07
Malam telah larut ketika Aditya kembali ke rumah kontrakan Martin. Seno yang membukakan pintu, terkejut saat Aditya menunjukkan Al Quran berukuran sedang di tangan kanannya.
Seno membiarkan Aditya memasuki ruang tamu. Kemudian dia menutup dan mengunci pintu. Seno duduk di kursi terdekat, sembari memandangi Aditya yang sedang menghafal ayat suci.
"Bang, sudah ketemu sama Pak Hendri?" tanya Seno dengan suara pelan.
"Ya," jawab Aditya.
"Apa katanya?"
"Nanti kuceritain. Mau ngafalin ini dulu."
Seno terdiam, lalu dia menyandar ke tumpukan bantal sofa. Pria berkaus hitam meraih ponselnya dari meja, kemudian dia berkelana di dunia maya.
Sekian menit berlalu, Aditya telah selesai menghafalkan ayat yang ditunjukkan Hendri. Pria berambut lebat memijat belakang lehernya. Lalu Aditya mengambil botol minuman dari samping ranselnya.
"Bang, gimana?" desak Seno.
"Kata Kang Hendri, besok dia mau ngecek ke sungai. Mungkin ada aliran khusus yang nembus ke tempat proyek," terang Aditya seusai meneguk minumannya.
"Hmm. Aku jadi penasaran. Apa benar ada ruang tersembunyi di bawah tanah?"
"Aku juga penasaran. Besok aku mau ikut Kang Hendri."
"Aku juga, dong."
"Jangan. Kamu tetap stand by di kantor pengelola. Jagain Bro Martin."
"Ada Mas Muchlis dan Ridho."
"Mereka nggak tahu kalau kita lagi nyelidikin. Cuma kamu yang tahu."
"Ehm, ya."
"Pokoknya, kalau sampai jam 6 sore nggak ada kabar dariku, minta para satpam dan pekerja proyek ngecek ke lokasi."
"Enggak jam 5 aja? Kalau jam 6, sudah ganti shift."
"Bolehlah." Aditya menguap. "Aku ngantuk. Mau tidur," ungkapnya sembari berdiri.
"Aku juga ngantuk."
Seno turut berdiri. Dia memadamkan lampu ruang tamu, lalu jalan ke dapur untuk mengambil botol air mineral.
Aditya meletakkan ranselnya dekat pintu kamar Seno. Kemudian dia memasuki kamar mandi yang berada di antara kedua kamar.
Puluhan menit terlewati. Kedua pria tersebut telah berbaring di kasur masing-masing. Seno menempati bagian atas, sedangkan Aditya tidur di dipan bawah.
Terbiasa waspada menyebabkan Aditya tidak bisa langsung tidur. Dia merunut kegiatannya seharian itu untuk melatih ingatan di otak.
Baru beberapa saat memejamkan mata, Aditya mendengar bunyi aneh dari luar kamar. Dia menajamkan pendengaran, tetapi suara itu telah lenyap.
Kala Aditya hendak tidur, terdengar bunyi benda jatuh dari kejauhan. Pria berkaus biru spontan bangkit duduk. Lalu, dia turun dari kasur dan jalan ke pintu.
Aditya berusaha mengintip dari lubang kunci. Namun, karena tidak melihat apa pun, akhirnya dia memutuskan untuk menggunakan alat andalan rahasia.
Aditya menyambar cermin panjang berpengait dari kantung depan ranselnya. Dia menempelkan benda itu ke lantai, lalu mendorongnya keluar dari celah bawah pintu.
Aditya menggeser pelan cermin ke kanan dan kiri. Dia hendak menarik kembali cermin, ketika melihat kelebatan bayangan dari pantulan cermin.
Aditya membaca doa dalam hati sembari menarik sedikit cermin, agar dia bisa melihat sosok itu lebih jelas. Namun, yang terlihat hanya sesuatu yang bergoyang sesaat, sebelum akhirnya menghilang.
Pria berhidung mancung terdiam sejenak. Kemudian Aditya menarik total cerminnya, lalu meraih ponselnya yang sedang diisi daya, di rak samping kanan pintu. Dia mencabut kabelnya, dan berpindah ke kasur.
Aditya menelepon Nirwan yang langsung mengangkat di deringan ketiga. Aditya meminta berbincang dengan Hendri, dan Nirwan memberikan ponselnya pada ipar Wirya tersebut.
"Kelihatan jelas nggak?" tanya Hendri.
"Enggak, Kang. Cuma kayak kain yang melambai," terang Aditya sambil berbisik, supaya tidak terdengar oleh Seno.
"Kain?"
"Hu um."
"Menurutmu, itu apa?"
"Orang. Dia lagi berdiri di depan pintu kamar Koko Martin. Membelakangi kamar Seno."
"Kalau benar begitu, berarti dia bisa nembus pelindung rumah."
"Kayaknya gitu, Kang."
"Oke, besok aku bawakan air. Minta Seno nyiram sekeliling rumah, saat Martin di kantor."
"Ya, Kang."
"Dit, minta tambahan cuti ke bosmu."
"Kenapa?"
"Aku butuh orang pemberani buat ngintai jurig."
"Aku dibayar berapa?"
"Gampanglah itu. Nanti kutransfer."
"Okeh. Besok pagi aku telepon Bang W. Tapi, Akang bantu bujuk dia juga."
"Sip. Kalau dia nggak mau, kupaksa."
***
Martin tiba di kantor pengelola bersama Seno. Pria bermata sipit sama sekali tidak curiga saat Aditya berpamitan untuk berangkat ke tempat proyek.
Selama puluhan menit berikutnya Martin terlihat sibuk membaca detail proyek terbaru, yang ditawarkan Tio ke KARDZ, perusahaannya dan HWZ serta Zulfi.
Pria berkemeja cokelat tidak melihat seunit mobil MPV hitam yang bergerak memasuki area. Dia baru melihat mobil itu setelah berhenti di depan bangunan kantor.
Martin terperangah sesaat, sebelum berdiri dan bergegas keluar untuk menyambut Kakak sepupunya, yang datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Martin menyalami Azriel dengan takzim, kemudian dia memeluk pria berusia 36 tahun tersebut. Setelahnya, Martin beralih menyalami Firhan, Adik ipar Azriel, alias suami Yarmila.
Seusai berbincang sesaat, Martin mengajak kedua lelaki tersebut ke ruang tamu kantor. Martin sangat senang dikunjungi Azriel yang merupakan kerabat terdekatnya di Indonesia.
"Teh Sheila dan Teh Yarmila, kenapa nggak ikut?" tanya Martin.
"Kami nggak bilang mau ke sini," sahut Azriel. "Berangkat pagi tadi, aku cuma ngomong mau ke Bandung dan nginap beberapa hari," lanjutnya.
"Ada meeting, Kang?"
"Ya, sama tim PC."
Martin mengerutkan dahi. "Aku nggak tahu ada pertemuan di kantor PC."
"Memang nggak ada. Aku cuma mau ketemu Zafran, Ekyavan dan Adyanata. Tentang proyek di Flores itu."
"Oh, yang itu. Aku nggak ikutan."
"Kamu ikut proyek yang mana?"
"Shanghai, Yunani dan Swedia."
Azriel melirik iparnya, kemudian keduanya sama-sama tersenyum. "Mainannya luar negeri. Kalah kita," selorohnya.
"Apalah kita, nih, Kang," kelakar Firhan.
"Kalian ini. Aku, tuh, cuma ikut perintah bos HWZ," kilah Martin.
Azriel manggut-manggut. "Turuti aja. Hendri, Wirya dan Zein nggak akan menjerumuskanmu."
Sementara itu di tempat berbeda, Hendri, Bayu, Nirwan dan Aditya tengah menyusuri jalan setapak di tepi sungai kecil. Mereka mengikuti langkah Maman dan adiknya yang bernama Dudi, melintasi tempat itu sambil memegangi tongkat panjang.
Sekali-sekali Aditya berhenti untuk mengikatkan tali rapia ke dahan pohon kecil yang dilewati. Dia melakukan itu supaya tidak tersasar saat pulang nanti.
Setibanya di ujung sungai yang ternyata berbentuk goa, keenam orang tersebut berhenti. Hendri maju sambil menyalakan senter besar yang diselempangkan di dadanya.
Hendri menyoroti bagian dalam goa yang dipenuhi batu-batu besar beraneka bentuk. Sedangkan Bayu dan Nirwan memvideokan sekeliling.
"Jadi tambah penasaran pengen masuk," tukas Hendri.
"Jangan, Kang. Bahaya," cegah Maman.
"Kunaon?" tanya Hendri.
"Waktu abdi kecil dulu, ada yang nekat masuk. Beberapa hari ngilang, sampai mengerahkan tim penyelamat. Tapi, mereka nggak ditemukan. Padahal tim SAR sudah masuk dari dua lubang."
"Dua lubang?" ulang Hendri.
"Muhun."
"Goa ini, sama di mana lagi?"
"Dekat sumur. Samping gudang proyek. Tapi, yang di sana kecil sekali. Seukuran gorong-gorong. Teu bisa dilalui orang-orang yang badannya gede kayak Akang. Cuma bisa dilewati yang kecil-kecil. Kayak abdi."
65Bulan berganti. Proyek KARZD akhirnya rampung. Pagi itu diadakan peresmian bangunan yang akan menjadi pusat bisnis sepanjang hampir 1km. Ketiga bos HWZ dan keluarga, serta para tamu undangan, memenuhi lobi utama gedung yang akan menjadi pusat kegiatan di kawasan strategis ituKeluarga Danantya, Pramudya, Baltissen dan Adhitama juga turut hadir. Selain mereka, beberapa sahabat Martin di PC dan PCD juga menghadiri acara penting bagi KARZD. Setelah Hendri dan Martin menyampaikan pidato, Mulyadi menaiki panggung untuk membacakan doa, yang diikuti hadirin dengan khusyuk. Selanjutnya, acara pengguntingan pita yang dilakukan kelima komisaris perusahaan tersebut. Zein dan Martin mengapit Wirya, Zulfi dan Hendri. Mereka bersama-sama memotong pita, kemudian mereka mempersilakan ketiga bocah untuk memencet tombol. Bayazid, Fazluna dan Rhetta, berseru ketika berbagai hiasan dari kertas mengilat, muncul dari lantai dua dengan diiringi aneka pita kecil berwarna-warni. Puluhan menit terlewati
64Jalinan waktu terus bergulir. Semua anggota rombongan penembus lorong waktu, telah kembali ke kediaman masing-masing dan menjalankan aktivitas seperti biasanya. Yìchèn yang menetap di kediaman Frederick Adhitama, telah membaca surat panjang dari Shin Hung. Bersama Qianfan dan yang lainnya, Yìchèn juga sudah membahas isi surat dan silsilah keluarga Chow serta Shin Fung. Dua minggu berlalu, Martin dan tim Bandung mendatangi Yìchèn di Jakarta. Kemudian mereka melanjutkan perbincangan tentang isi surat itu. "Koko yakin mau berangkat ke sana?" tanya Martin sambil memandangi kembarannya lekat-lekat. "Ya, tapi tidak sekarang," jawab Yìchèn. "Lalu, kapan?" desak Martin. "Menunggu aku punya identitas sendiri." "Oh, belum selesai, ya?" Yìchèn mengangguk mengiakan. "Pengacara keluargaku tengah mengurusnya." Martin mengangkat alisnya. "Keluarga Koko?" "Ya. Aku sekarang jadi bagian dari keluarga PBK." Martin mengulaskan senyuman. "Betul juga, sih." "Koko mau diangkat anak sama Papa
63Bau angit sisa-sisa kebakaran, yang sempat memenuhi area kanan belakang kantor pengelola proyek KARZD, perlahan menghilang. Matahari pagi bergerak cepat memutari bumi. Siang menjelang dengan diiringi gerimis, yang menyebabkan tanah di sekitar gudang kecil menjadi basah. Tim tiga dan empat berjibaku membangun tenda, dengan dibantu Seno, Ridho, dan Muchlis. Maman, Jajang, dan para petugas keamanan, juga turut membantu menjadi penyedia konsumsi. Dua lampu sorot besar diarahkan ke pintu gudang yang ditutupi kain hitam. Empat lampu lainnya digunakan untuk penerangan sekitar tenda, yang dibangun memanjang dari depan gudang kecil hingga ujung gudang besar. Yuanna merapikan lipatan handuk dan pakaian ganti buat anggota rombongan yang berada di lorong waktu. Sedangkan Gantari dan Sinta menyusun bungkusan plastik bening yang berisikan kue-kue serta minuman. Arsyad jalan mondar-mandir di sisi kanan tenda. Dia benar-benar khawatir, karena kelompok Zainal dan Hendri belum juga muncul. Pada
62Seorang pria tua menyambut rombongan Yìchèn dengan penghormatan. Dia memberikan bungkusan kain pada orang terdepan, yakni Dante. Keduanya bercakap-cakap sesaat, sebelum lelaki tua membuka pintu bangunan kecil itu. Cahaya terang seketika terpancar dari dalam. Semua orang di bagian depan menyipitkan mata, kemudian mereka berbaris dua orang, sesuai arahan Wirya. Yìchèn yang berpindah ke depan bersama Freya, memberi hormat dengan sedikit membungkuk pada suami Shin Fung, dan keluarga Chow, yang membalas dengan hal yang sama. Yìchèn menegakkan badan, lalu menunggu kedua orang terdepan memulai perjalanan mereka menuju masa modern. Hendri dan Zein menggerak-gerakkan kedua tangan mereka membentuk jurus halus olah napas. Keduanya serentak menembakkan tenaga dalam ke cahaya, yang seketika meredup dan memperlihatkan kumparan kabut tebal yang tidak terlalu terang. Hendri dan Zein melangkah bersamaan. Ubaid dan Bayu mengikuti di belakang. Keempatnya bekerjasama menembakkan tenaga dalam ke s
61Langit malam dipenuhi jutaan bintang. Rembulan memamerkan bentuknya yang sempurna, hingga mampu sedikit menerangi dunia. Angin berembus sepoi-sepoi di sekitar halaman depan kediaman keluarga Shin Fung, dan menyebabkan dedaunan di pohon-pohon itu bergoyang dengan pelan. Puluhan orang memenuhi seputar halaman. Mereka menonton ritual sembahyang ala orang Tiongkok, yang dilakukan Shin Fung, keluarga Chow, Yìchèn dan Qianfan. Chyou dan kelompok berselempang kain merah, berjaga-jaga di dekat tempat pemujaan. Kelompok Wirya yang menggunakan selempang biru, bersiaga di sekitar area sebagai lapisan kedua. Pasukan Ming Tianba menjadi pelindung utama di seputar rumah besar. Mereka bergantian mengawasi jalanan, supaya bisa mendeteksi pergerakan dari luar. Sebab saat itu masih zaman penjajahan Belanda, semua warga harus berhati-hati dalam mengadakan aktivitas yang melibatkan banyak orang. Kendatipun Shin Fung dan Tan Liu Chow telah mendapatkan izin dari pejabat setempat untuk melakukan per
60Rombongan pimpinan Chyou tiba di depan rumah besar berarsitektur khas zaman dulu. Batu hitam menghiasi sisi bawah dinding, sedangkan bagian atasnya di-cat putih. Shin Fung mempersilakan semua orang memasuki ruangan. Dia penasaran, karena tidak ada seorang pun yang membuka kain penutup di wajah mereka. Selain itu, nyaris tidak ada yang berbincang. Selain Yìchèn, Qianfan, dan beberapa pengawal berselempang kain merah.Para pelayan bergegas menyuguhkan minuman dan makanan di belasan meja besar. Loko, Michael, Gibson dan Cedric mengelilingi setiap meja untuk mengecek, apakah ada racun pada hidangan. Shin Fung membatin, bila sepertinya anak buah Yìchèn memahami berbagai cara pengamanan, dan hal itu kian meningkatkan rasa keingintahuannya. "Saya belum tahu nama Tuan," ujar Shin Fung sambil memandangi pria berbaju cokelat di kursi sebelah kanannya. "Saya, Vong Qianfan," jawab lelaki yang rambutnya telah dihiasi uban. "Berasal dari mana?" "Guangzhou." "Bagaimana Tuan bisa bertemu de