Share

Part 8

"Mau pakai baju yang mana?" tanyaku sambil memperlihatkan dua kaos santai kepada mas Aldi.

Mas Aldi hanya menatapku dengan wajah dingin. Mengambil salah satu kaos dengan cepat, kemudian memakainya. Dia tidak pernah sedikitpun mengeluarkan suara ketika berinteraksi denganku. Seakan-akan suara bicaranya terlalu mahal untuk dikeluarkan di hadapan istrinya sendiri.

"Aku tunggu di meja makan, kita makan malam." Aku mencoba tersenyum, meskipun mas Aldi selalu memperlihatkan ekspresi dingin.

Ibu mertua tersenyum saat melihatku keluar dari kamar. Aku duduk di meja yang bersebrangan dengan beliau sambil menyiapkan piring untuk mas Aldi yang masih berada di dalam kamar.

Tak lama kemudian, pria tampan itu keluar. Wajahnya terlihat lelah karena masih belum mendapat pekerjaan setelah dipecat dari pekerjaannya.

"Kayaknya kalian perlu jalan-jalan berdua biar lebih akrab."

Mas Aldi memutar bola matanya malas, kemudian mengambil beberapa ciduk nasi. Aku membantunya mengambilkan lauk dan sayur.

"Aldi, ajak dong Puspanya jalan-jalan. Kasihan dia di rumah terus."

"Ke Mall apa ke pasar malam gitu, biar lebih romantis," lanjut ibu mertua.

Mas Aldi tidak menanggapi. Mulai sibuk melahap makanannya.

"Aldi, kok gitu sih sama istrinya?"

"Nanti aku ajakin Pita sekalian." Aku menyahut.

Membuat mas Aldi berhenti melahap makanannya. Lalu menoleh ke arahku sekilas. Sebelum kembali melanjutkan melahap makanannya.

Aku mengerti dengan tatapan mata mas Aldi barusan. Sebuah tatapan yang menyimbolkan ketertarikan. Dia seperti ingin mengiyakan ucupanku untuk mengajak Pita ikut jalan-jalan.

"Gimana Aldi? Keluar bentar sana sama Puspa. Kali aja bisa ngilangin stres," ucap ibu lagi. "Tenang aja nggak usah dipikirin pekerjaannya. Kalau nggak dapat pekerjaan lagi bisa buka usaha kecil-kecilan."

Mas Aldi mengangguk. Aku pun mengirim pesan kepada Pita agar bersiap-siap. Kami akan menjemputnya untuk diajak jalan-jalan.

***

Awalnya Pita mengekor di belakang. Aku dan mas Aldi berjalan beriringan. Tapi, tidak terlihat seperti suami istri karena mas Aldi hanya memasang wajah datar dan sedikit jaga jarak.

Kami hanya melihat-lihat hamparan pedagang mulai dari aksesoris, pakaian sampai alat-alat memasak yang ada di pasar malam itu. Aku tidak tertarik membeli apapun, karena mau beli baju model apapun tetap tidak terlihat keren di tubuhku.

Pita berhenti di stand penjual jam tangan. Melihat-lihat berbagai model jam tangan yang diberi plakat diskon 50%.

"Yang ini sama yang ini bagus nggak, Mbak?" tanya Pita menunjuk dua merk jam tangan yang berbeda.

"Bagusan yang ini kayaknya." Aku menunjuk jam rolex KW berwarna putih.

"Yaudah bang yang ini," ucap Pita kepada si pedagang. Kemudian tangannya mulai merogoh tas selempangnya untuk mengambil uang.

Saat Pita hendak memberikan uangnya kepada si pedagang, mas Aldi tiba-tiba sudah menyodorkan beberapa lembar uang ke arah mas-mas itu.

Seketika itu juga, ada sebuah rasa tidak nyaman yang menyelinap masuk ke dalam hatiku. Seperti sebuah rasa cemburu.

Pita sempat menolak dibayari oleh mas Aldi. Mas Aldi melemparkan seulas senyum, membuat Pita tak kuasa menolaknya.

Senyuman itu bahkan tidak pernah ditunjukkan kepadaku yang statusnya adalah istrinya sendiri.

Kami kembali berkeliling melihat barang-barang yang diperjualkan. Ada beberapa orang yang bilang bahwa mas Aldi dan Pita adalah pasangan yang serasi.

Padahal istri mas Aldi adalah aku.

"Mbak naik komedi putar yuk!" ajak Pita setelah kami sampai di area wahana permainan di pasar malam.

"Nggak ah, takut," tolakku karena melihat badanku yang semakin hari semakin bertambah gembul.

"Yah." Pita tampak kecewa.

"Suruh temenin mas Aldi aja, tuh," ucapku asal.

"Nggak nyaman lah." Pita menolak.

Mas Aldi yang berdiri di sebelahku tiba-tiba melangkah menuju ke tukang karcis.

"Tuh, mas Aldi mau naik. Cepet sana!" Aku mendorong-dorong tubuh Pita agar segera mengekori mas Aldi.

Mereka berdua mulai naik ke atas komedi putar. Aku hanya menyaksikan dari bawah.

Ada rasa sesak yang menjalar di dada ketika melihat mereka berdua tampak berbincang-bincang selayaknya sepasang kekasih.

Dan, mas Aldi yang selalu terlihat dingin di depanku tampak tertawa lepas di dalam gerbong komedi putar bersama Pita.

****

"Hey, gajah! Nglamun mulu lo!" celetuk Ben, si barista kopi, saat aku sedang beristirahat di pojok dapur.

Kebetulan kafe sedikit lenggang. Aku memutuskan untuk beristirahat setelah beberapa menit yang lalu begitu kuwalahan melayani pesanan.

"Ndut, kok lo bisa cepet banget, sih, nglayanin pelanggan. Lo dulu pernah dagang gado-gado, ya?" ucap Sevelyn sambil terkikik.

Aku hanya terdiam masam. Pasrah menjadi bahan bullyan mereka setiap hari.

Lagipula, menjadi target bullyan sudah menjadi makananku sehari-hari. Hanya mas Aldi yang tidak pernah membully. Walaupun wajah dinginnya lebih menyiksa batinku.

Ah, sudahlah! Tidak perlu memikirkan laki-laki itu lagi. Dia hanya sebatas mantan suami yang tega membiarkanku menjadi janda perawan yang tidak pernah disentuh.

"Denger-denger lo tinggal sama bos Reno. Lo pakai pelet apaan sampai bisa naklukin hatinya bos Reno?" tanya Cindy dengan kepo.

Aku hanya terdiam. Dijawab salah, nggak dijawab tetep dibully. Mendingan diam.

"Pakai goyangan Inul kali, Cyn." Ben terkekeh.

"Dia goyang langsung gempa, kali, ya." Sevelyn menyahuti.

"Dia itu salah satu ciri-ciri perempuan yang cuma punya dua kemungkinan pas lagi kumpul sama teman-temannya. Kalau nggak ngumpulin dosa ya ngumpulin lemak."

Kosong. Padahal mereka sebenarnya sedang mengata-ngatai diri mereka sendiri. Biarlah aku ngumpulin lemak. Daripada mereka selalu ngumpulin dosa.

"Tapi, seriusan deh Pus, lo itu sebenarnya cantik," ucap Cindy memuji. "Kalau digandengin sama sapi hahaha ...."

Hadeh. Parah! Capek begini terus. Aku ingin cepat-cepat menagih janji Reno agar membawaku ke salon. Lalu, membungkam mulut mereka.

Tak lama kemudian, pria yang baru saja aku pikirkan datang. Tumben sekali. Biasanya dia tidak pernah meng-handle kafe ini secara langsung. Karena semuanya sudah dipasrahkan kepada Melin.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab kami serempak.

"Yuhu, bos Reno yang paling ter-ter datang. Pasti mau kasih bonus ini," teriak Sevelyn dengan nada alay-nya.

Reno hanya tersenyum. "Bonusnya nanti, akhir bulan."

"Mantap, bonusnya apaan, nih?"

"Gue beliin es teh dua gelas."

"Yah, masak cuma itu," gerutu Sevelyn.

Reno terkekeh. "Gue mau ajak Puspa pulang duluan."

"Wah, kok bos Reno sayang banget sih sama Puspa?" Cindy terlihat iri.

"Besok ada acara, Puspa harus lembur bersihin rumah gue."

Aku mengerucutkan bibir. Sementara Cindy tertawa. "Hmm, romantis beud dah."

"Ayo, Pus." Reno memberiku kode untuk mengikutinya keluar dari kafe.

"Owh pantesan, ternyata si Puspa cuma diperalat aja sama bos Reno."

Ucap Sevelyn sebelum aku beranjak dari duduk.

Terserah kalian mau ngomong apa. Aku buru-buru mengekori Reno memasuki mobil.

"Ada acara apa?"

Reno tersenyum simpul. "Nggak ada."

Aku berdecak. "Ishh, gimana, sih?"

"Cuma alasan aja, biar lo bisa pulang agak cepet." Reno mulai melajukan mobilnya keluar dari parkiran kafe.

Hingga beberapa menit kemudian, pria itu menghentikan mobilnya di sebuah hotel bintang lima.

Reno melirik jam tangannya. Bentar lagi mereka pasti datang.

"Siapa, sih?" Perasaanku mulai tidak enak. Mengingat-ngingat satu nama.

"Nah, pas banget. Itu mereka."

Aku langsung menganga lebar melihat mobil mas Aldi memasuki hotel bersama seorang perempuan.

Apakah perempuan yang bersama mas Aldi itu Pita?

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status