Share

Bab 4. Penyesalan William

"Astaga! Apa yang sudah aku lakukan? Aku … aku telah mengambil kesucian gadis itu. Oh no!" William berujar dengan suaranya yang terdengar bergetar.

Tubuh pria itu mendadak terasa lemah dan lunglai. Kepala William mendadak pusing tujuh keliling. Ia sama sekali tak menyangka, jika gadis yang sudah ditidurinya tadi malam adalah seorang gadis perawan.

"Ya Lord, bagaimana ini mungkin?"

William terlihat begitu frustasi dan meraup wajah tampannya itu dengan kasar. Dengan berat, ia membuang nafasnya kasar dan tampak memijit pelipisnya yang terasa berdenyut.

Wajar saja jika dia sangat shock dengan perbuatannya ini, karena sebelumnya William memang tak pernah mengoyak dinding kesucian seorang gadis. Meskipun sering tidur bersama Jesica, William bukanlah orang pertama yang mengambil kesucian Jesica.

Tetapi kali ini?

Dia benar-benar merasa sangat bersalah, karena telah merenggut kehormatan dari seorang gadis yang sama sekali tak dikenalnya. Tatapan matanya refleks mengarah pada sprei putih yang menjadi tempatnya berada saat ini.

Kembali pupil matanya dibuat melebar, begitu ia melihat bercak merah kental yang terdapat di sprei tersebut. William semakin menggelengkan kepalanya frustasi, karena perasaan bersalah semakin besar menghampirinya.

Namun, rasa bersalah itu tak berlangsung lama. Seketika pemikiran buruk kembali hinggap di benaknya. Perlahan pria itu menarik sebelah sudut bibirnya, membentuk sebuah senyum sinis yang seketika tercipta di wajahnya.

"Hah, kenapa juga aku harus merasa bersalah? Semua wanita itu pasti sama saja. Pelayan hotel itu juga pasti memang sengaja menjebakku demi mendapatkan uangku," ucapnya dengan smirk yang begitu sinis di bibirnya.

"Kalau dia memang tidak ingin menjebakku, seharusnya dia minta tolong dan bukannya malah menikmati percintaan panas itu denganku. Wah, gadis itu benar-benar sangat beruntung, karena presdir tampan seperti akulah yang sudah mengambil kesuciannya. Bukan hanya mendapat kepuasan, tapi dia juga sudah mendapatkan uangku." Kembali senyum sinis itu tak kunjung memudar dari bibir William.

Menganggap bahwa gadis itu hanyalah seorang gadis mata duitan yang sengaja menjebaknya hanya untuk mendapatkan hartanya, membuat rasa bersalah dalam    William pun akhirnya mulai sirna.

"Ya, William. Kau tidak perlu merasa bersalah lagi sekarang, karena gadis itu sudah mendapatkan apa yang dia mau," ucapnya pada dirinya sendiri dengan begitu santainya.

William pun kemudian beranjak dari ranjang, lalu berjalan perlahan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selama beberapa belas menit pria tampan itu berada di dalam kamar mandi, sebelum akhirnya ia keluar sambil mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya.

Dengan santai dan begitu tenangnya, William segera mengenakan pakaiannya yang tadi malam sempat terserak akibat percintaan panasnya dengan Kinara.

Sembari mematut diri di depan cermin, pandangan pria itu segera tertuju pada ponselnya yang berada di atas meja rias tersebut.

Dengan cepat, William langsung menyambar ponselnya tersebut dan mulai berkutat dengan benda pipih nan canggih itu. Hanya satu nama yang hendak William hubungi saat ini. Siapa lagi kalau bukan Jesica.

Tut, tut, tut.

William mendekatkan ponsel itu ke telinganya, ketika panggilannya terhubung dengan ponsel Jesica.

"Ayolah angkat, Jesica. Aku butuh penjelasan darimu," geramnya dengan penuh harap.

Cukup lama William berusaha untuk menghubungi Jesica, tetapi sama sekali tak ada tanggapan dari wanita yang merupakan kekasihnya itu.

Tak lama panggilan itu pun terputus. Namun, William kembali berusaha untuk menelfon wanita itu, tetapi kali ini justru ponsel Jesica sama sekali tak bisa dihubungi.

"Arggh, sialan!" umpat William dengan kesal, lalu membanting ponselnya begitu saja ke atas ranjang.

Wajah pria itu terlihat memerah dan terasa panas. Nafasnya nampak tersengal-sengal, dengan kedua tangan berkacak pinggang.

"Kamu benar-benar kurang ajar, Jesica! Kamu sudah menghianati kepercayaan dan cintaku selama ini," ucap William dengan nada sendu yang begitu memilukan.

William menengadah, menatap pantulan dirinya di cermin tersebut. Tangan kekar berototnya itu kembali mengepal, teringat apa yang sudah Jesica lakukan kepadanya.

"Apa kurangnya aku, Jesica? Aku ini tampan, kaya, dan aku punya masa depan yang cerah. Tapi kenapa kamu justru meninggalkan aku, dan malah pergi dengan laki-laki lain?"

William kembali menundukkan wajahnya, dan tanpa terasa air matanya menitik begitu saja. Rasa sakit di hatinya benar-benar teramat besar, karena ditinggalkan oleh Jesica sungguh membuat separuh jiwanya terasa mati.

Brakk!

Tangan William menggebrak meja tersebut dengan sangat kencang. Namun, tangannya itu tak sengaja menyentuh dompetnya yang ada di atas meja.

Pandangannya pun refleks mengarah ke sana. Segera diraihnya dompetnya itu, dan ia bersiap untuk memeriksa isinya.

"Aku yakin bahwa uangku pasti sudah raib karena dibawa kabur oleh wanita jalang itu. Aku berharap jika dia tidak membawa kabur kartu identitasku."

Secepat mungkin William segera memerika isi dompetnya. Namun, ia terkejut bukan main saat melihat bahwa seluruh uangnya masih utuh. Jumlah uangnya pun sama sekali tak berkurang, tetap 5 juta seperti sebelumnya.

Sebab selama ini ia memang tak suka membawa uang cash terlalu banyak, karena jumlah uang unlimitednya sudah tersimpan dengan aman di dalam black card dan kartu-kartunya yang lain.

"Astaga! Jadi gadis itu memang tidak mengambil uangku sama sekali?" lirih William dengan bibirnya yang tiba-tiba bergetar.

Ternyata dugaannya sudah salah besar. Jumlah uangnya yang tidak berkurang, membuktikan bahwa gadis itu memang tidak pernah menginginkan uangnya. Karena buktinya dia juga tidak mengambil uang William barang sepeser pun.

"Ya Tuhan, berarti gadis itu benar-benar tidak bersalah. Aku … akulah yang bersalah karena sudah merenggut kesuciannya." William kembali dibuat lemas dengan fakta yang sebenarnya terjadi.

Perlahan tubuhnya terduduk lemah di tepian ranjang, sembari tatapannya terus menatap ke arah dompetnya, lalu beralih pada bercak merah yang masih sangat jelas di atas sprei.

Kali ini William kembali merasa bersalah yang jauh lebih besar daripada sebelumnya. Ia sudah merenggut kesucian gadis itu tanpa sadar, dan bahkan William juga sudah menuduh gadis itu yang sengaja ingin memanfaatkan uangnya.

"Siapapun kamu, aku benar-benar minta maaf atas apa yang sudah aku lakukan. Aku sungguh tidak sengaja melakukannya. Saat itu aku ada di bawah pengaruh minuman keras, dan aku melihat kamu sebagai Jesica. Maafkan aku, sekali lagi maafkan aku," lirih William dengan penuh sesal.

Akan tetapi, penyesalan pun rasanya tak ada gunanya, karena dia tak akan bisa mengembalikan apa yang sudah direnggutnya dari gadis itu. Dan satu-satunya jalan yang harus ia lakukan saat ini adalah dengan meminta maaf kepada gadis itu.

Namun bagaimana caranya ia harus meminta maaf?

Sedangkan ia sama sekali tak tahu siapa gadis itu dan dimana William harus menemuinya.

Tak lama, pria itu pun segera bangkit dan menghela nafasnya dengan berat.

"Bagaimana pun caranya, aku harus mencari gadis itu untuk meminta maaf," gumam William penuh tekad.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status