Setelah semua sudah beres, kami bersiap-siap untuk berangkat. Aku hanya mengajak Bu Ratri untuk pindah ke kampung Bawal. Sedangkan Asisten rumah tangga lainnya masih bekerja di rumah Mas Yuda. Beruntung Mak Isah dan Kak Lina mau kembali bekerja membantuku. "Salma, bawalah satu mobil Yuda dan Pak Supir bersamamu." Sungguh aku tak percaya, ternyata Ayah masih memperhatikan aku. "Terima kasih, Ayah!" Tampak mata Ayah berkaca-kaca. Aku dapat merasakan, jauh di relung hati Ayah, beliau tidak percaya kalau aku selingkuh. Bulir bening mulai menetes dari sudut matanya saat kami berpamitan. Ayah mengusap-usap kepalaku. Lelaki yang sudah aku anggap seperti orang tuaku sendiri itu juga menciumi wajah Raihan. Aku pun tak kuasa menahan air mata yang berderai. Entah kenapa perpisahan ini terasa sangat berat. "Kamu baik-baik, Ya Salma!" Suara ayah bergetar. "Ayah juga yang sehat. Jangan lupa minum obat rutinnya!" sahutku di antara isak tangis. Ayah hanya mengangguk. Tak lagi keluar satu k
Kak Lina datang bersama Bang Safwan dan Kak Norma, serta anak-anak mereka. Sementara Elkan dan dokter Mariska belum datang. Mereka memang sudah bilang akan datang lebih malam, sepulang dokter Mariska praktek. "Bang, kalau Bang Safwan bersedia, aku minta Abang dan kak Norma bisa kerja sama aku mengurus rumah kost. Untuk pemasaran kita kerjakan bersama. Kebetulan yang booking sudah lebih dari separuh. "Salma, apa kamu masih percaya sama kami?" tanya Bang Safwan saat kami sedang berkumpul. Aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. "Entahlah. Saat ini, hanya kalian yang Aku punya. Jika kalian memang masih jahat padaku, entahlah." Aku menaikkan kedua bahuku. Kak Norma dan Bang Safwan terdiam. "Kami ... minta maaf atas perbutan kami selama ini padamu, Salma. Kami telah menelantarkan kalian yang seharusnya menjadi tanggung jawab kami. Tidak sepantasnya kamu masih baik sama kami saat ini ...," ungkap Bang Safwan tertunduk. "Betul! Kalian memang tidak pantas menerima kebaika
Sungguh aku merasa tidak tenang saat perjalanan kembali ke rumah sakit. Beruntung lalu lintas malam sangat lancar. Mobil terus melaju membelah kota. Saat ini yang ada di kepalaku hanya kekhawatiran pada Ayah. Laki-laki yang sudah aku anggap seperti orang tua kandungku sendiri. "Jangan banyak pikiran, Salma. Ingat kandunganmu!" Elkan terus mengingatkanku. Aku terus menghela napas panjang. Berusaha untuk menenangkan diri. Tak henti-henti berdoa dalam hati untuk kesembuhan Ayah. Sementara Dokter Mariska terus memandu Mariam lewat ponselnya, selama perjalanan membawa ayah ke rumah sakit. Karena rumah sakit lebih dekat dari rumah Mas Yuda, maka Mariam lebih dulu tiba. Atas petunjuk dari dokter Mariska, Mariam membawa Ayah langsung ke UGD. Aku langsung bergegas keluar dari mobil ketika kami tiba tepat di depan UGD. Melangkah cepat memasuki pintu kaca Unit Gawat Darurat. Dokter Mariska langsung masuk ke ruang pasien. Sementara aku menghampiri Mariam yang sedang duduk di ruang tunggu. "
Perlahan aku turun dari brankar, kemudian perlahan melangkah keluar dari UGD. Suasana rumah sakit malam ini sangat sepi. Langkahku terseret melalui koridor rumah sakit. Sesekali berhenti dan berpegangan pada salah satu tiang pondasi koridor ini, karena merasakan perputaran pada kepala dan penglihatanku.Namun, semangatku untuk bertemu suamiku membuatku tak ingin berhenti dan terus melangkah. Udara malam terasa dingin hingga menusuk ke tulang. Beberapa keluarga pasien yang berpapasan menatap heran padaku. Aku tiba di depan pintu lift dan bergegas masuk saat pintunya terbuka. Berpegangan erat pada dinding lift saat kembali merasakan di sekitarku berputar. Aku merasa lega saat pintu lift terbuka dan melangkah cepat untuk keluar. Ruang ICU sudah berada di depanku. Perlahan aku masuk dan menemui seorang suster yang sedang berjaga malam. "Suster, Saya ingin menemui suami Saya, Yudatara," ucapku lemah. "Maaf, Bu. Ini sudah malam. Sebaiknya besok pagi saja!" sahut suster yang terheran me
Seminggu sejak kepergian Ayah. Beberapa kali aku mondar mandir ke rumah sakit, ingin memastikan keadaaan Mas Yuda yang sudah mulai membaik. Hanya saja ingatannya belum kembali. Menurut dokter, kami harus bersabar dan tidak boleh memaksa Mas Yuda untuk mengingat semuanya dengan cepat. Sejak tidak ada Ayah, Kak Rio dan Mira tidak pernah datang mengurus Mas Yuda. Hal ini justru membuatku lebih leluasa untuk mengikuti perkembangan kondisi suamiku itu. Aku pun bisa merawat Mas Yuda dengan tenang, tanpa ada larangan lagi dari keluarganya. Pasti Kak Rio dan Mira sangat sibuk. Sejak dulu mereka memang tidak pernah peduli pada Mas Yuda dan Ayah. Sejak lima hari yang lalu, Mas Yuda sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa di ruang VIP. Semua anggota tubuhnya sudah berfungsi kembali. Semua alat bantu yang menempel pada tubuhnya pun sudah dilepas. Hanya ada selang infus yang menempel pada tangan kirinya saat ini. "Mas, makan, yuk! Aku suapi, ya." Dengan segenap cinta yang memenuhi seisi jiwa, l
"Selamat pagi Bu salma." Dokter Mariska muncul dari balik pintu nampak cantik dengan jas putih dan stetoskop menggantung di lehernya "Selamat pagi, Dok" Aku menyambut senyum dokter Mariska yang langsung mendekat pada Mas Yuda. "Pak Yuda, kami periksa kondisinya dulu, Ya!" Mas Yuda mengangguk. Dokter Mariska memeriksa Mas Yuda dengan teliti. Aku berdiri di sudut ranjang rumah sakit ini seraya memperhatikan dokter Mariska dengan seksama. "Bu Salma, Jika kondisi Pak Yuda stabil seperti ini terus, dalam beberapa hari kedepan, Pak Yuda sudah bisa pulang." "Syukurlah. Alhamdulilah." Tak henti-hentinya aku bersyukur dalam hati. Inilah saat yang aku tunggu-tunggu. Membawanya ke kampung bawal. Tempat di mana pertama kami bertemu Semoga dia dapat mengingat kembali kisah cinta kita yang unik selama di sana. Setelah Mas Yuda makan siang, seperti biasa ,aku hendak pulang ke rumah melihat Raiihan. Saat ni aku bersiap-siap untuk berangkat dan pamit pada suamiku itu. "Mas, aku tinggal pula
"Selamat siang, Bu Salma!" Aku terlonjak, tiba-tiba saja seorang perawat sudah berdiri di sampingku. "S-selamat siang, suster. Maaf ada apa?" tanyaku sedikit berbisik. Sesekali mataku masih melirik ke dalam ruang rawat Mas Yuda. Sekilas aku melihat wajah Mas Yuda menggelap. Apakah suamiku sedang emosi? Apa sebenarnya yang sedang mereka bicarakan. Tampak sesekali mereka bersitegang. "Dokter ahli neurologi ingin bicara dengan Bu Salma mengenai kondisi Pak Yuda." Perawat yang umurnya tampak tak jauh dariku itu mengernyitkan dahinya. Mungkin dia heran melihatku yang selalu melirik ke dalam.. "Eh, ya. Bicara ya? Kapan itu suster?" tanyaku lagi yang sebenarnya sedang fokus pada wanita yang sedang bersama suamiku di dalam sana. "Sebaiknya sekarang saja, Bu. Kebetulan sudah dtunggu diruang Prof. Camalia. Mari saya antar, Bu!" Perawat itu mengarahkan ibu jarinya ke arah yang berlawanan hingga aku menoleh ke belakang. Timbul keraguan di benakku. Aku harus segera menemui dokter Camalia ah
Mataku melebar ketika melihat sebuah mobil yang aku kenal terparkir tak jauh dari tempatku berdiri. Untuk apa mereka kemari? Semoga saja mereka tidak membuat masalah lagi. Dengan menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan, aku melangkah menuju rumahku yang terletak tepat di belakang rumah kost ini. "Salma, ada yang mencarimu. Katanya mereka adalah kakak dari suamimu." Bang Safwan datang tergopoh-gopoh menghampiriku. "Ya Bang. Dimana mereka sekarang? Aku akan ke sana." "Salma, mereka ada di ruang tamu. Sepertinya mereka datang tidak dengan niat baik. Kamu harus hati-hati!" ucap Bang Safwan pelan. "Mereka tadi banyak tanya ini dan itu. Mereka tak segan-segan meremehkanmu di depan para tamu dan karyawan di sini. Kalau mereka bukan kakak iparmu, sudah aku habisi mereka. Kamu hati-hati, Salma!' "Terima kasih, Bang." Aku mendesah gelisah. Baru saja bernapas lega bisa terlepas dari mereka. Kini mereka muncul lagi. Entah apa lagi maunya mereka sekarang. Sepasang suam