Hari pertunangan Adit. Adit sudah siap dengan setelan jas berwarna hitamnya. Tentu saja ia sangat gugup kali ini. Karena mau bagaimana pun juga, ini adalah pertama kalinya ia bertunangan dengan seorang perempuan. Ditambah lagi, sebagian teman mainnya hadir dalam acara ini, membuatnya semakin gugup dan tidak tau harus berbuat apa.
Perasaan gugupnya semakin menjadi-jadi saat ia disuruh memasangkan sebuah cincin ke jari manis Lucia. Tetapi sebisa mungkin, ia tutupi perasaan gugup itu dengan sebuah senyuman kecil yang ada di bibirnya.
Dan saat cincin yang tadi ia pegang sudah melingkar di jari manis Lucia. Semua orang bersyukur. Karena dengan begitu, acara pertunangan tersebut berakhir dengan mulus, tanpa kendala apa pun.
Ansel tersenyum lebar saat Adit menatap ke arahnya. Ia ikut bahagia, karena akhirnya Adit bisa melangsungkan acara pertunangan dengan baik dan tanpa kesalahan apa pun. Ia turut bahagia, karena akhirnya Adit tidak lajang lagi sekarang.
Pandangan Ansel beralih menatap sepasang adik-kakak yang sedang berada di sudut ruangan. Sepasang adik-kakak tersebut adalah Jingga dan Dalfon. Bisa terlihat jelas Jingga sedang bersandar di bahu Dalfon. Sedangkan Dalfon sedang sibuk memakan kacang yang ada di dalam piring.
Ansel melemparkan kulit kacang yang ada di hadapannya ke arah Dalfon. Memberikan isyarat pada sahabatnya tersebut bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberikan Adit hadiah istimewa yang sudah mereka siapkan.
Sedangkan Dalfon yang mengetahui isyarat dari Ansel pun menggelengkan kepalanya pelan. Sebagai isyarat balasan bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat. Tetapi tepat setelah Dalfon menggelengkan kepalanya, tiba-tiba sebuah niatan jahat muncul di kepalanya.
"Apa, Nyet? Kamu mau bungkus kacangnya untuk makan di warung?" cetus Dalfon sambil mengulurkan piring berisi kacang ke arah Ansel.
"Woi, Nyet! Astaga! Main fitnah saja kamu," balas Ansel yang tidak terima difitnah oleh Dalfon.
Sontak kejadian itu langsung membuat semua orang yang ada di sana terkekeh kecil, melihat tingkah Dalfon dan Ansel. Dalfon menahan tawanya, karena rencananya sukses. Sedangkan Ansel sedang menahan malu, karena ulah sahabatnya sendiri.
Adit yang tadinya merasa tegang, tiba-tiba bisa merasa santai kembali setelah melihat kelakuan Dalfon dan Ansel. Dan saat ia menyadari bahwa ia sudah kembali tenang, ia langsung mempunyai firasat bahwa Dalfon melakukan hal tersebut untuk membantunya kembali tenang. Dan rencana Dalfon terbukti berhasil. Membuat Adit merasa sangat bahagia, karena sahabatnya tersebut selalu bisa membantunya walau ia belum mengucapkan kalimat permintaan tolong sekali pun.
Tidak lama setelah itu, acara pertunangan tersebut berakhir. Semua orang diizinkan untuk meninggalkan tempat acara dan pulang ke rumah masing-masing.
Saat semua tamu sudah mulai bepergian. Dalfon, Ansel, Adit, Jingga, dan Lucia masih tetap bertahan di tempat mereka masing-masing. Masih tidak ada yang berubah. Jingga masih bersandar di bahu Dalfon. Dalfon masih sibuk makan kacang. Ansel masih sibuk mengabadikan momen yang ada di hadapannya menggunakan ponselnya. Sedangkan Adit dan Lucia masih duduk di tempat mereka.
"Sepertinya sudah waktunya," cetus Dalfon setelah kacang yang ada di hadapannya sudah habis.
"Mau pulang, Kak?" tanya Jingga sambil berdiri tegak.
"Iya," jawab Dalfon.
Ansel pun langsung berdiri, saat melihat Dalfon mulai berdiri. Ini adalah waktu yang paling ia nanti-nanti. Karena ini adalah waktunya untuk memberikan Adit hadiah yang sangat gila. Karena memang hadiah ini seharusnya tidak diberikan saat acara pertunangan. Apalagi pada saat Lucia masih ada di sisi Adit.
Jingga sudah bersalaman terlebih dahulu dengan Lucia dan Adit. Jadi sekarang tersisa Ansel dan Dalfon yang sedang tersenyum licik ke arah Adit.
Secara sembunyi-sembunyi, Ansel memberikan sebuah plastik kecil kepada Dalfon. Dan Dalfon pun menggenggam plastik tersebut dengan erat, supaya Adit tidak menyadari hadiahnya.
"Ini hadiah dariku. Nanti saja dibukanya," ucap Dalfon sambil memasukkan plastik yang ia pegang tadi ke dalam kantong jas Adit.
"Ini aku juga ada hadiah. Bukanya nanti malam saja," ucap Ansel sambil memasukkan hadiahnya ke dalam kantong jas Adit.
"Terima kasih, loh. Padahal aku sudah bilang tidak perlu bawa hadiah segala," ucap Adit sambil menjabat tangan Dalfon dan Ansel secara bergantian.
"Tenang saja, lagipula mana mungkin kami datang tanpa bawa hadiah istimewa, 'ya, Nyet," balas Ansel sambil melirik ke arah Dalfon.
"Iya. Eh, kamu mau pulang sekarang atau nanti?" tanya Dalfon sambil menatap Adit.
"Aku sih sepertinya masih nanti, Nyet." jawan Adit.
"Nanti langsung ke rumah Dalfon saja kalau sudah selesai acara. Aku habis ini langsung mau ke sana, kok," sahut Ansel.
"Lah, bodoh! Kamu ngapain ke rumahku?" tanya Dalfon sambil menatap Ansel.
"Aku mau istirahat, Nyet. Pegal banget nih badanku. Bisalah tidur sebentar di kasurmu," jawab Ansel diakhiri dengan sebuah senyuman.
"Banyak alasan kamu. Palingan cuma mau numpang makan doang," cela Dalfon.
"Lah itu tau," balas Ansel sambil terkekeh kecil.
"Sudah, lah. Aku sama Ansel pamit dulu," ucap Dalfon lalu mengulurkan tangannya ke arah Lucia.
Sontak semua orang yang ada di sana langsung tertegun. Bukan karena melihat Dalfon berpamitan dengan Lucia. Tetapi karena melihat Dalfon mengulurkan tangannya ke arah Lucia. Tentu saja mereka kaget, pasalnya kejadian tersebut adalah kejadian yang sangat langkah.
Dalfon yang sangat menjaga jarak dari para perempuan, sekarang dengan santainya mengulurkan tangannya ke arah Lucia. Membuat Ansel dan Adit tidak percaya dengan apa yang mereka lihat sekarang.
"Terima kasih sudah datang," ucap Lucia sambil menjabat tangan Dalfon.
"Adit orangnya sedikit kaku. Jadi betah-betah saja," balas Dalfon lalu melepaskan jabatan tangannya.
"Aku juga pamit pulang, Nyet. Semoga nanti malammu mimpi indah," ucap Ansel sambil mengulurkan tangannya ke arah Adit.
"Makasih, Nyet," balas Adit sambil menjabat tangan Ansel.
Tidak lama setelah itu. Ansel, Dalfon, dan Jingga pun berjalan meninggalkan Adit dan Lucia yang masih diam di tempat mereka.
Adit tersenyum haru menatap kepergian kedua sahabatnya. Kedua sahabatnya tersebut sangatlah mengerti keadaannya. Selalu membantunya, walau ia sama sekali tidak pernah meminta bantuan. Kedua sahabatnya tersebut tidak pernah meninggalkannya sendirian. Apalagi Dalfon. Sahabatnya tersebut selalu paham kapan harus datang dan kapan harus pergi. Membuatnya sangat bersyukur karena bisa mengenalnya.
"Jadi mana yang namanya Dalfon? Mana laki-laki yang selalu kamu sebut-sebut saat bersama orang lain?" tanya Lucia sambil melirik ke arah Adit.
"Yang lagi bergandengan sama perempuan," jawab Adit sambil menatap Dalfon yang sedang bergandengan tangan dengan Jingga.
"Itu pacarnya?"
"Bukan. Itu adiknya."
"Tapi kenapa mereka terlihat seperti sepasang kekasih?"
"Itulah keistimewaan mereka. Karena keistimewaan mereka itulah, mereka tidak membutuhkan pacar."
"Kamu sepertinya sangat mengaguminya. Memangnya hal apa yang sangat kamu kagumi dari dia?"
"Dia punya dua sifat. Sifat hangat dan sifat dingin. Dia tau kapan harus mengeluarkan sifat hangatnya dan kapan harus mengeluarkan sifat dinginnya. Cuma orang-orang beruntung yang bisa merasakan sifat hangatnya. Dan aku salah satu orang yang beruntung itu. Saat pertama kali, aku bertemu dengannya. Dia sama sekali tidak pernah melihatku sebagai anak orang kaya. Malahan selama aku bermain bersamanya, dia yang selalu membayar makanan dan minumanku. Padahal bisa dibilang dia berasal dari keluarga yang ekonominya menengah ke bawah. Tapi hal itu tidak membuatnya pelit terhadap semua sahabat-sahabatnya. Bukan cuma itu saja yang buat aku kagum padanya. Dia seorang kakak yang sangat perhatian. Selalu membelikan semua yang adiknya mau. Selalu memberikan semua yang adiknya butuhkan. Walau dia harus bekerja keras untuk hal itu. Dia tidak pernah mengeluh, walau dia sudah menjalani takdir yang sangat berat. Itulah yang buat gua kagum sama dia."
"Dan rasa kagum itu yang buat kamu selalu banggakan dia di depan semua orang?"
"Iya. Karena sejauh ini, cuma dia yang aku punya. Cuma dia satu-satunya bisa mengerti kemauan ku tanpa aku harus berbicara terlebih dahulu."
Adit masih ingat saat-saat itu. Saat di mana ia hampir saja dirampok oleh lima preman di gang sempit yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumahnya.
Saat itu ia sedang berjalan ke arah rumah setelah membeli beberapa cemilan di supermarket terdekat. Dan tanpa sengaja ia berpapasan dengan para preman yang sedang mencari korban untuk dirampok.
Karena memang saat itu cuma ada dirinya seorang. Maka ialah yang menjadi korban saat itu. Ia dibawa ke sebuah gang kecil. Lalu dirampas semua barang berharganya. Tetapi setelah ia memberikan semua barang berharganya, para preman belum puas. Para preman tersebut mengincar hal yang lebih. Yaitu organ tubuh Adit.
Salah satu preman sudah menghunuskan sebuah pisau ke arah dada Adit. Dan karena saking takutnya, Adit menutup matanya. Tetapi Adit merasa aneh. Karena ia sama sekali tidak merasa sakit saat itu. Dan saat ia membuka matanya, ia terkejut melihat ada seorang laki-laki sedang menggenggam erat pisau yang tadi mengarah ke arahnya.
Tidak lama setelah itu terjadi perkelahian antara laki-laki tersebut melawan kelima preman yang tadi merampok Adit. Perkelahian tersebut terjadi sangat sengit, karena memang dari kedua pihak tidak ada yang mau mengalah.
Sampai pada akhirnya, para preman-preman tersebut terkapar di tanah. Tanda bahwa laki-laki yang tadi menyelamatkan Adit dari pisau, memenangkan pertarungan tersebut.
Mata Adit membulat sempurna saat melihat wajah laki-laki yang menyelamatkannya. Karena laki-laki itu adalah laki-laki yang sering bermasalah di sekolahnya. Laki-laki yang sering keluar masuk ruang BK. Dan selalu dikabarkan sudah sering melakukan sebuah pertarungan bebas di jalanan.
Adit tentu saja tau tentang laki-laki tersebut. Tetapi saat itu ia cuma sekedar tau. Belum dekat. Yang ia tau saat itu adalah Dalfon adalah orang yang berbahaya dan sebaiknya ia tidak berurusan dengan laki-laki tersebut.
"Kalau jadi laki-laki jangan lembek. Kalau kamu lemah, siapa yang akan melindungi orang-orang yang kamu anggap berharga," ucap Dalfon sambil menyerahkan plastik berisi cemilan pada Adit.
"Kenapa kamu nolongin aku?" tanya Adit kebingungan.
"Karena aku sering lihat kamu bersama Ansel. Kamu teman dekatnya Ansel, 'kan? Teman Ansel adalah teman ku juga. Dan aku tidak suka teman ku dilukai. Jadi aku memutuskan untuk menolongmu."
Dan kalimat itulah yang menjadi alasan kenapa sampai sekarang Adit masih bertahan di sisi Dalfon. Adit masih bingung dengan kejadian tersebut, karena sebelum kejadian tersebut terjadi, ia sama sekali belum pernah berbicara dengan Dalfon. Dan bahkan belum pernah saling sapa. Tetapi Dalfon menolongnya begitu saja, tanpa memperdulikan nyawanya sendiri.
Adit tersenyum lebar saat mengingat-ingat saat itu. Masa-masa itu adalah masa-masa di mana ia mulai bisa menjadi bagian dari kehidupan Dalfon. Dan di masa-masa itu, ia belajar bahwa jangan pernah menilai orang dari perkataan orang lain.
Saat ia sudah mulai sadar dari lamunannya, ia merogoh kantong jasnya. Untuk memastikan apa yang diberikan para sahabatnya.
Tetapi belum sempat hadiah itu keluar dari kantong, ia langsung memasukkan hadiah itu ke dalam kantongnya lagi.
Walau belum terlihat sempurna. Tetapi ia sangat yakin bahwa kedua benda itu adalah alat kontrasepsi yang bernama kondom.
Wajah Adit langsung memerah saat itu juga. Setelah semua pujian yang ia keluarkan untuk Dalfon. Ternyata Dalfon memberikannya sebuah hadiah yang sangat gila.
"Monyet sialan!" teriak Adit membuat Ansel dan Dalfon yang masih di parkiran tersenyum puas karena bisa mengerjai sahabatnya itu.
Dalfon mondar-mandir di hadapan sebuah ruangan yang di dalamnya sedang ada Jingga yang sedang diperiksa oleh dokter.Dengan perasaan khawatir, ia berkali-kali mencoba untuk menenangkan pikiran dan hatinya. Supaya tidak terlalu khawatir dengan kondisi Jingga.Tetapi apa pun yang telah ia lakukan, tidak bisa membuat dirinya tenang. Semakin lama, ia semakin ingin mendobrak pintu ruangan tersebut lalu melihat keadaan Jingga dengan matanya sendiri. Tetapi ia tidak bisa melakukan hal tersebut. Bukan karena takut ditangkap oleh penjaga keamanan. Tetapi takut mengganggu dokter yang sedang memeriksa keadaan Jingga di dalam.Pandangan Dalfon langsung beralih menatap pintu, saat ia mendengar suara gagang pintu yang bergerak-gerak. Dan firasatnya benar.Saat pintu tersebut sudah terbuka. Terlihatlah dokter menggunakan sebuah masker medis berdiri ambang pintu. Dan tanpa pikir panjang lagi, Dalfon langsung menghampiri dokter tersebut. Menanyakan tentang kea
Jingga perlahan mulai membuka matanya. Saat matanya sudah terbuka pelan, ia bingung pasalnya ruangan yang sekarang ia tempati bukanlah kamarnya. Dan ia sangat asing dengan ruangan tersebut.Saat melihat ke arah sekitar, ia melihat Ratu dan Dalfon yang seperti sedang membahas sesuatu di dekat jendela. Jingga ingin memanggil kakak laki-laki tersebut. Tetapi entah kenapa, ia merasa sangat lemas. Jadi ia putuskan untuk mengetuk-ngetuk sebuah besi yang ada di dekat kasurnya, memberikan tanda kepada kedua orang tersebut bahwa ia sudah sadar.Ratu dan Dalfon yang mendengar suara besi diketuk pun langsung melihat ke sumber suara. Mereka berdua tersenyum lebar, saat melihat orang yang selama ini telah mereka nanti-nanti, telah sadar.Tanpa pikir panjang, Ratu langsung berlari mendekat ke arah Jingga. Memastikan bahwa sahabat tersebut sudah sadar sepenuhnya.Sedangkan Dalfon hanya tersenyum di dekat jendela tanpa mengatakan apa pun. Ia tidak mengucapkan apa p
Alice berjalan pelan menuju ke arah rak bukunya. Dari banyaknya buku yang tersusun rapi di dalam rak tersebut, ia mengambil sebuah buku novel romansa untuk dibacanya malam ini.Ia bawa buku tersebut ke atas kasurnya. Lalu membukanya pada halaman pertama.Alice memang suka sekali dengan buku-buku romansa. Tetapi karena tugasnya sebagai pemimpin keluarga Gracia, ia tidak memiliki waktu untuk bersantai dan membaca buku-bukunya.Saat semua orang memuji Alice dengan bilang kalau hidup Alice enak karena sudah difasilitasi oleh benda-benda berkualitas dan mewah. Alice sendiri menganggap itu sebagai hinaan. Karena semua barang mewah yang ia miliki sekarang hanyalah sebuah benda. Dan sampai kapan pun, sebuah benda tidak akan bisa membuatnya puas.Dengan uang yang ia miliki sekarang, harusnya ia bisa membeli semua benda yang ia inginkan dan mendapatkan kepuasan setelah itu. Tetapi kenyataannya tidak. Walau Alice sudah membeli semua benda yang ia sukai,
Ansel membuka matanya secara perlahan. Tatapan pertamanya tertuju pada selang infus Jingga. Ia memastikan bahwa kantong infus Jingga masih terisi. Dan betapa terkejutnya dirinya, saat melihat Dalfon berdiri tepat di sisi kasur Jingga.Ia tersenyum kecil saat melihat raut wajah Dalfon. Sahabatnya itu terlihat sangat bahagia sekali saat menatap Jingga. Dan tentu saja, Ansel sendiri tau alasan kenapa sahabatnya itu bisa sebahagia itu.Tidak ada yang bisa mengalahkan besarnya rasa sayang Dalfon kepada Jingga. Rasa sayang Dalfon kepada Jingga benar-benar bisa dirasakan oleh semua orang yang ada di sekitarnya. Dan rasa sayang itulah yang membuat semua orang percaya bahwa Dalfon adalah benar-benar orang baik.Sungguh tragis saat mendengar beberapa berita buruk tentang Dalfon. Ada beberapa berita yang mengabarkan bahwa Dalfon adalah seorang penjahat yang sering melakukan hal-hal yang tidak senonoh pada adiknya sendiri. Mungkin banyak orang yang percaya dengan beri
Alice sedang dalam perjalanan ke restoran terbesar dan termewah di kotanya. Restoran itu adalah restorannya. Jadi ia bisa kapan saja datang dan makan di sana.Dan pagi ini, karena ia sedang memiliki waktu luang. Ia putuskan untuk mampir ke restoran tersebut untuk makan siang.Tentu saja ia tidak sendirian. Sekarang ia sedang bersama Keenan yang sedang menyetir mobilnya. Dan nanti ada Dalfon yang sudah menunggunya di restoran tersebut.Tidak butuh waktu lama, Alice akhirnya sampai di depan Restoran Alice. Ia memang sengaja menamai restorannya menggunakan namanya bukan nama keluarganya. Karena ia ingin restoran ini berkembang tanpa bantuan dari ketenaran keluarganya.Setelah pintu mobilnya dibukakan oleh Keenan. Ia pun beranjak keluar dari dalam mobil. Dan saat sudah di luar, ia menatap seorang laki-laki menggunakan seragam sekolah sedang berdiri tegak di depan pintu restoran.Laki-laki itu Dalfon. Memang ia yang menyuruhnya datang. Tetapi ia t
Dalfon tentu saja kaget saat tau bahwa dirinya akan menjadi instruktur dari pasukan yang paling disegani di seluruh dunia. Baginya itu adalah hal yang sangat mustahil. Apalagi ia cuma seorang murid SMA biasa. Tetapi di mata Alice, itu bukanlah hal yang mustahil. Kalau memang Dalfon bisa menyamai ilmu bela diri Keenan dalam waktu satu minggu, maka bisa dipastikan bahwa laki-laki itu memang pantas untuk menjadi instruktur pasukan bayangan. Ditambah lagi, secara tidak langsung, laki-laki itu sudah terbiasa dengan pekerjaan kasar. Dan selalu bisa memikirkan cara tercepat untuk menyelesaikan sebuah tugas. "Bukannya itu tugas yang terlalu berat untuk saya?" tanya Dalfon. "Itu mudah. Kamu hanya perlu mempelajari seluruh teknik ilmu bela diri yang dimiliki Keenan, lalu kamu ajarkan kembali pada para pasukan bayangan," jawab Alice dengan santainya. "Kenapa tidak Keenan saja yang mengajarkannya langsung ke mereka? Bukannya itu akan lebih mudah?"
Dalfon menatap secara saksama seorang laki-laki yang sedang duduk di sebuah meja resepsionis dengan ekspresi lesu.Laki-laki itu adalah Nicola Vedora. Pewaris Rumah Pelelangan Nicola.Wajah Vedora memang masih terlihat masih sangat muda. Dan dilihat-lihat Vedora seperti anak SMA. Tetapi walau begitu, Vedora sudah sangat ahli dalam mengurus pelelangan. Dan bahkan semenjak Vedora yang bertanggung jawab atas pelelangan, pelelangan itu langsung menjadi lebih di pandang oleh banyak orang.Tetapi sayang, beberapa minggu terakhir ini, para orang-orang yang selalu datang untuk membeli barang pelelangan semakin sedikit. Alasan kenapa orang-orang itu tidak datang kembali, karena orang-orang itu merasa bahwa Pelelangan Nicola sudah tidak memiliki barang unik dan bagus lagi. Jadi mereka semua pergi menuju ke pelelangan lain.Namun, masih ada beberapa orang yang masih bertahan di pelelangan itu. Dan berharap kalau suatu saat nanti, ada sebuah keajaiban yang memb
Jingga dengan santainya berjalan ke arah ruang tamu sambil memakan sebuah makanan ringan yang tadi ia ambil dari rak yang ada di dapur.Tadinya ia berniat untuk bersantai sambil menonton acara televisi. Tetapi saat melihat Dalfon sedang berbaring di sofa sampai bermain ponsel, niatnya tadi pun langsung harus ia urungkan. Karena tidak mungkin, ia memaksa kakaknya itu untuk pindah ke kamar.Saat Jingga ingin beranjak pergi, ia baru teringat akan satu hal. Ia harus membujuk kakak laki-lakinya itu untuk bersedia mengikuti Kompetisi Tujuh Sekolah. Dan waktunya juga seminggu.Dengan perasaan malas, Jingga pun duduk di sofa yang belum terpakai. Ia duduk lalu menyalakan televisi. Sedangkan Dalfon yang melihat keberadaan adiknya pun langsung bangun dari posisi tidurnya.Tadinya ia ingin langsung pergi. Tetapi saat melihat ekspresi adiknya, ia urungkan niatannya. Dan memilih untuk tetap duduk di sofa. Menunggu adiknya itu membuka topik pembicaraan.