Share

Pasrah

"Mas Bram!" Suara Nyonya Greta memanggil mas Bram, membuat keduanya terkejut, "Mbok Rumi, lihat mas Bram nggak?"

Mendengar ucapan sang majikan, Hani seketika sadar bahwa posisinya begitu berbahaya. Bisa-bisa, dia akan dituduh "menggoda" suami majikannya ini.

"Pergilah, mas! Istri kaya rayamu sedang mencari keberadaan kamu," usir Hani sambil memalingkan wajahnya. Akan tetapi, dalam hatinya, menahan perih yang teramat sakit di dalam dada.

"Aku tak mau pergi, dek, sampai kamu mau mendengar penjelasan dariku."

"Sudahlah mas! Jangan mencari alasan. Aku sudah ikhlas kok."

"Nggak bisa begitu dek. Mas mohon, kamu mendengar sedikit saja penjelasan dariku saat ini."

"Aku sudah tak perduli lagi, mas! Tadinya, aku ingin sekali menanyakan alasan kamu mengkhianatiku. Tapi tidak, aku sudah tak berniat ingin tahu lagi. Dengan semua yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, aku sudah mendapatkan jawabannya," tegas Hani tanpa menoleh dan memandang wajah suaminya. Tidak! Itu bukan wajah suaminya, namun almarhum suami! Baginya, suaminya sudah mati. Pria di hadapannya ini bukanlah sang suami.

"Dek, aku mohon! Mengertilah dengan keadaan kita saat ini. Jika kamu tak datang mengacaukan situasi saat ini, mungkin kita akan segera hidup enak di kampung," bujuk mas Bram pada Hani.

"Mengacaukan bagaimana maksud kamu mas? Mau aku menemui nyonya Greta dan menceritakan semua kebenarannya?" ancam Hani dengan suara lantang. Kini dia sudah tak takut lagi. Lama-lama berbicara dengan pria tak tahu malu di hadapannya berhasil membuat emosi Hani berapi-api.

"Jangan begitu dek. Biar bagaimanapun, kamu masih tetap istri aku, dek."

"Aku tak sudi masih ingin menjadi istri kamu mas. Ceraikan aku sekarang juga!"

"Pokoknya sampai kapan pun, aku tak akan menceraikan kamu dek. Di hatiku, masih selalu memikirkan kamu setiap saat," jawab Mas Bram, "Kamu akan selalu menjadi wanita pertama dalam hati mas, dek. Tentang nyonya Greta jangan dipikirkan, mas hanya suka pada hartanya saja. Jika nanti sudah tiba waktunya, mas bisa menguasai seluruh kekayaan istri mas, kamu akan mas belikan rumah mewah di kampung."

Plak!

Mendengar ucapan Bram yang kurang ajar, Hani menampar keras pipinya. Betapa teganya pria ini memainkan perasaan wanita.

Sementara itu, Bram terkejut mendapati Hani bisa bertindak kasar padanya.

"Dek, kamu sudah berani menampar aku?" tanya Bram mulai emosi.

Hani hanya diam. Perempuan itu menatap tajam Bram, hingga pria itu segera membalas tamparan Hani.

Plak!

Kekuatan pria itu begitu besar. Hani sampai jatuh tersungkur di bawah tanah. Air mata seketika mengalir di pipinya deras.

"Mas Bram, apa kamu ada di sana?" Suara nyonya Greta kian mendekat. Dengan sebuah senter di tangannya, Hani bisa melihat dari mana arahnya perempuan itu akan datang.

Dengan hati sakit, Hani segera memilih meninggalkan Bram.

"Hampir saja ketahuan! Jika sampai nyonya Greta melihat, tamatlah riwayatku," gumam Hani pelan.

Di sisi lain, Bram gelagapan mengambil langkah seribu.

Dengan berlari kecil, Bram berlalu meninggalkan Hani yang sudah berlalu menuju ke kamar miliknya.

Sungguh! Hani hanya mampu menangis di dalam hati. Jika saja mas Bram mau sedikit saja bersabar, tentu Hani juga tak usah perlu pusing seperti ini. Hani sudah terbiasa hidup susah di kampungnya, asal sang suami giat bekerja mencari nafkah. Namun, apa yang terjadi semuanya di luar dugaan Hani.

Suaminya malah mengambil jalan pintas dan bermain hati! Bahkan, berani bermesraan di depan wajah Hani. Lalu, bagaimana bisa pria itu berani meminta Hani untuk menunggunya?

Hani merasa putus asa. Dunianya menjadi gelap. Tak bisa berpikir jernih lagi. Hancur dan kecewa bercampur aduk menjadi satu. Ingin terus melangkah ke depan, rasanya tak mungkin untuk bertahan di dalam rumah mewah ini dengan pemandangan menyakitkan setiap waktu. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanyalah satu, mati.

Hani pun yakin tak akan ada satu pun keluarga yang akan mencemaskan dirinya.

Menghapus air mata yang sejak tadi semakin mengalir tak henti, Hani berjalan menuju ke rumah belakang. Agak jauh dari rumah besar itu. Di belakang, terdapat beberapa pohon rindang yang menjadi tujuannya saat ini.

Hani berjalan lurus, tatapan mata menjadi kosong.

Langkahnya lurus menuju pohon yang dipilih olehnya saat ini. Lima menit dia berjalan, dia sudah berdiri di sebuah pohon besar. Dalam diam, tangan Hani merogoh kantong celemek miliknya. Sebuah tali tambang yang cukup panjang dikeluarkan.

Hani lalu memanjat ke atas pohon dan mengikat tali itu di atas dahan yang dirasanya cukup kuat. Hani sudah menutup mata pasrah. Inilah jalan satu-satunya yang bisa dia lakukan.

Rumah tangga yang dia dan mas Bram bina dengan penuh rasa cinta, dikhianati sang suami. Hani juga sadar diri tak mampu bersaing dengan istri barunya. Lalu, wajah Ibu mertua dan ipar yang sangat bahagia menikmati hasil kerja keras suaminya. Rumah yang menjadi saksi cinta juga sudah dijual oleh mereka. Hani tidak punya tempat lagi. Dia bahkan ragu, apakah orang tuanya akan mau memiliki putri tunggal, berstatus janda yang diceraikan?

"Hey kamu!" hardik seorang pria dengan suara keras. Dengan cahaya senter terang menyilaukan mata mengarah padanya, Hani tak bisa melihat jelas wajah pria yang sedang mengarahkan cahaya senter pada wajahnya.

"Aku bilang turun sekarang juga!" kata pria itu lagi. Tunggu, suaranya familier. Apakah suara tukang kebun kemarin?

"Aku tak mau turun! Biarkan aku menyelesaikan apa yang sudah aku pikirkan," ucap Hani pelan.

Pria bertubuh tinggi tegap itu lalu memandang ke arahnya. Entah kenapa, pria ini terus ikut campur dalam masalah pribadi Hani.

"Turun sekarang!" perintahnya lagi sambil berteriak.

"Tolong jangan ganggu keinginanku tuan," ucap Hani mengiba.

"Turun sekarang, atau aku akan melaporkan pada polisi!"

Hani terdiam tak berkutik. Memikirkan jika para polisi datang kemari, pasti saja akan menyulitkan lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status