Share

Part 8

last update Last Updated: 2022-11-18 13:58:21

"Mau pakai baju yang mana?" tanyaku sambil memperlihatkan dua kaos santai kepada mas Aldi.

Mas Aldi hanya menatapku dengan wajah dingin. Mengambil salah satu kaos dengan cepat, kemudian memakainya. Dia tidak pernah sedikitpun mengeluarkan suara ketika berinteraksi denganku. Seakan-akan suara bicaranya terlalu mahal untuk dikeluarkan di hadapan istrinya sendiri.

"Aku tunggu di meja makan, kita makan malam." Aku mencoba tersenyum, meskipun mas Aldi selalu memperlihatkan ekspresi dingin.

Ibu mertua tersenyum saat melihatku keluar dari kamar. Aku duduk di meja yang bersebrangan dengan beliau sambil menyiapkan piring untuk mas Aldi yang masih berada di dalam kamar.

Tak lama kemudian, pria tampan itu keluar. Wajahnya terlihat lelah karena masih belum mendapat pekerjaan setelah dipecat dari pekerjaannya.

"Kayaknya kalian perlu jalan-jalan berdua biar lebih akrab."

Mas Aldi memutar bola matanya malas, kemudian mengambil beberapa ciduk nasi. Aku membantunya mengambilkan lauk dan sayur.

"Aldi, ajak dong Puspanya jalan-jalan. Kasihan dia di rumah terus."

"Ke Mall apa ke pasar malam gitu, biar lebih romantis," lanjut ibu mertua.

Mas Aldi tidak menanggapi. Mulai sibuk melahap makanannya.

"Aldi, kok gitu sih sama istrinya?"

"Nanti aku ajakin Pita sekalian." Aku menyahut.

Membuat mas Aldi berhenti melahap makanannya. Lalu menoleh ke arahku sekilas. Sebelum kembali melanjutkan melahap makanannya.

Aku mengerti dengan tatapan mata mas Aldi barusan. Sebuah tatapan yang menyimbolkan ketertarikan. Dia seperti ingin mengiyakan ucupanku untuk mengajak Pita ikut jalan-jalan.

"Gimana Aldi? Keluar bentar sana sama Puspa. Kali aja bisa ngilangin stres," ucap ibu lagi. "Tenang aja nggak usah dipikirin pekerjaannya. Kalau nggak dapat pekerjaan lagi bisa buka usaha kecil-kecilan."

Mas Aldi mengangguk. Aku pun mengirim pesan kepada Pita agar bersiap-siap. Kami akan menjemputnya untuk diajak jalan-jalan.

***

Awalnya Pita mengekor di belakang. Aku dan mas Aldi berjalan beriringan. Tapi, tidak terlihat seperti suami istri karena mas Aldi hanya memasang wajah datar dan sedikit jaga jarak.

Kami hanya melihat-lihat hamparan pedagang mulai dari aksesoris, pakaian sampai alat-alat memasak yang ada di pasar malam itu. Aku tidak tertarik membeli apapun, karena mau beli baju model apapun tetap tidak terlihat keren di tubuhku.

Pita berhenti di stand penjual jam tangan. Melihat-lihat berbagai model jam tangan yang diberi plakat diskon 50%.

"Yang ini sama yang ini bagus nggak, Mbak?" tanya Pita menunjuk dua merk jam tangan yang berbeda.

"Bagusan yang ini kayaknya." Aku menunjuk jam rolex KW berwarna putih.

"Yaudah bang yang ini," ucap Pita kepada si pedagang. Kemudian tangannya mulai merogoh tas selempangnya untuk mengambil uang.

Saat Pita hendak memberikan uangnya kepada si pedagang, mas Aldi tiba-tiba sudah menyodorkan beberapa lembar uang ke arah mas-mas itu.

Seketika itu juga, ada sebuah rasa tidak nyaman yang menyelinap masuk ke dalam hatiku. Seperti sebuah rasa cemburu.

Pita sempat menolak dibayari oleh mas Aldi. Mas Aldi melemparkan seulas senyum, membuat Pita tak kuasa menolaknya.

Senyuman itu bahkan tidak pernah ditunjukkan kepadaku yang statusnya adalah istrinya sendiri.

Kami kembali berkeliling melihat barang-barang yang diperjualkan. Ada beberapa orang yang bilang bahwa mas Aldi dan Pita adalah pasangan yang serasi.

Padahal istri mas Aldi adalah aku.

"Mbak naik komedi putar yuk!" ajak Pita setelah kami sampai di area wahana permainan di pasar malam.

"Nggak ah, takut," tolakku karena melihat badanku yang semakin hari semakin bertambah gembul.

"Yah." Pita tampak kecewa.

"Suruh temenin mas Aldi aja, tuh," ucapku asal.

"Nggak nyaman lah." Pita menolak.

Mas Aldi yang berdiri di sebelahku tiba-tiba melangkah menuju ke tukang karcis.

"Tuh, mas Aldi mau naik. Cepet sana!" Aku mendorong-dorong tubuh Pita agar segera mengekori mas Aldi.

Mereka berdua mulai naik ke atas komedi putar. Aku hanya menyaksikan dari bawah.

Ada rasa sesak yang menjalar di dada ketika melihat mereka berdua tampak berbincang-bincang selayaknya sepasang kekasih.

Dan, mas Aldi yang selalu terlihat dingin di depanku tampak tertawa lepas di dalam gerbong komedi putar bersama Pita.

****

"Hey, gajah! Nglamun mulu lo!" celetuk Ben, si barista kopi, saat aku sedang beristirahat di pojok dapur.

Kebetulan kafe sedikit lenggang. Aku memutuskan untuk beristirahat setelah beberapa menit yang lalu begitu kuwalahan melayani pesanan.

"Ndut, kok lo bisa cepet banget, sih, nglayanin pelanggan. Lo dulu pernah dagang gado-gado, ya?" ucap Sevelyn sambil terkikik.

Aku hanya terdiam masam. Pasrah menjadi bahan bullyan mereka setiap hari.

Lagipula, menjadi target bullyan sudah menjadi makananku sehari-hari. Hanya mas Aldi yang tidak pernah membully. Walaupun wajah dinginnya lebih menyiksa batinku.

Ah, sudahlah! Tidak perlu memikirkan laki-laki itu lagi. Dia hanya sebatas mantan suami yang tega membiarkanku menjadi janda perawan yang tidak pernah disentuh.

"Denger-denger lo tinggal sama bos Reno. Lo pakai pelet apaan sampai bisa naklukin hatinya bos Reno?" tanya Cindy dengan kepo.

Aku hanya terdiam. Dijawab salah, nggak dijawab tetep dibully. Mendingan diam.

"Pakai goyangan Inul kali, Cyn." Ben terkekeh.

"Dia goyang langsung gempa, kali, ya." Sevelyn menyahuti.

"Dia itu salah satu ciri-ciri perempuan yang cuma punya dua kemungkinan pas lagi kumpul sama teman-temannya. Kalau nggak ngumpulin dosa ya ngumpulin lemak."

Kosong. Padahal mereka sebenarnya sedang mengata-ngatai diri mereka sendiri. Biarlah aku ngumpulin lemak. Daripada mereka selalu ngumpulin dosa.

"Tapi, seriusan deh Pus, lo itu sebenarnya cantik," ucap Cindy memuji. "Kalau digandengin sama sapi hahaha ...."

Hadeh. Parah! Capek begini terus. Aku ingin cepat-cepat menagih janji Reno agar membawaku ke salon. Lalu, membungkam mulut mereka.

Tak lama kemudian, pria yang baru saja aku pikirkan datang. Tumben sekali. Biasanya dia tidak pernah meng-handle kafe ini secara langsung. Karena semuanya sudah dipasrahkan kepada Melin.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab kami serempak.

"Yuhu, bos Reno yang paling ter-ter datang. Pasti mau kasih bonus ini," teriak Sevelyn dengan nada alay-nya.

Reno hanya tersenyum. "Bonusnya nanti, akhir bulan."

"Mantap, bonusnya apaan, nih?"

"Gue beliin es teh dua gelas."

"Yah, masak cuma itu," gerutu Sevelyn.

Reno terkekeh. "Gue mau ajak Puspa pulang duluan."

"Wah, kok bos Reno sayang banget sih sama Puspa?" Cindy terlihat iri.

"Besok ada acara, Puspa harus lembur bersihin rumah gue."

Aku mengerucutkan bibir. Sementara Cindy tertawa. "Hmm, romantis beud dah."

"Ayo, Pus." Reno memberiku kode untuk mengikutinya keluar dari kafe.

"Owh pantesan, ternyata si Puspa cuma diperalat aja sama bos Reno."

Ucap Sevelyn sebelum aku beranjak dari duduk.

Terserah kalian mau ngomong apa. Aku buru-buru mengekori Reno memasuki mobil.

"Ada acara apa?"

Reno tersenyum simpul. "Nggak ada."

Aku berdecak. "Ishh, gimana, sih?"

"Cuma alasan aja, biar lo bisa pulang agak cepet." Reno mulai melajukan mobilnya keluar dari parkiran kafe.

Hingga beberapa menit kemudian, pria itu menghentikan mobilnya di sebuah hotel bintang lima.

Reno melirik jam tangannya. Bentar lagi mereka pasti datang.

"Siapa, sih?" Perasaanku mulai tidak enak. Mengingat-ngingat satu nama.

"Nah, pas banget. Itu mereka."

Aku langsung menganga lebar melihat mobil mas Aldi memasuki hotel bersama seorang perempuan.

Apakah perempuan yang bersama mas Aldi itu Pita?

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 28 B

    "Eh, Mbak Puspa, ngapain?" ucap Rani setelah turun dari tangga. Melihatku yang sedang menyapu lantai. "Biar bi Surti aja mbak yang nyapu-nyapu." Rani langsung turun dengan tergesa-gesa. "Nggak pa-pa, lagi. Aku udah biasa nyapu-nyapu."Rani merebut sapu yang kupegang. "Udah mbak nggak usah.""Bi Surti!!!" teriak Rani meneriaki Art. Perempuan paruh bayah itu langsung keluar dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Non? ""Ini Bibi lantainya disapu, ya. Daripada mbak Puspa yang nyapu. Kasihan.""Eh, nggak papa lagi. Aku malah seneng. Bisa sambil olahraga.""Udah, Mbak Puspa santuy-santuy aja. Duduk manis di sofa sambil nonton tv.""Bosen, Ran. Pengen ada aktivitas apa gitu.""Ngegym aja, Mbak. Aku temenin." Atau jalan-jalan naik sepeda."Aku mengerucutkan bibir. Kami berdua menoleh saat Reno baru saja datang entah darimana. Cowok itu mengenakan celana training dan kaos oblong berwarna hitam. Tangannya menenteng sebungkus plastik. "Ada apa ini?""Ini kak, Mbak Puspa malah nyapu-nyapu," jawab Ra

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 28

    Komentar kalian tentang Reno dan Puspa?***"Kamu kenapa belum tidur?" tanyaku saat terbangun tengah malam. Melihat Reno yang sedang sibuk di depan laptopnya. "Ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Reno masih fokus mengetik sesuatu pada laptopnya. "Kamu juga punya tugas di depan laptop, ya?" Aku mengucek-ngucek mata sayuku. Reno mengangguk. "Hmm, aku sedang menyadap ponsel milik pelaku kriminal.""Kamu bisa?""Agen rahasia banyak yang menjadi hacker. Aku belajar dari mereka untuk mendapatkan informasi dari pelaku."Aku bergidik ngeri. Tidak ingin tahu lebih jauh pekerjaan Reno, dan misi-misi rahasia yang ia jalankan. Karena bagiku itu sangat menakutkan. Reno pasti harus berurusan dengan penjahat-penjahat kelas kakap. "Boleh aku memintamu agar berhenti dari pekerjaan itu?" pintaku dengan wajah memelas. Reno yang membelakangiku masih fokus pada layar laptopnya. Tanpa memberi jawaban. "Kamu punya banyak bisnis, kamu bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja seperti itu.""Reno, k

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 27

    "Reno, skincare-ku ketinggalan semua di rumah.""Terus?" "Ya gimana? Pengertiannya," jawabku malu-malu kucing. "Dilatih aja nggak pakai skincare-skincarean."Aku mengerucutkan bibir. "Kamu tahu sendiri, kan, wajah aku dulu jerawatan. Sekarang kalau nggak pakai skincare jadi kelihatan kusam, lepek. Takutnya malah jerawatnya tumbuh lagi.""Bagus, dong.""Kok bagus, sih?""Ya baguslah, biar nggak ada yang ngelirik-ngelirik kamu lagi.""Aku jadi jelek, dong?""Ya nggak pa-pa.""Halah, ujung-ujungnya nanti kamu selingkuh.""Yang halal aja ada, kenapa harus nyari yang haram?" Reno membalikkan ucapanku. "Kali aja. Kan, biasanya laki-laki begitu. Gampang bosen.""Bosen gimana, sih? Kita aja belum malam pertamaan kok."Aku mengerucutkan bibir. "Aku masih penasaran.""Salah sendiri keluar malam-malam.""Tuntutan pekerjaan.""Ya nasib." Aku melahap apel yang sedari tadi berada digenggaman. Kini kami berdua sedang duduk berdua di gazebo taman rumah Reno yang lumayan luas. Ada beberapa tanaman

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 26

    "Bismillah, mau mulai sekarang?" tanya Reno saat kami sudah mulai solat. Darah seakan berdesir. Aku mengangguk malu."Bismillah." Reno mengajakku berbaring. Jantungku semakin berdetak tak menentu. Bulu kuduk ini langsung meremang ketika Reno mulai mendekatkan wajahnya. Aku lantas memejamkan mata. Namun, ciuman itu tak kunjung mendarat. Reno menghentikan niatnya setelah mendengar bunyi ponsel yang berdering. "Astaghfirullah, ganggu," desis Reno kesal. Aku mengerucutkan bibir, melihat Reno mengangkat teleponnya. Dia tampak berbincang serius. Aku sempat menahan napas melihat raut wajah khawatirnya. "Oke-oke, saya segera ke sana," ucap Reno setelah memutus teleponnya. Pria tampan itu menghela napas. Kemudian menatap ke arahku dengan wajah sendu. "Sorry, ya, Pus. Kita tunda dulu." Reno kelihatan lesu. "Ada apa?""Aku ada urusan bentar. Ada salah satu pelaku kriminal yang tertangkap.""Nggak bisa ditunda, ya, tugasnya? Ini malam pertama, lho?" Aku memohon. "Pus, tolong ngertiin pro

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 25

    Keenan masuk ke dalam kamarku sambil menyeringai lebar. "Mau apa kamu ke sini?""Belum tidur sayang?"Aku meneguk ludah dengan susah payah. Seluruh tubuhku langsung gemetar. "Aku ingin bermain-main denganmu!" Keenan mendekat ke arahku dengan perlahan. Aku langsung merasa gugup. Grekk!!! "Happy birthday to you...""Happy birthday to you..."Di belakang punggung Keenan muncul banyak orang yang bersorak soray sambil meniup trompet dan melemparkan balon-balon ke langit kamar. Kedua mata ini membulat. Aku terkejut bukan main. Ada mama Reno, Rani, Olivia, Pita? Ya, ada Pita di sana. Juga Ben, Sevelyn, Cindy, dan Melin. Bagaimana ceritanya mereka bisa ada di Jakarta malam-malam begini? Jam 00.08.Mengucapkan ulang tahun. Mereka berjingkrak-jingkrak heboh sambil menyanyikan lagu ulang tahun untukku. Keenan yang berada tepat di depanku terkekeh. Aku sudah berhasil mereka kerjai. Kemudian muncul dari belakang seorang pria yang membawa kue di tangannya. "Selamat ulang tahun Puspa."Aku

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 24

    Setelah dijelaskan oleh Rani dan mama Reno bahwa aku adalah calon tunangan Reno. Akhirnya Keenan paham. Pria itu tersenyum ke arahku. Tinggal papa Reno saja yang belum aku temui. Katanya beliau sedang dinas di pulau Kalimantan. Jadi, tidak mungkin ketemu. Aku hanya heran saja, berarti Reno dan mamanya hanya numpang di rumah adiknya. Kenapa nggak tinggal di rumah sendiri? Bodo amat! Tubuhku terasa letih sekali setelah mengepel seluruh lantai di dalam rumah. Aku tidak punya energi lagi jika mereka jadi mengajakku jalan-jalan kelilingi ibu kota. Aku mengirim pesan kepada Reno. 'Pulanglah sebentar, antarkan aku ke bandara. Aku sudah sangat lelah disiksa keluargamu. Mereka menganggapku pembantu.'Send. Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang berukuran king size itu. Hufft! Tenagaku sudah terkuras habis. Apa lebih baik aku kabur saja, ya, daripada jadi tendang-tendangan mereka semua. Tapi nanti kesasar. Minta tolong Ben juga nggak mungkin. Ya, kali dia mau berkorban ke sini hanya untuk

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 23

    Aku membantu bi Zulfa memasak sayur asam, dan juga ayam goreng beserta sambal terasi. Setelah itu memindahkan menu makanan tersebut ke meja makan. Aku sama sekali tidak berbincang-bincang sedikitpun dengan bi Zulfa. Tampaknya dia bukan sosok yang friendly. Tak berselang lama mama Reno dan Rani datang dari kamar mereka masing-masing. "Sarapan dulu, Pus."Aku mengangguk, kemudian ikut duduk setelah mengelapi piring-piring yang baru saja dicuci bi Zulfa. Masih mengenakan appron putih di tubuh. "Hmm, lumayan enak." Mama Reno mengunyah makanannya dengan rakus. Sementara Rani masih terdiam tanpa mengomentari makanan yang ia lahap. "Kamu pintar masak, Pus." Mama tersenyum semringah. "Nanti sore masakin lagi, ya. Sambal orek bisa kan, Pus?"Aku mengangguk."Sama itu Kak, aku buatin risol." Rani menyahuti. Kembali aku mengangguk. "Owh, iya sama sayur ikan tongkol mantap kayaknya."Mama meneguk air putihnya hingga tandas. "Terbaik deh makanan kamu.""Belajar darimana, Kak?" tanya Rani.

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 22

    Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu. "Ini calon gue," ucap Reno ketus. "Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku. "Puspa.""Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."Aku langsung terbelalak. Jadi Reno sudah beristri? Aku ke sini hanya untuk jadi madunya? Ini parah!"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang. "Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya. "Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani. "Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku. Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka. "Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan. "Olivi

  • Kebangkitan Pasca Bercerai   Part 21

    "Diam!" bentak mas Aldi. Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku. Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Pranggg ...!!! Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar. Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela. Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai. Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal. Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia. Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional. Aku tak sa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status