Share

Bab 46 Kecemasan

Penulis: Lin shi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-21 19:46:27

Sore itu, hujan baru saja reda. Sisa gerimis masih menetes dari ujung genting, menciptakan udara lembap bercampur aroma tanah basah. Langit berwarna kelabu keunguan, dan cahaya lampu teras mulai menyala, menambah kesan senja yang muram.

Aini berdiri di depan rumah, menatap langit yang mulai remang. Dari kejauhan, tampak sosok Deni berjalan sambil membawa kantong plastik besar, dengan ransel yang menggantung di pundaknya.

“Bunda…” sapa Deni begitu tiba.

“Alhamdulillah, kamu sudah sampai, Nak. Hujan dari tadi deras banget,” kata Aini lega.

“Hujan sepanjang jalan, Bun. Ini, Bun,” kata Deni sambil menunjukkan bungkusan di tangannya.

“Makanan kampung yang Dina pesan, Den?”

“Iya, Bun. Ada lemang, wajik, dan serundeng. Lengkap, kan?”

“Wah, Dina pasti senang. Dia lagi di mana?” tanya Aini.

“Kak Dina tidur?” tanya Deni.

“Enggak sih, tadi Bunda lihat dia tiduran di kamar. Mungkin kecapekan,” jawab Aini.

“Kak Dina belum tahu aku datang, kan?” tanya Deni.

“Belum. Sana, kejutin kakakmu,” sahut bu
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 63 Doa dan harapan

    Langit siang tampak gelap, sepertinya hujan akan turun. Awan gelap menggantung rendah, menciptakan suasana mencekam di kota. Jalan utama kota dipenuhi suara sirine yang meraung bergantian. Dua ambulans melaju di jalur berbeda, sama-sama menembus kemacetan sore yang membuat pengendara lain terjebak dalam kebisingan dan ketidakpastian.Di ambulans pertama, Dina duduk tegang di kursi sisi kanan, mengenakan pakaian rumah sakit yang terlihat terlalu besar untuk tubuhnya yang kurus. Di hadapannya, inkubator kecil berisi bayi mungilnya, Alya, yang berjuang untuk hidup. Lampu indikator di alat pemantau menyala lembut, tanda napas Alya masih teratur walau lemah, memberikan sedikit harapan di tengah kepanikan yang melanda.Suster yang mendampingi terus memeriksa suhu inkubator dengan teliti. “Ibu tenang saja, ya. Bayinya stabil, kita segera tiba,” ucapnya lembut, berusaha menenangkan Dina yang terlihat semakin gelisah. Namun, Dina tak menjawab. Matanya berkaca-kaca, jemarinya gemetar saat menye

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 62 Firasat

    Lorong rumah sakit terasa begitu panjang dan dingin bagi Dina. Langkah kakinya terasa berat, napasnya tersengal, seolah udara di sekitarnya ikut menekan dadanya. Begitu tiba di depan ruangan dokter anak yang menangani Alya, tangannya gemetar saat mengetuk pintu.Suster yang berjaga di depan mempersilakan mereka masuk. Dina, Hanum, dan Seno segera melangkah ke dalam ruangan. Dokter anak itu berdiri dari kursinya, menyambut dengan senyum tipis namun wajahnya tampak serius.“Silakan duduk dulu, Bu Dina,” ujar sang dokter lembut.Dina mencoba duduk, tetapi tubuhnya terasa kaku. Tangannya saling menggenggam di pangkuannya, bergetar hebat. Suaranya nyaris tak keluar ketika ia berkata, “Bagaimana kondisi Alya, Dok?”Namun sebelum dokter menjawab, suaranya pecah dan matanya langsung basah. Hanum segera meraih bahu Dina, menenangkannya. “Tenang dulu, Nak. Dengar baik-baik apa kata dokter, ya?”Seno yang sedari tadi berdiri di belakang kursi, menatap dokter dengan tegas namun sopan. “Silakan, D

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 61 Kabar dari rumah sakit

    Malam itu, suasana rumah terasa sepi. Hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar pelan. Aida duduk di tepi ranjang kamarnya, memandangi lantai tanpa fokus. Wajahnya pucat, matanya kosong. Malam ini, dia sendiri dalam kamar, karena sang suami pergi keluar kota.Ucapan Rima siang tadi terus terngiang-ngiang di kepalanya.“Tante itu bukan siapa-siapa di keluarga ini, hanya ibu sambung Rizal.”Kata-kata itu berputar dalam pikirannya, menusuk lebih dalam setiap kali ia berusaha melupakannya. Rasanya seperti belati yang tajam, menggores luka yang sudah ada.Aida menarik napas panjang, menahan sesak yang tiba-tiba naik ke dada. “Kenapa hatiku terasa sakit sekali...” bisiknya lirih. Ia memejamkan mata, mencoba mengusir pikiran itu, tapi yang muncul justru kenangan, saat Rizal masih kecil, berlari ke arahnya sambil memanggil ‘Mama Aida!’ dengan tawa polosnya.Ia ingat bagaimana dulu, setelah ia menikah dengan Salman, dialah yang menidurkan bocah itu setiap malam. Dialah yang merawat saat

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 60 Menunggu bahagia

    Setiap hari, Dina selalu datang ke rumah sakit untuk melihat ketiga buah hatinya. Ia tak pernah absen, bahkan di hari hujan sekalipun. Ketiga bayi mungilnya menjadi alasan terkuatnya untuk terus bertahan.Hari ini, suasana ruang NICU terasa berbeda. Wajah dokter anak yang biasanya tenang kini tampak tersenyum hangat. “Perkembangan kedua bayi laki-laki Ibu sangat baik,” ujarnya sambil menatap Dina. “Rayan dan Revan sudah cukup kuat untuk dibawa pulang. Tapi untuk Alya… mohon bersabar, ya, Bu. Berat badannya belum stabil, dan pernapasannya masih perlu dipantau beberapa hari lagi.”Dina mengangguk, namun hatinya terasa berat. “Dok, apakah ada kemungkinan Alya bisa segera pulang dalam waktu dekat ini?” tanyanya penuh harap.Dokter itu tersenyum lembut. “Kami akan terus memantau kondisinya, Bu. Kami optimis, tapi kita harus sabar. Setiap bayi memiliki waktu yang berbeda untuk pulih.”Ucapan dokter itu seperti dua sisi mata uang bagi Dina, bahagia sekaligus sedih. Ia menatap ketiga bayinya

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 59 Mengharapkan bahagia

    “Bun, uang dari mana?” tanya Dina memberanikan diri, suaranya bergetar menahan cemas yang menggelayuti pikirannya. Udara sore yang lembap semakin menekan dadanya. Ia menatap bundanya yang duduk di sudut ruang tamu sederhana mereka, dikelilingi tumpukan kain dan benang warna-warni. Bau lembut kain baru bercampur aroma kopi dingin di meja kecil di sebelah mesin jahit.Aini, yang serius memasang kancing pada baju yang baru saja dijahitnya dengan penuh ketelitian, menoleh perlahan. Gerakannya terhenti, jarum di tangannya melayang di udara. Keningnya berkerut, memperlihatkan garis-garis halus yang semakin jelas seiring bertambahnya usia. Tatapannya beralih ke wajah putrinya yang tampak gelisah.“Uang apa?” jawab Aini, nada suaranya datar namun terdengar ragu, seolah menimbang apakah pertanyaan itu perlu dijawab sekarang.“Untuk bayar rumah sakit?” Dina bertanya lagi, kali ini suaranya lebih keras, meski tetap gemetar. “Tadi… hampir enam puluh juta keluar, Bun. Uang dari mana? Apa bunda ber

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 58 Kecewa

    Sore itu, udara di gang kecil itu terasa lembap dan berdebu. Matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya jingga di dinding-dinding rumah yang rapat berjejer. Danang berjalan di belakang Pak RT dengan langkah mantap tapi hati yang was-was. Di sampingnya, Yoga ikut melangkah pelan, menatap sekeliling dengan rasa ingin tahu.“Rumahnya di ujung sana, Mas,” kata Pak RT sambil menunjuk sebuah rumah sederhana bercat hijau muda dengan pagar besi yang mulai berkarat. “Pemuda itu jarang keluar, tapi beberapa kali warga lihat dia belanja di warung depan.”Danang mengangguk. Hatinya berdebar pelan. Entah kenapa, ada harapan kecil yang tumbuh, semoga kali ini benar-benar Deni.Setelah mengetuk beberapa kali, pintu rumah itu terbuka. Seorang pemuda muncul. Tubuhnya tegap, wajahnya teduh, dan sekilas... mirip sekali dengan Deni. Bahkan cara dia menatap membuat dada Danang bergetar sesaat.Namun, begitu pemuda itu berbicara, harapannya perlahan runtuh.“Iya, Pak? Ada perlu?” suaranya datar, d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status