Share

Part 5

"PITAAAAAA!!!"

"KAMU KOK KAYAK GINI, SIH?!!" teriakku kencang.

Jam 12 malam.

"Kayak gini gimana, sih, Mbak?"

Aku menarik tangannya secara paksa, masuk ke kamar yang kemarin malam aku tiduri.

"Ini beneran kamar yang biasanya kamu tiduri, kan?" Aku melotot ke arah Pita dengan rahang mengeras.

Pita mengangguk dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu kalau kerja di sini tidur di sini, kan?" Gigiku bergemelutuk, menahan emosi.

Pita melelehkan air mata. "Emang kenapa, Mbak?"

Aku mengobrak-abrik isi di dalam tong sampah dengan kasar. Mencari benda menjijikan yang aku temukan kemarin malam. Kemudian memperlihatkannya kepada Pita. "Ini punya siapa, Pit?"

Pita terduduk di tepi ranjang dengan wajah shock.

"Kamu main ginian sama siapa, Pit, HAH? JAWAB?!" sentakku kasar. "Kamu lupa sudah punya suami?!"

Pita menangis terisak-isak sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Sebenci-bencinya aku sama suami kamu, aku tetap nggak pengen rumah tanggamu rusak, Pit."

"Picik otakmu, Pit?! Almarhumah ibu nggak pernah ngajarin kamu kayak gini!" Aku menghempaskan k*ndom itu ke sembarang arah.

"Bukan aku Mbak, yang ngelakuin itu." Pita mengencangkan tangisnya. Selayaknya anak kecil yang sedang dimarahi orangtuanya. Dia tidak pernah menjadi dewasa di depanku.

"Kasihan bapak-ibumu di alam sana, Pit. Mereka tersiksa karena kelakuanmu." Aku menunjuk-nunjuk wajahnya.

"Mas Aldi kamu lahap, sekarang Reno juga kamu layani. Wanita macam apa kamu, Pit!"

"A ... aku nggak nglakuin itu, Mbak, hiks ... hiks ... hiks ...."

"Tadi siang apa buktinya, kamu jalan berdua sama mas Aldi?" Ingin sekali aku menampar wajahnya. Wajah polos yang ternyata hanya dipakai untuk mendapat simpati dari orang-orang terdekatnya.

"Kelakuanmu benar-benar seperti binatang!" Aku menyeka air mata yang membasahi sudut mataku dengan kasar.

"Udah-udah, ini sudah malam," sahut seorang pria yang menyenderkan tubuhnya di ambang pintu sambil bersedekap santai. "Pertengkarannya bisa dilanjutin besok nggak?"

Aku melotot ke arah Reno. "Gila kamu, Ren. Rupanya benar kamu selingkuh dengan adikku!!"

Reno menanggapinya dengan santai. Kedua sudut bibirnya tertarik sedikit.

"Heran aku sama kalian berdua."

"Puspa, ini sudah malam," ucap Reno dengan nada malas.

"Ini masalah serius tau nggak!"

"Bilang aja kalau lo iri sama adek lo."

"Iri matamu picek!" Aku mengumpat kasar.

"Ssttt!" Reno mengacak-ngacak rambutnya. "Pita, sini kamu tidur sama aku aja."

Pria itu dengan santainya menarik tangan Pita untuk keluar dari kamar ini. Dan, hebatnya Pita hanya menurut.

"Kalian berdua benar-benar, ya?!" Kemarahanku sudah sampai ke ubun-ubun.

Reno berdecak. Menghempaskan tangan Pita yang ia genggam. "Dasar, suka iri lo sama adik sendiri!"

Reno melangkah dan meraih tanganku. Mengganti tangan Pita dengan tanganku. Menarikku keluar dari kamar, meninggalkan Pita yang terdiam dengan wajah sembabnya.

Bukan Pita yang diajak keluar, tapi aku.

"Kamu mau bawa aku kemana?" protesku. Tangan ini sama sekali tidak bisa digerakkan saat Reno menariknya menaikki tangga.

Memasuki kamar. Kemudian menguncinya. Dan membuang kunci itu ke kolong ranjang.

Aku membeku seketika.

"Gila kamu, Reno!"

"Bilang aja lo mau." Reno berujar santai.

"Sinting!"

"Kalau nggak mau, kenapa lo nggak nolak waktu gue tarik ke sini?"

"Ya, karena, hmm ...."

Entahlah, Reno terlihat tampan dengan wajah berantakkan seperti itu.

Pria itu mendorongku hingga duduk di atas ranjang.

"Kamu apa-apaan sih, Reno!" Aku sempat memberontak. Tapi entahlah. Sudah lama aku mendambakkan hal seperti ini dari seorang laki-laki. Mas Aldi, mantan suamiku tidak pernah menyentuhku.

"Berbaringlah!" bisik Reno terlihat menggoda. Mungkin, aku sudah terhipnotis sehingga menuruti perintah Reno.

Reno mendekatkan wajahnya. Lebih dekat lagi. Aku menyipitkan mata. Ciuman pertamaku ....

Plak!!

"Jerawat lo mau meletus."

"Reno!" pekikku dengan suara manja, dilembut-lembutkan. Lihatlah! Aku tidak berdaya dengan nafsuku. Bahkan sudah pasrah jika Reno akan melakukan sesuatu.

"Lihat jerawat dan badan lo aja gue udah nggak nafsu." Reno menutupi tubuhku dengan selimut.

"Good sleep, Puspa," ujar pria itu kemudian memundurkan langkah. Dan, membaringkan tubuhnya di sofa yang ada di belakangnya.

Pria itu terlihat sangat kelelahan.

Aku menghela napas. Tidak berdaya dengan nafsuku sendiri setelah marah-marah.

"Sebelum lo menyeramahi orang. Lihat dulu, apakah lo mampu untuk tidak melakukan kesalahan, ketika berada di posisi orang itu."

Kata-kata itu benar-benar menusuk ulu hatiku. Reno memang benar. Tapi, aku tetap tidak terima adikku dilecehkan. Atau adikku merendahkan harga dirinya sendiri.

"Sudah berapa kali kamu melakukan itu sama Pita?"

"Itu nggak penting," jawab Reno di seberang sana. "Sudah, sana tidur!"

"Gila kamu!"

"Iya gue gila. Udah berulang-ulang kali juga kan lo nyebut gue gila."

Aku mendengkus. Ingin keluar, tapi kuncinya ada di kolong ranjang. Tubuhku tidak akan muat untuk masuk ke dalam kolong mengambil kunci tersebut.

Tidak ada sapu atau apapun yang bisa meraih kunci di kolong tersebut. Aku mendengkus.

Terdengar suara dengkuran keras Reno saat tidur.

Aku tidak bisa tidur. Tentu saja karena masih sangat kesal dengan apa yang dilakukan Pita. Rasanya tidak iklhas. Pita benar-benar keterlaluan.

Sudah main dengan Reno, main dengan mas Aldi pula. Argghhh! Rasanya aku sama sekali tidak terima adikku melakukan itu.

Selingkuh! Itu hal keji.

Teringat dengan ucapan Reno.

Mungkin jika aku secantik Pita, aku juga akan selingkuh. Karena kita tidak tahu bagaimana berada di posisi orang yang kita salahkan.

Sampailah pada jam 3, akhirnya aku mulai terlelap dengan sendirinya. Dengan beban berat yang ada dalam pikiran.

***

Aku mengucek-ngucek mata setelah terbangun. Tidur saja rasanya tidak nyenyak karena meratapi nasib Pita, memikirkan harga diri Pita yang diobral oleh laki-laki mana saja. Ya ampun adikku kenapa kamu sehina itu.

Aku langsung terbelalak ketika menoleh ke arah Reno yang sedang melaksanakan solat. Mengenakan kemeja koko dengan bawahan sarung tenun, beserta kopiah hitam di atas kepalanya.

Pria itu terlihat sangat khusyuk saat bersujud. Aku tidak menyangka, jika orang seperti Reno melaksanakan solat.

Aku saja yang merasa sebagai orang baik-baik saja jarang melaksanakan solat. Apalagi Reno yang hobi berzinah.

Dengan adikku sendiri.

Arghh! Aku menjambak rambutku sendiri karena mengingat hal itu. Emosiku kembali muncul.

Tak beberapa lama kemudian,  amarah ini meluntur. Saat mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang dibacakan Reno.

Begitu merdu dan menusuk khalbu. Api kebencian yang berkobar di dalam dadaku musnah seperti baru saja disirami oleh air yang sangat sejuk.

Reno, kamu kah itu?

Aku masih menatapnya lekat-lekat. Tanpa berkedip. Sampai beberapa menit kemudian, Reno berhenti membaca Mushaf.

"Tidak tertarikah dirimu melakukan kegiatan yang menyenangkan ini?" sindir Reno tajam.

Aku langsung terkesiap. "Nggak malu sama Tuhan dengan dosa-dosamu?"

"Allah maha pengampun, tidak seperti manusia seperti lo yang hatinya sekeras batu," jawab Reno santai tanpa menoleh ke arahku.

"Orang yang suka zinah solatnya tidak akan diterima."

"Tuduhan lo sama sekali tidak berdasar."

"Hey, kamu yang ngaku sendiri selingkuh dengan Pita. Aku juga menemukan benda menjijikan itu di kamar yang biasa ditempati Pita tidur saat menginap. Berarti kamu sudah melakukan hal yang tidak-tidak bersama Pita."

"Terserah lo, mau bilang apa. Asal lo tahu, ya, kamar itu di tempati oleh siapa aja yang kerja di rumah ini. Termasuk satpam-satpam dan bodyguard yang ngikutin lo. Lo aja baru datang udah gue suruh tidur di situ. Berarti itu kamar free, bukan kamar khusus buat Pita."

"Gue kasih tahu lagi, Pita kerja di rumah gue belum lama-lama ini. Itupun dia nggak betah, dan akhirnya nggak pernah berangkat lagi sudah beberapa minggu. Emang sih, dulu dia pernah nginep karena selesai menyetrika terlalu malam. Tapi cuma dua atau tiga hari. Pas gue ngasih kabar kalau lo tinggal di sini, dia mau balik lagi ke sini. Demi lo, Puspa. Pita kerja di sini lagi demi lo."

Aku terdiam. Mencerna ucapan Reno.

Tapi, rasanya masih sulit dipercaya. Aku yakin Reno hanya mencoba berdalih. Buktinya k*ndom itu?

Kalaupun mereka bilang tidak melakukan apa-apa. Aku tetap tidak percaya. Pita saja pernah jalan dengan mas Aldi. Berarti di belakangku Pita bukan anak baik-baik. Apalagi dengan Reno yang orangnya slengean seperti ini.

"Berada dalam satu kamar seperti ini juga terhitung zinah."

Reno menoleh ke arahku dengan wajah malas. "Bilang aja kalau pengen dihalalin?"

Aku merapatkan bibir. Kikuk.

Reno menghela napas. "Lo nggak pernah tau apa niat seseorang melakukan sesuatu. Makanya manusia itu tidak boleh suudzon."

"Niatmu pasti buruk."

"Orang yang selalu berprasangka buruk, pasti pikirannya buruk."

"Hufft, selain menyebalkan ternyata dirimu suka ceramah, ya?"

Reno beranjak sambil melipat sajadah. "Percuma ngomong sama orang yang hatinya udah keras."

***

Aku membuka kamar Pita. Dia sudah tidak ada. Kata bi Surti, Pita sudah pulang subuh tadi. Aku masih kecewa dengan anak itu.

Aku ingin ke rumah anak itu untuk menginterogasinya lagi. Sampai rasa penasaran ini sembuh.

Reno sepertinya tahu aku hendak kemana. Pria yang susah dimengerti itu langsung menghadang langkahku.

"Lo nanti harus kerja."

"Iya, kan, jam 10 nanti."

"Kalau lo ke rumah Pita, lo nggak bakal balik ke sini lagi."

"Aku janji bakalan sampai ke kafemu tepat waktu."

Reno memutar bola matanya malas. "Yaudah, jalan kaki."

"Nggak jelas aturanmu. Masak apa-apa disuruh jalan kaki. Gila apa, ke sini ke kafemu aja hampir satu jam. Apalagi ke rumah Pita."

"Yaudah kalau mau naik mobil. Emangnya lo punya duit?"

Aku mendengkus. "Dasar pelit."

"Heh, kalau majikan lo bukan gue, udah dipecat kali ya. Nggak sopan banget ngomongnya."

"Yaudah pecat aja!"

"Nanti kalau lo udah bikin rencana gue berhasil."

"Rencana apa?" Aku menaikkan sebelah alis.

"Ngerebut Pita dari Fano."

Aku menelan ludah dengan susah payah.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status