MasukDi tengah kebingungan itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamarnya.
Tok! Tok!
“Yue! Kau sudah bangun? Cepatlah, aku lapar. Ayah menunggumu untuk sarapan bersama!” teriak seorang pria dari luar, suara yang terasa begitu akrab.
Tubuh Ming Yue tersentak. Ia bergegas turun dari ranjang, langkahnya gontai namun cepat menuju pintu. Saat dibuka, matanya membelalak. Di hadapannya berdiri sosok lelaki muda dengan sorot mata jenaka yang sudah sangat lama tak ia lihat.
“Cepat ganti pakaianmu, jelek,” ejek pemuda itu sambil menyeringai. Dialah Ming Hao, satu-satunya kakak laki-lakinya. Dan seharusnya ia sudah lama meninggal.
Tanpa pikir panjang, Ming Yue langsung memeluknya erat. Air mata yang tak sempat ia tahan jatuh membasahi bahu kakaknya.
“Kakak,” gumamnya lirih. “Syukurlah, kau masih hidup.” Pelukannya sedikit gemetar, namun ia bersyukur bisa melihat kakaknya lagi.
Ming Hao tercengang, ekspresinya bingung. Biasanya, jika ia mengejek adiknya, Ming Yue akan kesal dan membalas dengan umpatan atau lemparan bantal.
“Hei, apa kau mabuk? Kenapa tiba-tiba begini? Tentu saja aku hidup, kau berharap aku mati?” tanyanya heran.
Ming Yue melepas pelukan itu. Ia menyeka sudut matanya diam-diam, menarik napas panjang, lalu kembali bersikap seperti biasa.
“Aku hanya bermimpi kau mati dimakan rayap, dan lagi pula, aku bukan pemabuk sepertimu” balasnya mengejek.
Ming Hao menggeram kesal. “Apa kau bilang bocah?!”
Ming Yue berbalik, kembali masuk ke dalam kamar sambil tersenyum kecil. “Sana, tunggu saja di ruang makan. Aku harus berdandan cantik untuk menemui Ayah,” ucapnya.
Ming Hao mendengus, memutar bola matanya. “Tidak perlu repot-repot. Kau sudah jelek sejak lahir.”
“Berisik!” teriak Ming Yue kesal, membanting pintu kamar.
Brak!
Ming Hao hanya tertawa puas dengan raut jahilnya, selalu menyenangkan mempermainkan adik kecilnya itu.
Namun di dalam kamar, Ming Yue berdiri terpaku. Jemarinya meremas kain bajunya sendiri, tubuhnya bergetar halus. Semua penderitaan yang ia alami bukanlah sekedar mimpi, dia ingat semua dan itu sangat nyata.
‘Apa mungkin aku terlahir kembali?’ batinnya menduga.
Di ruang makan keluarga, aroma teh hangat dan aneka kue kukus memenuhi udara. Tiga anggota keluarga Ming duduk bersama, suasana akrab dan damai. Namun di antara mereka, Ming Yue tampak berseri, sambil diam-diam menatap Ayahnya dengan senyuman manis seperti kelinci sampai lesung pipitnya terlihat jelas.
“Ada apa, Yue? Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan?” tanya Ming Lei, sang ayah, yang tentu menyadari tatapan putrinya.
“Hm tidak ada. Aku hanya senang kita makan bersama” jawab Ming Yue.
“Setiap hari kita makan bersama, apa istimewanya?” sahut Ming Hao berkomentar.
Ekspresi Ming Yue seketika berubah masam. Ia mengambil sebuah bakpao dari piring dan langsung menyumpalkannya ke mulut sang kakak.
“Aku bicara dengan Ayah, bukan denganmu!” bentaknya.
“Dasar bocah menyebalkan, aku ini kakakmu!” teriak Ming Hao tak mau kalah.
Namun segera di lerai oleh Ming Lei. “Sudah cukup kalian berdua, makanlah dengan tenang,” ucapnya menegur dengan tegas.
Dua saudara yang selalu bertengkar itu akhirnya diam dan melanjutkan sarapannya. Meski jengkel, Ming Yue merasa dadanya hangat. Betapa berharganya momen sederhana ini, momen yang dulunya ia anggap biasa saja.
“Ayah,” ujar Ming Yue tiba-tiba. “Hari ini tanggal berapa? Dan tahun berapa?”
Ming Lei menoleh, agak sedikit heran dengan pertanyaan itu, tapi tetap menjawab. “Hari ini tanggal 20, tahun 975 kalender Qin. Memangnya kenapa?”
Ming Yue terdiam, kaget. Namun masih bisa mengontrol ekspresinya. “Tidak apa-apa,” jawabnya dengan senyuman tipis.
‘Tahun 975. Artinya aku masih berusia 20 tahun dan belum bertemu Qiang Yuze,’ batinnya bergumam. Tangannya yang tersembunyi di bawah meja mengepal erat saat mengingat nama itu, nama yang membuatnya mengalami banyak penderitaan dan rasa sakit.
Usai sarapan, Ming Yue berjalan menuju kamarnya. Namun langkahnya terhenti saat melihat Ming Hao melangkah pergi menuju pintu utama.
‘Jika ini tanggal 20, maka besok...’ batin Ming Yue baru teringat. Dengan cepat ia berlari mengejar kakaknya.
“Kakak!” teriak Ming Yue.
Ming Hao berhenti, menoleh dengan alis terangkat. “Apa lagi? Aku ada urusan. Jangan mengikutiku.”
Ming Yue segera meraih lengan kakaknya, menggenggamnya erat. “Tidak. Hari ini jangan pergi ke mana pun,” pintanya.
Alis Ming Hao berkerut. “Kau bicara apa sih? Jangan mengaturku. Pergilah bermain dengan temanmu sana.” Ia berusaha menarik lengannya, tapi Ming Yue menggenggam semakin kuat.
“Temani aku. Hari ini, tetaplah di sini, temani aku bermain,” desaknya bersikeras.
Sorot mata Ming Hao berubah jengkel. “Kau kenapa sebenarnya? Sejak pagi tingkahmu sangat aneh.”
Ming Yue terdiam. Hatinya terasa berat, begitu banyak kata yang ingin ia ucapkan, tapi semuanya tertahan di tenggorokannya.
‘Jika kau pergi, kau mungkin akan mati. Aku tidak ingin kehilangan siapa pun lagi,’ batinnya.
Qiang Jun sedikit mengernyit.“Untuk apa?” tanyanya datar.Yong Bai sedikit gugup, tapi tetap menunduk hormat.“Saya hanya ditugaskan memanggil Anda berdua.”Qiang Jun terdiam sejenak, terlihat enggan. Dalam benaknya, dia sudah menebak apa yang akan dikatakan kaisar nanti.“Baiklah, kami ke sana,” jawabnya.Tapi bukan Qiang Jun, melainkan Ming Yue.“Tunggu, Yue—“Qiang Jun hendak menolak, namun Istrinya sudah memegang lengannya.“Ayo cepat. Tidak sopan menolak perintah Yang Mulia.”Ming Yue langsung menghabiskan tanghulu terakhir di tangannya. Kemudian pergi menarik Qiang Jun pergi.Lagi-lagi pria itu tak bisa menolak ajakan Istrinya.Setelah mengikuti Yong Bai, akhirnya mereka tiba di ruang tamu istana utama. Semua anggota keluarga kekaisaran tengah berkumpul.Qiang Jun menghela nafas pelan.‘Kan. Sudah kuduga,’ pikirnya.Ming Yue segera membungkuk sopan.“Maaf membuat Anda menunggu, Yang Mulia.”Sementara Qiang Jun hanya mengangguk singkat. Sikap sopan minimal yang selalu dilakukan
“Tunggu. Apa?” Qiang Mingze memiringkan kepalanya tak paham. ”Kenapa kau tidak mau?”Qiang Jun hanya mengangkat kedua bahunya santai.“Saya hanya tidak mau melakukannya,” jawabnya asal.Aula sontak makin riuh oleh bisikan, namun Qiang Jun tidak menggubris. Ia justru menoleh pada istrinya.“Tidak apa, kan, Yue?”Ming Yue menatap suaminya sejenak, lalu tersenyum tipis.“Aku hanya mengikutimu saja.”Senyuman lega terbit di bibir pria itu.“Kalau begitu, kita kembali.”Ming Yue mengangguk pelan. Mereka berdua lalu membungkuk sopan.“Kami masih ada pekerjaan lain yang harus dilakukan, Yang Mulia. Jika berkenan, kami permisi lebih dulu,” ujar Ming Yue pamit.“Terima kasih banyak atas penghargaan Anda,” tambah Qiang Jun.Qiang Mingze terpaku sesaat. Dalam hatinya, sempat berharap. Tapi akhirnya ia menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya.“Baiklah. Kalian boleh pergi,” balasnya mengizinkan.Pasangan itu pun bangkit. Dan melangkah pergi meninggalkan aula yang masih sedikit ribut karen
Hari-hari berlalu, bulan berganti. Sudah cukup lama setelah hari eksekusi Qiang Yuze, beserta pengikutnya yang ikut dihukum.Rasanya terlewat begitu saja dengan damai.Organisasi milik Pangeran kedua telah resmi berubah menjadi Qin Ai Yue. Dan bisnisnya berkembang lebih pesat.Qiang Jun berjalan menuju kamar istrinya. Namun ketika pintu terbuka, ia hanya menemukan Xiao Lin yang sedang merapikan tempat tidur.“Di mana Yue?”Xiao Lin menoleh dan menjawab.“Nona berada di kuil, Tuan.”Qiang Jun menghela nafas panjang.Ming Yue jadi lebih sering berada di kuil. Terus berusaha memecahkan kode dari gulungan kertas pemberian Ayahnya.Qiang Jun segera bergegas pergi ke kuil.Kuil yang berada di puncak gunung itu kini sudah direnovasi oleh orang-orang Qin Ai Yue.Selain bangunan kuil utama, di bagian belakang ternyata terdapat pula rumah para pelayan dewa. Taman yang rindang, juga perpustakaan penyimpanan manuskrip lama.Tempat itu kini jauh lebih hidup. Bahkan beberapa anggota Qin Ai Yue memut
Ming Yue merapatkan bibirnya, mencoba menahan senyuman.‘Sudahlah. Dari pada dia terus merajuk,’ pikirnya pasrah.Perlahan, kedua tangan terulur merangkul lengan Qiang Jun yang ada di atasnya.“Baiklah,” bisiknya lembut. “Akan kutemani kau semalaman.”Seketika mata Qiang Jun berkilat penuh semangat, bahkan sedikit liar. Ia tidak menunggu sedetik pun.Dengan cepat pria itu menunduk dan meraup bibir Istrinya. Mencium dengan rakus. Melumat habis setiap helaan napas Ming Yue.Lidahnya membelit, menuntut, seolah ingin menandai bahwa wanita itu adalah miliknya seorang.Tangan Qiang Jun turun. Menarik satu kaki Ming Yue ke atas tubuhnya dan mencengkeram dengan posesif.‘Di kehidupan kali ini, kau hanya perlu melihatku. Hanya aku,’ gumamnya dalam hatiMembuat ciumannya semakin dalam, sedikit brutal namun dipenuhi cinta yang membara.Hari-hari berlalu. Sudah satu minggu sejak kaisar menunda hukuman Qiang Yuze.Akhirnya, para bangsawan kekaisaran berkumpul di aula pengadilan. Beberapa warga pun
Ming Yue berhasil keluar dari istana secara diam-diam. Langkahnya ringan seperti bayangan.Ming Yue teringat memiliki janji dengan seseorang. Dan sesuatu yang harus ia pastikan sendiri.Hingga akhirnya tiba di dekat gerbang penjara kerajaan.Seperti yang pernah Ming Yue lakukan sebelumnya, dia menyebarkan asap untuk membuat mereka tertidur sementara.Setelah beberapa saat, Ming Yue melesat masuk dengan cepat. Dia pergi ke sel penjara Qiang Yuze berada.Dan saat berdiri di depan jeruji, langkahnya berhenti. Sesaat, Ming Yue terdiam.‘Cih. Apa dia secepat ini mati?’ pikirnya. Berdecak kesal.Namun masih ingin dia pastikan.Kondisi Qiang Yuze sangat menyedihkan.Dengan wajah pucat, dan tubuhnya terkulai terlihat sekarat. Darah masih menetes perlahan dari luka di lengannya.Ming Yue berjongkok dan memeriksa nadinya. Masih ada, walau tipis. Bagai nyala lilin yang sebentar lagi padam.Ming Yue mengembuskan napas, kemudian menggigit ujung jarinya. Setetes darah muncul, dan ia memberikannya p
“Kenapa dia?” tanya Ming Yue. Masih terlihat tenang.An Rong menarik nafas.“Pangeran kedua bertengkar dengan Kakakku, sampai mengeluarkan pedang.”Mendengar hal itu, Ming Yue mengernyit. Tanpa berkata lagi, ia bergegas menuju halaman belakang. An Rong mengikuti dari belakang.Begitu tiba di area tanah luas dekat gazebo, mereka mendengar denting besi tajam. Dua orang tengah bertarung cukup serius. Dengan ekspresi sama-sama kesal.Ming Yue berhenti di dekat kakaknya, Ming Hao. Serta dua pria kembar yang berdiri santai seolah menonton pertunjukan.“Kenapa kalian hanya diam? Bukannya menghentikan mereka?” tegur Ming Yue.Ming Hao menaikkan kedua bahunya santai.“Biarkan saja. Ini menyenangkan,” katanya. Sambil mengunyah camilan.“Awalnya kita sedang main kartu. Tapi Kakak kedua selalu kalah,” ujar Qiang Shen.“Dan dia memergoki An Beiye ternyata curang. Akhirnya marah dan langsung menghajarnya, sampai jadilah seperti sekarang,” sambung Qiang Rui menjelaskan.Ming Yue memejamkan mata sing







