Share

Part 15

Mas Aldi berakhir dengan sebuah tamparan dari kekasih gelapnya yang bernama Santi. Ketika mengeluh uangnya habis saat wanita itu berbelanja bahan-bahan branded.

Meskipun begitu, mas Aldi tetap membayar notanya setelah Santi pergi dengan wajah kesal. Sangat tidak tahu diri wanita itu. Aku jadi sedikit kasihan dengan mas Aldi.

Wajahnya terlihat lesu setelah kembali lagi padaku. "Makan, yuk, Pus."

"Uangmu nggak habis, Mas?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis.

"Ini masih ada sisa dikit." Mas Aldi masih mencoba tersenyum.

Aku jadi berempati kepadanya. Kami berdua berjalan menenteng bahan belanjaan menuju ke restoran seafood yang ada di dalam mall.

"Begitulah kira-kira Pus, banyak wanita yang datang hanya karena ada maunya," keluh mas Aldi ketika kami sudah duduk di salah satu kursi.

"Tapi kan, setidaknya mereka mau mas tiduri," sindirku santai.

"Enggaklah, aku bukan laki-laki seperti itu." Mas Aldi mengerucutkan bibir.

Aku tersenyum miring, sambil menggidikkan bahu. Aku sudah tahu kelakuan aslimu, Mas.

Pelayan datang menyodorkan kertas berisi menu makanan.

"Udang goreng saus tiram, Mbak," ucap mas Aldi, "Kamu mau apa, Pus?"

"Aku nasi goreng seafood aja."

"Minumnya mocktail rainbow, ya," tambah mas Aldi.

Pelayan itu mengangguk sambil mencatat menu makanan yang kami pesan.

"Kamu sekarang emangnya kerja apa, Mas?" tanyaku penasaran.

"Aku kembali kerja di perusahaan yang dulu, Pus."

"Owh." Aku mengangguk. Merasa ada yang janggal karena aku tahu bahwa gaji di perusahaan mas Aldi tidak sebesar harga kalung yang dia belikan padaku perbulannya.

Seorang pelayan datang sambil membawa makanan yang kami pesan. Aku dan mas Aldi kemudian melahap makanan tersebut, tanpa mengeluarkan suara.

"Hmm, aku boleh tanya nggak, Mas?" Aku menyeruput mocktail hingga habis setengah.

Entah, kenapa aku jadi seberani ini berinteraksi dengan orang. Lagi-lagi karena jasa-jasa dari Reno yang membuatku terbiasa bergaul dengan orang-orang keren di kafenya. Ben, Sevelyn, Cindy, dan Melin. Berat badanku turun, dan percaya diriku naik.

"Mau tanya apa, Pus?"

"Kamu memang suka ya, sama Pita?"

Mas Aldi tersedak makanannya. Pria itu buru-buru meneguk mocktail-nya. Aku mengerutkan dahi.

"Kenapa, Mas?"

Mas Aldi memegangi dadanya. "Kenapa kamu tanya begitu, Pus?"

"Hmm, pengen tahu aja," jawabku sambil mengelapi mulutku dengan tissue.

"Hubunganku dengan dia tak lebih dari hubungan kakak dengan adik iparnya."

Bulshit! Kupikir dia akan berkata jujur. Awalnya aku juga ingin menyelidiki bagaimana Fano bisa memiliki hutang kepadanya. Namun, kupikir mas Aldi tidak akan berkata jujur. Jadi, percuma saja kalau hal itu dibahas.

"Ayo pulang, Mas."

"Tunggu, Pus," sergah mas Aldi, pria itu langsung menunduk ketika aku menoleh ke arahnya. Ingin mengatakan sesuatu tapi malu.

"Apa, Mas?"

Mas Aldi menggigit bibir bawahnya yang bergetar. Tampak ragu-ragu untuk mengucapkan.

"Maafin kesalahan-kesalahanku yang dulu, Pus." Ada jeda sejenak.

Aku terdiam.

"Maukah kamu kembali padaku?"

Aku menatapnya nanar, menghembuskan napas berat, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. Ingin marah-marah tapi tidak tega. Ingin menolaknya mentah-mentah tapi masih ragu untuk berucap.

"Pus?"

Aku kembali menoleh ke arah mas Aldi dengan mata berkaca-kaca. "Aku nggak bisa jawab sekarang, Mas."

Aku merutuki diriku sendiri yang selemah ini. Padahal masih memendam kebencian, atas perilakuannya di masa lalu. Tapi, hati kecil ini terus membisikkan kata kembali.

***

'Gimana jawabannya, Pus.'

Satu pesan baru saja masuk. Dari mas Aldi. Aku hanya meread pesan tersebut. Kemudian menghempaskannya ke meja.

Semoga dirimu merasakan sakit yang selama ini aku rasakan, Mas.

Aku sekarang sedang berada di kafe. Tumben sekali hari ini pelanggan sedikit sepi.

Gelagat teman-teman kerjaku juga sedikit aneh. Tak sedikitpun mereka menoleh atau bahkan bertanya sesuatu kepadaku.

Apa gara-gara aku meninggalkan Ben kemarin?

Aku hanya memanyunkan bibir sambil menopang dagu di meja bar yang ada di sebelah Sevelyn yang sibuk bermain dengan ponselnya.

Melin dan Cindy tampak berbincang-bincang di kasir. Sementara Ben duduk di depan teras untuk merokok.

Jenuh. Membosankan.

Tak lama kemudian kami langsung mendongak ketika melihat seorang pria berjas rapi masuk ke dalam kafe. Bersama dengan Ben yang mengekor dari belakang.

"Tumben hari ini sepi?"

"Iya, Pak, tadi hanya beberapa anak kampus yang datang ke sini numpang diskusi," jawab Melin di meja kasir.

"Mungkin kalah saing sama kafe Lestari yang sekarang baru di renovasi menjadi lebih wah buat ditongkrongi. Pembukaannya mereka ngundang artis." Cindy ikut menjawab.

"Owh begitu. Mungkin, besok pasti pelanggan-pelanggan kita pada balik. Mereka cuma pengen nonton artis aja itu." Reno mengangguk. Sambil menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Sorot matanya beralih ke arahku. Langsung terasa debar-debaran aneh di dalam sini.

Wajahku berubah sendu saat pria tampan itu menaikkan sebelah alis. Seperti terkena percikkan air dari perasaan aneh bernama rindu.

Setelah pindah dari rumah Reno, kami berdua memang jarang berinteraksi. Aku rindu dengan suara tawanya, dan cengiran yang sering muncul di sudut bibirnya.

Hatiku langsung menghangat saat Reno tersenyum. "Pumpung sepi bantuin saya, ya, Pus."

"Bantuin apa, Pak?" tanyaku kikuk.

"Udah ayo." Reno berbalik badan kemudian melenggang pergi dari kafe. Aku menoleh ke arah Sevelyn sekilas. Kemudian mengekori Reno dari belakang.

Kami berdua begitu canggung. Tentu saja, karena dia adalah calon suami Pita dan aku hanya sekedar kakak iparnya.

Ada rasa tidak iklash. Kalau tidak bersama Reno, aku sama siapa?

Kami berdua masih terdiam dalam keheningan. Reno sepertinya juga tidak tertarik membuka suara.

Beberapa menit kemudian, aku mengekori Reno memasuki sebuah mall. Aku yang memakai baju terusan dengan hijab kuning buluk bekas lap Ingus merasa tidak PD ketika melangkah bersama pria berwibawa seperti Reno.

Reno melirik ke arahku sekilas. Menyadari ketidak nyamananku. "Laki-laki akan semakin terlihat sukses dunia-akhirat kalau di sebelahnya ada seorang perempuan memakai baju muslimah."

Aku terperangah. Sedikit baper. Ah, indahnya jika posisiku sekarang adalah istrinya.

"Jangan GR, bukan lo yang gue maksud, tapi Pita."

Aku mengerucutkan bibir. Kok dia bisa baca pikiranku, sih?

"Eh, kalau lo jadi istri gue juga boleh, sih, gue mau kok."

Wajah ini berubah memerah. Reno benar-benar seperti roller coaster yang kata-katanya selalu berhasil memacu adrenalinku. Menyebalkan, tapi bikin ...

Kangen.

"Kita mau ke mana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku tidak boleh baper. Karena akan semakin menyakitkan jika terus berharap.

"Kepo lo kayak Dora." Reno terkekeh.

Tuh kan, ingin sekali kugetok kepalanya dengan palu karena geregetan.

"Kamu monyetnya," cibirku sedikit pelan.

"Monyet yang ngangenin, ya."

"Apaan, sih." Aku tersipu malu.

"Ciee baper."

"Ishh, Reno!" Aku mencubit lengannya karena malu sedang berada di keramaian.

Rupanya Reno mengajakku ke toko perhiasan. Dadaku mendadak sesak, setelah sadar bahwa aku ternyata cuma dimintai tolong untuk memilihkan perhiasan untuk Pita. Bukankah begitu?

"Kira-kira yang bagus untuk Pita cincin yang mana?" Reno menunjuk tiga cincin yang ada di dalam counter.

Cincin yang pertama adalah Bergenia. Bergenia adalah cincin emas putih dengan satu berlian yang ada di tengah desain bunga mawar.

Berat cincin ini sekitar 1,3 gram dan murni terbuat dari emas putih 0,19 karat. Harganya mulai dari Rp 14 juta. Kira-kira begitu penjelasan dari penjaga toko.

Kemudian, cincin yang kedua namanya Berlian YAWM. Ini bisa jadi cincin tunangan couple. Desain cincin laki-laki dan perempuannya sama persis, hanya berbeda di beratnya saja.

Untuk cincin laki-laki beratnya 4,8 gram dengan kadar 0,098 karat. Sedangkan untuk cincin perempuan beratnya 4,56 gram dengan kadar 0,096 karat.

Supaya lebih berkesan, pemesan bisa ukir nama masing-masing pasangan di bagian dalam cincin.

Terakhir, cincin Deep Blue Sapphire Butterfly. Cincin tunangan ini cukup unik dan imut. Hiasan cincin di bagian tengahnya adalah berlian dengan bingkai kupu-kupu.

Berlian biru yang membentuk kupu-kupu menjadi sentral dari cincin tunangan ini.

Ada 16 batu sapphire kecil di dalamnya dengan kadar masing-masing 0,15 karat, sedangkan empat berlian di dalamnya memiliki kadar 0,025 karat.

Aku terpukau mendengarnya. Benar-benar beruntung adikku sebentar lagi akan mendapatkan salah satu dari cincin ini.

"Gimana, Pus, bagusan yang mana buat Pita? Yang sekiranya dia sangat menyukainya."

Aku masih terdiam. Bingung memilih satu di antara ketiga cincin indah itu.

"Aku takut dia tidak menyukai cincinya." Reno tampak lesu.

Ada rasa ngilu di dalam sini. Entah apa namanya. Aku menghela napas panjang. Kemudian dengan tangan gemetar menunjuk cincin Deep Blue Sapphire Butterfly yang terlihat paling imut di antara yang lain. Aku yakin pasti Pita menyukainya.

"Thanks." Reno tersenyum, kemudian melakukan transaksi pembayaran.

Aku menarik napas, sambil memejamkan mata. Mencoba menepis kepedihan yang ada di dalam dada.

Setelah melakukan transaksi pembayaran, Reno mengajakku pergi.

"Sekarang tinggal beliin lo."

"Belian apa?"

"Perhiasan lah, itung-itung hadiah buat lo karena udah bantu gue."

"Eh, enggak usah!" sergahku.

"Udah nggak pa-pa, gue bakalan marah kalau lo nggak menerimanya."

Kami berhenti di counter penjual jam tangan. Di depannya ada berbagai macam bentuk gelang seharga 5 ribuan. Sial! Reno mengambil satu, kemudian menyerahkannya kepadaku. Sialan!

"Nih, hadiah buat lo."

Aku hanya melongo seperti orang bodoh ketika memegang gelang tali hitam yang biasa digunakan anak laki-laki yang masih SMP.

Reno tertawa. "Makan dulu, yuk!"

Aku mengerucutkan bibir sambil mengekor di belakangnya. Kami berdua masuk ke dalam McDonald. Memesan dua porsi Chicken Muffin dan dua gelas Raspberry McFloat Blass.

Reno mengeluarkan kotak cincin yang ia beli tadi, kemudian membukanya di depanku. Indah sekali. Mungkin, Reno masih ingin berlama-lama memandanginya sebelum berpindah ke jari Pita.

"Pus."

"Ha?" Aku langsung merasa kikuk saat Reno memanggilku.

"You will marry me?" ucapnya dengan tatapan penuh keseriusan.

Deg.

Aku menelan ludah dengan susah payah, dengan tubuh yang terasa kaku.

"Puspa, you will marry me?" Reno mengulurkan kotak cincinnya yang sudah terbuka semakin dekat.

Aku dibuat susah bernapas karenanya. "Pi ... Pita?"

"You will marry me?" Reno menegaskan kata-katanya. Seolah meyakinkan yang akan dinikahinya itu aku, bukan Pita.

Haduh, gimana, ya?

Jantungku rasanya sudah ingin loncat.

Bersambung...

Gimana nih komentar kalian tentang Reno hihihi

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status