Share

Bab 5. Tangisan Kinara

Kejadian malam tadi bersama dengan pria asing yang sudah menghancurkan kehormatannya, sungguh tak bisa dilupakan begitu saja oleh Kinara. Semejak keluar dari kamar hotel yang menjadi saksi kehancuran hidupnya itu, Kinara tak hentinya terus menitikkan air matanya.

Dengan lutut yang terasa begitu lemas, Kinara melangkah gontai menuju ke luar gedung hotel tersebut. Suasana masih terlalu pagi, sehingga belum terlalu banyak tamu dan pegawai hotel yang berlalu lalang di sana.

Sebenarnya Kinara juga sudah harus pulang pagi nanti, tapi kini dia memutuskan untuk pulang lebih awal. Rasanya ia tak ingin berlama-lama di tempat itu, karena bayangan buruk malam tadi akan kembali hinggap di pikirannya.

Tangan mungilnya tampak membuka pintu gerbang hotel itu perlahan. Jam yang masih terlalu pagi, membuat kendaraan belum banyak berlalu lalang. Kinara memutuskan untuk naik bis saja.

Tak lama, terlihat sebuah bis yang berhenti tepat di depannya. Kinara melangkah dengan lemah, dikarenakan bagian inti tubuhnya terasa begitu panas dan perih.

"Ayo cepat, Nona. Bis tidak bisa berhenti lama-lama, karena banyak penumpang yang menunggu," sentak kenek bis tersebut dengan nada yang mulai kesal.

"I … iya, Pak," angguk Kinara dengan lemah, seraya melangkah tertatih menahan rasa sakit yang terasa sampai ke ulu hatinya.

Sesaat setelah Kinara naik, bis pun segera melaju dengan kecepatan sedang, menuju ke halte yang menjadi tempat tujuan masing-masing penumpang.

Kinara pun juga turun di sebuah halte, lalu ia segera berjalan kaki menuju rumahnya yang tak jauh dari halte tersebut. Dengan langkah lemah, Kinara berusaha untuk tiba di rumahnya secepat mungkin, karena dia tahu bahwa sang adik pasti sedang menunggunya di rumah.

Gadis cantik itu pun semakin mempercepat langkah, hingga kini langkahnya itu tiba di sebuah gang perumahan yang terbilang sempit. Lekas Kinara berjalan cepat menuju ke salah satu rumah yang ada di sana. Sebuah rumah berdinding kayu yang tak terlihat kokoh sama sekali.

Meskipun rumah itu sangatlah sederhana, tetapi tampak begitu bersih dan rapi. Bahkan ada taman bunga kecil yang dipenuhi dengan bunga beraneka warna yang sedang mekar.

Langkah kaki Kinara yang lemah itu semakin dekat hingga ke ambang pintu. Perlahan ia mendorong pintu kayu yang telah rapuh tersebut, memasuki ruangan dalam rumahnya yang sempit.

"Karina, Kakak pulang," panggil Kinara seraya berjalan pelan menuju ke salah satu kamar yang ada di rumahnya tersebut.

Kreekk!

Pintu kayu yang nampak rapuh itu pun terbuka perlahan, membuat langkah kaki Kinara segera mengarah ke dalam kamar tersebut. Gadis itu segera berjalan pelan mendekati ranjang, dimana ada seorang gadis yang sedang berbaring lemah di sana.

"Kak Kinara," panggil gadis itu dengan suara lemah.

"Karina."

Masih merasakan rasa perih dan terasa panas pada inti tubuhnya, membuat Kinara perlahan mulai mendudukkan bok*ngnya di atas ranjang dengan kasur tipis yang sudah mengeras. Tangan kanannya terulur, mengusap rambut panjang nan hitam milik sang adik.

"Sakit, Kak," rintih Karina seraya memegangi perutnya yang terasa sakit.

"Sabar ya, Karina. Nanti kakak pasti akan dapat uang untuk biaya berobat usus buntu kamu. Tapi untuk sekarang, kakak belum ada uangnya." Air mata Kinara perlahan luruh dan jatuh membasahi kedua pipi cantiknya.

"Nggak apa-apa, Kak. Aku masih bisa menahannya. Bagaimana pekerjaan kakak? Lancar?" tanya Karina dengan suara lemahnya.

Kinara seketika terdiam. Bagaimana dia harus menjelaskannya kepada adiknya? Bahwa di hari pertamanya bekerja, ia sudah mendapatkan penderitaan berupa pelecehan dari seorang pria yang tak dia kenal.

"Pekerjaan kakak …."

"Karina, kamu nggak usah mikirin tentang pekerjaan kakak ya. Sekarang kamu fokus dengan kesembuhan kamu," hibur Kinara sembari mengusap lembut wajah sang adik.

"Iya, Kak." Karina mengangguk lemah.

Kinara tersenyum, kemudian ia meninggalkan adiknya sebentar untuk membersihkan diri ke kamar mandi. Langkahnya tertatih, menyusuri rumah kecil itu menuju ke kamar mandi kecil yang ada di belakang rumah.

Satu demi satu, gadis itu segera melucuti pakaiannya. Tak sengaja wajahnya menunduk, menatap begitu banyak bercak merah di area dada dan perutnya. Hati Kinara semakin terasa sakit melihat bekas cupang yang ditinggalkan oleh pria kurang ajar itu.

"Huhuhu, aku wanita kotor sekarang," tangis Kinara sambil menjambak rambutnya sendiri dengan perasaan jijik.

Ia masih ingat dengan jelas, bagaimana pria itu menyatukan rambutnya dan menjambak lembut rambut Kinara, ketika sedang memompa tubuh wanita itu dari belakang.

Masih dengan air matanya yang terus menitik, Kinara segera mengambil sikat baju yang biasa ia pakai untuk mencuci, lalu digosoknya leher, dada, dan perutnya dengan sangat keras.

Ia berharap jika bekas menjijikkan itu bisa segera hilang. Tapi sampai kulit Kinara memerah dan sebagian bahkan malah terlihat mengelupas, bekas kemerahan itu sama sekali tak bisa ia hilangkan.

"Argghh! Kenapa bercak ini nggak hilang juga sih? Benar-benar menjijikkan. Huhuhu." Tangis Kinara semakin menjadi. Ia semakin merasa jijik pada dirinya sendiri.

"Aww," rintih Kinara tiba-tiba, saat lagi-lagi ia merasakan rasa panas dan perih yang teramat luar biasa dari bagian inti tubuhnya.

Kinara memegang tepian bak air, sembari membungkukkan badannya dan merapatkan kedua kakinya, tetapi rasa sakit itu tak kunjung menghilang. Kinara pun akhirnya nekad berjongkok dan langsung menyiram bagian intinya dengan air berulang kali.

"Aww," rintihnya semakin menjadi, karena rasa yang semakin perih.

Kaki Kinara terasa gemetar, lututnya lemas, dan wajahnya nampak sangat pucat. Ia menggigit bibir bawahnya dengan kencang untuk meredam rasa sakit itu.

Namun beruntungnya rasa perih itu tak berlangsung lama. Setelah beberapa menit berada dalam kesakitan itu, kini Kinara merasakan sakitnya mulai mereda. Gadis itu akhirnya bangkit perlahan sambil tetap berpegangan pada tepian bak air.

"Syukurlah," gumam Kinara lemah, sambil kembali melanjutkan membersihkan tubuhnya.

Setelah selesai mandi, ia bergegas meraih handuk dan langsung pergi ke kamar untuk bergantian pakaian. Kini Kinara sedang berdiri di depan lemari kaca yang ada di kamarnya.

Gadis itu menatap wajah cantiknya dan tubuh indahnya yang masih berbalut handuk. Jemari lentiknya kembali meraba leher dan kulit dadanya, dimana kissmark itu masih terlihat jelas di sana.

"Kenapa ini semus harus terjadi padaku, Tuhan?" lirihnya sendu, sembari air mata kembali menitik di wajahnya.

Kedua mata berbulu lentik itu terpejam, dan saat itu pula tiba-tiba bayangan pria itu bertubuh kekar itu kembali melintas di benaknya, meskipun dia tak tahu seperti apa wajah pria itu.

"Kamu sangat cantik."

Tiba-tiba saja suara pria itu kembali terngiang di telinga Kinara. Gadis itu merasa sangat terkejut dan refleks membuka kedua matanya lebar-lebar.

"Ka … kamu?"

Suara Kinara serasa tercekat, saat tiba-tiba menyadari keberadaan pria itu di belakangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status