Home / Romansa / Ketika Gairah Mengalahkan Logika / Tuduhan yang Mengguncang!

Share

Tuduhan yang Mengguncang!

Author: Faelelfa
last update Last Updated: 2025-08-18 12:45:51

Mobil yang dikendarai Nayla melaju begitu xepat, sesekali tatapannya menatap ke arah ponsel yang berada di hadapannya.

Dengan tangan gemetar, Nayla akhirnya memberanikan diri mengirim pesan pada Arsen dan menunggu balasannya.

“Kita harus ketemu? Sekarang?”

Balasan datang cepat, singkat.

“Di taman belakang hotel. 10 menit lagi.”

Jawabannya seakan tidak ingin ada bantahan, ia hanya ingin bertemu dan menyelesaikan semua masalah yang sedang terjadi.

Nayla tiba lebih dulu. Angin pagi membuat rambutnya berantakan, sementara jantungnya berdegup tak terkendali. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, bersiap melampiaskan semua yang menyesakkan di dadanya.

Tak lama, Arsen muncul dengan langkah santai, tangan dimasukkan ke saku celana. Wajahnya tenang, terlalu tenang, seakan tidak ada badai yang sedang berkecamuk.

“Ada apa, Nay?” suaranya datar.

Nayla langsung melotot, menahan diri agar tidak berteriak. “Jangan pura-pura bodoh, Arsen! Pesan itu… semua pesan yang kuterima, itu dari kamu, kan?”

Arsen mengernyit. “Pesan apa? Apakah karena ucapanku tadi pagi, kamu mendapatkan sebuah pesan? Dan menuduhku yang mengirimkan pesan itu?”

Nayla mengangkat ponselnya, menunjukkan layar dengan teks yang masih terbuka. “Jangan main-main! Siapa lagi yang tahu tentang malam itu selain kita? Siapa lagi yang bisa mengancamku dengan rahasia kotor itu? Itu pasti kamu, Arsen!”

Arsen melangkah mendekat, menatap layar ponsel itu sebentar lalu kembali menatap Nayla. “Bukan aku!” tegasnya.

Nayla tertawa pendek, getir. “Kau pikir aku sebodoh itu? Kau selalu mengancamku sejak malam itu. ‘Kalau aku buka mulut, kau yang lebih dulu hancur’—bukankah itu kata-katamu? Lalu sekarang tiba-tiba ada pesan yang bunyinya sama? Kau kira aku nggak bisa menghubungkan titik-titik itu?”

Arsen mendengus, lalu mengusap wajahnya. “Nay, dengar aku baik-baik. Aku memang bilang hal itu padamu, tapi bukan aku yang mengirim pesan-pesan ini. Percaya atau tidak, aku nggak sebodoh itu untuk meninggalkan jejak digital yang bisa menyeretku juga.”

“Omong kosong!” Nayla membentak, air matanya mulai jatuh. “Kamu selalu berusaha mengontrolku! Kamu selalu membuatku merasa tak berdaya! Dan sekarang kamu pakai cara ini supaya aku tetap diam, supaya aku tunduk sama semua ancamanmu!”

“Nayla!” suara Arsen meninggi, tatapannya menusuk. “Aku bilang itu bukan aku!”

“Berhenti berbohong!” Nayla mendorong dadanya dengan keras. “Aku benci kamu, Arsen! Kamu sudah menghancurkan aku, hidupku, dan sekarang kamu masih berani berpura-pura suci?”

Arsen terdiam sesaat, rahangnya mengeras. Ada bara marah di matanya, tapi juga rasa sakit yang samar. “Kamu nggak percaya padaku, kan? Apa pun yang aku katakan, kamu tetap akan melihatku sebagai monster.”

“Karena memang itu kamu!” Nayla berteriak hingga suaranya serak. “Monster yang harusnya nggak pernah ada di hidupku!”

Arsen mendekat lagi, menundukkan tubuhnya hingga wajah mereka hanya terpisah sejengkal. “Kalau aku benar pengirim pesan itu, kenapa aku harus repot-repot menemuimu sekarang? Kenapa aku nggak langsung biarkan semuanya terbongkar? Pikir, Nay!”

Nayla tertegun, bibirnya bergetar. Ada logika dalam kata-kata Arsen, tapi hatinya terlalu penuh luka untuk percaya. “Aku… aku nggak tahu. Tapi aku juga nggak bisa percaya padamu.”

Arsen menarik napas panjang, lalu melangkah mundur. “Kalau begitu, teruskan prasangkamu. Tapi aku sumpah, Nay, kali ini aku bukan pelakunya.”

Hening menelan mereka. Suara burung pagi terdengar samar, kontras dengan ketegangan yang menyelimuti.

Nayla menunduk, dadanya sesak. “Kalau bukan kamu… lalu siapa? Siapa yang cukup gila untuk ikut campur dalam urusan kita?”

Arsen menatapnya lama, wajahnya gelap. “Itu yang harus kita cari tahu.”

Saat Nayla hendak menjawab, ponselnya kembali bergetar. Jantungnya melonjak. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan baru dari nomor misterius itu.

“Aku bisa lihat kalian sekarang. Pertengkaran kalian manis sekali. Kalau kalian terus berdebat begini, akan lebih mudah bagiku untuk menghancurkan kalian berdua sekaligus.”

Wajah Nayla pucat pasi. Tangannya nyaris menjatuhkan ponsel itu. Ia menoleh cepat ke sekeliling taman—tidak ada siapa pun selain beberapa tamu hotel yang duduk jauh di bangku lain.

“Arsen… .” Suaranya bergetar hebat. “Orang itu… dia… dia ada di sini.”

Arsen segera meraih ponselnya, membaca pesan itu, lalu matanya menajam. Ia menoleh ke sekeliling dengan waspada. “Seseorang memang sedang mengawasi kita.”

Nayla mundur selangkah, tubuhnya gemetar. “Aku takut…”

Arsen menatapnya, kali ini bukan dengan dingin, melainkan dengan ketegangan nyata. “Kamu harus tetap tenang. Karena mulai sekarang, siapa pun orang itu… dia bukan cuma ancaman buatmu, tapi juga buatku.”

"kita harus bagaimana?" tanya Nayla. "Aku tidak ingin ibuku tahu tentang ini, aku mohon Arsen," pintanya dengan begitu tulus.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Gairah Mengalahkan Logika   di Ambang Keputusan

    Dua minggu berlalu sejak tragedi itu. Dua minggu Nayla hidup dalam bayangan rumah sakit, doa, dan ketakutan akan pesan-pesan misterius yang tak kunjung berhenti. Namun ajaibnya, Deeva akhirnya pulih, meski harus menjalani fisioterapi. Kini, hari besar itu tiba. Pernikahan Deeva dan Pratama. Villa mewah di tepi pantai berubah menjadi lokasi resepsi indah. Kursi-kursi berbalut kain putih berderet rapi, bunga segar menghiasi setiap sudut, dan hamparan laut biru menjadi latar belakang. Semua orang tersenyum bahagia… kecuali Nayla. Tatapannya kosong. Gaun cantik yang membalut tubuhnya tak mampu menutupi kegelisahan di hatinya. Senyum yang ia berikan hanyalah topeng. Arsen memperhatikannya dari jauh. Berkali-kali ia mendapati gadis itu menarik napas panjang, menunduk, atau menggenggam jemarinya sendiri hingga memutih. Sejak kejadian di rumah sakit, entah mengapa, Nayla selalu muncul dalam pikirannya. Kenapa aku tak bisa berhenti memperhatikannya? batinnya. Di ruang rias, beberapa meni

  • Ketika Gairah Mengalahkan Logika   Pagi yang Berdarah

    Jeritan pecah di udara, memecah keheningan pagi. Nayla yang baru saja membuka mata di kamarnya langsung terlonjak. Suara itu… suara ibunya. Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar. “Ma!!!” teriaknya panik. Di ruang tengah villa, pemandangan mengerikan menyambutnya. Deeva tergeletak di lantai, tepat di bawah tangga. Tubuhnya kaku, darah merembes dari kepalanya. “MAMAAA!!” Nayla berlari, jatuh berlutut, mengguncang tubuh ibunya yang tak sadarkan diri. “Ma! Bangun, Ma! Tolong!!” Om Pratama muncul dari arah dapur, wajahnya pucat pasi. “Astaga, Deeva!” Ia buru-buru berlari, sementara Arsen yang datang dari belakang langsung menahan Nayla. “Jangan guncang tubuhnya, Nay!” suara Arsen tegas, namun tangannya bergetar saat menarik Nayla menjauh. “Lepasin aku! Itu ibuku! Arsen, lepaskan!!” Nayla meronta, tangisnya pecah. Om Pratama langsung menghubungi ambulans, suaranya panik. “Cepat, ada kecelakaan! Istri saya jatuh dari lantai dua villa! Cepat ke sini!” Nayla hanya bisa menangis histe

  • Ketika Gairah Mengalahkan Logika   Liburan yang Menipu!

    Liburan keluarga itu dimulai pada pagi yang cerah. Mobil mewah milik Om Pratama melaju mulus di jalanan menuju villa tepi pantai. Di dalam mobil, suasana tampak hangat, setidaknya di mata orang luar. Deeva duduk di kursi depan, terlihat riang saat berbincang dengan Pratama tentang jadwal kegiatan mereka nanti. Sementara di kursi belakang, Nayla duduk menempel pada jendela, sesekali memandang laut yang mulai terlihat di kejauhan. Arsen duduk di sampingnya, tenang, tanpa ekspresi berlebih. Namun sesekali, saat Nayla tidak menyadari, mata Arsen mencuri pandang. Ada gurat lelah di wajah gadis itu, tapi juga cahaya samar ketika ia melihat ke luar jendela. Dan entah kenapa, melihat Nayla begitu diam membuat dada Arsen terasa sesak. "Nikmati liburan ini Nay. Om sengaja liburkan kantor, biar kita bisa liburan bersama." Nayla hanya menganggukan kepalanya, sedangkan Mama Deeva terus menatap dari kaca depan. "Arsen juga. Kalian berdua harus terlihat akur, harus saling mengenal." Nayla men

  • Ketika Gairah Mengalahkan Logika   Tuduhan yang Mengguncang!

    Mobil yang dikendarai Nayla melaju begitu xepat, sesekali tatapannya menatap ke arah ponsel yang berada di hadapannya. Dengan tangan gemetar, Nayla akhirnya memberanikan diri mengirim pesan pada Arsen dan menunggu balasannya. “Kita harus ketemu? Sekarang?” Balasan datang cepat, singkat. “Di taman belakang hotel. 10 menit lagi.” Jawabannya seakan tidak ingin ada bantahan, ia hanya ingin bertemu dan menyelesaikan semua masalah yang sedang terjadi. Nayla tiba lebih dulu. Angin pagi membuat rambutnya berantakan, sementara jantungnya berdegup tak terkendali. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, bersiap melampiaskan semua yang menyesakkan di dadanya. Tak lama, Arsen muncul dengan langkah santai, tangan dimasukkan ke saku celana. Wajahnya tenang, terlalu tenang, seakan tidak ada badai yang sedang berkecamuk. “Ada apa, Nay?” suaranya datar. Nayla langsung melotot, menahan diri agar tidak berteriak. “Jangan pura-pura bodoh, Arsen! Pesan itu… semua pesan yang kuterima, itu dari kamu, ka

  • Ketika Gairah Mengalahkan Logika   Bayangan yang Tak Bisa dihapus

    Pagi itu, matahari baru saja menembus tirai tipis kamar Nayla. Ia duduk di tepi ranjang dengan mata sembab, semalaman tak bisa tidur memikirkan ucapan Arsen di balkon semalam. Ancaman itu masih terngiang jelas, membuat dadanya sesak. Namun bukan hanya Arsen yang mengganggu pikirannya, melainkan ibunya. Senyum Deeva saat bersama Om Pratama terasa begitu tulus, seakan wanita itu baru menemukan kembali arti bahagia dan Nayla terlalu takut ibunya kembali jatuh ke lubang luka yang sama. Nayla menghela napas panjang, lalu memberanikan diri turun ke ruang makan. Di sana, ia mendapati ibunya sudah rapi dengan gaun santai, sedang menyeduh teh sambil bersenandung kecil. “Pagi, Sayang. Tidur nyenyak?” sapa Deeva cerah, seolah dunia baik-baik saja. Nayla memaksakan senyum. “Lumayan, Ma.” Ia duduk, menatap ibunya yang tampak begitu bahagia. Sejenak, rasa bersalah menghantam hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa menghancurkan senyum itu dengan kenyataan pahit yang ia simpan bersama Arsen? “Ma… .

  • Ketika Gairah Mengalahkan Logika   Dunai yang Begitu Sempit

    Makan malam berakhir dengan senyuman-senyuman hangat yang terasa palsu bagi Nayla. Ibunya terlihat sangat bahagia, tertawa dengan Om Pratama, seakan lupa semua luka masa lalu. Sementara Arsen hanya duduk tenang, menatap piring, seakan-akan dirinya hanyalah tamu biasa di meja itu.Namun tatapan mata mereka berdua. Nayla dan Arsen, tidak bisa berbohong. Sesekali tanpa sengaja beradu, lalu buru-buru teralihkan. Ada sesuatu yang menyesakkan, sesuatu yang hanya mereka berdua tahu dan tidak seorang pun boleh mengetahuinya.Ketika pelayan terakhir kali mengangkat piring dari meja, Deeva menepuk lembut tangan Nayla.“Sayang, Om Pratama dan mama akan bicara sebentar dengan manajer restoran tentang rencana acara keluarga. Kau tak keberatan, kan? Mungkin Arsen bisa menemanimu.”“Tidak perlu, Ma,” Nayla buru-buru menolak, namun ibunya hanya tersenyum dan berdiri.Akhirnya, tinggal mereka berdua di meja panjang itu. Sunyi. Hanya suara dentingan sendok dari meja lain dan musik klasik yang terdengar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status