"Ada hati yang retak, namun ia tidak pecah menjadi kepingan. Seperti kaca patri yang hancur, setiap pecahan masih menyimpan cahaya. Elaria pecah, tapi ia tidak pernah hancur. Ia hanya membangun tembok dari pecahan-pecahan itu."
*** Lima hari berlalu sejak Kaelion pergi. Lima hari di mana Elaria membiarkan hatinya remuk redam. Kata-kata Kaelion yang dingin dan tajam menusuknya, menghancurkan sisa-sisa harapannya. Namun, ia tidak hancur. Elaria menangis, ia meratap, tetapi di balik air matanya, sebuah keputusan tegas muncul. Ia akan mundur. Ia akan berhenti. "Aku tidak bisa terus-menerus menjadi figuran," bisik Elaria pada dirinya sendiri, menatap pantulan wajahnya yang pucat di jendela. "Ini saatnya aku menjadi pemeran utama dalam hidupku sendiri." Ia mengambil pena bulu dan kertas, menuliskan sebuah surat singkat namun penuh makna. Itu adalah surat pengunduran diri dari tugas pengantaran anggur ke istana"Ada takdir yang berubah bukan karena kehendak, melainkan karena badai tak terduga yang menguji kekuatan hati. Kaelion Vaelhardt, penguasa yang tak pernah goyah, kini dihadapkan pada keretakan di titik paling tak terduga: perasaannya yang tak bisa ia kendalikan." *** Satu minggu berlalu sejak Kaelion meninggalkan jubahnya di serambi Estate Thorne. Seminggu itu dihabiskannya dalam kekacauan batin. "Aku gila," Kaelion membatin, menatap jubah Leona di ruang kerjanya. "Aku meninggalkan jubahku. Itu... tanda. Aku meninggalkan bukti." Ia menyesali tindakannya, tetapi pada saat yang sama, ia tidak bisa melupakan kehangatan wajah Elaria saat tertidur. Ia tidak bisa melupakan bagaimana rasanya membelai rambutnya. Ia telah goyah, dan ia membenci dirinya sendiri karena itu. Namun, takdir memiliki rencana lain. Pagi itu, kabar buruk menyebar di seluruh istana. "Pangeran Aerion jatuh sakit, Yang Mulia
"Ada jeda yang lebih menyakitkan daripada perpisahan. Sebuah waktu di mana kata-kata terus bergaung dan janji-janji menjadi debu. Namun, dalam jeda itu, sebuah kebenaran baru muncul, tak terucapkan, hanya bisa dibaca oleh hati yang peka." *** Setelah pertemuan semalam, Kaelion kembali ke istana, tetapi ia tidak menemukan kedamaian yang ia harapkan. Kata-kata "Pembohong" yang diucapkan Elaria terus bergaung di telinganya. "Pembohong... dia benar," Kaelion bergumam, menatap bayangannya di cermin. "Aku membohongi diriku sendiri." Ia mengunci diri di ruang kerjanya, tidak makan, tidak tidur. Pikirannya dipenuhi bayangan Elaria yang berdiri sendirian di bawah rembulan, air matanya, dan kekuatan dalam tatapannya. "Mengapa aku tidak bisa melupakannya? Mengapa aku membiarkan diriku merasa seperti ini?" Kaelion memijat pelipisnya. Ini adalah perasaan yang asing dan menakutkan baginya. Ia telah menjaga citra dinginnya selama bertahun-tahun. Perasaan ini, pe
"Ada hati yang retak, namun ia tidak pecah menjadi kepingan. Seperti kaca patri yang hancur, setiap pecahan masih menyimpan cahaya. Elaria pecah, tapi ia tidak pernah hancur. Ia hanya membangun tembok dari pecahan-pecahan itu." *** Lima hari berlalu sejak Kaelion pergi. Lima hari di mana Elaria membiarkan hatinya remuk redam. Kata-kata Kaelion yang dingin dan tajam menusuknya, menghancurkan sisa-sisa harapannya. Namun, ia tidak hancur. Elaria menangis, ia meratap, tetapi di balik air matanya, sebuah keputusan tegas muncul. Ia akan mundur. Ia akan berhenti. "Aku tidak bisa terus-menerus menjadi figuran," bisik Elaria pada dirinya sendiri, menatap pantulan wajahnya yang pucat di jendela. "Ini saatnya aku menjadi pemeran utama dalam hidupku sendiri." Ia mengambil pena bulu dan kertas, menuliskan sebuah surat singkat namun penuh makna. Itu adalah surat pengunduran diri dari tugas pengantaran anggur ke istana
"Ada sentuhan yang lebih sunyi dari doa, sebuah keberanian yang hanya berani muncul satu kali saja. Namun, ia disambut bisu yang dingin dan tajam, menusuk hati, menyisakan puing-puing asa yang pilu dalam tangis tanpa suara." *** Matahari sudah mulai condong ke barat saat Kaelion mengakhiri "inspeksi" kualitas anggurnya. Ia telah menghabiskan waktu berjam-jam di gudang penyimpanan, mendengarkan penjelasan Viscount Thorne, tetapi pikirannya terus kembali pada satu hal: Elaria. Ia mencuri pandang ke arah ladang dari jendela gudang. Elaria masih di sana, bekerja. Kaelion berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia sudah mendapatkan apa yang ia cari, bukti bahwa Elaria baik-baik saja dan tidak terlalu patah hati, dan sekarang ia bisa pergi. "Tuan Viscount Thorne, saya rasa inspeksi ini sudah cukup," kata Kaelion, suaranya kembali ke nada formal yang dingin. "Baik, Ya
"Ada pertemuan yang mengubah sunyi menjadi gemuruh, meski bibir tetap membisu. Seperti dua bintang yang tiba-tiba berpapasan, masing-masing membawa cahayanya sendiri, menciptakan gravitasi tak terlihat, menamai rasa yang belum memiliki nama." *** Sinar matahari pagi menembus dedaunan pohon anggur, menciptakan mosaik cahaya dan bayangan di ladang Estate Thorne. Kaelion terus berjalan lebih dalam, mengikuti nalurinya yang tak bisa ia jelaskan, mencari bayangan yang ia lihat dari kejauhan. Viscount Thorne berusaha mengimbanginya, sesekali memberikan penjelasan tentang kualitas tanah dan teknik panen. Namun, Kaelion hanya mengangguk samar, seluruh perhatiannya tertuju pada sosok di tengah barisan anggur yang semakin mendekat. "Lady Elaria benar-benar pekerja keras," Viscount Thorne berkomentar, bangga. "Dia bahkan melupakan penampilan bangsawan di ladang." Kaelion tidak menjawab. Jan
"Ada jejak kaki yang tak ingin mengakui tujuannya, langkah yang berpura-pura mencari debu padahal merindukan bunga. Ia bergerak dalam penolakan, namun setiap tarikan napas adalah pertanyaan: Jika tak ada aku, apakah kau akan mencari?" *** Keheningan di Istana Nightborne semakin mencekik Kaelion Vaelhardt. Seminggu telah berlalu sejak Elaria menghilang sepenuhnya dari pandangannya, dan setiap senja yang ia habiskan menatap pintu kosong hanya memperparah rasa hampa yang aneh di dadanya. Ia sudah berusaha keras untuk menyingkirkan pikiran tentang Elaria, tetapi semua sia-sia. Sapaan yang dulu ia abaikan kini terasa seperti melodi yang hilang, dan kehadiran Elaria yang dulu ia anggap mengganggu, kini menjadi kehampaan yang tak tertahankan. "Ini konyol," gumam Kaelion pada dirinya sendiri, membanting berkas di mejanya. "Aku seorang Duke. Aku tidak punya waktu untuk... perasaan semacam ini."