"Emrann! mas Emran astaga, aku tak menyangka langsung bisa bertemu dia disini," tampangnya sumringah dan terlihat bahagia.
Apa yang suamiku lakukan disana, ia fokus melihat ponselnya sembari sesekali tersenyum. penampilannya juga berubah, ia memakai setelan kemeja dan celana dasar seperti orang kantoran. Melihat mas Emran seperti itu mengingatkanku pada sosoknya sebelum kami menikah, ia pria yang tampan menurutku, punya pekerjaan mapan dan seperti bisa memberikan banyak kebahagiaan. Senyum yang lama tak kulihat di wajahnya hari ini muncul lagi membuat hatiku berdesir, ada setitik rindu disana, bagaimanapun ia suami yang pernah hadir dalam hidupku kan. Tak berselang lama, kuliat seorang perempuan muda menghampiri mas Emran, mas Emran lalu merangkul perempuan itu mesra, mereka tampak tertawa bahagia. tanpa sadar aku meremas stir mobil, hatiku panas, siapa perempuan itu. Bergegas aku turun setelah memarkirkan mobilku, mengejar mereka yang berjalan memasuki sebuah tempat makanan cepat saji, dengan berapi-api ingin segera ku tarik rambut wanita yang bergelendotan manjadi lengan suamiku itu. "Akan ku cakar perempuan itu! kalau ternyata selama ini Emran selingkuh di belakangku, akan akan buat dia menyesal seumur hidupnya!". Tapi aku berhenti saat mendengar mas Emran berkata "Enggak tau dia hilang, aku rasa dia kabur sama laki-laki lain, biar ajalah, aku juga enggak cinta lagi sama istriku itu, enggak bisa merawat diri, selalu aja marah-marah, dia pembawa sial hidupku! sejak menikah dengan dia aku di PHK, hidupku sulit! Tapi baru sebulan kepergiannya aku langsung diterima sebagai Supervisor di sebuah perusahaan besar." Sebulan? sudah sebulan aku menghilang? bukan baru kemarin ya aku masuk sumur tua itu? aku pikir tubuhku bangun bersama Anne yang asli, tapi sepertinya tidak kah, apa sangat tidak pantas kah diriku yang dulu itu untuk dapat kesempatan kedua, pikiran-pikiran rendah diri itu cepat-cepat ku enyahkan. "Karirku akan cemerlang sayang, kita enggak akan kesusahan, kamu tenang aja, percaya sama mas," tambah mas Emran lembut dan merayu, cuihhh jijik sekali aku mendengarnya. "Aku ikut seneng banget sayang, jadi dong berarti kamu beliin aku cincin bulan depan ya, katanya kamu mau serius sama aku," rengek perempuan berambut pirang itu manja. "Pasti dong, aku bakal buktiin kalo aku serius sama aku, ayok sekarang kita makan dulu." "Kamu mau makan apa? kita harus pesan yang mahal sayang, aku dapat bonus di bulan pertama kerja loh, aku memang cemerlang sebenarnya! hanya nasip sial membayangiku semenjak menikahi perempuan itu," mas Emran tampak memasang raut sedih yang di buat-buat. "Kurang ajar Emran!! ingin ku remas wajahnya sekarang juga." "Udahlah mas, jangan bahas mantan istrimu lagi ya, kita buka lembaran baru saja, anggap saja yang lalu itu adalah mimpi buruk, perempuan itu sekarang udah lari mungkin sama laki - laki lain," timpal si pirang mengompori. "Aku juga jadi cemburu kalau mas nyebut perempuan bawa sial itu terus, bisa - bisa mas kepikiran dia terus gagal move on loh," rengeknya. "Mana mungkin sayang, menikahi dia adalah penyesalan terbesar dalam hidupku," jawab Emran enteng. Makin panas rasanya mendengar tuduhan- tuduhan itu, ku ambil sebotol air mineral di etalase, lalu dengan cepat ku tumpahkan pada Emran dari belakang, ia sontak menoleh. "Apa-apaan ini!!! kau gilaaa hah??" Emran menoleh marah tapi setelah melihatku tatapannya melunak, berubah dengan tatapan memuja, menjijikan sekali! "Ahh maaf, maafkan aku mas, aku salah orang, ya Tuhan aku kira mas adalah suamiku yang berselingkuh dengan perempuan lain, kalian sangat mirip dari belakang, maafkan aku." "Hati-hati dong mbakk! ini suami saya jadi basah," si pirang melotot galak. Apa katanya tadi, suami? hei pria hina ini suamiku walaupun aku benci mengakuinya, dasar perempuan tak tau malu. "Maaf, aku akan ganti rugi semuanya," ku keluarkan segepok uang cash, si pirang langsung melihat dengan mata membulat seperti akan keluar dari tempatnya. "Semoga ini cukup untuk mengganti pakaian mas nya ya." "Ahh ini bukan masalah besar mbak, nanti gampang bisa ganti baju, saya bawa salinan di tas, saya jadi enggak enak," basa- basi Emran yang sumringah melihat uang, dengan gesit tangan itu mengambil segepok uang yang ku berikan. "Mas dan mbak nya tampak serasi," sama-sama picik dan mata duitan sambungku dalam hati. Si pirang tersipu-sipu, wajah marah dan sombongnya tadi seketika lenyap, ia langsung menyerobot uang dari tangan mas Emran tanpa malu-malu. Kalian berdua cocok, Ambillah sampahku mbak! semoga kau benar-benar menjadi istrinya. Tanpa banyak basa-basi aku pergi, kenapa juga aku harus bertemu mas Emran lagi di kehidupan ku yang kedua ini, menyebalkan!"Katanya ke UGD, kok apartemen sih?" protesku saat Elvin berhenti di depan gedung menjulang tinggi. "Entahlah, aku hanya diminta kesini, mungkin tidak terlalu parah jadi Karina langsung pulang kan?" jawab Elvin tanpa menoleh. Aku curiga ini hanya modus perempuan itu untuk bisa bertemu suamiku. "Kamu mau tunggu di lobby aja? atau mau ikut? mungkin kamu enggak akan nyaman melihat aku ketemu sama Karina sayang." "Enggak, aku ikut aja, lebih baik aku saksikan sendiri dari pada aku menduga-duga," jawabku yakin. "Oke, aku harap kita enggak membuat keributan ya sayang," aku meliriknya sinis, dia pikir aku perempuan bar-bar apa, walaupun dalam hati ingin sekali menoyor kepala wanita itu di pertemuan pertama kami ini. Bisa-bisanya ia menelpon pria beristri untuk menemaninya, memalukan! apa tidak ada lagi laki-laki lajang di muka bumi ini hingga ia harus menelepon suamiku. Lift serasa bergerak lambat, sebenarnya aku sangat mengantuk dan capek tapi aku juga tidak mau memberikan ke
Tubuh ini melorot ke lantai kamar mandi lalu menyenggol benda apa saja dan menimbulkan suara nyaring hingga ke luar kamar mandi. Aku merespon sangat luar biasa hingga rasanya lutut pun lemas, apa mungkin karena ini adalah hal yang paling di tunggu-tunggu Anne dulu. Masih ku pegang benda pipih itu saat Elvin menerobos masuk dengan panik. Garis dua, sepertinya aku hamil, astaga! aku sangat kaget sekaligus ikut bahagia, aku juga sudah lama ingin punya anak dulu saat dengan mas Emran, aku sering menanti kehamilan, sampai di titik tidak lagi ku inginkan karena mas Emran yang miskin dan tidak beradab itu, kasian anakku kalau punya ayah macam dia. Melihatku yang terduduk di lantai kamar mandi Elvin suamiku di kehidupan kedua ini langsung memapahku dengan sigap, Elvin seperti sangat ketakutan terjadi sesuatu pada Anne. "Dok, apa ini artinya?" tanyaku memperlihatkan benda pipih itu pada dokter Hana, Elvin juga penasaran karena ia tidak tau soal ini. Dokter Hana meraih tespek i
"Kamu cantik sekali, Anne. Aku semakin mencintai mu," puji Elvin saat pertama kali melihatku keluar dari kamar setelah berdandan untuk ulang tahun perusahaan malam ini. Aku tersenyum kecut, mencoba menjadi diri Anne yang penurut karena siang tadi aku sudah mendapat sebuah peringatan yang di bungkus nasihat, Mama datang kerumah. Pertemuan dengan mas Emran tadi merusak suasana hatiku jadi ku putuskan untuk pulang dan berendam air hangat, hingga seorang wanita paruh baya menerobos masuk membuat aku terkejut bukan main, hampir saja aku melempar lilin aromaterapi ke wajahnya kalau aku tidak ingat itu adalah ibu Anne. "Anne, mama bikin kaget kamu ya? maaf ya sayang mama tadi sudah panggil-panggil kamu enggak jawab, ternyata enggak di kunci, lagian kata Elvin tadi masuk aja mungkin kamu lagi tidur," dengan sorot mata keibuan. "Enggak apa-apa ma, kenapa mama kesini?" dalam ingatanku hubungan Anne dan ibunya tidak begitu hangat. "Elvin tadi telpon mama katanya ada yang aneh dengan
"Emrann! mas Emran astaga, aku tak menyangka langsung bisa bertemu dia disini," tampangnya sumringah dan terlihat bahagia. Apa yang suamiku lakukan disana, ia fokus melihat ponselnya sembari sesekali tersenyum. penampilannya juga berubah, ia memakai setelan kemeja dan celana dasar seperti orang kantoran. Melihat mas Emran seperti itu mengingatkanku pada sosoknya sebelum kami menikah, ia pria yang tampan menurutku, punya pekerjaan mapan dan seperti bisa memberikan banyak kebahagiaan. Senyum yang lama tak kulihat di wajahnya hari ini muncul lagi membuat hatiku berdesir, ada setitik rindu disana, bagaimanapun ia suami yang pernah hadir dalam hidupku kan. Tak berselang lama, kuliat seorang perempuan muda menghampiri mas Emran, mas Emran lalu merangkul perempuan itu mesra, mereka tampak tertawa bahagia. tanpa sadar aku meremas stir mobil, hatiku panas, siapa perempuan itu. Bergegas aku turun setelah memarkirkan mobilku, mengejar mereka yang berjalan memasuki sebuah tempat maka
"Anne Charlotte," nama pemilik tubuh sebelumnya. Kucari dimana Anne menyimpan tas atau dompetnya, lalu segera kubuka tas mahal itu untuk menemukan kartu identitas. Aku terperangah melihat deretan kartu ATM yang aku yakin isinya tidak sedikit melihat dari tipe kartunya saja, uang tunai, dan handphone mahal, wah kaya banget si Anne pikirku senang. Tanganku sibuk mengotak atik ponsel mahal itu, aku ingat semua sandinya, PIN ATM pun ada di ingatkanku, terimakasih Tuhan, sudut bibirku terangkat. "Aku hidup sebagai Anne sekarang, sepertinya Anne tidak bahagia dengan hidupnya meski kaya raya, terbukti mungkin ia lebih memilih mati ketimbang bertahan dalam tubuh ini, ia terlalu mencintai pria tadi," aku mulai ingat tapi belum semuanya, aku harus banyak mencari tau kepahitan hidup apa yang membuat Anne menyerah. Setelah mandi dan puas memilih pakaian, aku mengagumi diriku di cermin, sangat cantik! sempurna sekali, aku harus berbelanja dan jalan-jalan sesuai angan-angan ku dulu. "M
“Kemana sih Bang Emran, dari semalam enggak pulang, apa dia lupa punya istri dirumah ini,” dengan kesal aku paksakan bangun, melihat ponsel jadul yang tergeletak di meja, tidak ada satupun balasan atau telpon balik dari Emran, suamiku, sungguh keterlaluan. Entah sejak kapan aku merasa hubungan kami semakin dingin, jarang bertegur sapa, setiap pulang kerja pun mas Emran selalu mengeluh kelelahan dan tertidur, tak jarang mas Emran marah jika aku ingin meminta sedikit perhatian darinya. Perutku sangat lapar hingga kepalaku pusing menahan lapar, dari kemarin sore hanya air putih yang ku minum sebanyak-banyaknya, itu ku lakukan agar tidak terlalu merasa lapar. Tidak ada satupun makanan yang bisa aku makan, bahkan sebutir beraspun aku tak punya, aku tak menyangka bisa sampai di titik sangat-sangat miskin seperti ini, aku terus mengasihani diriku yang malang. “Astagaa! apa seburuk ini penampilan ku sekarang,” aku terlonjak saat melihat pantulan wajah kusut pada cermin lemari yang u