Yang belum subscribe jangan lupa subscribe, dulu ya. Biar cepet update.
***"Ada apa, Mbak?""Aku pengen membicarakan sesuatu yang penting sama kamu."Fano menaikkan sebelah alis. "Mau pinjem duit? Maaf gue lagi nggak punya duit Mbak."Aku mengerucutkan bibir. "Aku mau ngomongin sesuatu soal Pita."Belum sempat aku melanjutkan kata-kata, terdengar suara teriakkan dari teman-teman kerja Fano yang saling bersahut-sahutan."Ciee, Fano disamperin sama pacarnya.""Wah, Fano dihampiri Bude nasi uduk.""Cantik banget, pacar kamu Fano.""Uhuyy, gurih-gurih Nyoi!"Fano melotot tajam ke arah mereka. "Eh, ini kakak ipar gue, yang kemarin gue ceritain."Aku langsung menyela. "Kamu cerita apa ke mereka?"Fano kembali menoleh ke arahku setelah memberi isyarat kepada teman-temannya untuk diam. "Kalau Mbak Puspa jelek."Hadeh.Serah ah.Aku langsung kembali ke topik pembicaraan. "Kamu sebenarnya sayang sama Pita nggak, sih?""Sayang, lah, kalau nggak sayang kenapa gue rela kerja banting tulang sampai seperti ini?""Tapi, kenapa kamu izinan Pita kerja di rumah orang, padahal kamu tahu dia sedang hamil muda."Fano menghela napas kasar. "Dia sendiri yang tetap ngeyel, Mbak. Kemarin pas Mbak Puspa tinggal di rumah kami, dia kan nggak kerja. Sekarang pas Mbak pergi dia pengen kerja lagi.""Harusnya dilarang, kasihan dia.""Dia kan orangnya ngeyel banget."Hmm, di sini aku mulai merasa ada hal yang tidak beres. Setahuku Pita dari dulu orangnya penurut."Udah ngeyel, suka selingkuh lagi.""Ha? Selingkuh?" tanyaku terperangah.Jadi, Fano sudah tahu kalau Pita selingkuh."Sama siapa?"Tanyaku ingin memastikan. Apakah yang Fano tahu Pita selingkuh dengan mas Aldi atau dengan Reno."Sama mas Aldi, mantan suami lo, Mbak." Fano mendengkus sebal."Kata siapa kamu?""Yaelah, Pita udah beberapa kali minta gue buat ceraiin dia. Dia mau nikah sama mas Aldi.""Bisa jadi yang bikin mbak Puspa diceraiin suaminya itu ya Pita."Aku langsung terperangah. Tidak! Pasti Fano cuma ngawur."Tapi, gue nggak mau ceraiin Pita, karena gue tahu kalau mas Aldi bukan orang baik-baik.""Mas Aldi orangnya pendiam," selaku."Mungkin diamnya cuma di depan, Mbak sama ibunya aja. Jaga image itu. Mbak nggak tahu bisnis haram apa yang dijalankan mas Aldi. Lihat aja nanti, bentar lagi dia pasti bakalan kaya raya dan sukses banget.""Bisnis haram apa?" tanyaku shock."Bisnis haram yang mungkin akan membahayakan Pita, kalau Pita jadi nikah sama mas Aldi setelah gue ceraiin dia nanti.""Aku masih nggak ngerti.""Bodoh!" celetuk Fano membuatku kesal. Berani-beraninya dia berkata yang tidak sopan."Pita kan lagi hamil muda.""Bisa jadi itu anaknya mas Aldi. Ah, susah jelasinnya. Lagian mau hamil apa enggak, namanya orang jahat kalau udah cinta ya bakalan tetep berjuang. Dengan menghalalkan segalar cara."Mas Aldi? Orang jahat? Bisnis haram?Apa ini ... Argghh!!! Aku semakin tidak mengerti. Siapa sih yang salah?Penjelasan Reno dan Fano sangat bertolak belakang.Reno menuduh Fano yang jahat, sementara Fano menuduh Pita dan mas Aldi yang jahat. Siapa yang benar?Siapa yang benar?Siapa yang benar?Siapa yang benar?Ampun!Fano sudah menghilang dari hadapanku. Melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti.Aku termenung. Sambil terus bertanya-tanya. Banyak sekali pertanyaan di dalam benakku.Benarkah mas Aldi dan Pita saling cinta? Sejak kapan?Hmmm...Apa pas waktu itu, ya.***Flasback On!Aldi, mbok ya sekali-sekali istrimu itu diajak datang ke kondangan."Aku hanya menunduk ketika ibu mertua mangatakan hal tersebut kepada suamiku.Mas Aldi terdiam. Menatapku dengan wajah memelas. "Kapan-kapan aja deh, Bu. Aldi nanti sekalian mau mampir ke rumah teman soalnya. Kasihan Puspa kalau ikut mampir dan menunggu di sana.""Kamu ini alasan saja."Mas Aldi beranjak dari sofa, kemudian masuk ke kamar. Mungkin bersiap-siap menuju ke kondangan."Kamu cepet ganti baju sana. Biar diajak ke kondangan. Kamu, kan, istrinya." Aku hanya bisa mengangguk menanggapi ucapan ibu mertua.Aku melangkah menuju kamar. Tampak mas Aldi sedang mematut diri di depan cermin setelah memakai kemeja batik. Rambutnya yang baru diberi pomade tampak klimis. Aroma wangi dari parfumnya pun juga menguar ke segala sudut ruangan kamar.Pria itu menoleh ketika melihat kehadiranku di ambang pintu. Dengan wajah datar, kemudian kembali sibuk bercermin menyempurnakan penampilan.Dia bahkan tidak bertanya aku mau ikut apa tidak. Tanpa mengatakan apapun mas Aldi langsung keluar dari kamar dengan ekspresi dingin.Bibirku bergetar. Dalam hati menahan tangis. Sakit sekali rasanya melihat sang suami sama sekali tidak mengakui keberadaan sang istri.Aku tidak jadi mandi dan berganti baju. Lagi pula kasihan mas Aldi jika membawaku ke kondangan.Masak penampilan mas Aldi yang keren dan tampan itu harus dipadukan dengan wajahku yang penuh jerawat dengan badan yang gendut. Bisa malu mas Aldi di depan umum. Aku bukan pendamping yang cocok untuk mas Aldi.Terdengar samar-samar suara pedebatan antara mas Aldi dan ibunya. Pasti sedang membahas diriku.Selang beberapa menit, ibu mertuaku datang membuka pintu kamar. "Pus, cepat mandi dan ganti baju, Aldi mau ngajak kamu kondangan," ujarnya lembut sambil tersenyum.Aku menurut. Bergegas mandi kemudian memakai kebaya berukuran jumbo yang masih terasa ketat di tubuh.Sekita itu juga aku langsung merasa insecure ketika melihat pantulan diriku sendiri di depan cermin. Mau sehebat apapun tangan ini memainkan make up, hitam-hitam bekas jerawat dan benjolan-benjolan merah jerawat baru tetap tidak akan tertutupi. Juga tidak akan membuat wajah ini terlihat manis. Apalagi dengan ukuran tubuhku yang jauh dari kata langsing.Aku menyesal sudah gonta-ganti foundation yang membuat wajah ini semakin rusak. Kemudian frustasi dan melahap makanan apa saja hingga tubuhku semakin membengkak."Puspa, udah belum?" Ibu mertuaku membuka pintu. "Aldi sudah menunggu di mobil."Iya, Ma." Aku mengangguk. Keluar dari kamar dengan tidak percaya diri.Menyusul mas Aldi yang sudah menunggu di dalam mobil. Ralat, terpaksa menunggu.Setelah membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Mas Aldi menghela napas. Melajukan mobilnya keluar dari pelataran rumah sambil membunyikan klakson untuk ibu mertua.Hening. Kami berdua terdiam. Mas Aldi mengemudikan mobil dengan sedikit resah. Mungkin karena keikutsertaanku.Aku semakin merasa tidak percaya diri. Takut mempermalukan mas Aldi. Ah, yakin deh pasti aku akan sangat memalukan di depan teman-teman mas Aldi."Mas, tolong mampir di rumah ibu bentar dong."Mas Aldi melirik sekilas, tanpa menjawab perkataanku. Ia putar balik. Untuk menuju ke kediaman ibu.Aku mengirim pesan via WA kepada adikku, Pita.'Pit, kamu sekarang cepet pakai kebaya, ya. Kami mau ngajak kamu ke pesta'Send.Aku mengetuk-ngetukkan jari jemari ke ponsel. Menunggu pesan balasan dari Pita.'Pesta apa, Mbak?'Satu notif masuk dari Pita. Dengan cepat aku langsung mebalasnya.'Udah, ayo ikut aja. Ini aku sama mas Aldi mau ke situ'Send.Waktu itu Pita masih gadis, belum menikah dengan Fano.Aku menghela napas lega karena Pita bisa di ajak kompromi. Gadis itu sudah memakai kebaya pink dengan bawahan kain jarik yang membuatnya terlihat begitu anggun.Aku melirik ke arah mas Aldi yang terdiam sambil menggigit bibir. Seperti sedang mendamba. Andaikan dia istriku, mungkin mas Aldi membatin seperti itu.Dulu mas Aldi menerima perjodohan karena mengira wanita yang dinikahinya nanti adalah Pita. Dia begitu shock karena ternyata akulah mempelai wanitanya.Sekarang akan kubiarkan kalian menikmati momen kencan berdua. Walaupun hanya sekali saja. Sebelum Pita sudah menjadi hak Fano, pacarnya, yang sebentar lagi akan menghalalkan Pita.Aku turun dari mobil dan beralasan kepada Pita kalau perutku sakit. Pita awalnya sempat menolak menemani mas Aldi kondangan sekaligus reuni dengan teman-teman sekolahnya. Pita malu katanya.Aku tetap memaksa dan mendorong-dorong Pita masuk ke dalam mobil. "Tolonglah kakak iparmu."Kulihat wajah mas Aldi tampak terperangah. Aku memberikan kode kepadanya agar cepat berangkat.Mobil itu pun melaju meninggalkanku di teras rumah ibu. Air mataku mulai menitik. Merasa tidak pantas untuk mas Aldi.Sedih, karena aku merasa telah menyakiti diriku sendiri. Tak apalah, lagian situasinya mendesak.Flashback off!Dan, sekarang aku menyesal karena pernah membuat mereka semakin dekat.Bersambung..."Mau pakai baju yang mana?" tanyaku sambil memperlihatkan dua kaos santai kepada mas Aldi. Mas Aldi hanya menatapku dengan wajah dingin. Mengambil salah satu kaos dengan cepat, kemudian memakainya. Dia tidak pernah sedikitpun mengeluarkan suara ketika berinteraksi denganku. Seakan-akan suara bicaranya terlalu mahal untuk dikeluarkan di hadapan istrinya sendiri. "Aku tunggu di meja makan, kita makan malam." Aku mencoba tersenyum, meskipun mas Aldi selalu memperlihatkan ekspresi dingin. Ibu mertua tersenyum saat melihatku keluar dari kamar. Aku duduk di meja yang bersebrangan dengan beliau sambil menyiapkan piring untuk mas Aldi yang masih berada di dalam kamar. Tak lama kemudian, pria tampan itu keluar. Wajahnya terlihat lelah karena masih belum mendapat pekerjaan setelah dipecat dari pekerjaannya. "Kayaknya kalian perlu jalan-jalan berdua biar lebih akrab."Mas Aldi memutar bola matanya malas, kemudian mengambil beberapa ciduk nasi. Aku membantunya mengambilkan lauk dan sayur. "
"Cuma alasan aja, biar lo bisa pulang agak cepet." Reno mulai melajukan mobilnya keluar dari parkiran kafe. Hingga beberapa menit kemudian, pria itu menghentikan mobilnya di sebuah hotel bintang lima. Reno melirik jam tangannya. "Bentar lagi mereka pasti datang." "Siapa, sih?" Perasaanku mulai tidak enak. Mengingat-ngingat satu nama. "Nah, pas banget. Itu mereka."Aku langsung menganga lebar melihat mobil mas Aldi memasuki hotel bersama seorang perempuan. Terlihat dari kaca jendela mobil mereka yang terbuka. Apakah perempuan yang bersama mas Aldi itu Pita? "Itu Pita, ya!" Aku menggeram. Plak!! Reno langsung menggeplak dahiku, hingga beberapa jerawat meletus. "Sensi mulu lo sama adiknya." Reno mendengkus, masih mengamati mobil mas Aldi yang hendak di parkirkan. Kami mangamati dari balik pagar gedung. Tak lama kemudian, mas Aldi turun dengan seorang perempuan bertubuh tinggi semampai yang mengenakan dress mini berwarna merah. Mas Aldi melangkah sambil memegang pinggul wanita
Betapa terkejutnya aku sesampainya di depan rumah Pita. Melihat mobil mas Aldi terparkir di sana.Mereka pasti cuma berdua. Karena Fano jam segini sudah berangkat bekerja. Ngapain? Aku sedikit ragu untuk masuk. Namun, setelah mengumpulkan segenap keberanian. Akhirnya kaki ini melangkah memasuki rumah Pita. "Assalamu'alaikum."Mas Aldi tampak terkejut melihat kehadiranku. Begitu pula Pita yang baru saja kembali ke dapur. Dengan wajah sembabnya. Dia habis menangis? "Mbak Puspa sejak kapan ada di sini?" tanya Pita dengan ekspresi kaget. Aku hanya merapatkan bibir, mengalihkan pandangan ke arah mas Aldi yang memperlihatkan wajah tidak suka. Pria itu langsung buang muka saat ditatap. Pita meletakkan secangkir teh panas di atas meja kemudian duduk sambil memangku nampan. Suasananya begitu canggung. "Kenapa kalian berdua di sini?" tanyaku dengan bibir bergetar. Sudut mata mas Aldi menatap ke arahku sinis. "Nggak boleh, ya, mantan kakak ipar berkunjung ke rumah adik ipar."Cih, pad
"Puspa, Pita tewas di bunuh orang."Deg. "Pita?"Kami berdua langsung tergesa-gesa menuju ke mobil. Aku berteriak histeris dengan air mata yang berlinang. Ingin cepat-cepat sampai ke tempat tujuan. Benarkah Pita tewas?Adikku? Mati? Dibunuh orang? Pita meninggal? Aku kembali menangis histeris. Reno yang mengemudikan mobil tampak gugup. Hingga beberapa menit kemudian kami sudah sampai dikediaman rumah Pita. Sudah banyak orang di sana. Aku langsung membuka pintu mobil, kemudian berlari dengan tergesa-gesa. Menerjang kerumunan pelayat, diikuti Reno di belakang. "Pita!!" teriakku tak terkontrol. Tubuh ini membeku seketika. Melihat pemandangan yang terjadi. Jenazah yang penuh luka sedang dibacakan surah yasin oleh beberapa pelayat. Bukan Pita yang meninggal, tapi ... Fano. Aku langsung melotot ke arah Reno yang menaikkan kedua jarinya membentuk peace. "Salah informasi gue."Kakiku langsung melangkah menghampiri Pita yang menangis tersedu-sedu di depan jenazah suaminya. Aku meng
"Mas Aldi kenapa ke sini? Naik mobil kan enak, nggak perlu takut kehujanan. Bisa terus melaju walaupun hujan deras."Pria itu menghela napas. "Aku ke sini ingin menebus kesalahan-kesalahanku."Deg. Aku menatap wajahnya yang sedikit basah terkena air hujan. Kemudian menunduk kikuk. "Lupain aja, aku udah maafin kok."Aroma parfume dari tubuh mas Aldi langsung menusuk indra penciuman ketika hembusan angin dingin menerpa tubuh. Aku mulai menggigil karena hujan tak kunjung reda. Apalagi di sebelahku ada sosok yang membuat jantung ini berdebar-debar. Membuat perasaan semakin resah tak keruan. "Pus, maafin aku," ucap mas Aldi lagi. Padahal aku sudah menjawab pertanyaan itu. Aku hanya terdiam. Menyaksikan guyuran hujan yang membasahi bumi. Apapun yang kamu katakan aku sudah tidak peduli, Mas. Sakit hati ini sudah tidak bisa diobati. "Kalau waktu bisa diputar kembali enak, kali, ya?" gumam mas Aldi. "Tidak ada orang yang berlari, tidak ada langkah yang terlambat, tidak ada kedatangan yang
Aku terpaksa berangkat kerja diantar mas Aldi. Daripada dia terus merengek-rengek seperti anak kecil di depan rumah Pita. Untung saja pria itu tidak sempat melihat jaketnya yang teronggok di dalam tong sampah. Aku menghela napas lega. Kemudian masuk ke mobil dengan malas. Mas Aldi meraih sesuatu dari kursi belakang penumpang. Sebuket bunga mawar 15 tingkai. Dengan warna merah dan pink, dihiasi oleh pita merah yang membuat bunga itu semakin terlihat indah. "Buat kamu."Aku terperangah beberapa saat, kemudian meraih bunga tersebut dengan tubuh kaku. "Suka nggak?" Mas Aldi mulai melajukan mobilnyaAku menelan ludah dengan susah payah. Kemudian menghirup aroma harum pada bunga mawar yang menyejukkan itu. "Maaf, ya, dulu aku tidak pernah sempat memberikan bunga itu kepadamu."Rasanya seperti menjadi ironman. Aku menghempaskan tubuh ke kursi kemudi sambil menatap ke depan. Memangku bunga buket dengan tangan kebas. Apa yang terjadi? Aku tidak boleh takluk oleh laki-laki bajingan ini! A
Tin ... Tin ... Tin ...!!!Mobil itu membunyikan klakson Gawat! Berarti dia sudah sangat dekat. Atau mungkin sudah tepat berada di belakang kami. Langkah ini langsung terhenti, tubuhku membeku. Ben pun turut menghentikan langkahnya dengan napas terengah-engah. Mobil hitam itu mengerem tepat di sebelah kami. Kacanya terbuka, menampilkan seorang laki-laki tua berkepala botak. Aku langsung mendengkus. Karena ternyata si pemilik mobil itu bukan mas Aldi. "Kalian maling motor, ya?" tanya bapak itu. Aku melirik Ben yang terlihat kikuk. "Ah, enggak, Pak. Ini motor saya sendiri.""Terus kenapa motornya nggak dinaikkin?""Mogok hehe...""Kok, lari?""Hmm, anu, Pak." Ben menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aku hanya nyengir kuda. "Kalau mogok, kenapa kalian berdua lari?""Iya, itu ...," Ben tampak gugup. "Olahraga, Pak, iya hehe ...."Bapak berkepala botak itu turun dari mobil. "Kalian ini patut dilaporin ke polisi. Jangan-jangan kalian yang sering maling motor di kawasan sini
Mas Aldi berakhir dengan sebuah tamparan dari kekasih gelapnya yang bernama Santi. Ketika mengeluh uangnya habis saat wanita itu berbelanja bahan-bahan branded.Meskipun begitu, mas Aldi tetap membayar notanya setelah Santi pergi dengan wajah kesal. Sangat tidak tahu diri wanita itu. Aku jadi sedikit kasihan dengan mas Aldi. Wajahnya terlihat lesu setelah kembali lagi padaku. "Makan, yuk, Pus.""Uangmu nggak habis, Mas?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis. "Ini masih ada sisa dikit." Mas Aldi masih mencoba tersenyum. Aku jadi berempati kepadanya. Kami berdua berjalan menenteng bahan belanjaan menuju ke restoran seafood yang ada di dalam mall. "Begitulah kira-kira Pus, banyak wanita yang datang hanya karena ada maunya," keluh mas Aldi ketika kami sudah duduk di salah satu kursi. "Tapi kan, setidaknya mereka mau mas tiduri," sindirku santai. "Enggaklah, aku bukan laki-laki seperti itu." Mas Aldi mengerucutkan bibir. Aku tersenyum miring, sambil menggidikkan bahu. Aku sudah tah