan terkikis oleh kelaparan, kedinginan, dan kesepian. Sosoknya berkeliling di jalanan, seperti hantu tanpa tempat kembali. Agar bisa bertahan hidup, dia terpaksa melakukan pekerjaan ilegal, yaitu menjual tubuhnya demi mendapatkan uang untuk memenuhi
Saat sedang membereskan barang-barang peninggalanku, Ayah menemukan sebuah pena perekam suara di bagian terdalam laci milikku. Dia ragu sejenak, lalu menekan tombol putar.Terdengar suara serak dan tergesa-gesa dari dalam, itu adalah detik-detik terakhir dalam hidupku.“Siapa kalian? Kenapa menerobos masuk?” “Tenang saja, Karin. Kami hanya ingin mengambil sesuatu.” Suara seorang pria asing terdengar.“Lina bilang, selama kami bisa menghajarmu babak belur, lalu mengambil beberapa fotomu bersama laki-laki, dia akan membuat semua orang tahu siapa kamu sebenarnya.”“Ingat, jangan sampai membunuhnya. Cukup buat reputasinya hancur saja.”Kemudian, terdengar suaraku yang berjuang mati-matian, disusul suara benturan keras.“Ah!”Aroma darah seolah bisa tercium, meski hanya dari rekaman suara. Akhirnya, yang tersisa hanyalah napas terengah-engah dan suara permohonan yang makin lemah, “Tolong aku … kumohon … apa ada orang?”Lalu, hening total.Rekaman berakhir.Seluruh keluarga terdiam membek
Samuel berlari ke rumahku dengan panik. Saat dia mendorong pintu kamarku, Ayah sedang duduk di dalam, menggenggam erat sebuah buku harian lama.Ayah membuka halaman pertama. Jari-jarinya bergetar halus.[Ulang tahun ke-10, seluruh keluargaku lupa. Hanya pelayan yang ingat dan membelikanku kue kecil.][Saat berumur 15 tahun, aku patah tulang dan harus dirawat selama sebulan. Tidak ada yang datang menjenguk. Tapi saat tangan Lina tergores kertas, Ayah dan Ibu menemaninya semalaman.][Saat berumur 20, aku menjuarai lomba riset antar kampus. Tapi Ayah dan Ibu malah pergi menonton konser piano Lina.]Dari satu halaman, lalu ke halaman berikutnya, semuanya berisi catatan tentang kekecewaan dan kesepian.Totalnya ada 99 catatan, dari masa kecil hingga sekarang. Setiap catatan dilengkapi tanggal dan detail yang jelas. Seperti jarum, satu per satu menusuk hati setiap orang yang membacanya.Ibu menangis tersedu-sedu, menutup mulut dengan tangan gemetar. Raut wajah Ayah benar-benar hancur, dia be
Suasana di rumah kacau balau, tetapi Samuel sama sekali belum tahu bahwa aku telah meninggalkan dunia ini.Saat ini, Samuel masih bersama Lina, dia membalut kembali luka di tangan gadis itu dengan telaten.“Masih sakit?” Suaranya lebih lembut daripada yang pernah aku dengar sepanjang hidupku.Lina menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca. Dia berkata, “Sudah nggak sakit. Asal kamu ada di sini, aku nggak takut apa-apa.”Samuel menatapnya penuh iba, sorot matanya dipenuhi amarah.“Karin keterlaluan. Begitu dia muncul, aku pasti akan membuatnya mendapat ganjaran!”“Jangan salahkan Karin.” Lina mengangkat tangannya dan menggenggam ujung jari Samuel dengan erat. Dia berkata dengan suara serak dan pelan, “Dia hanya terlalu ingin diperhatikan.”Makin pengertian Lina berbicara, makin dalam pula rasa kasihan Samuel terhadapnya.“Lina, kamu terlalu baik. Dia sudah menyakitimu seperti ini, tapi kamu masih membelanya.”“Aku hanya … khawatir padanya.” Lina berbisik, air matanya menetes di punggung t
Dani terpaku, namaku terhenti di bibirnya, tapi tak kunjung terucap. Yang bereaksi paling cepat adalah Ayah, ekspresinya yang terkejut segera berubah menjadi marah. “Karin! Kamu sudah gila? Apa sebenarnya yang kamu mau? Demi menarik perhatian kami, sampai melakukan bunuh diri yang konyol seperti ini!” Ibu pun menyahut dengan suara nyaring, “Cepat bangun! Kamu tahu nggak betapa memalukannya kamu sekarang? Demi berebut perhatian dengan Lina, kamu bahkan pura-pura mati?”Jiwaku melayang di dekat mereka, melihat mereka berteriak pada tubuhku yang dingin.Mereka masih tidak percaya aku benar-benar mati, mereka hanya mengira ini trik untuk mencari perhatian dan simpati mereka.Dani akhirnya tersadar dari kebingungan, dia melangkah maju dan dengan kesal menendang lenganku dengan ujung sepatu. “Berhenti pura-pura! Bangun!”Tubuhku terguncang sedikit akibat tendangan itu, tapi tetap kaku tak bergerak. Ini membuatnya benar-benar panik. "Aku bilang, bangun!” teriak Dani, lalu menendangku lagi
Jiwaku mengikuti Lina ke sebuah klinik pribadi. Tidak lama kemudian, tunanganku, Samuel tiba-tiba masuk.Dia langsung berjalan mendekati Lina, menggenggam tangannya dengan cemas, dan memeriksa luka tusukan kalajengking di telapak tangan Lina. Matanya terlihat sangat khawatir. “Bagaimana bisa begini? Apa kata dokter?” “Samuel, jangan seperti itu,” ucap Lina terisak, tetapi dia berusaha tersenyum. “Ini bukan salah Karin. Dia hanya ingin memberiku kejutan, mungkin dia salah mengambil hadiah. Kamu tahu, sebagai dokter, dia memelihara banyak binatang kecil untuk percobaan ....”Makin Lina pura-pura memahami, makin muram wajah Samuel. Samuel mendongak dan berkata dengan penuh amarah, “Karin? Dia sekarang sembunyi di mana? Lina, jangan takut, aku pasti akan membelamu!”'Samuel, kamu tidak perlu mencariku. Aku ada di dekatmu, tapi mungkin kamu sudah tidak bisa marah lagi, karena aku sudah mati.''Tentu saja kamu bisa membuang mayatku seenaknya. Tidak memakamkanku, sebagai hukuman untukku.'