"Mau pakai baju yang mana?" tanyaku sambil memperlihatkan dua kaos santai kepada mas Aldi.
Mas Aldi hanya menatapku dengan wajah dingin. Mengambil salah satu kaos dengan cepat, kemudian memakainya. Dia tidak pernah sedikitpun mengeluarkan suara ketika berinteraksi denganku. Seakan-akan suara bicaranya terlalu mahal untuk dikeluarkan di hadapan istrinya sendiri."Aku tunggu di meja makan, kita makan malam." Aku mencoba tersenyum, meskipun mas Aldi selalu memperlihatkan ekspresi dingin.Ibu mertua tersenyum saat melihatku keluar dari kamar. Aku duduk di meja yang bersebrangan dengan beliau sambil menyiapkan piring untuk mas Aldi yang masih berada di dalam kamar.Tak lama kemudian, pria tampan itu keluar. Wajahnya terlihat lelah karena masih belum mendapat pekerjaan setelah dipecat dari pekerjaannya."Kayaknya kalian perlu jalan-jalan berdua biar lebih akrab."Mas Aldi memutar bola matanya malas, kemudian mengambil beberapa ciduk nasi. Aku membantunya mengambilkan lauk dan sayur."Aldi, ajak dong Puspanya jalan-jalan. Kasihan dia di rumah terus.""Ke Mall apa ke pasar malam gitu, biar lebih romantis," lanjut ibu mertua.Mas Aldi tidak menanggapi. Mulai sibuk melahap makanannya."Aldi, kok gitu sih sama istrinya?""Nanti aku ajakin Pita sekalian." Aku menyahut.Membuat mas Aldi berhenti melahap makanannya. Lalu menoleh ke arahku sekilas. Sebelum kembali melanjutkan melahap makanannya.Aku mengerti dengan tatapan mata mas Aldi barusan. Sebuah tatapan yang menyimbolkan ketertarikan. Dia seperti ingin mengiyakan ucupanku untuk mengajak Pita ikut jalan-jalan."Gimana Aldi? Keluar bentar sana sama Puspa. Kali aja bisa ngilangin stres," ucap ibu lagi. "Tenang aja nggak usah dipikirin pekerjaannya. Kalau nggak dapat pekerjaan lagi bisa buka usaha kecil-kecilan."Mas Aldi mengangguk. Aku pun mengirim pesan kepada Pita agar bersiap-siap. Kami akan menjemputnya untuk diajak jalan-jalan.***Awalnya Pita mengekor di belakang. Aku dan mas Aldi berjalan beriringan. Tapi, tidak terlihat seperti suami istri karena mas Aldi hanya memasang wajah datar dan sedikit jaga jarak.Kami hanya melihat-lihat hamparan pedagang mulai dari aksesoris, pakaian sampai alat-alat memasak yang ada di pasar malam itu. Aku tidak tertarik membeli apapun, karena mau beli baju model apapun tetap tidak terlihat keren di tubuhku.Pita berhenti di stand penjual jam tangan. Melihat-lihat berbagai model jam tangan yang diberi plakat diskon 50%."Yang ini sama yang ini bagus nggak, Mbak?" tanya Pita menunjuk dua merk jam tangan yang berbeda."Bagusan yang ini kayaknya." Aku menunjuk jam rolex KW berwarna putih."Yaudah bang yang ini," ucap Pita kepada si pedagang. Kemudian tangannya mulai merogoh tas selempangnya untuk mengambil uang.Saat Pita hendak memberikan uangnya kepada si pedagang, mas Aldi tiba-tiba sudah menyodorkan beberapa lembar uang ke arah mas-mas itu.Seketika itu juga, ada sebuah rasa tidak nyaman yang menyelinap masuk ke dalam hatiku. Seperti sebuah rasa cemburu.Pita sempat menolak dibayari oleh mas Aldi. Mas Aldi melemparkan seulas senyum, membuat Pita tak kuasa menolaknya.Senyuman itu bahkan tidak pernah ditunjukkan kepadaku yang statusnya adalah istrinya sendiri.Kami kembali berkeliling melihat barang-barang yang diperjualkan. Ada beberapa orang yang bilang bahwa mas Aldi dan Pita adalah pasangan yang serasi.Padahal istri mas Aldi adalah aku."Mbak naik komedi putar yuk!" ajak Pita setelah kami sampai di area wahana permainan di pasar malam."Nggak ah, takut," tolakku karena melihat badanku yang semakin hari semakin bertambah gembul."Yah." Pita tampak kecewa."Suruh temenin mas Aldi aja, tuh," ucapku asal."Nggak nyaman lah." Pita menolak.Mas Aldi yang berdiri di sebelahku tiba-tiba melangkah menuju ke tukang karcis."Tuh, mas Aldi mau naik. Cepet sana!" Aku mendorong-dorong tubuh Pita agar segera mengekori mas Aldi.Mereka berdua mulai naik ke atas komedi putar. Aku hanya menyaksikan dari bawah.Ada rasa sesak yang menjalar di dada ketika melihat mereka berdua tampak berbincang-bincang selayaknya sepasang kekasih.Dan, mas Aldi yang selalu terlihat dingin di depanku tampak tertawa lepas di dalam gerbong komedi putar bersama Pita.****"Hey, gajah! Nglamun mulu lo!" celetuk Ben, si barista kopi, saat aku sedang beristirahat di pojok dapur.Kebetulan kafe sedikit lenggang. Aku memutuskan untuk beristirahat setelah beberapa menit yang lalu begitu kuwalahan melayani pesanan."Ndut, kok lo bisa cepet banget, sih, nglayanin pelanggan. Lo dulu pernah dagang gado-gado, ya?" ucap Sevelyn sambil terkikik.Aku hanya terdiam masam. Pasrah menjadi bahan bullyan mereka setiap hari.Lagipula, menjadi target bullyan sudah menjadi makananku sehari-hari. Hanya mas Aldi yang tidak pernah membully. Walaupun wajah dinginnya lebih menyiksa batinku.Ah, sudahlah! Tidak perlu memikirkan laki-laki itu lagi. Dia hanya sebatas mantan suami yang tega membiarkanku menjadi janda perawan yang tidak pernah disentuh."Denger-denger lo tinggal sama bos Reno. Lo pakai pelet apaan sampai bisa naklukin hatinya bos Reno?" tanya Cindy dengan kepo.Aku hanya terdiam. Dijawab salah, nggak dijawab tetep dibully. Mendingan diam."Pakai goyangan Inul kali, Cyn." Ben terkekeh."Dia goyang langsung gempa, kali, ya." Sevelyn menyahuti."Dia itu salah satu ciri-ciri perempuan yang cuma punya dua kemungkinan pas lagi kumpul sama teman-temannya. Kalau nggak ngumpulin dosa ya ngumpulin lemak."Kosong. Padahal mereka sebenarnya sedang mengata-ngatai diri mereka sendiri. Biarlah aku ngumpulin lemak. Daripada mereka selalu ngumpulin dosa."Tapi, seriusan deh Pus, lo itu sebenarnya cantik," ucap Cindy memuji. "Kalau digandengin sama sapi hahaha ...."Hadeh. Parah! Capek begini terus. Aku ingin cepat-cepat menagih janji Reno agar membawaku ke salon. Lalu, membungkam mulut mereka.Tak lama kemudian, pria yang baru saja aku pikirkan datang. Tumben sekali. Biasanya dia tidak pernah meng-handle kafe ini secara langsung. Karena semuanya sudah dipasrahkan kepada Melin."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam," jawab kami serempak."Yuhu, bos Reno yang paling ter-ter datang. Pasti mau kasih bonus ini," teriak Sevelyn dengan nada alay-nya.Reno hanya tersenyum. "Bonusnya nanti, akhir bulan.""Mantap, bonusnya apaan, nih?""Gue beliin es teh dua gelas.""Yah, masak cuma itu," gerutu Sevelyn.Reno terkekeh. "Gue mau ajak Puspa pulang duluan.""Wah, kok bos Reno sayang banget sih sama Puspa?" Cindy terlihat iri."Besok ada acara, Puspa harus lembur bersihin rumah gue."Aku mengerucutkan bibir. Sementara Cindy tertawa. "Hmm, romantis beud dah.""Ayo, Pus." Reno memberiku kode untuk mengikutinya keluar dari kafe."Owh pantesan, ternyata si Puspa cuma diperalat aja sama bos Reno."Ucap Sevelyn sebelum aku beranjak dari duduk.Terserah kalian mau ngomong apa. Aku buru-buru mengekori Reno memasuki mobil."Ada acara apa?"Reno tersenyum simpul. "Nggak ada."Aku berdecak. "Ishh, gimana, sih?""Cuma alasan aja, biar lo bisa pulang agak cepet." Reno mulai melajukan mobilnya keluar dari parkiran kafe.Hingga beberapa menit kemudian, pria itu menghentikan mobilnya di sebuah hotel bintang lima.Reno melirik jam tangannya. Bentar lagi mereka pasti datang."Siapa, sih?" Perasaanku mulai tidak enak. Mengingat-ngingat satu nama."Nah, pas banget. Itu mereka."Aku langsung menganga lebar melihat mobil mas Aldi memasuki hotel bersama seorang perempuan.Apakah perempuan yang bersama mas Aldi itu Pita?Bersambung..."Cuma alasan aja, biar lo bisa pulang agak cepet." Reno mulai melajukan mobilnya keluar dari parkiran kafe. Hingga beberapa menit kemudian, pria itu menghentikan mobilnya di sebuah hotel bintang lima. Reno melirik jam tangannya. "Bentar lagi mereka pasti datang." "Siapa, sih?" Perasaanku mulai tidak enak. Mengingat-ngingat satu nama. "Nah, pas banget. Itu mereka."Aku langsung menganga lebar melihat mobil mas Aldi memasuki hotel bersama seorang perempuan. Terlihat dari kaca jendela mobil mereka yang terbuka. Apakah perempuan yang bersama mas Aldi itu Pita? "Itu Pita, ya!" Aku menggeram. Plak!! Reno langsung menggeplak dahiku, hingga beberapa jerawat meletus. "Sensi mulu lo sama adiknya." Reno mendengkus, masih mengamati mobil mas Aldi yang hendak di parkirkan. Kami mangamati dari balik pagar gedung. Tak lama kemudian, mas Aldi turun dengan seorang perempuan bertubuh tinggi semampai yang mengenakan dress mini berwarna merah. Mas Aldi melangkah sambil memegang pinggul wanita
Betapa terkejutnya aku sesampainya di depan rumah Pita. Melihat mobil mas Aldi terparkir di sana.Mereka pasti cuma berdua. Karena Fano jam segini sudah berangkat bekerja. Ngapain? Aku sedikit ragu untuk masuk. Namun, setelah mengumpulkan segenap keberanian. Akhirnya kaki ini melangkah memasuki rumah Pita. "Assalamu'alaikum."Mas Aldi tampak terkejut melihat kehadiranku. Begitu pula Pita yang baru saja kembali ke dapur. Dengan wajah sembabnya. Dia habis menangis? "Mbak Puspa sejak kapan ada di sini?" tanya Pita dengan ekspresi kaget. Aku hanya merapatkan bibir, mengalihkan pandangan ke arah mas Aldi yang memperlihatkan wajah tidak suka. Pria itu langsung buang muka saat ditatap. Pita meletakkan secangkir teh panas di atas meja kemudian duduk sambil memangku nampan. Suasananya begitu canggung. "Kenapa kalian berdua di sini?" tanyaku dengan bibir bergetar. Sudut mata mas Aldi menatap ke arahku sinis. "Nggak boleh, ya, mantan kakak ipar berkunjung ke rumah adik ipar."Cih, pad
"Puspa, Pita tewas di bunuh orang."Deg. "Pita?"Kami berdua langsung tergesa-gesa menuju ke mobil. Aku berteriak histeris dengan air mata yang berlinang. Ingin cepat-cepat sampai ke tempat tujuan. Benarkah Pita tewas?Adikku? Mati? Dibunuh orang? Pita meninggal? Aku kembali menangis histeris. Reno yang mengemudikan mobil tampak gugup. Hingga beberapa menit kemudian kami sudah sampai dikediaman rumah Pita. Sudah banyak orang di sana. Aku langsung membuka pintu mobil, kemudian berlari dengan tergesa-gesa. Menerjang kerumunan pelayat, diikuti Reno di belakang. "Pita!!" teriakku tak terkontrol. Tubuh ini membeku seketika. Melihat pemandangan yang terjadi. Jenazah yang penuh luka sedang dibacakan surah yasin oleh beberapa pelayat. Bukan Pita yang meninggal, tapi ... Fano. Aku langsung melotot ke arah Reno yang menaikkan kedua jarinya membentuk peace. "Salah informasi gue."Kakiku langsung melangkah menghampiri Pita yang menangis tersedu-sedu di depan jenazah suaminya. Aku meng
"Mas Aldi kenapa ke sini? Naik mobil kan enak, nggak perlu takut kehujanan. Bisa terus melaju walaupun hujan deras."Pria itu menghela napas. "Aku ke sini ingin menebus kesalahan-kesalahanku."Deg. Aku menatap wajahnya yang sedikit basah terkena air hujan. Kemudian menunduk kikuk. "Lupain aja, aku udah maafin kok."Aroma parfume dari tubuh mas Aldi langsung menusuk indra penciuman ketika hembusan angin dingin menerpa tubuh. Aku mulai menggigil karena hujan tak kunjung reda. Apalagi di sebelahku ada sosok yang membuat jantung ini berdebar-debar. Membuat perasaan semakin resah tak keruan. "Pus, maafin aku," ucap mas Aldi lagi. Padahal aku sudah menjawab pertanyaan itu. Aku hanya terdiam. Menyaksikan guyuran hujan yang membasahi bumi. Apapun yang kamu katakan aku sudah tidak peduli, Mas. Sakit hati ini sudah tidak bisa diobati. "Kalau waktu bisa diputar kembali enak, kali, ya?" gumam mas Aldi. "Tidak ada orang yang berlari, tidak ada langkah yang terlambat, tidak ada kedatangan yang
Aku terpaksa berangkat kerja diantar mas Aldi. Daripada dia terus merengek-rengek seperti anak kecil di depan rumah Pita. Untung saja pria itu tidak sempat melihat jaketnya yang teronggok di dalam tong sampah. Aku menghela napas lega. Kemudian masuk ke mobil dengan malas. Mas Aldi meraih sesuatu dari kursi belakang penumpang. Sebuket bunga mawar 15 tingkai. Dengan warna merah dan pink, dihiasi oleh pita merah yang membuat bunga itu semakin terlihat indah. "Buat kamu."Aku terperangah beberapa saat, kemudian meraih bunga tersebut dengan tubuh kaku. "Suka nggak?" Mas Aldi mulai melajukan mobilnyaAku menelan ludah dengan susah payah. Kemudian menghirup aroma harum pada bunga mawar yang menyejukkan itu. "Maaf, ya, dulu aku tidak pernah sempat memberikan bunga itu kepadamu."Rasanya seperti menjadi ironman. Aku menghempaskan tubuh ke kursi kemudi sambil menatap ke depan. Memangku bunga buket dengan tangan kebas. Apa yang terjadi? Aku tidak boleh takluk oleh laki-laki bajingan ini! A
Tin ... Tin ... Tin ...!!!Mobil itu membunyikan klakson Gawat! Berarti dia sudah sangat dekat. Atau mungkin sudah tepat berada di belakang kami. Langkah ini langsung terhenti, tubuhku membeku. Ben pun turut menghentikan langkahnya dengan napas terengah-engah. Mobil hitam itu mengerem tepat di sebelah kami. Kacanya terbuka, menampilkan seorang laki-laki tua berkepala botak. Aku langsung mendengkus. Karena ternyata si pemilik mobil itu bukan mas Aldi. "Kalian maling motor, ya?" tanya bapak itu. Aku melirik Ben yang terlihat kikuk. "Ah, enggak, Pak. Ini motor saya sendiri.""Terus kenapa motornya nggak dinaikkin?""Mogok hehe...""Kok, lari?""Hmm, anu, Pak." Ben menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aku hanya nyengir kuda. "Kalau mogok, kenapa kalian berdua lari?""Iya, itu ...," Ben tampak gugup. "Olahraga, Pak, iya hehe ...."Bapak berkepala botak itu turun dari mobil. "Kalian ini patut dilaporin ke polisi. Jangan-jangan kalian yang sering maling motor di kawasan sini
Mas Aldi berakhir dengan sebuah tamparan dari kekasih gelapnya yang bernama Santi. Ketika mengeluh uangnya habis saat wanita itu berbelanja bahan-bahan branded.Meskipun begitu, mas Aldi tetap membayar notanya setelah Santi pergi dengan wajah kesal. Sangat tidak tahu diri wanita itu. Aku jadi sedikit kasihan dengan mas Aldi. Wajahnya terlihat lesu setelah kembali lagi padaku. "Makan, yuk, Pus.""Uangmu nggak habis, Mas?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis. "Ini masih ada sisa dikit." Mas Aldi masih mencoba tersenyum. Aku jadi berempati kepadanya. Kami berdua berjalan menenteng bahan belanjaan menuju ke restoran seafood yang ada di dalam mall. "Begitulah kira-kira Pus, banyak wanita yang datang hanya karena ada maunya," keluh mas Aldi ketika kami sudah duduk di salah satu kursi. "Tapi kan, setidaknya mereka mau mas tiduri," sindirku santai. "Enggaklah, aku bukan laki-laki seperti itu." Mas Aldi mengerucutkan bibir. Aku tersenyum miring, sambil menggidikkan bahu. Aku sudah tah
"Will you marry me?" Reno menegaskan kata-katanya. Seolah meyakinkan yang akan dinikahinya itu aku, bukan Pita. Haduh, gimana, ya? Jantungku rasanya sudah ingin loncat. "Pus."Aku menelan ludah dengan susah payah. "Kamu nggak lagi ngeprank, kan?""Ngeprank gimana maksudnya?""Biasanya kamu suka ngerjain aku." Aku tertunduk malu. Takut kalau dijawab iya, ternyata Reno cuma becanda. Reno meletakkan kotak cincin ke atas meja, kemudian tangannya merayap dan meraih jari jemariku. Jantung ini berdesir hangat saat tangan kasar Reno memegang tanganku. "Pus, aku serius!""Kamu pasti cuma ngeprank, aku hafal sifatmu." Aku mencoba tertawa garing untuk menutupi kegugupan. "Kamu menganggap aku kayak gitu?" Reno menatapku dengan tatapan serius. Aku mengangguk malu. Tidak berani membalas tatapannya. "Aku serius, Pus."Tenggorokanku tersekat. Lidah terasa kelu untuk berucap. "Lalu, Pita?""Jadi, karena aku terlihat dekat dengan Pita, kamu meragukanku?""Kamu yang bilang sendiri akan menikah d