Share

Part 14

 Tin ... Tin ... Tin ...!!!

Mobil itu membunyikan klakson  

Gawat! 

Berarti dia sudah sangat dekat. Atau mungkin sudah tepat berada di belakang kami. 

Langkah ini langsung terhenti, tubuhku membeku. Ben pun turut menghentikan langkahnya dengan napas terengah-engah. 

Mobil hitam itu mengerem tepat di sebelah kami. Kacanya terbuka, menampilkan seorang laki-laki tua berkepala botak. 

Aku langsung mendengkus. Karena ternyata si pemilik mobil itu bukan mas Aldi. 

"Kalian maling motor, ya?" tanya bapak itu. 

Aku melirik Ben yang terlihat kikuk. "Ah, enggak, Pak. Ini motor saya sendiri."

"Terus kenapa motornya nggak dinaikkin?"

"Mogok hehe..."

"Kok, lari?"

"Hmm, anu, Pak." Ben menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aku hanya nyengir kuda. 

"Kalau mogok, kenapa kalian berdua lari?"

"Iya, itu ...," Ben tampak gugup. "Olahraga, Pak, iya hehe ...."

Bapak berkepala botak itu turun dari mobil. "Kalian ini patut dilaporin ke polisi. Jangan-jangan kalian yang sering maling motor di kawasan sini."

Aku langsung menginjak kaki Ben, kemudian berbisik. "Ben, keluarin kartu STNK motor kamu."

Ben berbisik ke arahku. "Nggak ada, namanya juga motor modif."

Gawat, dengusku sebal. 

"Kenapa kalian bisik-bisik?" tegur bapak itu sambil mengeluarkan ponsel yang ada di saku celananya. "Saya akan menelpon polisi untuk menyelidiki kalian."

"Eh, bapak jangan asal nuduh kami, dong!" Ben mulai terlihat kesal. 

"Saya tidak akan curiga kalau kalian tidak lari-larian sambil dorong motor. Gerak-gerik kalian patut diselidiki."

Bakal runyam ini urusannya. Aku menepuk jidat.

"Kami lari-larian karena menghindari seseorang, Pak." Ben memutar bola matanya malas. Pria berambut gonderong itu sekarang sedikit berani karena membela diri. 

"Menghindari seseorang karena takut ketahuan maling motor?"

"Ini motor saya!" Ben meninggikan nada suaranya. 

"Oke, kamu bisa menjelaskannya ke polisi, bahwa itu motor kamu." Bapak itu mulai menelpon polisi. Menyuruh mereka untuk datang kemari. 

"Pak, saya ini serius! Saya cuma kerja di kafe ujung sana. Tanya aja sama satpam kafenya kalau ini motor saya." Ben terlihat mencak-mencak setelah bapak itu menelpon polisi. 

"Jelaskan saja ke polisi."

"Bapak jangan seenaknya aja main bawa-bawa polisi, dong!"

"Saya hanya ingin membantu aparat keamanan untuk menangkap maling yang meresahkan kawasan ini." Bapak itu berujar santai. 

"Tapi, kenapa kami yang harus dicurigai?" Ben sudah terlihat emosi. 

"Karena gerak-gerik kalian mencurigakan." Bapak itu melotot. "Siapa namamu?" tanyanya itu. 

"Al." Ben menjawab asal. "Aliando Syerief."

"Jangan main-main kamu?" Bapak itu tampak tidak puas dengan jawaban Ben, lantas menoleh ke arahku. "Siapa namamu?"

Aku langsung gelagapan saat sorot mata tajam milik bapak itu mengarah kepadaku. "Nama sa ... saya Jeniffer Lopez. Hmm, panggil aja Prilly biar gampang."

Bapak itu menggeram. "Kalian jangan main-main sama saya!"

"Kami tidak perlu berkenalan dengan bapak, karena belum kenal saja bapak sudah menambah masalah. Apalagi kalau kenal, bisa-bisa kami didatangi banyak masalah."

Bapak itu langsung mengeraskan rahangnya. 

Aku pun mulai gemetar ketakutan. Datang sebuah mobil lagi, yang kuyakini dia benar-benar mas Aldi. Karena ada gambar minion di kaca depan sebelah kiri. Pria itu turun dengan tergesa-gesa. Lalu menghampiriku. 

"Ada apa, Pus?"

Lengkap sudah. Orang yang aku hindari datang, dan sekarang harus berurusan dengan polisi pula. 

"Mereka diduga telah mencuri motor," sahut bapak itu dengan entengnya. 

"Kok bisa, Pak?"

"Saat saya lewat di depan sana, mereka berdua tiba-tiba langsung ketakutan dan mendorong motor ini. Mungkin takut ketahuan."

"Puspa,  kamu?" Mas Aldi menatapku tidak percaya. 

Aku hanya menanggapinya malas. "Motornya mogok, Mas."

"Kalau mogok kenapa harus lari-larian?" sahut bapak tadi. 

Hadeh. Angel wes angel. 

Tak lama kemudian mobil polisi akhirnya datang. Aku menelan ludah dengan susah payah. Pasti sebentar lagi mereka akan menginterogasi kami berdua. 

Jantungku berdebar tak keruan. Melirik ke arah Ben, yang duduk menyalakan rokoknya dengan pematik. Santai sekali. 

"Mereka, ya!" tunjuk salah satu di antara dua polisi setelah turun dari mobil. 

Bapak berkepala botak tadi begitu antusias. 

"Bapak ini memfitnah kami, Pak," jawab Ben dengan santainya. Bersender pada motor, sambil menyemburkan asap dari rokok yang ia hisap. 

Polisi itu menatap tajam ke arah Ben. Tentu dia lebih condong ke bapak yang melapor.

Ben dengan santai mengambil ponselnya kemudian menyerahkannya pada polisi. "Silakan bapak bicara sendiri kepada bos saya si pemilik Kafe, perihal kelanjutan kasus ini. Apakah saya benar-benar bersalah apa tidak. Apakah ini benar-benar motor saya apa bukan. Apakah saya adalah maling atau bukan. Silahkan   bapak negosiasi sendiri dengan bos saya. Karena saya adalah karyawannya, dan biarkan masalah hukum ini diurus oleh bos saya."

Polisi itu mengernyit, ragu untuk menerima ponsel Ben. "Siapa bosmu?"

"Reno Alaska." 

Polisi tersebut termenung sejenak. 

Aku sampai deg-degan menunggu responnya. Suasana mendadak hening. 

"Reno Alaska?"

Ben mengangguk. 

Lama polisi terdiam, kemudian membuka suaranya dengan suara serak. "Ya, saya percaya dengan anda."

Aku menghela napas lega. Melirik ke arah Ben yang masih menghisap rokoknya dengan santai. Kemudian beralih ke arah mas Aldi yang menggenggam tanganku. Kemudian menarikku menjauh dari mereka. 

"Ayo pulang," ucapnya lembut. 

Aku melirik ke arah Ben dengan tatapan tidak enak. Ben menganggukkan kepalanya, mengisyaratkan aku agar ikut mas Aldi saja. 

Akhirnya terpaksa menurut, karena hari sudah malam. Terbesit pertanyaan terlintas dipikiranku. Tentang bagaimana segannya polisi tadi setelah mendengar nama Reno Alaska. Lalu, siapa Reno sebenarnya? 

Pria tengil mesterius yang membuat polisi pun segan dengan dirinya.

Aku mengabaikan mas Aldi yang mengemudikan mobilnya. Pikiranku melayang-layang ke arah lain. Walaupun aku sadar keberadaanku di mobil ini membuatku mendapatkan masalah baru ketika besok mas Aldi mengajakku .... 

***

"Pit, hari ini mbak libur, dan mas Aldi mengajakku jalan-jalan."

Pita yang sedang mencuci piring menoleh ke arahku. "Ikut aja, Mbak."

"Kok, gitu?"

Apa maksudnya biar aku balikkan dengan mas Aldi, dan dia bisa bersenang-senang dengan Reno. Lagi-lagi rasa cemburu ini terus menggerogoti hatiku. 

Pita membisikkan sesuatu ke telingaku. Mataku langsung membulat, dan terpaksa menyetujui idenya yang konyol itu. 

"Baiklah."

***

Mas Aldi membukakan pintu mobilnya untukku. Aku hanya memasang wajah datar, kemudian masuk ke dalam mobil. 

Mas Aldi mengitari mobilnya kemudian duduk di kursi kemudi. 

"Kita mau ke mana?" tanyaku setelah mas Aldi melajukkan mobilnya. 

"Aku ingin menebus kesalahan-kesalahanku." Mas Aldi tersenyum. "Maafkan aku yang dulu belum sempat membahagiakanmu."

Pintar sekali caranya mencoba meluluhkan hati. Apakah seorang perempuan harus berubah cantik dulu agar laki-laki yang telah menyakitinya bisa menyesal dan merasa bersalah. 

Kalau bukan karena ide dari Pita, aku tidak akan sudi mengiyakan ajakkan mas Aldi. 

Kami berhenti di sebuah mall besar yang ada di pusat kota. 

Mas Aldi mencoba menggandeng tanganku. Namun, buru-buru aku tepis dengan sedikit kasar. 

"Kenapa?"

"Kita bukan mahram," jawabku ketus. 

"Hmm, rujuk?"

Aku menggeleng. "Lebih baik kita pulang saja, kalau tujuannya cuma itu."

Mas Aldi tertawa. "Tidak, aku di sini cuma ingin menebus kesalahan-kesalahanku."

Menebus kesalahan-kesalahannya. Baiklah. Akan kuladeni permainanmu. 

"Mau nonton bioskop?"

"Oke." Aku mengangguk. 

"Tunggu sebentar, aku akan memesan tiketnya. Kita akan nonton Film romance."

"No!" sergahku. "Horor, Mas."

Mas Aldi membulatkan mata. Itulah kelemahannya. Dia takut film horor. 

Aku melipat kedua tangan di depan dada. "Kalau nggak mau ya sudah, aku nonton sendiri aja. Kamu nonton film romance sendiri."

Aku tidak pernah suka menonton film romance. Karena sejak dulu, itu bukan duniaku. Perempuan gendut berjerawat sepertiku tidak pernah punya tempat di dunia asmara yang penuh dengan pahit dan manisnya kehidupan. 

Mas Aldi menghembuskan napas kasar. Dengan ragu-ragu dia mengangguk. "Baiklah kita nonton film horor."

Rasakan! 

Aku tahu mas Aldi sangat takut dengan film horor sejak kecil dari ibu mertua. Apabila dia keluar malam, kemudian salah satu temannya menceritakan soal hantu-hantu, dia langsung tidak berani pulang. 

Mas Aldi kembali dengan membawa tiket film horor. Kami harus menunggu beberapa menit lagi. Dia membeli popcorn untuk cemilan saat menonton.

Gelagatnya tampak aneh. Sepertinya dia sangat ketakutan. Padahal belum masuk ke dalam bioskop. Setelah beberapa menit kemudian, kami memasuki bioskop. 

Mas Aldi belum tahu kalau sebenarnya aku tahu kelemahannya. Yakni fobia dengan film horor.

Aku di sini pura-pura tidak tahu, dan mungkin dia akan gengsi untuk berkata jujur. Demi menaklukan hatiku. Wanita incarannya. 

Tangannya terlihat gemetar saat kami duduk. Bulir-bulir keringat sebiji jagung menetes di dahinya. Padahal filmnya baru sampai pada opening. 

Aku tersenyum sambil mengunyah popcorn yang dibeli mas Aldi. 

Tangannya merayap ke kursi, mungkin mencari tanganku. Aku langsung menggeser tubuh agak menjauh. 

Enak aja, mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. 

Semua penonton menjerit saat melihat tokoh utamanya dikejar hantu yang mengerikan. 

Mas Aldi tidak menjerit. Namun, jelas sekali sekujur tubuhnya gemetaran. Laki-laki itu meringis, kemudian menunduk, tidak berani melihat layar lebar yang menakutkan itu. 

Aku menahan tawa. 

Mampus kamu mas Aldi. 

"Pit, celanaku basah."

Jorok! 

***

Mas Aldi terpaksa membeli pakaian baru karena celananya basah. Sungguh menjijikan, seorang pria dewasa pipis di celana hanya karena nonton film horor. Tidak malu apa sama perempuan-perempuan yang sering ia gauli? 

Pria itu sudah kembali dengan memakai kaos oblong hitam dengan bawahan celana jeans berwarna biru yang baru saja dia beli. Awalnya dia memakai celana formal dengan atasan kemeja panjang berwarna maroon. 

Permainan yang sebenarnya akan dimulai Mas Aldi.

Yang tadi masih pemanasan.

"Mas, dulu kamu belum pernah beliin aku baju-baju." 

"Mau beli?" tanya mas Aldi antusias. "Ayo, kamu mau yang mana?" 

Pria itu menarikku menaiki lantai atas, di mana terdapat pakaian-pakaian wanita dari yang branded hingga yang biasa. Aku sengaja tidak menuju ke tempat penjual yang ramai pengunjung, karena terdapat diskon besar-besaran. 

Aku menuju ke stand penjual baju muslimah, yang harganya lumayan mahal. Juga sangat menarik karena dijamin berkualitas. 

"Pus, itu di sana ada diskon."

"Di sini aja mas, cantik-cantik bajunya."

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari baju muslimah yang sekiranya cocok untukku, dan sekiranya menarik di mata Reno. Huftt, kenapa aku jadi mikirin Reno terus, sih?

"Mas beli dua, ya?" tanyaku. 

Mas Aldi terlihat gusar, entah karena tidak membawa uang atau karena eman-eman. Pelit. 

"Mas?"

"Eh, iya, Pus. Ambil aja sesukamu," jawab mas Aldi dengan nada tidak ikhlas, seperti keberatan. 

"Wah, sesukaku?"

Mas Aldi mengangguk sambil memaksakan seulas senyum. Jelas sekali dari raut wajahnya yang sangat terpaksa. 

"Kalau begitu aku beliin Pita sekalian."

Kemudian aku mengambil beberapa gaun muslimah berbagai merk ternama yang harganya lumayan mahal. Pita kubelikan tiga.

Nominal ini masih belum seberapa dibanding uang yang kamu habiskan dari hasil warisan ibu waktu itu, Mas. Ngakunya buat modal usaha, ternyata buat main dengan perempuan lain, batinku. 

Aku meletakkan 8 potong gaun muslimah ke kasir. Kemudian membiarkan mas Aldi membayarnya. Wajahnya tidak secerah tadi. Mungkin, dia menyesal sudah mengajakku. 

Kami kemudian melenggang pergi dari tempat itu dengan kedua tangan yang menenteng bahan belanjaan. Sekitar 2 setengah juta mas Aldi merogoh koceknya. Dan, aku belum puas. 

"Eh, mas, beli sandal, ya?" Aku melangkah menuju counter penjual sandal. Mengambil beberapa sendal berbagai merk, hingga high heels yang sejujurnya tidak pernah aku coba pakai. Yang penting dibeli aja. 

"Nggak papa kan, Mas. Pumpung ada diskon."

Mas Aldi melotot beberapa saat karena aku mengambil 7 sandal dan 2 high heels. Pria itu menelan ludah dengan susah payah. 

"Pokoknya ini, Mas." Aku merengek seperti anak kecil. "Aku pengen."

Mas Aldi menghela napas kasar. Kemudian mengeluarkan kartu debitnya dan menyerahkannya kepada mbak kasir. Kulirik sekilas, tampak dia mengacak-acak rambutnya. 

Bangkrut-bangkrut sana kamu! 

Kami berdua kembali melanjutkan langkah dengan menenteng beberapa plastik bahan belanjaan. Aku membawa baju-baju muslimah, sementara mas Aldi menenteng plastik berisi sandal-sandal perempuan. 

Aku menghentikkan langkah mas Aldi kala melintasi toko emas. "Mas Aldi, aku pengen kalung. Dulu kamu nggak pernah beliin."

"Pus, maaf, ya, anu ..."

Aku bergindik-gindik kesal dengan nada manja. "Ayolah, Mas. Pengen ...."

Wajah mas Aldi terlihat sangat pucat. Aku meminta kalung emas 8 gram. 

"Nggak pa-pa, kan, Mas? Demi menebus kesalahan-kesalahanmu."

Delapan juta dia gelontorkan untuk membelikan kalung itu untukku. Dia terlihat lemas, seperti ingin pingsan. 

Satu hal yang membuatku heran, kenapa uang di rekeningnya tidak habis-habis? Dia kerja apa? 

Teringat dengan ucapan Fano waktu itu. Bahwa mas Aldi itu jahat, dan sebentar lagi akan menjadi kaya karena kejahatannya. 

Dia bekerja sebagai kriminal dibidang apa sehingga uangnya tidak habis-habis? 

"Kenapa jadi lemes gitu, Mas?" tanyaku. 

Mas Aldi langsung terbangun dari lamunannya dengan wajah kikuk. "Enggak, Pus. Cuma keinget sama film tadi. Aku takut banget sama film horor dari kecil."

"Kenapa maksain nonton?"

"Demi nemenin kamu."

Aku memutar bola mata malas. "Yaelah, aku nonton sendiri aja berani, Mas."

Tiba-tiba ada seorang perempuan  yang datang menghadang langkah kami. Tatapannya tajam, wajahnya memperlihatkan ekspresi murka. 

"Jadi begini kekakuan kamu di belakangku, Mas?!"

Mas Aldi tampak kikuk. "Santi, kok kamu ada di sini?"

"Bajingan kamu, Mas?!"

Aku menaikkan sebelah alis. Melihat wanita itu. Istrinya kah? Atau pacar? Ah, aku jadi punya ide briliant. 

"Eh, Mbak jangan salah paham dulu. Aku cuma sepupunya kok."

Wajah murka wanita berparas cantik itu tampak meluntur. 

"Mbak pacarnya apa istrinya?"

Wanita itu terdiam. Pun dengan mas Aldi yang terdiam kaku. 

"Hmm, pumpung ketemu, yuk, Mas, ajak dia jalan-jalan sekalian. Tenang Mbak, semua mas Aldi yang tanggung. Barangkali pengen beli baju-baju diskon." Aku memamerkan bahan belanjaanku. "Ini dibeliin mas Aldi semua. Mbak pasti dibayarin kalau mau shopping-shopping di sini. Kan, mbak orang yang lebih spesial. Ya, kan, Mas Aldi." Aku menyenggol lengan mas Aldi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status