KLANG!Pedang Aruna tiba-tiba muncul. Pedang legendaris yang membakar udara sekitarnya hingga berwarna merah menyala.“Pedang Malaikat!” Nathan mengayunkan senjatanya.Slashh~Gelombang energi merah menyala menembus semua serangan dari lawan.BANG! BANG! BANG!Benturan antara kekuatan membuat tanah gemetar ddengan dahstar. Namun serangan demi serangan tetap menembus pertahanan Nathan. Tubuhnya mulai retak, sisik emasnya rontok satu per satu. Namun dia tidak bergeming dan teta[ berdiri dengan kekar. Mata Nathan memerah, terlihat jelas bahwa semangat juangnya membakar seperti matahari.“Bunuh!”“Serang!”Teriakan menggema dari segala arah, mereka serempak menyerbu maju.Namun Nathan dengan tubuh yang mulai berdarah menahan serangan tadi, mengayunkan pedangnya lagi.Slashh!Pedangnya membelah tubuh seorang Ketua Organisasi dari bahu ke pinggang. Darah menercik kemana-mana dan potongan tubuh beterbangan. Dua orang di sampingnya terkena cipratan darah, membuat tubuh mereka menggigil ketaku
“Di mana Ravensclaw?” Suara Nathan dingin dan mengancam.Kaidar tersenyum penuh sindiran. “Jadi kau ke sini mencari mereka?”“Mereka ada di Penjara Air milik Keluarga Winaya… Kau ingin menyusul?” Nathan maju selangkah.“Serahkan mereka… atau mati.” Suara Nathan tidak keras, namun aura pembunuhnya meledak tanpa bisa ditahan.Kaidar tertawa, suaranya bergema di aula. “Kau benar-benar gila! Lihat di sekelilingmu, Nathan!”“Para tetua, ahli puncak, kepala organisasi besar! Dan kau datang ke sini sendiri?!”“Apa kau pikir kami akan gemetar ketakutan?!”Nathan menoleh, menatap kerumunan. “Rakyat jelata. Kalau tak ingin mati, keluar dari vila ini, sekarang!”“Siapa pun yang tetap tinggal akan kubinasakan dari muka bumi ini.”Hening kembali mencekam.Tapi kali ini hening yang tegang. Banyak yang merasa dipermalukan, mereka bukan orang biasa, mereka para ahli tingkat tinggi, pemimpin terhormat!Salah satunya—Bosma, Ketua Organisasi Bawah Tanah—menerjang ke depan.“Anak bau kencur! Kau berani b
Kediaman Keluarga Winaya.Pesta ulang tahun Kaidar menjelma menjadi perjamuan politik. Orang-orang dari puluhan keluarga, dan organisasi bela diri berkumpul. Mereka berpakaian mewah, tertawa keras, menyesap anggur seolah dunia tidak sedang terbakar di luar tembok ini.Sementara Matilda menjadi abu, Kaidar menari di atas bangkainya.Di aula besar yang penuh gemerlap cahaya lampu roh dan spanduk kemenangan, Kaidar duduk di singgasananya. Wajahnya muda, namun mata itu seperti milik serigala.“Sebagian besar tamu sudah hadir,” bisik kepala pelayan di sampingnya. “Namun Ryujin dan Martial Shrine belum datang.”“Tentu saja mereka tidak datang.” Kaidar tersenyum dingin. “Tapi tunggu saja. Tiga tahun dari sekarang, mereka akan datang untuk berlutut di hadapanku.”Dia berdiri, menyusun jubahnya yang disulam benang perak, lalu melangkah menuju panggung. Musik berhenti dan semua mata tertuju padanya.“Teman-temanku!” suara Kaidar menggema. “Hari ini bukan hanya hari ulang tahunku. Ini adalah ha
Selama satu bulan terakhir, dunia kultivasi diliputi bayangan satu nama, Kaidar dari Keluarga Winaya.Namanya menggema seperti kutukan, menancap di benak setiap murid, tetua, bahkan para pemimpin organisasi. Ia tidak hanya mendominasi, ia menghina seluruh sistem. Bahkan Martial Shrine tak lagi ia pandang. Keluarga Winaya menginjak langit dan membakar bumi di bawahnya.Namun jauh di bawah tanah, dalam Menara Kegelapan yang terlupakan sejarah, Nathan tenggelam dalam pusaran kultivasi yang lebih menyerupai medan perang daripada proses meditasi.Di dalam tubuhnya, Batu Mata Naga berdetak seperti jantung kuno. Cahaya keemasan menyala dari dalam daging dan tulangnya. Dantiannya dihantam berkali-kali oleh gelombang kekuatan Taiju yang tidak ramah, seolah naga itu berusaha membangunkannya dengan amarah, bukan kasih.Tubuhnya mengeras. Sisik emas tumbuh dari kulitnya—berkilau seperti logam hidup—lalu lenyap, tumbuh lagi, dan lenyap, berulang seperti siklus kelahiran dan kematian.Nathan mering
Scholar berdiri tegak, meski wajahnya diliputi kebingungan dan ketegangan. Sinar matanya menajam ketika suara pintu mobil terbuka, diikuti langkah pelan kepala pelayan tua yang sangat dikenalnya.“Ada apa ini? Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi?” teriak Scholar, nadanya tajam, namun mengandung nada harap.Kepala pelayan tak menggubris. Ia melangkah maju dengan gestur hormat, membungkuk dalam kepada seorang pria muda yang berdiri dengan percaya diri di sisi lain pelataran.“Tuan Muda Kaidar, ibu dan anak dari keluarga Arteta ada di dalam mobil.”Kata-kata itu membelah malam seperti sembilu. Scholar menegang, seolah baru disambar petir. Matanya membelalak, dan ia menyadari dengan pahit, pion-pion terakhirnya telah jatuh ke tangan musuh.“Kau… berani mengkhianatiku?!” raung Scholar, dan dalam sekejap, tangan tuanya yang masih berotot menghantam udara, menuju wajah kepala pelayan.Namun, suara sinis Kaidar menggantung di udara lebih dulu. “Paman Scholar, apakah kau sudah lupa? Istri dan
Kediaman keluarga Winaya.Di sebuah halaman Keluarga Winaya, Kaidar berdiri di balkon tertinggi. Di bawahnya, halaman utama dipenuhi utusan dari berbagai organisasi bela diri.“Kepala Keluarga Bisco memberi salam!” “Ketua Organisasi Rotgam menyampaikan hormat!”“Bosma dari Bawah Tanah datang mengajukan aliansi!”Sorakan, tepuk tangan, dan gemuruh langkah kaki memenuhi udara. Kaidar memejamkan mata sesaat, hatinya mabuk oleh kuasa.Di dalam aula, suara pujian dan sanjungan mengelilinginya. Namun sorot matanya kosong. Dia duduk di kursi utama, posisi yang dulu bahkan ayahnya enggan tempati sebelum benar-benar layak. Kini kursi itu miliknya, dan dia belum merasa puas.“Komunitas bela diri Kota Moniyan, itu target berikutnya.”Disisi lain keluarga Arteta.Asap rokok menari di udara saat Scholar menatap langit-langit ruang kerjanya. Matanya merah, bukan karena kelelahan, tapi karena tekanan. Keluarga Winaya berkembang terlalu cepat. Dan kekuatannya—nyaris mustahil ditandingi.“Sudah laru