LOGINMobil yang dikendarai Nayla melaju begitu xepat, sesekali tatapannya menatap ke arah ponsel yang berada di hadapannya.
Dengan tangan gemetar, Nayla akhirnya memberanikan diri mengirim pesan pada Arsen dan menunggu balasannya. “Kita harus ketemu? Sekarang?” Balasan datang cepat, singkat. “Di taman belakang hotel. 10 menit lagi.” Jawabannya seakan tidak ingin ada bantahan, ia hanya ingin bertemu dan menyelesaikan semua masalah yang sedang terjadi. Nayla tiba lebih dulu. Angin pagi membuat rambutnya berantakan, sementara jantungnya berdegup tak terkendali. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, bersiap melampiaskan semua yang menyesakkan di dadanya. Tak lama, Arsen muncul dengan langkah santai, tangan dimasukkan ke saku celana. Wajahnya tenang, terlalu tenang, seakan tidak ada badai yang sedang berkecamuk. “Ada apa, Nay?” suaranya datar. Nayla langsung melotot, menahan diri agar tidak berteriak. “Jangan pura-pura bodoh, Arsen! Pesan itu… semua pesan yang kuterima, itu dari kamu, kan?” Arsen mengernyit. “Pesan apa? Apakah karena ucapanku tadi pagi, kamu mendapatkan sebuah pesan? Dan menuduhku yang mengirimkan pesan itu?” Nayla mengangkat ponselnya, menunjukkan layar dengan teks yang masih terbuka. “Jangan main-main! Siapa lagi yang tahu tentang malam itu selain kita? Siapa lagi yang bisa mengancamku dengan rahasia kotor itu? Itu pasti kamu, Arsen!” Arsen melangkah mendekat, menatap layar ponsel itu sebentar lalu kembali menatap Nayla. “Bukan aku!” tegasnya. Nayla tertawa pendek, getir. “Kau pikir aku sebodoh itu? Kau selalu mengancamku sejak malam itu. ‘Kalau aku buka mulut, kau yang lebih dulu hancur’—bukankah itu kata-katamu? Lalu sekarang tiba-tiba ada pesan yang bunyinya sama? Kau kira aku nggak bisa menghubungkan titik-titik itu?” Arsen mendengus, lalu mengusap wajahnya. “Nay, dengar aku baik-baik. Aku memang bilang hal itu padamu, tapi bukan aku yang mengirim pesan-pesan ini. Percaya atau tidak, aku nggak sebodoh itu untuk meninggalkan jejak digital yang bisa menyeretku juga.” “Omong kosong!” Nayla membentak, air matanya mulai jatuh. “Kamu selalu berusaha mengontrolku! Kamu selalu membuatku merasa tak berdaya! Dan sekarang kamu pakai cara ini supaya aku tetap diam, supaya aku tunduk sama semua ancamanmu!” “Nayla!” suara Arsen meninggi, tatapannya menusuk. “Aku bilang itu bukan aku!” “Berhenti berbohong!” Nayla mendorong dadanya dengan keras. “Aku benci kamu, Arsen! Kamu sudah menghancurkan aku, hidupku, dan sekarang kamu masih berani berpura-pura suci?” Arsen terdiam sesaat, rahangnya mengeras. Ada bara marah di matanya, tapi juga rasa sakit yang samar. “Kamu nggak percaya padaku, kan? Apa pun yang aku katakan, kamu tetap akan melihatku sebagai monster.” “Karena memang itu kamu!” Nayla berteriak hingga suaranya serak. “Monster yang harusnya nggak pernah ada di hidupku!” Arsen mendekat lagi, menundukkan tubuhnya hingga wajah mereka hanya terpisah sejengkal. “Kalau aku benar pengirim pesan itu, kenapa aku harus repot-repot menemuimu sekarang? Kenapa aku nggak langsung biarkan semuanya terbongkar? Pikir, Nay!” Nayla tertegun, bibirnya bergetar. Ada logika dalam kata-kata Arsen, tapi hatinya terlalu penuh luka untuk percaya. “Aku… aku nggak tahu. Tapi aku juga nggak bisa percaya padamu.” Arsen menarik napas panjang, lalu melangkah mundur. “Kalau begitu, teruskan prasangkamu. Tapi aku sumpah, Nay, kali ini aku bukan pelakunya.” Hening menelan mereka. Suara burung pagi terdengar samar, kontras dengan ketegangan yang menyelimuti. Nayla menunduk, dadanya sesak. “Kalau bukan kamu… lalu siapa? Siapa yang cukup gila untuk ikut campur dalam urusan kita?” Arsen menatapnya lama, wajahnya gelap. “Itu yang harus kita cari tahu.” Saat Nayla hendak menjawab, ponselnya kembali bergetar. Jantungnya melonjak. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan baru dari nomor misterius itu. “Aku bisa lihat kalian sekarang. Pertengkaran kalian manis sekali. Kalau kalian terus berdebat begini, akan lebih mudah bagiku untuk menghancurkan kalian berdua sekaligus.” Wajah Nayla pucat pasi. Tangannya nyaris menjatuhkan ponsel itu. Ia menoleh cepat ke sekeliling taman—tidak ada siapa pun selain beberapa tamu hotel yang duduk jauh di bangku lain. “Arsen… .” Suaranya bergetar hebat. “Orang itu… dia… dia ada di sini.” Arsen segera meraih ponselnya, membaca pesan itu, lalu matanya menajam. Ia menoleh ke sekeliling dengan waspada. “Seseorang memang sedang mengawasi kita.” Nayla mundur selangkah, tubuhnya gemetar. “Aku takut…” Arsen menatapnya, kali ini bukan dengan dingin, melainkan dengan ketegangan nyata. “Kamu harus tetap tenang. Karena mulai sekarang, siapa pun orang itu… dia bukan cuma ancaman buatmu, tapi juga buatku.” "kita harus bagaimana?" tanya Nayla. "Aku tidak ingin ibuku tahu tentang ini, aku mohon Arsen," pintanya dengan begitu tulus.Malam sudah begitu larut. Lampu-lampu di dalam rumah mulai meredup, meninggalkan suasana tenang yang hanya diiringi bunyi samar dari suara AC.Nayla baru saja pulang dari kampus. Ia sengaja menunggu sampai sepi, agar tidak harus berpapasan dengan Arsen ataupun kedua orang tuanya. Langkahnya terasa berat, pikirannya penuh dengan peristiwa siang tadi.Tatapan tajam Om Pratama, pelukan Arsen yang terlalu dekat, serta pertanyaan yang membuat jantungnya hampir berhenti masih yakin kau tidak akan jatuh cinta padaku?Napasnya terengah saat membuka pintu apartemen. Hening. Syukurlah.Dengan langkah ragu, Nayla berjalan ke balkon belakang, tepat ke arah kolam renang pribadi yang tenang di bawah sinar lampu remang. Udara dingin malam menyapanya. Ia melepas sepatu, menggulung sedikit celana panjangnya, lalu duduk di pinggir kolam, membiarkan ujung kakinya menyentuh air.“Akhirnya… bisa bernapas.” bisiknya lirih.Karena merasa tidak nyaman, Nayla memutuskan untuk duduk di tepi kolam yang lebih ny
Lorong apartemen itu mendadak sunyi. Hanya ada empat pasang mata yang saling menatap dengan penuh tanda tanya.“Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” suara Pratama terdengar dalam dan penuh wibawa, tatapannya menusuk langsung ke arah Arsen.Nayla menahan napas, jemari tangannya bergetar hebat. Ya Tuhan… jangan sampai semua terbongkar. Tolong…Arsen, dengan wajah tenang khasnya, sedikit mengangkat alis. “Aku?” katanya ringan. “Aku... aku juga menyewa apartemen di sini.”“Di sini?” Pratama mengulang dengan nada tak percaya. “Maksudmu… di unit sebelah?”“Iya.” Arsen mengangguk sopan, senyum tipis terbit di bibirnya. “Aku memang sudah menyewa apartemen ini beberapa waktu yang lalu. Lokasinya kebetulan juga tidak jauh dari kampus. Sangat praktis.”Deeva tampak tersenyum, seolah menerima penjelasan itu begitu saja. “Oh begitu rupanya. Wah, kebetulan sekali ya.”Nayla hampir terjatuh karena lega. Untungnya Arsen pandai menutupi semuanya. Tapi di balik itu, keringat dingin terus mengalir di
Nayla berdiri terpaku di depan lift, jantungnya berdetak begitu kencang seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Pandangannya bergantian antara wajah ibunya, Deeva, dan pria yang kini resmi akan menjadi ayah tirinya, Pratama.“Nayla?” suara Deeva terdengar lagi, kali ini lebih tenang namun penuh tanda tanya. “Kamu… sedang apa di sini?”Otak Nayla bekerja cepat. Ia tak boleh sampai mereka tahu ia baru saja keluar dari apartemen Arsen. Apalagi jika sampai mereka tahu rahasia itu… semuanya akan hancur.“A-aku…” Nayla menelan ludah, memaksakan senyum kaku. “Aku habis… main ke tempat teman. Dia tadi sakit, jadi aku… aku mampir sebentar untuk kasih catatan kuliah.”Pratama mengangkat alis, sejenak menatap Nayla dengan tatapan menyelidik. Namun senyumnya segera kembali, tenang dan ramah seperti biasanya. “Oh begitu? Bagus sekali kamu perhatian sama temanmu. Temanmu tinggal di lantai ini juga?”“I-iya.” Nayla mengangguk cepat. “Tapi aku barusan pamit, jadi… ya, kebetulan ketemu Mama sama Om
Keheningan di antara mereka terasa menusuk. Pertanyaan Arsen menggantung di udara, membuat jantung Nayla berdetak tak karuan. Kata-kata pria itu seolah menekan dinding pertahanan yang selama ini ia bangun. “Apa sebenarnya… kau sudah jatuh cinta padaku?” suara itu kembali terngiang. Nayla menggigit bibirnya, tubuhnya menegang. Sesaat ia hanya bisa menatap mata Arsen, seolah terperangkap. Namun detik berikutnya, ia membantah dengan keras. “Tidak! Itu tidak mungkin!” seru Nayla. Ia mendorong dada Arsen dengan kedua tangannya. Dorongan itu cukup kuat, membuat pria itu mundur beberapa langkah ke belakang. Nafas Nayla terengah, wajahnya memerah bukan hanya karena marah, tapi juga karena takut pada dirinya sendiri. “Aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu, Arsen!” Nayla hampir berteriak. “Aku jamin! Aku… aku lebih baik mati daripada membiarkan hal itu terjadi!” Ruangan itu mendadak senyap. Hanya suara napas mereka berdua yang terdengar, saling memburu. Arsen menunduk sejenak, lalu pe
Pagi itu kampus masih sepi. Hanya beberapa mahasiswa yang tampak terburu-buru masuk ke gedung perkuliahan. Angin pagi berhembus ringan, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah semalaman diguyur hujan. Nayla melangkah cepat, menundukkan kepala, seolah sedang dikejar sesuatu. Tas—nya ia genggam erat, langkahnya nyaris setengah berlari menuju kelas. Ia sengaja berangkat lebih awal, berharap tidak akan berpapasan dengan Arsen. "Apa setiap harinya aku harus berangkat lebih awal seperti ini, aku juga ingin tidur nyenyak seperti biasa." Sempat terlintas di pikiran Nayla, bahwa mungkin lebih baik ia keluar dari rumah dan tinggal di sebuah apartemen. Tetapi jika Nayla melakukan hal tersebut, maka Om Pratama akan berpikir bahwa Nayla tidak suka Om Pratama dan juga Arsen berada di rumah. Bahkan hal terpenting bagi Nayla, ia begitu takut jika ibunya sedih, ketika ia memutuskan hal tersebut. Namun, kenyataan tidak pernah semudah itu. Kenyataan yang sekarang bahwa Nayla harus tinggal sat
Udara malam itu sejuk, jalanan kota tampak ramai dengan lampu-lampu berkilau. Di dalam mobil hitam yang melaju tenang, hanya suara mesin yang terdengar.Nayla duduk di kursi penumpang dengan wajah menunduk, kedua tangannya bertaut di pangkuan. Ia tidak berani menatap ke arah sopir di sampingnya. Arsen tampak fokus mengemudi, namun sesekali matanya melirik ke arah Nayla.Gaun sederhana berwarna pastel yang dipakai Nayla membuat wajahnya semakin lembut diterangi cahaya jalanan. Arsen berusaha menahan diri untuk tidak terus menatap, tapi sulit.“Pakai sabuk pengamannya benar?” suara Arsen terdengar datar namun penuh perhatian.Nayla mengangguk singkat. “Iya.”Hening kembali menguasai mobil.Setelah beberapa menit, Nayla memberanikan diri bicara. “Arsen.”“Hmm?”“Aku… aku minta satu hal.” Suaranya pelan, tapi jelas.Arsen melirik sebentar. “Apa?”“Tolong… selalu jaga jarak denganku. Kita… harus punya batasan. Apa pun yang terjadi.”Arsen terdiam. Ia mengetatkan genggaman di setir. “Kau ma







