Share

Part 23

Aku membantu bi Zulfa memasak sayur asam, dan juga ayam goreng beserta sambal terasi. Setelah itu memindahkan menu makanan tersebut ke meja makan.

Aku sama sekali tidak berbincang-bincang sedikitpun dengan bi Zulfa. Tampaknya dia bukan sosok yang friendly.

Tak berselang lama mama Reno dan Rani datang dari kamar mereka masing-masing.

"Sarapan dulu, Pus."

Aku mengangguk, kemudian ikut duduk setelah mengelapi piring-piring yang baru saja dicuci bi Zulfa. Masih mengenakan appron putih di tubuh.

"Hmm, lumayan enak." Mama Reno mengunyah makanannya dengan rakus. Sementara Rani masih terdiam tanpa mengomentari makanan yang ia lahap.

"Kamu pintar masak, Pus." Mama tersenyum semringah.

"Nanti sore masakin lagi, ya. Sambal orek bisa kan, Pus?"

Aku mengangguk.

"Sama itu Kak, aku buatin risol." Rani menyahuti.

Kembali aku mengangguk.

"Owh, iya sama sayur ikan tongkol mantap kayaknya."

Mama meneguk air putihnya hingga tandas. "Terbaik deh makanan kamu."

"Belajar darimana, Kak?" tanya Rani.

"Ya dari kecil udah sering diajarin masak sama almarhumah ibu."

"Owh, begitu. Maaf ya, Kak."

Aku tersenyum. "Nggak papa."

Kami sudah selesai sarapan. Pun juga dengan mereka berdua.

"Pus, minta tolong dong. Asisten rumah tangga saya yang satu lagi cuti. Kamu bisa cuci baju, kan."

Aku menatap mama Reno dengan wajah memelas. Kemudian mengangguk. Tidak apa-apa lah, mungkin tinggal masukin ke mesin cuci saja.

"Tapi mesin cucinya rusak." Rani nyengir kuda.

Parah!

***

Banyak sekali pakaian mama Reno yang belum dicuci, ditambah pakaian Rani.

Mereka benar-benar berniat menjadikanku sebagai babu. Untungnya dari kecil aku sudah terbiasa mencuci baju menggunakan tangan.

Tanganku sampai terlihat pucat dan menggigil karena selalu basah selama berjam-jam dan berlumuran sabun.

Aku menyeka keringat yang ada di dahi dengan lenganku. Alhamdulillah, tinggal bilas.

Bi Zulfa datang sambil membopong setumpuk pakaian. "Pus, minta tolong punyaku sekalian, dong."

Aku membelalak. Lancang sekali pembantu ini.

"Kok, tega, sih? Harusnya bibi yang ngerjain ini semua."

Bi Zulfa tampak tidak enak hati. Namun, muncul Rani dari belakang. "Nggak papa, ya, Kak. Hitung-hitung sedekah gitu. Bi Zulfa mau ke pasar dulu beli bahan makanan."

"Aku bukan pembantu di sini, Ran!" Aku merasa kesal.

"Siapa yang bilang kak Puspa pembantu?"

"Ini?" Aku mengangkat satu pakaian yang baru saja aku bilas. "Aku kan tamu, masak diperlakukan kayak gini?!"

Rani menghela napas. "Kan, kami cuma minta tolong, kalau kak Puspa bersedia kenapa enggak."

Aku mendengkus. Melanjutkan membilas pakaian dengan kesal. Terserah lah. Aku pasrah.

"Jadi, gimana kak? Please, kak, mau ya bantuin cuciin bajunya bi Zulfa."

Hufft!

Tanpa menunggu menjawab pertanyaan. Rani meraih pakaian yang dipegang bi Zulfa kemudian menjatuhkannya di sebelahku.

Sabar-sabar.

"Makasih, ya kak. Benar-benar calon ipar yang baik."

Ndasmu!

Selesai mencuci baju aku langsung buru-buru keluar mencari udara segar. Biarkan mereka yang mengeringkan pakaiannya sendiri, tugasku hanya mencuci.

Aku duduk di gazebo yang ada di tengah taman bunga yang terletak di halaman belakang. Keringat masih bercucuran di wajah.

Bukannya bersenang-senang di Jakarta, tenagaku malah diperas habis-habisan.

Reno jahat sekali. Aku harus menelponnya. Aku buru-buru merogoh ponsel yang ada di saku depan gamisku. Kemudian mencari nomor kontak Reno dan menelponnya.

Berdering...

Namun, tidak diangkat. Kutelpon lagi. Hingga telpone ke empat barulah terdengar suara dari seberang sana.

"Hallo Assalamu'alaikum, gimana Pus?"

Aku mengepalkan tangan geram. "Wa'alaikumsalam. Ishh, jahat! Kok aku ditinggalin di sini sendiri, sih?"

"Kan ada mama sama Rani di rumah."

"Mereka nggak ramah sama aku Reno." Aku sedikit menurunkan suara. "Ramah sih, kadang tapi ada maunya."

"Ada maunya gimana?"

"Masak aku diperlakukan seperti pembantu. Suruh masak, terus suruh nyuci baju, sampai cucian bi Zulfa aja disuruh nyuci aku."

"Sabar. Mungkin mereka lagi ngetes kamu aja, cocok jadi menantu apa enggak," jawab Reno santai diujung sana.

"Adik kamu Rani bilang aku nggak pantes buat kamu."

"Cuekin aja, aku yang akan memantaskan diri buat kamu."

Ah, Reno pandai sekali bikin aku baper.

"Kamu sekarang ada di mana, sih?"

"Di Bandung. Lagi menjalankan misi rahasia."

"Kamu kok seneng banget sih, mainin diri ke dalam bahaya."

"Karena ini adalah wujud pengabdianku pada negara. Dah dulu, ya, aku lagi sibuk. Bye-bye betah-betah di sana. Love you!"

Tut!

Reno mematikan ponselnya. Padahal aku belum selesai bicara.

Reno. Dirimu sangatlah membingungkan untuk dimengerti.

"Puspa."

Aku menengok ke arah suara. Ternyata ada mama yang berdiri di teras belakang rumah.

"Ke sini bentar, dong!" beliau melambai-lambaikan tangannya.

Aku beringsut, kemudian berjalan menghampirinya. "Ada apa Tante."

"Jalan-jalan ke Jakarta, yuk!"

"Kemana Tante?" Aku begitu antusias.

"Udah pernah ke Monas?" tanyanya.

"Belum Tante."

"Nah, nanti ke sana. Kita keliling Jakarta."

Aku mengangguk sambil tersenyum senang. Asyik jalan sama calon ibu mertua.

"Tapi tolong ngepel lantai rumah dulu, ya, Pus. ART yang satunya nggak ada lagi. Saya minta tolong," ucap mama Reno dengan wajah memelas.

Aku langsung mengerucutkan bibir dengan wajah masam. Aku kan tamu?

Mama Reno menatapku dengan wajah sendu. "Nggak mau, ya, Pus? Yaudah kalau gitu." Beliau beringsut mundur.

Aku langusung merasa tidak enak. "Eh, iya Tante saya mau, kok."

Mama Reno menoleh sambil menaikkan sebelah alis.

Aku melangkah melewatinya, mencari alat pel-pelan. Mungkin ini perjuanganku untuk meyakinkan hati ibu Reno. Beliau harus percaya kalau aku pantas menjadi istri putranya.

Aku mulai mengepel lantai dengan cepat. Supaya bisa cepat-cepat juga jalan-jalan dan merefresh otak.

"Semua lantai dipel ya, Pus. Lantai atas juga."

Aku langsung terbelalak. Kedua bola mata nyaris saja keluar dari kelopak mata saking kagetnya. Subhanallah, rumah ini luas sekali, butuh waktu berjam-jam untuk mengepal semua lantai jika sendiri.

"Mau, kan, Pus?"

Aku menelan ludah dengan susah payah.

"Yaudah kalau nggak mau." Mama Reno memakai jurus ngambek andalannya.

Aku menghembuskan napas lelah. "Iya, Tante, nanti aku pelin semua."

Mama Reno tersenyum, kemudian melenggang pergi.

Benar-benar menguras energi. Perutku sampai laper lagi. Gila, babu aja tidak seperti ini sengsaranya.

Lebih dari satu jam aku mondar-mandir mengisi ember, lalu kembali mengepel. Melahap semua debu di lantai. Hingga sampailah di ruang tamu, yang lumayan luas. Luasnya sama dengan rumah Pita.

Sumpah, ini keterlaluan.

Datang seorang perempuan bertubuh kurus yang rambutnya tergerai indah. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawabku setelah tahu dia adalah Olivia.

"Eh, ada pembantu baru." Olivia berceletuk nakal.

Dan dengan teganya dia menginjak-nginjak lantai yang baru saja kupel hingga menciptakan noda-noda debu yang membentuk sepatu.

"Eh, jangan diinjak dulu, baru dipel."

Olivia berhenti melangkah. Kemudian menoleh dengan senyuman miring. "Pembantu kok ngeluh sih."

Aku mendengkus lelah.

Olivia malah dengan sengaja mondar-mandir ke sana kemari mengotori lantai.

"Please, sih, hargai aku."

Olivia tertawa. "Haha, bodo amat."

Sepertinya dia sengaja. Karena sepatunya terlihat sangat kotor sekali. Tidak mungkin orang kaya memakai sepatu yang sangat-sangat kotor sekali.

Dan, sialnya mama Reno dan Rani tertawa ngakak di lantai dua. Mereka semua bersekongkol.

Gila! Mereka benar-benar berniat ingin mempermalukanku.

Ya Tuhan, tabahkanlah hati hamba-Mu yang lemah ini. .

Tak berselang lama, datang seorang pria yang sedikit lebih muda dari Reno, memakai jas kantor sambil menenteng tas kantor. Wajahnya tampak begitu lelah.

Dia berdehem singkat, karena tahu lantai yang baru aku pel sedikit basah. Dia bisa terpeleset kalau tetap ngeyel ingin melangkah. Aku buat seperti itu, supaya Olivia tidak mengganggu lagi.

"Jangan diinjak dulu, Pak," sergahku.

"Pembantu baru, ya? Kok ngepelnya terlalu basah. Harusnya sedang-sedang saja biar cepet kering."

Whatt? Pembantu baru?

Rani turun dari lantai dua. "Iya, Mas, maklumin aja, lagi belajar. Dari kampung soalnya."

Aku menatap Rani dengan wajah ingin menangis. Ternyata aku ke sini hanya untuk dijadikan pembantu?

Apa Reno sudah menjebakku.

Ingin Kuteriaakkkkkkkkkk!!!!

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status