Mas Aldi berakhir dengan sebuah tamparan dari kekasih gelapnya yang bernama Santi. Ketika mengeluh uangnya habis saat wanita itu berbelanja bahan-bahan branded.Meskipun begitu, mas Aldi tetap membayar notanya setelah Santi pergi dengan wajah kesal. Sangat tidak tahu diri wanita itu. Aku jadi sedikit kasihan dengan mas Aldi. Wajahnya terlihat lesu setelah kembali lagi padaku. "Makan, yuk, Pus.""Uangmu nggak habis, Mas?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis. "Ini masih ada sisa dikit." Mas Aldi masih mencoba tersenyum. Aku jadi berempati kepadanya. Kami berdua berjalan menenteng bahan belanjaan menuju ke restoran seafood yang ada di dalam mall. "Begitulah kira-kira Pus, banyak wanita yang datang hanya karena ada maunya," keluh mas Aldi ketika kami sudah duduk di salah satu kursi. "Tapi kan, setidaknya mereka mau mas tiduri," sindirku santai. "Enggaklah, aku bukan laki-laki seperti itu." Mas Aldi mengerucutkan bibir. Aku tersenyum miring, sambil menggidikkan bahu. Aku sudah tah
"Will you marry me?" Reno menegaskan kata-katanya. Seolah meyakinkan yang akan dinikahinya itu aku, bukan Pita. Haduh, gimana, ya? Jantungku rasanya sudah ingin loncat. "Pus."Aku menelan ludah dengan susah payah. "Kamu nggak lagi ngeprank, kan?""Ngeprank gimana maksudnya?""Biasanya kamu suka ngerjain aku." Aku tertunduk malu. Takut kalau dijawab iya, ternyata Reno cuma becanda. Reno meletakkan kotak cincin ke atas meja, kemudian tangannya merayap dan meraih jari jemariku. Jantung ini berdesir hangat saat tangan kasar Reno memegang tanganku. "Pus, aku serius!""Kamu pasti cuma ngeprank, aku hafal sifatmu." Aku mencoba tertawa garing untuk menutupi kegugupan. "Kamu menganggap aku kayak gitu?" Reno menatapku dengan tatapan serius. Aku mengangguk malu. Tidak berani membalas tatapannya. "Aku serius, Pus."Tenggorokanku tersekat. Lidah terasa kelu untuk berucap. "Lalu, Pita?""Jadi, karena aku terlihat dekat dengan Pita, kamu meragukanku?""Kamu yang bilang sendiri akan menikah d
Terdengar suara cekikikan di dalam sana. Lalu turun Reno dan Pita dengan wajah bahagia. Dari mana mereka? Dengan raut wajah bahagia? Jam 2 dini hari? Rasa kantukku langsung hilang.Aku berdiri dari duduk kemudian menghadang mereka yang akan masuk. "Keterlaluan ya kalian berdua!""Jam segini kalian dari mana?" Aku benar-benar geram dengan tingkah mereka berdua. Pita tampak menunduk. "Kami baru saja mengunjungi sholawat akbar, Mbak. Habib Syekh datang ke Lampung. Ramai banget, sampai macet desak-desakan, jadi pulangnya agak molor.""Bohong! Mana mungkin menghadiri acara sholawat Reno pakai baju biasa.""Gue ganti baju. Nggak nyaman aja nyetir mobil sambil pakai sarung," sahut Reno datar. "Lo kalau cemburu bilang aja."Aku menganga. "Siapa yang cemburu?"Reno menatapku sewot. "Gue mau pulang dulu, Pit. Lo buruan masuk sana."Pita mengangguk, kemudian menunduk saat melangkah melewatiku memasuki rumah. Kini di depan rumah, hanya ada aku dan Reno dalam keheningan. Jika amarahku berkoba
Apakah aku harus mencari Reno sekarang untuk meminta maaf, tapi aku takut kalau pria itu cuma mempermainkan. Arghhh, aku mengusap-usap wajah lelah. Bingung harus bagaimana. "Kalian udah denger kabar bos Reno yang sebentar lagi bakalan balik ke Jakarta?" tanya Ben yang duduk sambil menyilangkan kaki. Aku, Sevelyn, dan Cindy yang duduk tak jauh darinya langsung menoleh secara serempak. "Iya, tahu. Sedih deh kita nggak dapat banyak bonus lagi kalau bos Reno nggak datang langsung ke kafe ini.""Kirain pulang ke Jakartanya sama Puspa. Mau dinikahin gitu, eh ternyata enggak." Cindy menyahuti. Aku terdiam, mendengarkan obrolan mereka tentang Reno. "Emang rumah aslinya di Jakarta, ya?" tanyaku penasaran. "Iya, keluarganya tinggal di sana semua, tapi bos Reno membuka banyak bisnis di sini. Biasanya dia ke sini 3 bulan sekali. Cuma buat ngontrol kerjaan aja," jelas Ben sambil menyugar rambut panjangnya. "Tapi biasanya dia nggak lama, kok, kalau ke Lampung. Paling lama cuma satu minggu.
Aku mulai melangkahkan kaki perlahan menghampiri pria itu. Membuat orang-orang seisi ruangan langsung histeris."Yang kupunya hanyalah hati yang setia..., tulus padamu...,"Tepuk tangan kembali bergemuruh saat pria itu mengakhiri lagunya. Pria tampan itu langsung tersenyum menatapku yang melangkah menghampirinya.Satu langkah...Dua langkah...Tiga langkah...Dan...Plakkk!!!Seluruh orang di dalam kafe langsung terperangah. Ketika aku menampar wajah pria itu dengan kasar. "Kamu udah bikin aku malu tau nggak?!" Aku berbalik badan kemudian berlari keluar dari kafe.Mas Aldi menghempaskan gitarnya ke sembarang arah. Kemudian berlari mengejarku. "Puspa tunggu!" Mas Aldi dengan cepat mencekal lenganku."Lepasin!" pekikku dengan wajah yang sudah berlinangan air mata."Aku nggak bermaksud bikin kamu malu." Mas Aldi mengeraskan rahangnya. "Aku masih cinta sama kamu." "Kita sudah cerai, Mas!" Jawabku melenguh kasar. "Tidak ada yang bisa kita selamatkan dari rumah tangga kita."Mas Aldi men
"Apa, Bu?!" Jantungku seperti ingin meloncat dari tempatnya setelah mendengar nada kaget dari Melin. Sepertinya ada sesuatu mengerikan yang sudah terjadi. Duh, Reno kamu kenapa?"Owh begitu?""HAH, APA?""Owh belum, ya, Bu." Melin menurunkan nada bicaranya. "Yaudah kalau begitu, Bu. Assalamu'alaikum."Melin menutup ponselnya. "Gimana?" tanya Ben. "Bos Reno belum ke Jakarta. Bukannya kemarin katanya jam 2 nanti ya dia berangkatnya?"Ben mengepalkan tangannya. "Di rumahnya nggak ada.""Lah terus di mana?""Itu masalahnya, nggak ada kabar." Ben menggigit ujung bibir bawahnya panik. "Coba lo telepon temennya, sih?""Nggak punyalah." Melin ikut khawatir. Sementara aku sudah mulai menitikan air mata karena memikirkan yang tidak-tidak. "Ayo, Pus!" Ben menarik tanganku keluar dari kafe, menuju ke motornya. "Ben kenapa nggak lapor polisi aja, mereka pasti tahu. Reno kan polisi," ucapku setelah Ben menjalankan motornya. "Pus, Reno polisi intelijen. Dia agen rahasia. Jika berhasil tidak
"Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa
Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi