Mag-log inDi paviliun utama yang dikelilingi pepohonan pinus tua, suasana terasa begitu hening. Bai Xiang duduk bersila di hadapan meja rendah, sementara di seberangnya, Jin Peng, Ketua Sekte Gunung Yang, menatapnya dengan sorot mata yang tenang dan dalam.
“Xiang’er,” ucap Jin Peng perlahan, suara pria paruh baya itu berat seakan membawa beban, “ada hal yang harus kau ketahui tentang kakak keduamu, Liu Wei.” Bai Xiang menegakkan duduknya. Sejenak ia menebak kalau gurunya akan memberikan penjelasan mengenai Kakak Keduanya dan perempuan di gerbang kemarin malam. “Liu Wei sudah menikah. Aku perlu memberikan penjelasan padamu karena itu menjadi tugasku. Kau dan Liu Wei sudah bersama sejak kecil. Aku tak mau kau merasa menjadi orang terakhir yang mengetahui pernikahan kakakmu itu.” Tebakannya benar. Bai Xiang terdiam. Ada sesuatu di dadanya yang mencelos, meski wajahnya berusaha tetap datar. Jin Peng melanjutkan ceritanya dengan nada tenang. Enam bulan setelah kepergian Bai Xiang meninggalkan perguruan, dalam suatu tugas pengawalan, Liu Wei terluka parah akibat serangan pengacau. Tubuhnya terhempas dan jatuh ke dalam jurang yang dalam. “Semua orang mengira Liu Wei tidak akan kembali,” tutur Jin Peng, “namun takdir berkata lain. Tubuhnya ditemukan oleh seorang gadis pencari herbal, Nona Lin. Gadis itu merawatnya selama dua bulan hingga ia pulih kembali.” Bai Xiang mendengarkan dengan bibir terkatup rapat. “Ketika akhirnya kembali ke perguruan, Liu Wei tidak datang sendirian,” lanjut Jin Peng, “ia membawa serta Nona Lin dan memintaku menikahkan mereka". Jin Peng menghela napas " Sebenarnya Liu Wei sempat bertanya padaku, apakah perlu menunggu kepulanganmu agar pernikahannya bisa dihadiri olehmu. Namun, aku menasihatinya, bila sudah yakin pada pilihannya, jangan menunda lagi. Dan tugasku kini menjelaskan semua ini padamu.” Kata-kata itu menembus pertahanan Bai Xiang. Ia hanya bisa menunduk, menyembunyikan air mata yang mulai memenuhi pelupuk matanya. Selama ini ia menyimpan rasa kepada Liu Wei, mengira perhatian yang diberikan kakaknya adalah tanda kasih sayang lebih dari sekadar saudara seperguruan. Rupanya ia salah. Semua itu hanyalah kasih seorang kakak. Setelah keluar dari paviliun gurunya, Bai Xiang berjalan gontai menuju pondok tempat tinggalnya. Air matanya akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Namun malang baginya, di halaman latihan, ia bertemu langsung dengan Liu Wei yang baru saja selesai berlatih pedang. Tubuh kakak seperguruannya masih berkeringat, napas teratur, namun sorot matanya tajam. “Xiang’er?” Liu Wei terkejut melihat wajah Bai Xiang basah. “Hei, kau menangis?” Bai Xiang buru-buru mengusap matanya. “Tidak … aku baru dari tempat Guru. Ia menceritakan sesuatu yang membuatku terharu," sahutnya berbohong. Liu Wei terkekeh ringan. “Pendekar cengeng,” ujarnya sambil mengusap kepala Bai Xiang dengan lembut, seperti dulu. Namun bagi Bai Xiang, sentuhan itu justru membuat hatinya semakin remuk. Ia menggigit bibir, lalu berkata, “Aku marah padamu, Kakak. Bagaimana bisa kau menikah tanpa memberitahuku?” Liu Wei menatapnya sejenak, kemudian menghela napas. “Ke mana aku harus mencarimu? Saat itu kau masih mengembara, tak ada seorang pun tahu di mana kau berada. Guru juga memintaku untuk tidak menunda pernikahan.” Bai Xiang terdiam. Namun rasa penasaran mendesak. Ia memberanikan diri bertanya, “Kakak … apakah kau benar-benar mencintai Nona Lin?” Liu Wei menatap jauh ke depan, wajahnya tenang. “Sejujurnya, pada awalnya tidak. Aku hanya merasa kasihan padanya. Gurunya meninggal tak lama setelah ia menolongku, dan ia seorang diri di hutan. Aku tidak tega meninggalkannya begitu saja. Namun setelah menikah, aku mulai menyadari … ada sesuatu yang tumbuh di hatiku. Kini, aku benar-benar mencintainya.” Bai Xiang menahan perih di dadanya. Ia mendengkus lirih, seakan menolak percaya. Baginya, ucapan Liu Wei hanyalah dalih. Namun ia pun diam-diam bersumpah, dirinya tak akan menikah tanpa cinta. Jika suatu saat ia memilih seorang lelaki, itu haruslah karena hatinya sendiri, bukan belas kasihan. Malam itu, di dalam kamarnya, Bai Xiang menangis lebih keras. “Aku ini pendekar yang menguasai ilmu tinggi,” gumamnya lirih, “namun aku justru kalah oleh persoalan hati.” Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, merasa bodoh dan tak berdaya. Sore dua hari berikutnya, Bai Xiang baru saja kembali dari tepi hutan ketika seorang murid berlari tergesa menghampirinya. “Kak Xiang, Guru Jin memanggilmu ke paviliun,” katanya terengah. Dengan langkah cepat, Bai Xiang menuju paviliun. Wajah Guru Jin terlihat serius. “Masuklah, Xiang’er,” suara Guru Jin berat. Bai Xiang menunduk hormat. “Guru, ada apa?” tanyanya. Jin Peng menautkan jemari, lalu menatapnya tajam. “Kau perlu mengetahui kebenaran tentang gadis yang kau selamatkan beberapa hari lalu.” Bai Xiang terdiam. Ingatannya melayang pada sosok gadis muda berwajah lembut bersama rombongan yang ia selamatkan dari sergapan bandit di hutan. Namun dari nada suara gurunya, jelas ada sesuatu yang lebih besar. “Gadis itu bukan orang sembarang. Dia adalah Putri Wen Mei, putri kandung kaisar.” Mata Bai Xiang terbelalak. “Putri … Kaisar?” “Benar. Tadi pengawal istana dan seorang pejabat istana datang. Mereka mengatakan kalau Putri Wen Mei memang sering menyamar untuk keluar dari istana, meski dilarang keras. Ini bukan kali pertama Putri Wen Mei nyaris kehilangan nyawa akibat kecerobohannya.” Bai Xiang menegakkan duduknya. Menyelamatkan seorang putri kaisar … apakah ini pertanda nasibnya akan berubah? “Lalu, mengapa aku dipanggil ke sini, Guru?” tanyanya hati-hati. Jin Peng menarik napas panjang. “Putri Wen Mei mengajukan permintaan khusus kepada Kaisar. Ia menghendakimu menjadi pengawal pribadinya.” “Pengawal pribadi?” Bai Xiang hampir tak percaya telinganya. Jin Peng mengangguk perlahan. “Permintaan itu telah disetujui Kaisar. Surat perintah ini datang langsung dari istana.” Jin Peng menyerahkan gulungan dokumen istana pada Bai Xiang. Dengan tangan bergetar, Bai Xiang membuka gulungan itu. Kaligrafi megah terpampang jelas, menegaskan perintah Kaisar agar dirinya mendampingi Putri Wen Mei mulai hari itu juga. Bai Xiang menunduk dalam, berusaha menyembunyikan gelombang perasaan yang bercampur aduk. Ia senang, sebab inilah kesempatan memasuki istana, langkah pertama menuju balas dendam pada Han Feng. Namun ia sadar, bila ketahuan, Sekte Gunung Yang bisa ikut hancur. “Guru …” suaranya lirih, “menurutmu bagaimana?” Jin Peng menatapnya lekat. “Xiang’er, jika kau menolak, kau bukan hanya menyinggung Putri Wen Mei, tapi juga Kaisar. Namun, aku harus ingatkan satu hal … tentang niatmu. Sekte Gunung Yang tidak pernah ada masalah dengan istana. Jika kau bertindak, jangan libatkan perguruan ini.” Bai Xiang menggenggam gulungan erat-erat. “Akan kuingat kata-kata itu, Guru. Apa pun yang kulakukan, akan menjadi tanggung jawabku sendiri.”Han Feng terus memacu kudanya bagaikan petir membelah malam. Debu berhamburan setiap kali kaki kuda menghantam tanah. Hembusan angin dingin menusuk wajahnya, tetapi ia tidak memperlambat laju sedikit pun. Hatinya bergemuruh, pikirannya hanya terisi satu nama “Xiang … tunggulah aku.” Rasa panik yang membara membuat napasnya terasa sesak. Ketika akhirnya cahaya lentera dermaga sungai Lian He terlihat di kejauhan, ia memacu kudanya lebih cepat lagi. Hingga ketika ia tiba di dermaga, pemandangan pertama yang dilihatnya membuat darahnya membeku. Sebuah kapal kayu besar baru saja melepaskan tali tambang terakhir dan mulai bergerak menjauh ke arah selatan. Istrinya telah diculik dan kemungkinan besar disembunyikan dalam gulungan karpet yang ada di dalam kapal itu. Waktu adalah musuh, dan setiap detik yang terbuang berarti Li Hua semakin mendekati maut. "Hentikan! Hentikan kapal itu!" teriak Han Feng, suaranya serak dan putus asa. Namun, dermaga itu adalah lautan manusia, hiruk pikuk te
Malam turun di Qing Hua, membawa serta kemeriahan yang jarang terjadi. Para bangsawan, pangeran, dan putri tamu undangan hadir dengan pakaian mewahnya. Bangsawan Hou adalah salah satu keluarga paling berpengaruh di Qing Hua. Dialah pemilik dermaga terbesar yang mengatur lalu lintas barang di sepanjang Sungai Lian He. Maka tidak mengherankan bila pesta ulang tahunnya malam itu dipenuhi tokoh penting yang datang mempersembahkan hadiah dan ucapan hormat.Lentera gemerlap menerangi setiap sudut ruang. Suasana sungguh ramai. Para artis penghibur silih berganti naik ke atas panggung, berusaha menghibur para tamu. Nyonya Lan tampak hilir mudik mengatur para penarinya, wajahnya tegang memastikan semuanya berjalan sempurna.Namun, di tengah keramaian itu, Han Feng tidak menikmati satu pun pertunjukan. Ia berdiri di sudut yang strategis, matanya tajam mencari-cari keberadaan Li Hua. Sebagai penampil utama, sudah barang tentu ia pasti akan menjadi yang paling ditunggu-tunggu.Ia mengamati ru
Tepat saat Tuan Muda Hou mencondongkan tubuhnya, suara derap langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar di luar paviliun. Seorang pengawal masuk dengan napas terengah-engah, raut wajahnya panik.“Tuan Muda! Maafkan hamba!” lapor pengawal itu. “Ada tamu undangan penting dari Nanzhou. Adipati Yuan telah tiba!”Kehadiran sang pengawal begitu mengagetkan Tuan Muda Hou. Ia buru-buru melepaskan tangan Li Hua, wajahnya menunjukkan kekesalan karena momen intimnya diganggu.“Pergi!” perintah Tuan Muda Hou dengan nada dingin kepada pengawal itu. Ia merapikan jubahnya yang kusut. “Suruh mereka menunggu sebentar di ruang tamu.”Pengawal itu segera mundur. Tuan Muda Hou kembali menoleh pada Li Hua dan tersenyum menggoda. “Maaf gangguan kecil,” ujarnya, mengambil tangan Li Hua dan mengangkatnya ke dekat bibir. “Sampai nanti malam, Li Hua.”Namun, sebelum punggung telapak tangan Li Hua berhasil dicium, Li Hua sudah lebih dulu berhasil menarik tangannya kembali. Penolakan itu halus, tetapi jelas.
Li Hua menatap Han Feng tajam, matanya dingin seperti embun pagi yang tak mengenal belas kasih. Tanpa memperdulikan Tuan Muda Hou yang menunggu, ia menarik pergelangan tangan Han Feng mengajaknya agak menjauh dari kereta kuda mewah milik Tuan Muda Hou. Han Feng mengikuti tanpa melawan.“Tuan Pendekar,” ujar Li Hua dengan suara berbisik, tetapi nadanya tegas. “Dengar, aku hanyalah seseorang yang bekerja untuk Nyonya Lan.”Ia melepaskan genggaman tangannya dari lengan Han Feng.“Nyonya Lan adalah orang yang memberiku tempat tinggal, memberiku pakaian, dan memberiku makan. Aku berhutang budi padanya,” kata Li Hua. “Semua perintah Nyonya Lan harus saya ikuti. Termasuk memenuhi panggilan Tuan Muda Hou.”Han Feng membuka mulut hendak berbicara, namun Li Hua mengangkat tangan, menghentikannya.Dengan mata berkaca-kaca dan nada penuh emosi, Li Hua meminta Han Feng untuk tidak menghalanginya. “Kita adalah dua orang asing yang kebetulan bertemu saja. Jadi, tolong jangan campuri urusanku.
Han Feng baru keluar dari penginapannya, berjalan di sepanjang jalanan Qing Hua yang dipenuhi pedagang yang berjualan hasil bumi dan kerajinan. Semalaman ia tidak bisa tidur. Pikirannya tertuju sepenuhnya pada seseorang di Paviliun Begonia, Li Hua.Bagaimana keadaannya setelah ia hampir jatuh saat menari? Dan yang paling mengganggu Han Feng adalah kenyataan bahwa gadis itu, yang memiliki wajah istrinya, harus menemani tamu laki-laki. Tanpa sadar, sebuah rasa yang tidak rela, rasa cemburu murni seorang laki-laki, melintas dalam hatinya.Apa yang salah denganku? gumamnya dalam hati. Ia masih belum tahu kepastian, apakah perempuan itu Bai Xiang atau bukan. Apakah istrinya sedang menyamar? Namun, dari tatapan matanya semalam, Han Feng mendapatkan tatapan kosong tak bermakna dari gadis itu. Ia sama sekali tidak mengenali Han Feng. Jarak dari ibu kota ke Qing Hua harus ditempuh berhari-hari. Jika ia harus kembali ke ibu kota dahulu untuk memastikan istrinya ada di kediamannya, ia khawat
Teriakan Li Hua nyaris tak terdengar di tengah gemuruh musik dan tepuk tangan. Tubuhnya meluncur ke bawah panggung seiring selendang merah yang menopang tubuhnya terlepas dari balok langit-langit. Namun, sebelum ia menyentuh lantai, sebuah bayangan cepat melompat dari barisan penonton.Han Feng melakukan beberapa kali salto di udara, tubuhnya berotasi sempurna, mengubah momentumnya untuk mencegat titik jatuh Li Hua. Gerakannya sangat cepat, presisi yang hanya dimiliki oleh Jenderal militer terbaik.Ia berhasil menangkap tubuh Li Hua yang melayang. Musik berhenti. Para penonton terkesima melihat adegan dramatis itu. Sebagian besar penonton mengira itu bagian dari pertunjukan, bukan kecelakaan nyaris maut. Mereka menyangka itulah sebuah puncak yang mengagumkan dari Tarian Ayunan Selendang Merah.Penonton bangkit berdiri, tepuk tangan bergemuruh. “Luar biasa!” teriak seseorang dengan penuh kekaguman. “Benar-benar pertunjukan mahal!” sorak yang lain. “Hebat! Mereka pasti latihan bertahu







