LOGINKeesokan harinya. Ming Yue terbangun dari tidurnya karena suara teriakan keras yang memekakkan telinga dari depan pintu kamar.
“Ming Yue! Cepatlah bangun! Hei, Ming Yue!” suara itu jelas milik Ming Hao, kakaknya yang selalu menyebalkan.
Dengan wajah kusut, Ming Yue bangkit sambil mengusap matanya. Rambut hitam panjangnya terurai berantakan, ia mendengus keras.
‘Apa lagi yang dia mau pagi-pagi begini?’ gerutunya dalam hati. Semalaman ia sudah mengatakan tidak akan ikut sarapan karena sibuk menyusun strategi balas dendamnya, tetapi tetap saja, Ming Hao selalu punya cara untuk mengganggu.Ia membuka pintu, dan terlihatlah Ming Hao berdiri di sana dengan wajah masam. Di hadapannya, Xiao Lin berdiri tegap, berusaha menahan langkah sang Tuan Muda.
“Hei, Ming Yue! Suruh pelayan barumu ini pergi! Dia melarangku masuk!” Ming Hao berseru kesal.
Xiao Lin menunduk sopan. “Maaf, Nona. Saya benar-benar sulit menghentikannya.”
Ming Yue menghela napas panjang. “Pergilah, Xiao Lin. Biarkan saja dia,” perintahnya.
Pelayan muda itu mengangguk patuh, lalu mundur. Ming Hao segera masuk sambil melempar tatapan tajam penuh protes pada Xiao Lin.
“Dari mana kau dapatkan pelayan ketus itu?” tanyanya dengan nada jengkel.
“Diamlah.” Ming Yue melipat tangan di dada. “Untuk apa kau mencariku? Sudah kubilang aku melewatkan sarapan.”
“Dengar dulu, bocah,” geram Ming Hao. “Kemarin kau bilang ingin belajar bela diri kan?”
Sebelah alis Ming Yue terangkat. “Kau mau mengajariku?”
“Tidak, aku malas,” jawab Ming Hao tanpa beban.
Ming Yue mendengus, hampir ingin menutup pintu kembali.
“Tapi ada temanku yang cukup bagus dalam melatih.” Ming Hao menahan pintu dengan cepat. “Sekarang dia ada di ruang tamu. Cepat temui dia di sana.”
Setelah berpakaian rapi, Ming Yue pergi ke ruang tamu diikuti pelayannya Xiao Lin. Di sana, Ming Hao sudah duduk menunggu bersama seorang tamu. Melihat adiknya datang, ia memberi isyarat dengan dagunya.
“Kemari, duduk.”Ming Yue menduduki kursi di samping kakaknya, lalu mengalihkan pandangannya pada sosok pria di hadapan mereka. Seorang lelaki muda berambut cokelat gelap, tubuh tinggi tegap, wajahnya sedikit sangat dengan sorot mata tajam. Sebuah pedang besar bersarung hitam bersandar di samping kursinya, dan seragam prajurit elit kekaisaran melekat di tubuhnya.
“Kakak, apa dia orangnya?” tanya Ming Yue, memastikan.
Ming Hao mengangguk. “Benar, dia temanku, An Beiye. Dia putra Jendral An. Berterima kasihlah dia mau menerimamu sebagai murid karena kau adalah adikku,” jawabnya dengan penuh kebanggaan.
Mendengar kalimat terakhir sang kakak membuat Ming Yue memutar bola matanya sebal. Dia kembali menatap lelaki di depannya, lalu membungkuk tipis.
“Halo, Tuan Muda An. Saya Ming Yue. Terima kasih sudah mau menjadi guru saya,” ucapnya memperkenalkan diri.Ming Yue kenal dengan nama An Beiye, dia memang teman kakaknya namun baru kali ini bertemu secara resmi. Putra Jenderal An itu dikenal sebagai prajurit elit termuda di usianya yang masih 22 tahun. Sayangnya, Ming Yue juga tahu dari masa lalunya bahwa An Beiye akan berakhir mati dengan cara yang tragis.
Namun setelah sapaan sopannya, lelaki itu hanya diam terpaku. Dari tadi ia menatap Ming Yue tanpa berkedip, mulutnya sedikit terbuka.
Ming Yue mengerutkan kening, bingung. “Tuan muda An?” panggilnya sekali lagi.
An Beiye tersentak sadar. “Ah, iya. Salam kenal, Nona Ming.” Ia menunduk singkat, lalu tersenyum tipis. “Aku tak menyangka Hao memiliki adik secantik ini.”
Rupanya sejak tadi ia terdiam karena terpukau oleh kecantikan Ming Yue. Namun tentu saja ada seseorang yang tidak setuju.
“Hei! Wajah seperti katak begitu kau panggil cantik? Matamu pasti bermasalah,” ejek Ming Hao dengan nada sinis.
Ming Yue mendelik marah. Dengan cepat, ia menjambak rambut panjang kakaknya sambil berbisik geram di telinganya. “Diam! Jangan membuatku marah.”
“Hei, lepaskan, bocah! Dasar liar!” Ming Hao meringis kesakitan, berusaha melepaskan diri.
Pertengkaran kecil mereka membuat An Beiye hanya bisa menahan tawa, tak tahu harus menengahi atau membiarkan. Tak lama kemudian, mereka bertiga bergerak ke lapangan belakang rumah. Ming Yue sudah mengganti pakaian dengan yang lebih nyaman untuk berlatih. Rambutnya diikat sederhana, wajahnya tampak serius. Hari ini ia akan benar-benar memulai latihan bela diri.
Ming Hao bersandar santai di sisi lapangan, jelas hanya berniat menonton sambil sesekali melempar komentar. An Beiye berdiri di hadapan Ming Yue, matanya mengamati tubuh gadis itu dari atas hingga bawah, menilai dengan seksama postur dan ketahanan fisiknya.
“Hm, kurasa karena Nona Ming tidak terbiasa melakukan banyak olahraga, kita harus mulai dengan memperkuat fisikmu terlebih dahulu,” katanya tegas.
“Baik, Guru. Tapi, panggil saja aku Yue. Itu lebih nyaman,” ucap Ming Yue.
An Beiye tersenyum tipis dan mengangguk. “Baiklah, Yue. Kalau begitu, setelah pemanasan, mulailah berlari sepuluh putaran.”
“Baik.” Ming Yue mengangguk mantap, lalu mulai melaksanakan perintah guru barunya.
An Beiye memperhatikannya dengan seksama setiap gerakan ringan dan kaku dari gadis itu. Namun semakin lama, hatinya terusik. Sejak ia datang ke kediaman keluarga Ming, ia merasa ada sepasang mata yang mengawasinya dari jauh.
Dan kini, saat An Beite menatap ke arah pepohonan di sisi halaman, perasaan itu semakin kuat, dia langsung menoleh, matanya menyapu rimbunan dedaunan. Namun, tak ada siapa pun di sana.
‘Apa hanya perasaanku saja?’ pikir An Beiye, alisnya berkerut heran.
Qiang Jun sedikit mengernyit.“Untuk apa?” tanyanya datar.Yong Bai sedikit gugup, tapi tetap menunduk hormat.“Saya hanya ditugaskan memanggil Anda berdua.”Qiang Jun terdiam sejenak, terlihat enggan. Dalam benaknya, dia sudah menebak apa yang akan dikatakan kaisar nanti.“Baiklah, kami ke sana,” jawabnya.Tapi bukan Qiang Jun, melainkan Ming Yue.“Tunggu, Yue—“Qiang Jun hendak menolak, namun Istrinya sudah memegang lengannya.“Ayo cepat. Tidak sopan menolak perintah Yang Mulia.”Ming Yue langsung menghabiskan tanghulu terakhir di tangannya. Kemudian pergi menarik Qiang Jun pergi.Lagi-lagi pria itu tak bisa menolak ajakan Istrinya.Setelah mengikuti Yong Bai, akhirnya mereka tiba di ruang tamu istana utama. Semua anggota keluarga kekaisaran tengah berkumpul.Qiang Jun menghela nafas pelan.‘Kan. Sudah kuduga,’ pikirnya.Ming Yue segera membungkuk sopan.“Maaf membuat Anda menunggu, Yang Mulia.”Sementara Qiang Jun hanya mengangguk singkat. Sikap sopan minimal yang selalu dilakukan
“Tunggu. Apa?” Qiang Mingze memiringkan kepalanya tak paham. ”Kenapa kau tidak mau?”Qiang Jun hanya mengangkat kedua bahunya santai.“Saya hanya tidak mau melakukannya,” jawabnya asal.Aula sontak makin riuh oleh bisikan, namun Qiang Jun tidak menggubris. Ia justru menoleh pada istrinya.“Tidak apa, kan, Yue?”Ming Yue menatap suaminya sejenak, lalu tersenyum tipis.“Aku hanya mengikutimu saja.”Senyuman lega terbit di bibir pria itu.“Kalau begitu, kita kembali.”Ming Yue mengangguk pelan. Mereka berdua lalu membungkuk sopan.“Kami masih ada pekerjaan lain yang harus dilakukan, Yang Mulia. Jika berkenan, kami permisi lebih dulu,” ujar Ming Yue pamit.“Terima kasih banyak atas penghargaan Anda,” tambah Qiang Jun.Qiang Mingze terpaku sesaat. Dalam hatinya, sempat berharap. Tapi akhirnya ia menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya.“Baiklah. Kalian boleh pergi,” balasnya mengizinkan.Pasangan itu pun bangkit. Dan melangkah pergi meninggalkan aula yang masih sedikit ribut karen
Hari-hari berlalu, bulan berganti. Sudah cukup lama setelah hari eksekusi Qiang Yuze, beserta pengikutnya yang ikut dihukum.Rasanya terlewat begitu saja dengan damai.Organisasi milik Pangeran kedua telah resmi berubah menjadi Qin Ai Yue. Dan bisnisnya berkembang lebih pesat.Qiang Jun berjalan menuju kamar istrinya. Namun ketika pintu terbuka, ia hanya menemukan Xiao Lin yang sedang merapikan tempat tidur.“Di mana Yue?”Xiao Lin menoleh dan menjawab.“Nona berada di kuil, Tuan.”Qiang Jun menghela nafas panjang.Ming Yue jadi lebih sering berada di kuil. Terus berusaha memecahkan kode dari gulungan kertas pemberian Ayahnya.Qiang Jun segera bergegas pergi ke kuil.Kuil yang berada di puncak gunung itu kini sudah direnovasi oleh orang-orang Qin Ai Yue.Selain bangunan kuil utama, di bagian belakang ternyata terdapat pula rumah para pelayan dewa. Taman yang rindang, juga perpustakaan penyimpanan manuskrip lama.Tempat itu kini jauh lebih hidup. Bahkan beberapa anggota Qin Ai Yue memut
Ming Yue merapatkan bibirnya, mencoba menahan senyuman.‘Sudahlah. Dari pada dia terus merajuk,’ pikirnya pasrah.Perlahan, kedua tangan terulur merangkul lengan Qiang Jun yang ada di atasnya.“Baiklah,” bisiknya lembut. “Akan kutemani kau semalaman.”Seketika mata Qiang Jun berkilat penuh semangat, bahkan sedikit liar. Ia tidak menunggu sedetik pun.Dengan cepat pria itu menunduk dan meraup bibir Istrinya. Mencium dengan rakus. Melumat habis setiap helaan napas Ming Yue.Lidahnya membelit, menuntut, seolah ingin menandai bahwa wanita itu adalah miliknya seorang.Tangan Qiang Jun turun. Menarik satu kaki Ming Yue ke atas tubuhnya dan mencengkeram dengan posesif.‘Di kehidupan kali ini, kau hanya perlu melihatku. Hanya aku,’ gumamnya dalam hatiMembuat ciumannya semakin dalam, sedikit brutal namun dipenuhi cinta yang membara.Hari-hari berlalu. Sudah satu minggu sejak kaisar menunda hukuman Qiang Yuze.Akhirnya, para bangsawan kekaisaran berkumpul di aula pengadilan. Beberapa warga pun
Ming Yue berhasil keluar dari istana secara diam-diam. Langkahnya ringan seperti bayangan.Ming Yue teringat memiliki janji dengan seseorang. Dan sesuatu yang harus ia pastikan sendiri.Hingga akhirnya tiba di dekat gerbang penjara kerajaan.Seperti yang pernah Ming Yue lakukan sebelumnya, dia menyebarkan asap untuk membuat mereka tertidur sementara.Setelah beberapa saat, Ming Yue melesat masuk dengan cepat. Dia pergi ke sel penjara Qiang Yuze berada.Dan saat berdiri di depan jeruji, langkahnya berhenti. Sesaat, Ming Yue terdiam.‘Cih. Apa dia secepat ini mati?’ pikirnya. Berdecak kesal.Namun masih ingin dia pastikan.Kondisi Qiang Yuze sangat menyedihkan.Dengan wajah pucat, dan tubuhnya terkulai terlihat sekarat. Darah masih menetes perlahan dari luka di lengannya.Ming Yue berjongkok dan memeriksa nadinya. Masih ada, walau tipis. Bagai nyala lilin yang sebentar lagi padam.Ming Yue mengembuskan napas, kemudian menggigit ujung jarinya. Setetes darah muncul, dan ia memberikannya p
“Kenapa dia?” tanya Ming Yue. Masih terlihat tenang.An Rong menarik nafas.“Pangeran kedua bertengkar dengan Kakakku, sampai mengeluarkan pedang.”Mendengar hal itu, Ming Yue mengernyit. Tanpa berkata lagi, ia bergegas menuju halaman belakang. An Rong mengikuti dari belakang.Begitu tiba di area tanah luas dekat gazebo, mereka mendengar denting besi tajam. Dua orang tengah bertarung cukup serius. Dengan ekspresi sama-sama kesal.Ming Yue berhenti di dekat kakaknya, Ming Hao. Serta dua pria kembar yang berdiri santai seolah menonton pertunjukan.“Kenapa kalian hanya diam? Bukannya menghentikan mereka?” tegur Ming Yue.Ming Hao menaikkan kedua bahunya santai.“Biarkan saja. Ini menyenangkan,” katanya. Sambil mengunyah camilan.“Awalnya kita sedang main kartu. Tapi Kakak kedua selalu kalah,” ujar Qiang Shen.“Dan dia memergoki An Beiye ternyata curang. Akhirnya marah dan langsung menghajarnya, sampai jadilah seperti sekarang,” sambung Qiang Rui menjelaskan.Ming Yue memejamkan mata sing






