Share

Ketika Dendam Berujung Cinta
Ketika Dendam Berujung Cinta
Author: Wei Yun

Bab 1

Author: Wei Yun
last update Last Updated: 2025-08-22 10:19:26

Bai Xiang kecil duduk di meja kayu reyot di ruang tengah. Jemarinya yang mungil sibuk memetik kelopak bunga liar, menatanya dengan hati-hati hingga membentuk lingkaran kecil yang mirip mahkota. Senyum polos menghiasi wajahnya yang belum mengerti apa itu duka.

Namun suasana tenang itu seketika pecah. Suara langkah tergesa, berat, bahkan seperti tersandung, bergema dari luar rumah. Pintu berderak keras terbuka.

Ibunya masuk dengan nafas terengah.

Bocah itu tertegun. “Ibu?” tanyanya pelan, kepala mungilnya menoleh ke arah pintu.

Wanita yang sudah kehilangan kemampuan bicaranya itu masuk dengan wajah pucat, matanya merah basah. Tangan kurusnya segera menggenggam jemari mungil Bai Xiang erat.

“Ibu, kenapa—”

Ia tidak menjawab namun genggamannya makin mengerat. Ia menyeret putrinya ke kamar, lalu mengangkat tubuh mungil itu ke dalam keranjang rotan besar tempat menyimpan kain.

“Ibu, Xiang’er takut ... ada apa ibu?”  Mata bocah itu berkaca-kaca.

Wanita itu meraih wajah anaknya dengan kedua tangan, menatap dalam-dalam. Dengan bahasa isyarat, ia seolah mengatakan kepada anaknya, “Dengarkan Ibu. Jangan keluar apa pun yang terjadi. Jangan bersuara. Xiang’er … ayah dan ibu selalu mencintaimu, Nak.”

Air mata jatuh membasahi pipi kecil Bai Xiang. Ia mengecup dahi anaknya lembut, mengambil satu tusuk kondenya, digenggamkan di telapak tangan putrinya. Lalu ia menutup rapat keranjang itu. Pandangan pun terputus.

“Ibu …,” tangis bocah itu, tersedu.

Namun dari celah anyaman, Bai Xiang kecil masih bisa melihat bayangan ibunya berjongkok di lantai, menahan tangis, sambil menggenggam sesuatu dari balik bajunya.

Tiba-tiba, BRAK! Pintu kamar terlempar terbuka. Sosok tinggi berbalut baju militer hitam masuk dengan langkah berat. Topeng logam menutupi wajahnya, hanya mata yang tampak. Tajam, dingin, tak berperasaan. Di tangan kirinya … ada penggalan kepala ayah Bai Xiang. Darah menetes, mengenai papan lantai.

“Tunjukkan di mana senjata terbaik yang ditempa suamimu disembunyikan!” Suaranya seperti baja bergesek, menusuk.

Ibu Bai Xiang terisak, namun matanya menyala penuh amarah.

Dengan gerakan cepat, ia menghunus pisau kecil dan menerjang. Namun pedang musuh bergerak lebih cepat, menembus dadanya.

“Suami istri sama bodohnya!” dengus prajurit itu. Ia mencabut pedangnya, menjatuhkan kepala ayah Bai Xiang ke lantai, darah muncrat membasahi papan.

Tubuh sang ibu terhuyung, napasnya megap-megap, namun tatapannya tak goyah. Dengan sisa tenaga, ia menyambar pisau yang jatuh, menusuk ke arah pinggang musuh. Darah memercik.

“Wanita jalang!” pekik si prajurit, lalu pedangnya kembali berayun. Tubuh wanita itu roboh, tak lagi bergerak.

Bai Xiang kecil menggigit bibir sekuat tenaga, kedua telapak tangan mungilnya membekap mulut, menahan jeritan. Namun ketika ibunya, --dengan sisa nyawa--- menoleh, tersenyum lembut, dan menunjukkan benda di genggamannya.

“Ibuuu!!!” Teriakan itu memecah keheningan.

Bai Xiang terlonjak, bangun dari tidurnya. Napasnya memburu, keringat dingin menetes di pelipis. Dadanya naik turun. Pandangannya berkeliling, hanya ada pepohonan rindang, dedaunan bergoyang diterpa angin pagi dan semak yang bergesekan. Ia bersandar pada batang pohon tua, kulit kasar pohon menempel di punggungnya.

“Mimpi itu lagi …,” gumamnya.

Sudah hampir tiga tahun ia bebas dari bayangan itu. Mengapa mimpi buruk kembali hadir, tepat di hari pertama ia pulang dari pengembaraan?

Tangannya merogoh ke balik baju. Sebuah plakat giok ia genggam erat. Itulah benda yang ditemukan digenggaman ibunya setelah tewas.  Cahaya lembut mentari pagi memantul di permukaannya. Nama yang terukir membuat darahnya mendidih.

“Han Feng …,” desisnya, penuh api dendam. Ia menarik napas panjang. “Mimpi buruk itu tak akan pernah hilang, sebelum aku sendiri yang mencabut nyawamu.”

Ia mengepalkan tangan, menekan plakat giok ke dadanya. Tak ada lagi keraguan. Ia harus kembali ke Perguruan Gunung Yang. Tempat yang disebut rumah. Di sana ada seseorang yang diam-diam selalu ia rindukan.

Bai Xiang bersiul panjang. Dari balik pepohonan, muncul seekor kuda hitam legam berlari cepat.

“Bagus, Hei Yun,” ucapnya lembut sambil menepuk leher kuda. Dengan lompatan lincah, ia naik ke punggung kuda, lalu memacu kencang.

Namun, baru berlari beberapa li, suara teriakan memecah hutan. “Tolong! Tolong!”

Bai Xiang menarik kekang, telinganya awas. Ia membelokkan Hei Yun, hingga mendapati pemandangan yang membuat darahnya mendidih.

Sebuah kereta kuda dan tiga gerobak penuh karung dikepung bandit gunung. Lebih dari dua puluh orang, bersenjata golok dan tombak. Di dekat kereta, berdiri dua sosok berpakaian sederhana, sekilas tampak lelaki sedang disandera. Namun mata Bai Xiang yang tajam tahu, mereka perempuan yang menyamar. Sebilah pedang di arahkan ke leher masing-masing.

Salah satu berteriak, “Jangan rampas barang itu! Semua ini untuk pengungsi Desa Nanjue! Jika kalian berani, pasukan istana akan menghabisi kalian!”

Bandit hanya tertawa terbahak. “Pasukan istana? Hahaha! Perempuan tolol! Desa itu jauh, siapa peduli? Kami tak takut siapa pun!”

Bai Xiang mengepalkan tangan. Mereka merampok barang bantuan untuk rakyat yang menderita.

Tanpa pikir panjang, ia menghunus pedang, memacu Hei Yun menembus kerumunan. “Berhenti, kalian sampah!”

Pedangnya berkelebat. Bandit roboh satu per satu. Namun jumlah mereka yang banyak membuat Bai Xiang terdesak. Lingkaran semakin rapat. Nafasnya memburu. Saat itu, sebuah suara akrab terdengar.

“Bai Xiang! Sejak kapan kau begitu egois, menikmati pesta seorang diri?”

Sesosok bayangan melompat dari batu besar. Pedangnya menebas dua bandit sekaligus.

Bai Xiang menoleh, matanya berbinar. Orang Itu Liu Wei, kakak seperguruannya. “Kakak Kedua!” serunya gembira.

Pendekar muda berwajah tegas berdiri di sisinya. Senyum tipis tersungging.       “Kau selalu suka bikin masalah.”

Bai Xiang terkekeh, hatinya hangat. Mereka lalu bertarung berdampingan. Pedang Liu Wei bergerak bagaikan badai. Pedang Bai Xiang luwes, indah namun mematikan. Tak lama, para bandit roboh dan sisanya kabur. Rombongan pun selamat.

Dua perempuan itu menunduk hormat. “Kami Xue Ying dan Lan Fang. Kami berhutang nyawa. Terima kasih, Tuan dan Nona Pendekar."

“Tak perlu berterima kasih,” ujar Bai Xiang. “Yang penting bantuan ini sampai.”

Liu Wei menambahkan, “Kami bantu antar hingga Desa Nanjue."

Perjalanan setengah hari terasa panjang. Bai Xiang memberanikan diri bertanya pada Liu Wei, “Bagaimana perguruan selama aku pergi?”

Liu Wei melirik sekilas. “Masih berdiri. Guru sering menyebut namamu … meski dengan nada kesal. Aku tahu beliau merindukanmu.”

Bai Xiang tersenyum tipis. “Aku tak bermaksud pergi lama. Tapi dunia terlalu luas."

“Asal kau kembali, itu cukup,” ujar Liu Wei tenang," jangan seperti Kakak Pertama yang sampai sekarang tidak ada kabarnya lagi," lanjutnya.

Kata-kata itu membuat hati Bai Xiang bergetar. Namun ia menunduk, menyembunyikan wajah. Hatinya tak pernah berhenti merindukan lelaki ini selama tiga tahun pengembaraannya.

Sesampainya di Desa Nanjue, warga menangis haru menerima bantuan. Rombongan Xue Ying menginap di Desa Nanjue. Sementara Bai Xiang dan Liu Wei kembali ke Perguruan Gunung Yang.

Bulan pucat menggantung saat keduanya tiba di gerbang perguruan. Bai Xiang menatap, dadanya menghangat. Inilah rumahnya. Namun tiba-tiba, suara lembut terdengar dari pinggir gerbang.

“Suamiku …!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rayhan Rawidh
Udah kawin si Bai Xiang?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ketika Dendam Berujung Cinta   Bab 75

    Han Feng terus memacu kudanya bagaikan petir membelah malam. Debu berhamburan setiap kali kaki kuda menghantam tanah. Hembusan angin dingin menusuk wajahnya, tetapi ia tidak memperlambat laju sedikit pun. Hatinya bergemuruh, pikirannya hanya terisi satu nama “Xiang … tunggulah aku.” Rasa panik yang membara membuat napasnya terasa sesak. Ketika akhirnya cahaya lentera dermaga sungai Lian He terlihat di kejauhan, ia memacu kudanya lebih cepat lagi. Hingga ketika ia tiba di dermaga, pemandangan pertama yang dilihatnya membuat darahnya membeku. Sebuah kapal kayu besar baru saja melepaskan tali tambang terakhir dan mulai bergerak menjauh ke arah selatan. ​Istrinya telah diculik dan kemungkinan besar disembunyikan dalam gulungan karpet yang ada di dalam kapal itu. Waktu adalah musuh, dan setiap detik yang terbuang berarti Li Hua semakin mendekati maut. ​"Hentikan! Hentikan kapal itu!" teriak Han Feng, suaranya serak dan putus asa. Namun, dermaga itu adalah lautan manusia, hiruk pikuk te

  • Ketika Dendam Berujung Cinta   Bab 74

    Malam turun di Qing Hua, membawa serta kemeriahan yang jarang terjadi. Para bangsawan, pangeran, dan putri tamu undangan hadir dengan pakaian mewahnya. Bangsawan Hou adalah salah satu keluarga paling berpengaruh di Qing Hua. Dialah pemilik dermaga terbesar yang mengatur lalu lintas barang di sepanjang Sungai Lian He. Maka tidak mengherankan bila pesta ulang tahunnya malam itu dipenuhi tokoh penting yang datang mempersembahkan hadiah dan ucapan hormat.​Lentera gemerlap menerangi setiap sudut ruang. Suasana sungguh ramai. Para artis penghibur silih berganti naik ke atas panggung, berusaha menghibur para tamu. Nyonya Lan tampak hilir mudik mengatur para penarinya, wajahnya tegang memastikan semuanya berjalan sempurna.Namun, di tengah keramaian itu, Han Feng tidak menikmati satu pun pertunjukan. ​Ia berdiri di sudut yang strategis, matanya tajam mencari-cari keberadaan Li Hua. Sebagai penampil utama, sudah barang tentu ia pasti akan menjadi yang paling ditunggu-tunggu.​Ia mengamati ru

  • Ketika Dendam Berujung Cinta   Bab 73

    Tepat saat Tuan Muda Hou mencondongkan tubuhnya, suara derap langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar di luar paviliun. Seorang pengawal masuk dengan napas terengah-engah, raut wajahnya panik.​“Tuan Muda! Maafkan hamba!” lapor pengawal itu. “Ada tamu undangan penting dari Nanzhou. Adipati Yuan telah tiba!”​Kehadiran sang pengawal begitu mengagetkan Tuan Muda Hou. Ia buru-buru melepaskan tangan Li Hua, wajahnya menunjukkan kekesalan karena momen intimnya diganggu.​“Pergi!” perintah Tuan Muda Hou dengan nada dingin kepada pengawal itu. Ia merapikan jubahnya yang kusut. “Suruh mereka menunggu sebentar di ruang tamu.”​Pengawal itu segera mundur. Tuan Muda Hou kembali menoleh pada Li Hua dan tersenyum menggoda. “Maaf gangguan kecil,” ujarnya, mengambil tangan Li Hua dan mengangkatnya ke dekat bibir. “Sampai nanti malam, Li Hua.”​Namun, sebelum punggung telapak tangan Li Hua berhasil dicium, Li Hua sudah lebih dulu berhasil menarik tangannya kembali. Penolakan itu halus, tetapi jelas.

  • Ketika Dendam Berujung Cinta   Bab 72

    Li Hua menatap Han Feng tajam, matanya dingin seperti embun pagi yang tak mengenal belas kasih. Tanpa memperdulikan Tuan Muda Hou yang menunggu, ia menarik pergelangan tangan Han Feng mengajaknya agak menjauh dari kereta kuda mewah milik Tuan Muda Hou. Han Feng mengikuti tanpa melawan.​​“Tuan Pendekar,” ujar Li Hua dengan suara berbisik, tetapi nadanya tegas. “Dengar, aku hanyalah seseorang yang bekerja untuk Nyonya Lan.”​Ia melepaskan genggaman tangannya dari lengan Han Feng.​“Nyonya Lan adalah orang yang memberiku tempat tinggal, memberiku pakaian, dan memberiku makan. Aku berhutang budi padanya,” kata Li Hua. “Semua perintah Nyonya Lan harus saya ikuti. Termasuk memenuhi panggilan Tuan Muda Hou.”Han Feng membuka mulut hendak berbicara, namun Li Hua mengangkat tangan, menghentikannya.​Dengan mata berkaca-kaca dan nada penuh emosi, Li Hua meminta Han Feng untuk tidak menghalanginya. “Kita adalah dua orang asing yang kebetulan bertemu saja. Jadi, tolong jangan campuri urusanku.

  • Ketika Dendam Berujung Cinta   Bab 71

    Han Feng baru keluar dari penginapannya, berjalan di sepanjang jalanan Qing Hua yang dipenuhi pedagang yang berjualan hasil bumi dan kerajinan. Semalaman ia tidak bisa tidur. Pikirannya tertuju sepenuhnya pada seseorang di Paviliun Begonia, Li Hua.​Bagaimana keadaannya setelah ia hampir jatuh saat menari? Dan yang paling mengganggu Han Feng adalah kenyataan bahwa gadis itu, yang memiliki wajah istrinya, harus menemani tamu laki-laki. Tanpa sadar, sebuah rasa yang tidak rela, rasa cemburu murni seorang laki-laki, melintas dalam hatinya.​Apa yang salah denganku? gumamnya dalam hati. ​Ia masih belum tahu kepastian, apakah perempuan itu Bai Xiang atau bukan. Apakah istrinya sedang menyamar? Namun, dari tatapan matanya semalam, Han Feng mendapatkan tatapan kosong tak bermakna dari gadis itu. Ia sama sekali tidak mengenali Han Feng. Jarak dari ibu kota ke Qing Hua harus ditempuh berhari-hari. Jika ia harus kembali ke ibu kota dahulu untuk memastikan istrinya ada di kediamannya, ia khawat

  • Ketika Dendam Berujung Cinta   Bab 70

    Teriakan Li Hua nyaris tak terdengar di tengah gemuruh musik dan tepuk tangan. Tubuhnya meluncur ke bawah panggung seiring selendang merah yang menopang tubuhnya terlepas dari balok langit-langit. Namun, sebelum ia menyentuh lantai, sebuah bayangan cepat melompat dari barisan penonton.​Han Feng melakukan beberapa kali salto di udara, tubuhnya berotasi sempurna, mengubah momentumnya untuk mencegat titik jatuh Li Hua. Gerakannya sangat cepat, presisi yang hanya dimiliki oleh Jenderal militer terbaik.​Ia berhasil menangkap tubuh Li Hua yang melayang. Musik berhenti. Para penonton terkesima melihat adegan dramatis itu. Sebagian besar penonton mengira itu bagian dari pertunjukan, bukan kecelakaan nyaris maut. Mereka menyangka itulah sebuah puncak yang mengagumkan dari Tarian Ayunan Selendang Merah.Penonton bangkit berdiri, tepuk tangan bergemuruh. “Luar biasa!” teriak seseorang dengan penuh kekaguman. “Benar-benar pertunjukan mahal!” sorak yang lain. “Hebat! Mereka pasti latihan bertahu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status