Share

Part 16

"Will you marry me?" Reno menegaskan kata-katanya. Seolah meyakinkan yang akan dinikahinya itu aku, bukan Pita.

Haduh, gimana, ya?

Jantungku rasanya sudah ingin loncat.

"Pus."

Aku menelan ludah dengan susah payah. "Kamu nggak lagi ngeprank, kan?"

"Ngeprank gimana maksudnya?"

"Biasanya kamu suka ngerjain aku." Aku tertunduk malu. Takut kalau dijawab iya, ternyata Reno cuma becanda.

Reno meletakkan kotak cincin ke atas meja, kemudian tangannya merayap dan meraih jari jemariku.

Jantung ini berdesir hangat saat tangan kasar Reno memegang tanganku. "Pus, aku serius!"

"Kamu pasti cuma ngeprank, aku hafal sifatmu." Aku mencoba tertawa garing untuk menutupi kegugupan.

"Kamu menganggap aku kayak gitu?" Reno menatapku dengan tatapan serius.

Aku mengangguk malu. Tidak berani membalas tatapannya.

"Aku serius, Pus."

Tenggorokanku tersekat. Lidah terasa kelu untuk berucap. "Lalu, Pita?"

"Jadi, karena aku terlihat dekat dengan Pita, kamu meragukanku?"

"Kamu yang bilang sendiri akan menikah dengan Pita. Kalian berdua juga kelihatan mesra."

"Itu semua aku lakukan hanya untuk membuatmu cemburu. Aku dan Pita sudah berkerjasama."

"Bo ... bohong."

Reno menghela napas kasar. "Pus, bahkan aku tidak peduli siapa dirimu. Mau gendut, jelek, jerawatan kalau itu Puspa aku tetap bakalan cinta. Bahkan sejak dari zaman sekolah dulu. Ketika kamu dibully teman-teman satu kelas aku satu-satunya orang yang cuma diam karena mengagumi ketegaranmu."

Aku merapatkan bibir.

"Pita mau membantu membuatmu cemburu karena Pita ingin balas budi sama aku." Reno melepaskan genggamannya di tanganku.

"Kamu jangan mempermainkanku Reno."

"Aku tidak main-main."

Aku meringis. "Lagipula Pita lebih membutuhkanmu. Dia sedang hamil, anak dalam kandungannya pasti sangat membutuhkan sosok seorang ayah."

"Aku bisa saja menikahi Pita, tapi hatimu?" Ekspresi Reno berubah memelas. "Mana mungkin aku melakukan itu. Aku bisa mempermainkanmu dengan kata-kataku, tapi aku tidak mungkin menyakiti hatimu, Pus. Karena di dalam hatimu itu ada aku."

Deg.

Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi.

"Coba bayangkan perjuanganku selama ini. Menunggumu yang sudah jadi milik Aldi. Sampai kalian cerai, kemudian menolongmu yang ingin bunuh diri. Aku juga mati-matian membuat berat badanmu turun. Mengatur banyak strategi agar kamu stress, terbiasa jalan kaki, nafsu makan menurun. Semua itu aku lakukan agar kamu lebih percaya diri, Pus. Aku cinta sama kamu. Kurang apa cintaku?"

Aku cuma terdiam dengan tatapan nanar.

"Okelah emang aku kayak gini, sering ceplas-ceplos. Itu hobi dan kebiasaan. Tapi, aku berharap kamu selalu bisa merasakan ketulusanku. Bukan lewat kata-kata, tapi lewat hati,  Pus." Reno menunjuk dadaku.

Hati kecilku mengatakan ingin percaya, tapi ada rasa lain yang menyangkal bahwa apa yang dikatakan Reno hanya bercanda.

Aku bingung. Dilema. Resah.

"Jadi, gimana Pus, kamu mau nerima aku apa enggak?"

Aku menahan napas cukup lama. Bimbang akan menjawab. Walaupun pada akhirnya aku menggeleng pelan karena demi kebahagiaan ..., "Pita lebih cocok untukmu Ren."

"Sorry, aku nggak bisa. Pita lebih membutuhkanmu daripada aku."

Reno membeku beberapa saat. Menghela napas. Kemudian memijat-mijat keningnya. Dia tampak kecewa.

"Jadi itu jawabanmu?" tanyanya.

Aku mengangguk samar. Merasa menyesal sudah mengatakan itu. Dengan artian lain jika Reno jujur, berati aku sudah melukai diriku sendiri.

"Baik, kalau itu maumu." Reno beranjak dari duduk. "Aku pastikan kamu akan menyesal Puspa," ucapnya kemudian melenggang pergi dari hadapanku.

***

Jam 11 malam, aku baru pulang dari bekerja. Di antar oleh Ben.

"Thanks, ya, Ben."

"Sip." Ben mengacungkan jempolnya. "Gue duluan, ya."

Aku mengangguk. "Hati-hati."

Ben melajukan motornya meninggalkan pelataran rumah.

Menghela napas. Sambil memegangi dadaku yang terasa resah. Aku masih bertanya-tanya apakah yang diucapkan Reno tadi benar-benar serius? Mungkinkah, dia benar-benar mencintaiku?

Sungguh, laki-laki itu sangat sulit dimengerti.

Aku melangkah memasuki rumah. Menatap sepatu pantopel yang teronggok di depan teras. Punya siapa?

Buru-buru membuka pintu, lalu terdengar suara aneh dari kamar Pita.

Suara menjijikan.

Di dalam kamar?

Apa?

Aku langsung menggedor-gedor pintu kamar Pita. "Pit! Pita!!" teriakku khawatir.

"Kamu lagi ngapain?"

Suara aneh itu berhenti. Aku mendadak was-was. Ketika pintu terbuka, muncul Reno keluar dari sana dengan rambut berantakan.

Mataku langsung membulat. "Kalian kenapa di dalam?"

Reno menatapku datar. "Bukan urusan lo!"

"Hey, kalian berdua ngapain!"

Pita juga muncul di belakang Reno dengan wajah gugup. Reno menghela napas, merapikan baju, kemudian berlalu meninggalkanku. "Ganggu aja lo. Gue mau pulang dulu, Pit."

Aku masih menganga lebar. "Kalian berdua sudah gila!"

Reno tak menggubris. Keluar dari rumahku kemudian menutup pintu. Tanpa merasa bersalah.

Aku kembali menoleh ke arah Pita dengan tubuh membeku di ambang pintu. "Mbak nggak habis pikir sama kamu, Pit."

"Nggak habis pikir gimana, Mbak?"

Sesak sekali rasanya. "Kalian berdua ngapain?"

"Kak Reno cuma mau benerin jendela kamarku yang tidak bisa ditutup."

"Halah, kenapa harus dikunci kamarnya?"

"Ngg ...."

"Ingat, ya, Pit. Kalian belum sah. Jangan aneh-aneh lah. Dosa Pit, kalau berzinah."

"Mbak Puspa kok gitu, sih, pikirannya selalu negatif."

"Kalian mencurigakan!" Aku masuk ke dalam kamar Pita. Tidak ada yang aneh. Hanya ada palu dan paku bekas membenarkan jendela.

"Mbak Puspa kenapa sih suka nuduh-nuduh sembarangan."

Aku hanya terdiam, keluar dari kamar Pita kemudian menuju ke kamarku.

Membenamkan wajah pada bantal kemudian menangis terisak-isak. Kupikir mereka baru saja melakukan hal yang tidak-tidak, padahal hanya membenarkan jendela.

Lalu, kenapa hatiku merasa sakit hahya dengan mengingat hal itu. Padahal itu hanya kecurigaan semata. Bagaimana jadinya jika mereka nanti jadi menikah. Akan sehancur apa perasaanku?

Padahal Reno tadi memilihku. Dan aku yang menginginkan mereka bersama, tapi kenapa aku merasakan sakit?

Apa ini adalah pembalasanmu Reno?

Kalau memang benar. Kamu sudah berhasil membuatku menyesal.

***

Keesokan harinya, saat aku pulang jam 11 malam seperti biasa. Pita justru tidak ada di kamar. Entah ke mana dia sekarang.

Aku memasukkan motor bebek Pita ke dalam rumah. Kemudian membuat teh hangat.

Pita tidak mengangkat teleponnya saat di telpon. Ke mana sih itu anak?

Apa dia ngambek karena terus aku desak supaya mengaku telah melakukan hal yang tidak-tidak bersama Reno?

Nginep di mana? Apa di rumah Reno?

Aku mondar-mandir resah memikirkan Pita. Sudah malam, dan aku tidak tahu dia di mana?

Memutuskan menelpon, bukannya diangkat malah langsung dimatikan. Aku mendengkus, melemparkan ponsel itu ke sofa.

Hingga jam 1 malam, Pita tetap tidak pulang-pulang.

Dengan setengah menahan kantuk aku menunggu Pita di teras, setelah lelah mengelilingi komplek yang pintu rumahnya sudah tutup semua.

Jam 2 dini hari. Mataku mulai terasa berat untuk dibuka. Hingga akhirnya aku terjaga ketika mendengar deru mesin mobil memasuki pelataran rumah.

Terdengar suara cekikikan di dalam sana. Lalu turun Reno dan Pita dengan wajah bahagia. Dari mana mereka? Dengan raut wajah bahagia? Jam 2 dini hari?

Rasa kantukku langsung hilang.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status