Pagi itu, matahari baru saja menembus tirai tipis kamar Nayla. Ia duduk di tepi ranjang dengan mata sembab, semalaman tak bisa tidur memikirkan ucapan Arsen di balkon semalam. Ancaman itu masih terngiang jelas, membuat dadanya sesak.
Namun bukan hanya Arsen yang mengganggu pikirannya, melainkan ibunya. Senyum Deeva saat bersama Om Pratama terasa begitu tulus, seakan wanita itu baru menemukan kembali arti bahagia dan Nayla terlalu takut ibunya kembali jatuh ke lubang luka yang sama. Nayla menghela napas panjang, lalu memberanikan diri turun ke ruang makan. Di sana, ia mendapati ibunya sudah rapi dengan gaun santai, sedang menyeduh teh sambil bersenandung kecil. “Pagi, Sayang. Tidur nyenyak?” sapa Deeva cerah, seolah dunia baik-baik saja. Nayla memaksakan senyum. “Lumayan, Ma.” Ia duduk, menatap ibunya yang tampak begitu bahagia. Sejenak, rasa bersalah menghantam hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa menghancurkan senyum itu dengan kenyataan pahit yang ia simpan bersama Arsen? “Ma… .” Suara Nayla pelan, bergetar. “Boleh aku bilang sesuatu?” Deeva menoleh, menaruh cangkir teh, lalu menggenggam tangan putrinya. “Tentu, ada apa? Kamu kelihatan murung.” Nayla menunduk, berusaha menahan air mata. “Mama yakin dengan keputusan Mama? Dengan Om Pratama? Aku takut Mama terluka lagi. Aku nggak mau lihat Mama menderita.” Deeva terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Sayang, Mama tahu kamu khawatir. Tapi Om Pratama berbeda. Dia orang baik, berwibawa, dan dia membuat Mama merasa hidup lagi. Kamu tahu kan betapa hancurnya Mama dulu? Mama butuh kesempatan kedua.” “Mama…” Nayla menarik napas dalam-dalam, matanya berkaca. “Aku tahu Om Pratama baik. Tapi… ada hal yang mungkin Mama nggak tahu. Aku takut kalau semuanya berakhir buruk.” Deeva mengusap pipi anaknya. “Itu sebabnya Mama minta kita memberi kesempatan. Kita akan liburan bersama Om Pratama dan Arsen. Setelah itu, kamu bebas memutuskan, apakah dia cocok jadi ayahmu atau tidak. Mama percaya, setelah kamu mengenalnya lebih dekat, kamu akan mengerti.” Jantung Nayla mencelos. Liburan bersama? Dengan Arsen? Tubuhnya menegang, wajahnya memucat. “Liburan? Bersama mereka?” Deeva mengangguk mantap. “Iya. Kita akan habiskan waktu beberapa hari. Mama ingin lihat kalian bisa jadi keluarga.” Nayla tercekat, tidak mampu berkata-kata. Bayangan berada satu atap dengan Arsen selama beberapa hari membuat perutnya mual. “Kalau Nayla nggak mau, bagaimana?” bisiknya lirih. Deeva menggenggam tangannya lebih erat. “Sayang, lakukan ini untuk Mama. Satu kali saja. Setelah itu, terserah kamu. Mama hanya minta kesempatan.” Air mata Nayla jatuh juga. Ia tidak sanggup menolak ibunya, meski hatinya menjerit. Dalam hati, ia berteriak. Kenapa harus dengan Arsen? Kenapa orang yang aku benci justru jadi bagian dari keluarga ini? Siang harinya, Nayla duduk di kamar sambil menatap layar ponselnya. Pesan misterius dari nomor tak dikenal itu masih tersimpan: “Kau dan Arsen… sudah terlalu jauh. Kalau kau tidak bicara, aku yang akan ungkapkan semuanya.” Tangannya gemetar. Siapa yang tahu? Bagaimana bisa? Apakah ada yang melihat mereka? Atau… Arsen sendiri yang mengirim pesan ini? Pikirannya kalut, hingga suara ketukan pintu membuatnya tersentak. “Nay?” Suara itu… Arsen. Nafas Nayla terhenti. “Aku… aku sibuk!” teriaknya cepat. Namun pintu terbuka perlahan. Arsen masuk dengan wajah tenang, seperti biasa. “Kita harus bicara.” Nayla berdiri, wajahnya tegang. “Aku nggak mau bicara denganmu. Keluar!” Arsen menutup pintu, mendekat perlahan. “Kalau kamu pikir bisa kabur dariku, kamu salah. Kita akan liburan bersama, Nay. Beberapa hari… hanya kita, orang tua kita, dan semua rahasia ini. Kalau kamu nggak bisa jaga mulut—” “Diam!” Nayla mendorong dadanya, air mata jatuh deras. “Kamu pikir aku mau cerita ke Mama? Aku bahkan nggak bisa tidur tiap malam karena kejadian itu! Aku muak, Arsen! Muak melihat wajahmu!” Arsen menatapnya dengan mata tajam, tapi kali ini ada gurat rasa sakit di sana. “Kalau begitu, berhenti menatapku seakan aku monster. Aku pun nggak minta semua ini terjadi.” Nayla terpaku. Untuk sesaat, ia melihat Arsen benar-benar terluka. Tapi segera ia menggeleng, menepis rasa iba yang muncul. “Aku nggak peduli. Yang jelas, jangan ganggu aku lagi.” Arsen menghela napas, lalu berbalik menuju pintu. Namun sebelum keluar, ia menoleh dan berkata lirih. “Kalau ada yang tahu tentang kita… percayalah, bukan aku yang akan hancur lebih dulu.” Pintu tertutup. Nayla terjatuh ke lantai, terisak. Malam itu, saat ia sudah mencoba tidur, ponselnya kembali bergetar. Nomor tak dikenal itu mengirim pesan baru. “Aku tahu rencanamu liburan dengan Arsen dan keluarganya. Di sanalah semuanya akan terbongkar. Bersiaplah, Nayla.” Nayla menjerit pelan, menutup mulutnya dengan bantal. Dadanya berdegup kencang. Siapa pengirim pesan itu? Dan apa maksudnya dengan “semuanya akan terbongkar”? Nayla mengotak atik sebuah pesan dan dikirimkan kepada Arsen, setelah itu ia mengambil jaket dan kunci mobil, berlalu keluar dari kamar.Dua minggu berlalu sejak tragedi itu. Dua minggu Nayla hidup dalam bayangan rumah sakit, doa, dan ketakutan akan pesan-pesan misterius yang tak kunjung berhenti. Namun ajaibnya, Deeva akhirnya pulih, meski harus menjalani fisioterapi. Kini, hari besar itu tiba. Pernikahan Deeva dan Pratama. Villa mewah di tepi pantai berubah menjadi lokasi resepsi indah. Kursi-kursi berbalut kain putih berderet rapi, bunga segar menghiasi setiap sudut, dan hamparan laut biru menjadi latar belakang. Semua orang tersenyum bahagia… kecuali Nayla. Tatapannya kosong. Gaun cantik yang membalut tubuhnya tak mampu menutupi kegelisahan di hatinya. Senyum yang ia berikan hanyalah topeng. Arsen memperhatikannya dari jauh. Berkali-kali ia mendapati gadis itu menarik napas panjang, menunduk, atau menggenggam jemarinya sendiri hingga memutih. Sejak kejadian di rumah sakit, entah mengapa, Nayla selalu muncul dalam pikirannya. Kenapa aku tak bisa berhenti memperhatikannya? batinnya. Di ruang rias, beberapa meni
Jeritan pecah di udara, memecah keheningan pagi. Nayla yang baru saja membuka mata di kamarnya langsung terlonjak. Suara itu… suara ibunya. Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar. “Ma!!!” teriaknya panik. Di ruang tengah villa, pemandangan mengerikan menyambutnya. Deeva tergeletak di lantai, tepat di bawah tangga. Tubuhnya kaku, darah merembes dari kepalanya. “MAMAAA!!” Nayla berlari, jatuh berlutut, mengguncang tubuh ibunya yang tak sadarkan diri. “Ma! Bangun, Ma! Tolong!!” Om Pratama muncul dari arah dapur, wajahnya pucat pasi. “Astaga, Deeva!” Ia buru-buru berlari, sementara Arsen yang datang dari belakang langsung menahan Nayla. “Jangan guncang tubuhnya, Nay!” suara Arsen tegas, namun tangannya bergetar saat menarik Nayla menjauh. “Lepasin aku! Itu ibuku! Arsen, lepaskan!!” Nayla meronta, tangisnya pecah. Om Pratama langsung menghubungi ambulans, suaranya panik. “Cepat, ada kecelakaan! Istri saya jatuh dari lantai dua villa! Cepat ke sini!” Nayla hanya bisa menangis histe
Liburan keluarga itu dimulai pada pagi yang cerah. Mobil mewah milik Om Pratama melaju mulus di jalanan menuju villa tepi pantai. Di dalam mobil, suasana tampak hangat, setidaknya di mata orang luar. Deeva duduk di kursi depan, terlihat riang saat berbincang dengan Pratama tentang jadwal kegiatan mereka nanti. Sementara di kursi belakang, Nayla duduk menempel pada jendela, sesekali memandang laut yang mulai terlihat di kejauhan. Arsen duduk di sampingnya, tenang, tanpa ekspresi berlebih. Namun sesekali, saat Nayla tidak menyadari, mata Arsen mencuri pandang. Ada gurat lelah di wajah gadis itu, tapi juga cahaya samar ketika ia melihat ke luar jendela. Dan entah kenapa, melihat Nayla begitu diam membuat dada Arsen terasa sesak. "Nikmati liburan ini Nay. Om sengaja liburkan kantor, biar kita bisa liburan bersama." Nayla hanya menganggukan kepalanya, sedangkan Mama Deeva terus menatap dari kaca depan. "Arsen juga. Kalian berdua harus terlihat akur, harus saling mengenal." Nayla men
Mobil yang dikendarai Nayla melaju begitu xepat, sesekali tatapannya menatap ke arah ponsel yang berada di hadapannya. Dengan tangan gemetar, Nayla akhirnya memberanikan diri mengirim pesan pada Arsen dan menunggu balasannya. “Kita harus ketemu? Sekarang?” Balasan datang cepat, singkat. “Di taman belakang hotel. 10 menit lagi.” Jawabannya seakan tidak ingin ada bantahan, ia hanya ingin bertemu dan menyelesaikan semua masalah yang sedang terjadi. Nayla tiba lebih dulu. Angin pagi membuat rambutnya berantakan, sementara jantungnya berdegup tak terkendali. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, bersiap melampiaskan semua yang menyesakkan di dadanya. Tak lama, Arsen muncul dengan langkah santai, tangan dimasukkan ke saku celana. Wajahnya tenang, terlalu tenang, seakan tidak ada badai yang sedang berkecamuk. “Ada apa, Nay?” suaranya datar. Nayla langsung melotot, menahan diri agar tidak berteriak. “Jangan pura-pura bodoh, Arsen! Pesan itu… semua pesan yang kuterima, itu dari kamu, ka
Pagi itu, matahari baru saja menembus tirai tipis kamar Nayla. Ia duduk di tepi ranjang dengan mata sembab, semalaman tak bisa tidur memikirkan ucapan Arsen di balkon semalam. Ancaman itu masih terngiang jelas, membuat dadanya sesak. Namun bukan hanya Arsen yang mengganggu pikirannya, melainkan ibunya. Senyum Deeva saat bersama Om Pratama terasa begitu tulus, seakan wanita itu baru menemukan kembali arti bahagia dan Nayla terlalu takut ibunya kembali jatuh ke lubang luka yang sama. Nayla menghela napas panjang, lalu memberanikan diri turun ke ruang makan. Di sana, ia mendapati ibunya sudah rapi dengan gaun santai, sedang menyeduh teh sambil bersenandung kecil. “Pagi, Sayang. Tidur nyenyak?” sapa Deeva cerah, seolah dunia baik-baik saja. Nayla memaksakan senyum. “Lumayan, Ma.” Ia duduk, menatap ibunya yang tampak begitu bahagia. Sejenak, rasa bersalah menghantam hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa menghancurkan senyum itu dengan kenyataan pahit yang ia simpan bersama Arsen? “Ma… .
Makan malam berakhir dengan senyuman-senyuman hangat yang terasa palsu bagi Nayla. Ibunya terlihat sangat bahagia, tertawa dengan Om Pratama, seakan lupa semua luka masa lalu. Sementara Arsen hanya duduk tenang, menatap piring, seakan-akan dirinya hanyalah tamu biasa di meja itu.Namun tatapan mata mereka berdua. Nayla dan Arsen, tidak bisa berbohong. Sesekali tanpa sengaja beradu, lalu buru-buru teralihkan. Ada sesuatu yang menyesakkan, sesuatu yang hanya mereka berdua tahu dan tidak seorang pun boleh mengetahuinya.Ketika pelayan terakhir kali mengangkat piring dari meja, Deeva menepuk lembut tangan Nayla.“Sayang, Om Pratama dan mama akan bicara sebentar dengan manajer restoran tentang rencana acara keluarga. Kau tak keberatan, kan? Mungkin Arsen bisa menemanimu.”“Tidak perlu, Ma,” Nayla buru-buru menolak, namun ibunya hanya tersenyum dan berdiri.Akhirnya, tinggal mereka berdua di meja panjang itu. Sunyi. Hanya suara dentingan sendok dari meja lain dan musik klasik yang terdengar