Share

Part 7

Yang belum subscribe jangan lupa subscribe, dulu ya. Biar cepet update.

***

"Ada apa, Mbak?"

"Aku pengen membicarakan sesuatu yang penting sama kamu."

Fano menaikkan sebelah alis. "Mau pinjem duit? Maaf gue lagi nggak punya duit Mbak."

Aku mengerucutkan bibir. "Aku mau ngomongin sesuatu soal Pita."

Belum sempat aku melanjutkan kata-kata, terdengar suara teriakkan dari teman-teman kerja Fano yang saling bersahut-sahutan.

"Ciee, Fano disamperin sama pacarnya."

"Wah, Fano dihampiri Bude nasi uduk."

"Cantik banget, pacar kamu Fano."

"Uhuyy, gurih-gurih Nyoi!"

Fano melotot tajam ke arah mereka. "Eh, ini kakak ipar gue, yang kemarin gue ceritain."

Aku langsung menyela. "Kamu cerita apa ke mereka?"

Fano kembali menoleh ke arahku setelah memberi isyarat kepada teman-temannya untuk diam. "Kalau Mbak Puspa jelek."

Hadeh.

Serah ah.

Aku langsung kembali ke topik pembicaraan. "Kamu sebenarnya sayang sama Pita nggak, sih?"

"Sayang, lah, kalau nggak sayang kenapa gue rela kerja banting tulang sampai seperti ini?"

"Tapi, kenapa kamu izinan Pita kerja di rumah orang, padahal kamu tahu dia sedang hamil muda."

Fano menghela napas kasar. "Dia sendiri yang tetap ngeyel, Mbak. Kemarin pas Mbak Puspa tinggal di rumah kami, dia kan nggak kerja. Sekarang pas Mbak pergi dia pengen kerja lagi."

"Harusnya dilarang, kasihan dia."

"Dia kan orangnya ngeyel banget."

Hmm, di sini aku mulai merasa ada hal yang tidak beres. Setahuku Pita dari dulu orangnya penurut.

"Udah ngeyel, suka selingkuh lagi."

"Ha? Selingkuh?" tanyaku terperangah.

Jadi, Fano sudah tahu kalau Pita selingkuh.

"Sama siapa?"

Tanyaku ingin memastikan. Apakah yang Fano tahu Pita selingkuh dengan mas Aldi atau dengan Reno.

"Sama mas Aldi, mantan suami lo, Mbak." Fano mendengkus sebal.

"Kata siapa kamu?"

"Yaelah, Pita udah beberapa kali minta gue buat ceraiin dia. Dia mau nikah sama mas Aldi."

"Bisa jadi yang bikin mbak Puspa diceraiin suaminya itu ya Pita."

Aku langsung terperangah. Tidak! Pasti Fano cuma ngawur.

"Tapi, gue nggak mau ceraiin Pita, karena gue tahu kalau mas Aldi bukan orang baik-baik."

"Mas Aldi orangnya pendiam," selaku.

"Mungkin diamnya cuma di depan, Mbak sama ibunya aja. Jaga image itu. Mbak nggak tahu bisnis haram apa yang dijalankan mas Aldi. Lihat aja nanti, bentar lagi dia pasti bakalan kaya raya dan sukses banget."

"Bisnis haram apa?" tanyaku shock.

"Bisnis haram yang mungkin akan membahayakan Pita, kalau Pita jadi nikah sama mas Aldi setelah gue ceraiin dia nanti."

"Aku masih nggak ngerti."

"Bodoh!" celetuk Fano membuatku kesal. Berani-beraninya dia berkata yang tidak sopan.

"Pita kan lagi hamil muda."

"Bisa jadi itu anaknya mas Aldi. Ah, susah jelasinnya. Lagian mau hamil apa enggak, namanya orang jahat kalau udah cinta ya bakalan tetep berjuang. Dengan menghalalkan segalar cara."

Mas Aldi? Orang jahat? Bisnis haram?

Apa ini ... Argghh!!! Aku semakin tidak mengerti. Siapa sih yang salah?

Penjelasan Reno dan Fano sangat bertolak belakang.

Reno menuduh Fano yang jahat, sementara Fano menuduh Pita dan mas Aldi yang jahat. Siapa yang benar?

Siapa yang benar?

Siapa yang benar?

Siapa yang benar?

Ampun!

Fano sudah menghilang dari hadapanku. Melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti.

Aku termenung. Sambil terus bertanya-tanya. Banyak sekali pertanyaan di dalam benakku.

Benarkah mas Aldi dan Pita saling cinta? Sejak kapan?

Hmmm...

Apa pas waktu itu, ya.

***

Flasback On!

Aldi, mbok ya sekali-sekali istrimu itu diajak datang ke kondangan."

Aku hanya menunduk ketika ibu mertua mangatakan hal tersebut kepada suamiku.

Mas Aldi terdiam. Menatapku dengan wajah memelas. "Kapan-kapan aja deh, Bu. Aldi nanti sekalian mau mampir ke rumah teman soalnya. Kasihan Puspa kalau ikut mampir dan menunggu di sana."

"Kamu ini alasan saja."

Mas Aldi beranjak dari sofa, kemudian masuk ke kamar. Mungkin bersiap-siap menuju ke kondangan.

"Kamu cepet ganti baju sana. Biar diajak ke kondangan. Kamu, kan, istrinya." Aku hanya bisa mengangguk menanggapi ucapan ibu mertua.

Aku melangkah menuju kamar. Tampak mas Aldi sedang mematut diri di depan cermin setelah memakai kemeja batik. Rambutnya yang baru diberi pomade tampak klimis. Aroma wangi dari parfumnya pun juga menguar ke segala sudut ruangan kamar.

Pria itu menoleh ketika melihat kehadiranku di ambang pintu. Dengan wajah datar, kemudian kembali sibuk bercermin menyempurnakan penampilan.

Dia bahkan tidak bertanya aku mau ikut apa tidak. Tanpa mengatakan apapun mas Aldi langsung keluar dari kamar dengan ekspresi dingin.

Bibirku bergetar. Dalam hati menahan tangis. Sakit sekali rasanya melihat sang suami sama sekali tidak mengakui keberadaan sang istri.

Aku tidak jadi mandi dan berganti baju. Lagi pula kasihan mas Aldi jika membawaku ke kondangan.

Masak penampilan mas Aldi yang keren dan tampan itu harus dipadukan dengan wajahku yang penuh jerawat dengan badan yang gendut. Bisa malu mas Aldi di depan umum. Aku bukan pendamping yang cocok untuk mas Aldi.

Terdengar samar-samar suara pedebatan antara mas Aldi dan ibunya. Pasti sedang membahas diriku.

Selang beberapa menit, ibu mertuaku datang membuka pintu kamar. "Pus, cepat mandi dan ganti baju, Aldi mau ngajak kamu  kondangan," ujarnya lembut sambil tersenyum.

Aku menurut. Bergegas mandi kemudian memakai kebaya berukuran jumbo yang masih terasa ketat di tubuh.

Sekita itu juga aku langsung merasa insecure ketika melihat pantulan diriku sendiri di depan cermin. Mau sehebat apapun tangan ini memainkan make up, hitam-hitam bekas jerawat dan benjolan-benjolan merah jerawat baru tetap tidak akan tertutupi. Juga tidak akan membuat wajah ini terlihat manis. Apalagi dengan ukuran tubuhku yang jauh dari kata langsing.

Aku menyesal sudah gonta-ganti foundation yang membuat wajah ini semakin rusak. Kemudian frustasi dan melahap makanan apa saja hingga tubuhku semakin membengkak.

"Puspa, udah belum?" Ibu mertuaku membuka pintu. "Aldi sudah menunggu di mobil.

"Iya, Ma." Aku mengangguk. Keluar dari kamar dengan tidak percaya diri.

Menyusul mas Aldi yang sudah menunggu di dalam mobil. Ralat, terpaksa menunggu.

Setelah membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Mas Aldi menghela napas. Melajukan mobilnya keluar dari pelataran rumah sambil membunyikan klakson untuk ibu mertua.

Hening. Kami berdua terdiam. Mas Aldi mengemudikan mobil dengan sedikit resah. Mungkin karena keikutsertaanku.

Aku semakin merasa tidak percaya diri. Takut mempermalukan mas Aldi. Ah, yakin deh pasti aku akan sangat memalukan di depan teman-teman mas Aldi.

"Mas, tolong mampir di rumah ibu bentar dong."

Mas Aldi melirik sekilas, tanpa menjawab perkataanku. Ia putar balik. Untuk menuju ke kediaman ibu.

Aku mengirim pesan via WA kepada adikku, Pita.

'Pit, kamu sekarang cepet pakai kebaya, ya. Kami mau ngajak kamu ke pesta'

Send.

Aku mengetuk-ngetukkan jari jemari ke ponsel. Menunggu pesan balasan dari Pita.

'Pesta apa, Mbak?'

Satu notif masuk dari Pita. Dengan cepat aku langsung mebalasnya.

'Udah, ayo ikut aja. Ini aku sama mas Aldi mau ke situ'

Send.

Waktu itu Pita masih gadis, belum menikah dengan Fano.

Aku menghela napas lega karena Pita bisa di ajak kompromi. Gadis itu sudah memakai kebaya pink dengan bawahan kain jarik yang membuatnya terlihat begitu anggun.

Aku melirik ke arah mas Aldi yang terdiam sambil menggigit bibir. Seperti sedang mendamba. Andaikan dia istriku, mungkin mas Aldi membatin seperti itu.

Dulu mas Aldi menerima perjodohan karena mengira wanita yang dinikahinya nanti adalah Pita. Dia begitu shock karena ternyata akulah mempelai wanitanya.

Sekarang akan kubiarkan kalian menikmati momen kencan berdua. Walaupun hanya sekali saja. Sebelum Pita sudah menjadi hak Fano, pacarnya, yang sebentar lagi akan menghalalkan Pita.

Aku turun dari mobil dan beralasan kepada Pita kalau perutku sakit. Pita awalnya sempat menolak menemani mas Aldi kondangan sekaligus reuni dengan teman-teman sekolahnya. Pita malu katanya.

Aku tetap memaksa dan mendorong-dorong Pita masuk ke dalam mobil. "Tolonglah kakak iparmu."

Kulihat wajah mas Aldi tampak terperangah. Aku memberikan kode kepadanya agar cepat berangkat.

Mobil itu pun melaju meninggalkanku di teras rumah ibu. Air mataku mulai menitik. Merasa tidak pantas untuk mas Aldi.

Sedih, karena aku merasa telah menyakiti diriku sendiri. Tak apalah, lagian situasinya mendesak.

Flashback off!

Dan, sekarang aku menyesal karena pernah membuat mereka semakin dekat.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status