‘Jika kau pergi, kau mungkin akan mati. Aku tidak ingin kehilangan siapa pun lagi.’
Ming Yue teringat, di kehidupan sebelumnya, sang kakak yang gemar berjudi itu seharian ada di rumah judi. Sampai ketika dini hari ia dan Ayahnya dikejutkan bahwa Ming Hao ditemukan tewas karena dirampok.
Tapi bukan itu yang sebenarnya terjadi, sesungguhnya saat itu Ming Hao menang melawan Qiang Yuze yang juga suka berjudi sambil menyembunyikan identitasnya, dia kesal dan tidak terima yang pada akhirnya membunuh Ming Hao. Ming Yue tak bisa membiarkan hal itu terjadi lagi.
Melihat adiknya hanya diam saja, Ming Hao mendengus. “Pergi sana, bocah jelek,” balasnya mengejek.
Namun Ming Yue tak mau menyerah. “Kakak akan pergi ke rumah judi, kan? Lihat saja, akan kuberitahu Ayah!” ancamnya.
“Hei, diamlah!” desis Ming Hao cepat, wajahnya mendadak panik. Ia menoleh kanan-kiri, seakan takut ada yang mendengar.
“Kalau begitu, berhentilah datang ke rumah judi. Kakak itu calon pemimpin keluarga Ming, harusnya menjaga martabatmu,” lanjut Ming Yue dengan suara yang penuh tekanan.
“Cih! Kau bocah kecil tahu apa. Jangan menasihatiku!” Ming Hao membalas sengit, meski nada bicaranya terdengar seperti menutupi rasa bersalah.
Ming Yue mengepalkan tangannya jengkel. Kakaknya ini sungguh keras kepala. “Bagaimana jika kita bertaruh? Jika Kakak kalah, jangan pernah datang lagi ke rumah judi atau mabuk-mabukan!”
Ming Hao terdiam sejenak, lalu tertawa keras, menganggap tantangan itu hanya candaan biasa. Namun tetap menanggapi perkataan adiknya.
“Baiklah! Kau akan menyesal menantangku,” jawabnya penuh percaya diri. Ia lalu menoleh pada seorang pelayan muda yang kebetulan lewat. “Xiao Dai! Kemari!”
Pelayan itu segera menghampiri, menunduk hormat.
Mereka bertiga pun pergi ke gazebo di halaman belakang dan bermain permainan dadu seperti yang ada di rumah judi. Lalu Xiao Dai sebagai pemegang uang taruhan dan yang melempar dadu.
Ming Yue sendiri baru kali ini memainkannya, tapi sering memperhatikan bagaimana trik orang seperti Qiang Yuze dulu memanipulasi permainan. Dan kali ini ia berniat menggunakan pengamatan kecilnya.
“Baik, mulai,” ujar Ming Hao sambil menyilangkan tangan di dada, yakin akan menang.
Cangkir diguncang, dadu dilempar. Angka muncul. Taruhan pertama jatuh ke tangan Ming Yue. Ming Hao hanya mendengus, menganggap awalnya hanya kebetulan. Lalu permainan berlanjut, satu kali, dua kali, hingga lebih dari sepuluh kali. Dan setiap kali, Ming Yue berhasil menebak atau memutar keberuntungan ke pihaknya.
“Lihat? Aku menang!” seru gadis itu bersorak, matanya berbinar penuh kemenangan.
Sedangkan Ming Hao kini mematung, sulit percaya pada kenyataan.
“Bagaimana bisa? Biasanya aku tak pernah kalah,” gumamnya pelan, wajahnya pucat karena tak terbiasa merasakan kekalahan apalagi oleh adiknya sendiri.
“Sudahlah, terima saja. Ini sudah takdirmu,” balas Ming Yue sambil mengangkat dagu, nada suaranya penuh kesombongan.
“Cih, hanya keberuntungan pemula,” balas Ming Hao, berusaha menjaga gengsi.
“Ya benar, keberuntungan pemula, sampai dua belas kali mengalahkan pemain ulung?” ledek Ming Yue sambil tertawa puas.
Ming Hao mendengus, wajahnya semakin memerah menahan jengkel.
“Sesuai kesepakatan, mulai sekarang Kakak tidak akan pernah pergi ke rumah judi lagi. Mengerti?” tuntut Ming Yue dengan tegas.
Ming Hao memalingkan wajah, enggan menjawab, tapi diamnya justru menandakan ia tak bisa mengelak. Janji adalah janji.
“Xiao Dai, beritahu Ayah jika kakakku pergi diam-diam ke rumah judi lagi,” pinta Ming Yue.
Pelayan itu pun mengangguk paham.
Ming Yue kembali menatap kakaknya. “Dari pada bermain-main, lebih baik kau membantu Ayah mengurus wilayah Ming, dia sudah sangat sibuk dengan urusan di kementerian.”
“Tidak perlu menasihatiku, bocah kecil,” balas Ming Hao, terlihat jelas dia masih jengkel.
Ming Yue hanya menggeleng pelan. “Oh ya, kakak. Tolong ajari aku bela diri, berpedang mungkin,” pintanya.
“Malas. Kau terlalu lemah,” jawab Ming Hao singkat, lalu berbalik pergi.
“Karena itu aku ingin belajar! Hei, tunggu!” Ming Yue berteriak, tapi kakaknya hanya melambaikan tangan, berjalan menjauh tanpa menoleh lagi.
Ming Yue menghela napas panjang menghadapi kakaknya yang menyebalkan.
Malam pun tiba. Di kamarnya yang remang, Ming Yue duduk termenung. Kenangan pahit masa lalu berkelebat, meski perih dan sesak, ia harus mengingatnya agar tak jatuh lagi dalam kesalahan yang sama.
‘Sepertinya aku harus memulai dengan Song She,’ batinnya memutuskan.
Ming Yue kemudian mengambil botol kecil di lacinya, menusukkan satu jari dengan tusuk kondenya, dan tetesan daranya pun tertampung ke dalam botol kecil itu.
‘Lihat saja, kau akan merasakan apa yang kurasakan, Qiang Yuze,’ gumamnya dalam hati, dengan mata berkilat penuh tekad.
Keesokan harinya, di siang hari yang cerah, Ming Yue pergi keluar, ditemani pelayannya bernama Xiao Dai.
“Kita mau ke mana, Nona?”
“Toko pakaian, untuk musim dingin nanti,” jawab Ming Yue.
“Tapi kenapa tadi kita pergi ke jalan memutar? Bukankah lebih cepat jika melewati jembatan?” lagi Xiao Dai bertanya, dengan raut keheranan.
Ming Yue terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Aku hanya ingin berjalan-jalan lebih lama,” jawabnya.
Pelayan itu mengangguk, tak bertanya lagi.
Namun di balik senyumnya, wajah Ming Yue menyiratkan kegelisahan bercampur sakit hati.
‘Jika aku melewati jembatan itu, aku mungkin akan bertemu dengan si brengsek Qiang Yuze,’ batinnya bergumam, jemarinya mengepal erat menahan gejolak emosi yang campur aduk.Karena di masa lalu, di hari dan tanggal yang sama saat itu Ming pergi menyendiri setelah pemakaman kematian kakaknya, dan jembatan ia bertemu Qiang Yuze yang sedang menyamar. Karena terlihat sedang bersedih, Qiang Yuze menghiburnya seperti seorang pria sejati, dan berhasil membuat Ming Yue kembali tersenyum. Pertemuan itu tanpa sadar membuat Ming Yue jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan itulah awal mula petaka baginya.
Tanpa memberikan kesempatan untuk protes, Qiang Jun meremas pinggang istrinya dengan cukup kuat hingga gadis itu meringis.“Ahk!”Qiang Jun menyeringai kecil. “Benar, seperti itu. Tapi lebih lembut lagi,” bisiknya.Satu tangan Qiang Jun memeluk pinggang Ming Yue, sementara tangan satunya meraih tiang ranjang dan menggoyangkannya perlahan. Suara berderit kayu pun terdengar, seolah menambah irama palsu dari malam pertama yang tengah dia ciptakan.Ming Yue menahan nafas, wajahnya memerah karena kesal bercampur malu.“H-hentikan, Yang Mulia, apa—” Namun sebelum ia melanjutkan kata-katanya, Qiang Jun menarik tengkuk Ming Yue agar lebih mendekat padanya.“Ada sekretaris Kaisar, utusan Ibu suri dan pelayan Permaisuri di luar, jika kau tak ingin benar-benar melakukannya, kita harus ‘lewati’ malam ini dengan baik, kau paham maksudku kan?” bisik Qiang Jun memberitahu.Ming Yue tercekat, sarulah saat itu ia tersadar. ‘Ah benar, aku lupa,’ pikirnya.Tradisi di keluarga kekaisaran, mereka diam-dia
Iring-iringan pengantin wanita akhirnya tiba di depan Istana Kekaisaran. Para pelayan berbaris rapi di sisi kiri dan kanan, sementara para pejabat serta kerabat istana menundukkan kepala penuh khidmat.Dari dalam tandu, Ming Yue, sang pengantin wanita, akhirnya melangkah turun. Dan di ujung pelataran, pengantin pria sudah menanti. Qiang Jun, duduk tegak di kursi roda, mengenakan pakaian pengantin berwarna merah pekat dengan corak awan keberuntungan.Meski tubuhnya tampak ringkih, wajahnya memancarkan pesona luar biasa, garis wajah yang tegas, serta tatapan mata yang dalam. Sekilas, pria itu benar-benar tampak seperti sosok Pangeran dalam lukisan.Ming Yue terdiam sejenak begitu langkahnya menginjak keluar.‘Terakhir yang kuingat dia seperti orang sakit dan sangat kurus, tapi jika sehat dia memang lebih tampan dari Qiang Yuze,’ pikirnya, dengan jantung berdegup lebih kencang tanpa ia sadari.Qiang Jun mengulurkan tangan. “Selamat datang, istriku,” ucapnya dengan suara berat namun terde
Mendengar hal itu, sudut bibir Ming Yue terangkat membentuk seringai kecil. “Kau bilang apa? Milikmu?”Lao Lan tersentak, baru saat itu ia menyadari kebodohannya sendiri, kata-kata yang harusnya tersembunyi justru meluncur begitu saja.Ming Yue terkekeh, tawanya terdengar meremehkan.“Kau bilang Putra Mahkota milikmu? Jangan terlalu berkhayal, Lao Lan. Hampir semua orang mengagumi Putra Mahkota, sainganmu itu sangat banyak, jadi tidak perlu sekesal ini,” ucapnya, lalu melirik pada Xiao Lin yang masih merias rambutnya. “Benar kan Xiao Lin?”“Betul Nona,” jawab pelayan itu mengangguk, dia menahan senyuman menyadari bagaimana Ming Yue mempermainkan sepupunya.Wajah Lao Lan memerah, bukan karena malu, tapi karena amarah yang memuncak. Tangannya terkepal erat, berusaha menahan diri.“Kalau begitu,” desis Lao Lan. “Kenapa kau tidak memilih Putra Mahkota? Itu kesempatan emas! Kau bisa menjadi Permaisuri di masa depan!”Ming Yue menghela napas pelan, lalu menatapnya datar.“Entahlah, aku tak
Ming Yue teringat di kehidupan sebelumnya, kala itu, Qiang Yuze memang pernah terluka saat menangkap perampok di sebuah toko. Kebetulan Ming Yue sendiri melihat kejadian itu ketika sedang keluar rumah. Para perampok ditangkap, dan Qiang Yuze yang sedang menyamar, akhirnya ketahuan identitasnya oleh prajurit istana.Orang-orang yang menyaksikan langsung terpesona oleh keberaniannya, seorang Putra Mahkota yang rela mempertaruhkan nyawa demi rakyat. Reputasinya pun melambung tinggi.Namun, hanya Ming Yue yang akhirnya tahu kebenarannya. Semua itu hanyalah pencitraan murahan. Perampok yang ditangkap bukanlah penjahat sungguhan, melainkan orang suruhan Qiang Yuze sendiri.Ming Yue di kehidupan lalu yang sudah terlanjur jatuh cinta kepadanya, dengan bodohnya justru membantu mengobati luka Qiang Yuze diam-diam. Di sana rahasianya terbongkar, dan sejak itulah hidupnya terjerat, berakhir di sisi seorang pria yang hanya memanfaatkannya.Ming Yue mengepalkan tangannya erat, hingga buku-buku jari
Hari-hari berlalu, kabar tentang pernikahan Pangeran Kedua dengan putri keluarga Ming menyebar cepat ke setiap sudut kekaisaran.Tiap sudut jalan, kedai teh, hingga rumah pejabat dipenuhi bisik-bisik penuh rasa ingin tahu. Banyak yang terkejut, tak menyangka ada seorang gadis yang bersedia menikah dengan Pangeran yang terkenal cacat dan sangat jarang muncul.Di halaman kediaman Ming, seorang gadis yang tengah jadi perbincangan hangat malah terlihat santai sambil menarik busur di tengah latihannya.“Yue, aku akan bertanya sekali lagi, kau yakin akan menikah dengan Pangeran Kedua? Dia 5 tahun lebih tua darimu,” tanya An Beiye guru bela dirinya. Entah sudah berapa kali pria itu menanyakan hal yang sama.Ming Yue menoleh sekilas, bibirnya melengkung tipis dan menjawab. “Aku yakin, guru. Dan memangnya kenapa usia kami berbeda 5 tahun? Itu hal biasa, sudahlah jangan bertanya lagi.”An Beiye menghela nafas berat. “Kakakmu bahkan masih belum menikah.”Ming Yue menarik anak panah lain dari tab
Beberapa hari berlalu. Di dalam ruang utama kediaman Permaisuri yang luas, dengan pilar merah menjulang dan tirai sutra. Seorang wanita paruh baya mengenakan jubah brokat berhiaskan benang emas. Dialah Permaisuri Yi Ran, wanita anggun yang tengah menikmati teh paginya.Tiba-tiba seorang pelayan perempuan masuk, dia mendekat lalu berbisik pelan. “Yang Mulia, perjodohan Putra Mahkota dibatalkan, Putri keluarga Ming memilih menikah dengan Pangeran kedua.”Cangkir teh hampir terlepas dari tangan Yi Ran. Ia menoleh cepat, matanya yang tajam mendelik penuh rasa terkejut. “Apa? Pangeran kedua? Tapi kenapa?” Pelayan di sampingnya menunduk semakin dalam. “Saya tidak tahu alasannya. Hanya itu yang bisa saya cari tahu.”Yi Ran mendengus keras, wajahnya menegang. Kemudian menyilangkan kedua lengan di dada, tubuhnya dipenuhi aura kemarahan.“Cih! Dasar gadis bodoh! Sia-sia aku menuruti Kaisar hingga menunda pernikahan Putraku, hanya demi memenuhi perjanjian Kaisar terdahulu dengan keluarga Ming.