Share

Bab 3. Aku Sangat Membencinya

Keesokan paginya, cahaya matahari terasa begitu menyilaukan mata. Cahaya panas nan terang itu masuk menerobos ventilasi, melalui kaca jendela yang sudah tersibak dari tirai penutupnya. Suara-suara berisik mulai terdengar di luar kamar hotel bertuliskan angka 2305, membuat si penghuni kamar berangsur-angsur membuka kedua matanya, karena suara bising yang amat mengganggu pendengarannya.

Perlahan-lahan, Kinara membuka kedua matanya, lalu mengerjap sebentar untuk memperjelas penglihatannya yang masih terasa buram. Gadis cantik itu memegangi kepalanya yang terasa sangat berat, kemudian mengalihkan pandangannya yang berangsur membaik, menuju ke seluruh sudut kamar.

Akan tetapi, pandangannya terhenti seketika, detakan jantungnya seakan telah berhenti berfungsi, tubuhnya begitu kaku, dan lidahnya juga terasa kelu untuk digerakkan. Semua itu terjadi tatkala Kinara melihat tubuhnya sedang terkulai di atas ranjang berukuran king size, dengan tubuh polos tanpa sehelai benang pun. Hanya sebuah selimut tebal berwarna putih yang menjadi penutup tubuhnya saat ini. Pemandangan itu pun sontak membuat kedua netra indahnya terbelalak sempurna, tetapi tak hanya itu saja yang membuatnya lagi-lagi merasa bahwa aliran darahnya telah berhenti.

Tepat di samping tubuhnya saat ini, tampak seorang pria bertubuh kekar yang sedang tertidur dengan lelapnya. Sama halnya seperti Kinara, pria ini juga tak mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya. Tubuh mereka berdua sama-sama polos!

"Astaga, ap …. Apa ini? Apa yang terjadi?" suara Kinara tercekat dan begitu lirih, sebab ia merasa seolah tak percaya akan apa yang telah dialaminya saat ini.

Secara perlahan, ia mulai mengingat-ingat kejadian yang menimpanya tadi malam, tepatnya di dalam kamar ini.

"Ah ya, aku ingat. Tadi malam pria ini menelpon untuk memesan makanan, tetapi ketika aku sampai di sini, dia justru mabuk dan terus menyebut wanita bernama Jesica. Bahkan dia juga salah mengira, dan menganggapku sebagai Jesica. Setelah itu, arrgh …." suara lirihnya terputus, berganti dengan sikapnya yang terlihat menyembunyikan wajah di balik telapak tangannya.

Isak tangis Kinara pun pecah, ketika ia teringat bagaimana pria itu memaksa untuk memasuki dirinya. Meskipun tadi malam Kinara merasa sangat lemah, tetapi ia tak sepenuhnya pingsan. Sehingga ia masih bisa mengingat tentang apapun yang pria itu lakukan kepadanya.

Tiba-tiba saja timbul perasaan jijik, benci, dan amarah yang luar biasa di dalam hati Kinara terhadap pria yang memiliki sebuah tato besar bergambar kepala singa, tengah mengaum membuka mulutnya. Kebetulan posisi tidur pria itu adalah memunggungi Kinara, sehingga ia bisa melihat dengan jelas tato besar menyeramkan menghiasi punggung kekar berkulit putih tersebut.

Kinara menatap sosok yang tengah berada di sampingnya itu dengan tatapan penuh kebencian. Meskipun ia tak melihat bagaimana wajah dari sosok yang sudah merampas harga dirinya itu, tetapi benih kebencian itu sudah tumbuh teramat besar di dalam hatinya.

"Demi Tuhan, aku sangat membencimu, Tuan. Dan aku sangat berharap supaya kita nggak akan pernah bertemu lagi," ucap Kinara dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca.

Merasa jijik jika harus berada terlalu lama di dalam kamar itu, maka Kinara pun bergegas membuka selimut penutup tubuhnya, lalu mulai beranjak untuk memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai. Namun, sebelum ia berhasil menginjakkan kakinya di lantai, tiba-tiba tubuhnya jatuh tersungkur, dan membuat tubuh polosnya itu harus bersentuhan dengan lantai yang begitu dingin.

"Aw, kenapa tubuhku rasanya sakit semua? Perih," rintih Kinara ketika ia merasakan rasa sakit yang luar biasa, terutama di area intimnya.

Gadis itu lagi-lagi menitikkan air matanya, serasa tak kuat lagi menanggung beban hidupnya. Ia merasa bahwa Tuhan begitu tak adil kepadanya. Sebelumnya ia sudah harus menderita, karena melihat rasa sakit sang adik yang begitu menyayat hatinya. Lalu, sekarang ia harus mengalami masalah lain yang membuatnya menjadi gadis paling hina, yakni direnggut kesuciannya oleh seorang pria asing. Sungguh, Kinara benar-benar sangat membenci semua takdir ini.

"Hoam."

Kinara terperanjat dan segera tersadar dari lamunannya, saat melihat pria itu tengah menguap sambil menggeliatkan tubuhnya di atas ranjang. Mendadak wajah cantik itu pun berubah menjadi pucat, karena takut jika sampai pria itu terbangun dan melihatnya sedang berada di kamar ini. Lagi-lagi Kinara merasa sangat cemas dan khawatir, kalau-kalau pria jahat itu akan melakukan sesuatu yang lebih buruk lagi kepadanya.

Tak ingin jika sampai terjadi sesuatu kepadanya lagi, secepat mungkin Kinara meraih pakaiannya dan buru-buru mengenakannya, tanpa mempedulikan lagi rasa sakitnya. Setelah selesai berpakaian, Kinara bergegas meninggalkan kamar dengan langkah tergesa dan cara berjalan yang sedikit tertatih, sebab menahan perih yang teramat sangat di pangkal pahanya.

---

"Uhm," suara berat seorang pria yang tengah menggeliat dan sedikit menutupi wajah dengan telapak tangan, sebab pantulan cahaya matahari terasa begitu silau menerpa indra penglihatannya.

"Hah, siapa yang sudah membuka korden sepagi ini?" sungutnya kesal.

Dengan malas, ia pun kembali menutupi tubuh polosnya dengan sebuah selimut tebal dan membalikkan posisinya memunggungi jendela kamarnya. Namun, tak lama kedua matanya pun tampak terbuka lebar, setelah hidungnya mencium bau parfum wanita yang begitu asing. Ia pun mencari asal bau tersebut, dan penciumannya berhenti tepat di samping tempatnya berbaring saat ini.

"Hah, bau parfum siapa ini? Ini bukan parfum Jesica, lalu punya siapa?" Pria itu terlihat sangat keheranan, terlebih ketika ia menyadari bahwa bau parfum itu juga menempel di tubuhnya.

Seketika ingatan pria itu pun melayang pada kejadian tadi malam, ketika tunangannya yang bernama Jesica tiba-tiba memberikan sebuah kabar yang sangat mengejutkan, hingga membuatnya frustasi dan memilih untuk menghabiskan malam bersama dengan beberapa botol minuman keras. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia merasa sangat lapar, dan menelpon salah seorang pegawai hotel untuk mengantarkannya makanan. Namun, sialnya ia tak melihat ada pegawai hotel yang mengantarkan makanannya, melainkan ia hanya melihat Jesica saja di kamar ini.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, William langsung merebahkan gadis itu di atas ranjang, dan mulai melakukan hubungan intim bersama gadis yang ia anggap sebagai Jesica. Sebenarnya William merasakan ada sesuatu yang janggal, karena tubuhnya terasa sangat kesulitan untuk memasuki tubuh Jesica. Padahal mereka sudah sering melakukan aktivitas itu sebelumnya. Setelah berhasil melesakkan seluruh miliknya ke dalam kenikmatan Jesica, ia juga merasa sangat aneh, sebab kali ini ia merasakan kenikmatan yang jauh berbeda daripada sebelum-sebelumnya. Liang surgawi milik Jesica ini jauh lebih sempit dan lebih nikmat daripada biasanya. Itulah kenapa William naik turun sampai lima kali, karena merasakan sesuatu yang tak seperti biasanya.

Tiba-tiba saja akal sehat pria itu pun mulai kembali berfungsi normal, setelah sebelumnya ia juga mengingat bahwa dirinya sendiri yang membuka tirai jendela, hingga lupa tak menutupnya lagi.

Pria itu tampak menepuk dahinya begitu keras, saat sepertinya ia sudah menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

"Arggh, shit! Bagaimana kau bisa sebodoh itu, William? Jelas-jelas nggak mungkin kalau Jesica ada di sini. Bukankah setelah memutuskan pertunangan, dia langsung pergi ke luar negeri dengan pria selingkuhannya itu? Argh, kenapa kau bisa mengira kalau tadi malam kau sedang berada di dalam kamar ini bersama Jesica? Dasar bodoh." Pria bernama William itu tersenyum kecut saat mengingat betapa bodohnya dirinya.

Jesica menelpon dan memberikan kabar, kalau mulai malam itu pertunangan mereka berakhir. Gadis itu kemudian memilih untuk pergi ke luar negeri bersama dengan seorang pria, yang William curigai sebagai selingkuhannya. Namun, Jesica tak mengatakan alasan apapun yang menjadi penyebabnya memutuskan pertunangan secara sepihak itu. Padahal William sudah menduga, kalau kekasihnya itu melakukannya, karena saat ini perusahaan William sedang dalam masalah besar, yang berpotensi menyebabkan perusahaan itu dalam ambang kehancuran.

Jujur saja, sebenarnya William merasa terluka ketika Jesica tiba-tiba pergi meninggalkannya, karena ia begitu tulus mencintai gadisnya itu. Namun, ada rasa kecewa yang mendalam di hatinya, mengingat bahwa ternyata Jesica mencintainya hanya karena materi saja.

"Hah, wanita dimana-mana sama saja," cercanya sambil beranjak dari atas ranjang dan mulai membuka selimut lebar-lebar. Ia baru menyadari kalau saat ini tubuhnya benar-benar polos tanpa sehelai benang pun yang melekat.

"Oh My God, apa yang terjadi?" gumamnya yang kembali harus menajamkan ingatannya, guna mengingat apa yang telah terjadi kepadanya tadi malam.

Ya, sekarang ia ingat kalau tadi malam ia sudah meniduri seorang wanita, yang awalnya ia anggap sebagai Jesica. Namun, begitu menyadari bahwa Jesica sudah tak ada lagi di Indonesia, mendadak ada sebuah penyesalan yang muncul di dalam hatinya.

"Ya Tuhan, rupanya semalam aku sudah meniduri seorang wanita asing. Tapi siapa dia? Apakah salah seorang dari pegawai di hotel ini? Arggh, kenapa aku bisa sebodoh dan seceroboh itu?" William mengacak-acak rambutnya dengan kasar.

Sesaat ia memang menyesali perbuatannya barusan, tetapi sejurus kemudian ia mulai berpikir bahwa tindakannya itu tak bisa disalahkan sepenuhnya.

"Hah, pasti wanita-wanita di sini juga sudah terbiasa melayani nafsu para tamu. Lagipula jika memang dia tidak bersedia melayaniku, kenapa wanita itu tidak menolak? Jadi, itu tidaklah murni kesalahanku." William lagi-lagi tersenyum kecut.

Ia pun memutuskan untuk segera membersihakn diri, lalu check out dari hotel mewah tersebut. Namun, baru saja William hendak melangkahkan kakinya menuruni ranjang, tiba-tiba saja pandangannya terhenti pada sprei yang menjadi tempat pergumulan panasnya tadi malam.

Kedua mata yang tadinya masih sangat malas untuk dibuka, kini justru membelalak lebar ketika melihat bercak berwarna merah pekat di atas sprei tersebut. Jantungnya berdegup sangat kencang menyaksikannya. Kemudian William bergegas mengalihkan tatapannya menuju pada pusaka miliknya yang masih terekspose begitu saja. Debaran di jantungnya semakin bertambah kencang, saat ia melihat bahwa ada cairan berwarna kemerahan yang menempel pada benda kebanggaannya tersebut. Suara William pun mendadak tercekat, seakan tak mampu lagi melalui kerongkongannya untuk sekedar mengucapkan sebuah kata.

"Gadis itu? Di …. Dia masih perawan?" William bertanya lirih dengan bibir bergetar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status