Aku berniat buru-buru masuk ke dalam rumah, menghindari pertanyaan konyol Riana pada kakaknya itu. Baru juga kaki ini mengayun, tangan Riana keburu mencekal pergelangan tanganku."Mau ke mana? Malah kabur," tanyanya."Aku mau ambil minum buat Tuan Raihan. Pasti haus setelah perjalanan jauh," elakku. Aku berusaha melepaskan cengkraman tangan Riana."Gak perlu. Gak apa-apa, kok. Saya kan bawa minum di mobil," cegah Tuan Raihan.Aku melirik Riana dengan ujung mata. Dia tersenyum menggoda. "Tuh, kan. Orangnya aja gak minta dibawain.""Siapa tau tadinya mau minum air dingin gituh. Secara kan hari ini panas banget." Aku masih mencoba mengelak agar bisa segera pergi dari sini."Sepanas hatimu, ya?" Riana tertawa lebar. Membuatku semakin kesal.Aku mendelik. Dia selalu saja menggodaku. Membuatku merasa salah tingkah dan kikuk di depan majikanku sendiri."Kakak bawain kalian oleh-oleh. Kakak ambil dulu di mobil, ya." Tuan Raihan hendak menyerahkan Raisa yang masih dipangkunya padaku."Biar say
Aku tertegun. Mencerna setiap tanya yang keluar dari mulut Tuan Raihan. Sepertinya lelaki di sebelahku ini begitu antusias ingin mengetahui hal ini. Namun, jangankan Tuan Raihan. Aku saja yang menjalaninya sulit untuk menjawab."Kok, diam?" Tuan Raihan protes melihatku hanya membisu."Saya bingung harus menjawab apa, Tuan. Sampai detik ini saja saya tidak tau bagaimana kabarnya dia. Apakah dia masih mengingat saya atau tidak? Atau mungkin, baginya, janji kami dulu hanya sebatas janji sepasang anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Saya serahkan saja semuanya pada takdir. Bisa kembali dipertemukan lagi sangat bersyukur. Tidak pun tidak apa-apa. Yang pasti, saya akan selalu mengingat kebaikan-kebaikan yang dia lakukan untuk saya. Saya juga akan selalu mendoakan agar dia selalu sehat di manapun berada." Aku menjawab dengan panjang lebar."Apa ... kamu menyukainya?" Tuan Raihan bertanya dengan ragu. Aku langsung menoleh mendengar pertanyaannya."Apa maksud, Tuan? Dulu kami masih begitu p
"Assalamu'alaikum," ucap Erik tersenyum mengerling menatapku."Wa'alaikum salam," jawabku membuang muka. Kesal. Padahal aku pernah bilang jangan pernah datang ke rumah ini."Ada perlu apa, Ka?" Aku berusaha bertanya sesopan mungkin. "Mau main aja. Emangnya gak boleh? Mumpung masih liburan, kan?" jawabnya membuatku semakin kesal."Maaf ya, Kak. Aku kan sudah pernah bilang, tolong jangan datang ke rumah ini. Aku gak mau pemilik rumah ini salah paham." Aku mengingatkannya lagi. Siapa tau dia hilang ingatan."Loh loh. Siapa yang bilang aku ke rumah ini mau ketemu kamu. Aku mau ketemu Riana, kok. Orangnya ada kan?" Kepala Erik celingukan melihat ke arah dalam rumah.Aku menghela napas pelan. Entah harus lega atau bagaimana. "Ada. Silakan masuk." Aku menggeser tubuhku dari ambang pintu. Memberi jalan kepada Erik untuk masuk ke dalam rumah.Dia berjalan dengan santai. Seolah tak ada kecanggungan sedikit pun. "Silakan duduk. Aku panggilkan Riana dulu," tuturku sopan. "Oh, iya. Mau minum ap
Dengan susah payah aku menelan saliva mendengar perkataan Riana. Sementara Erik terlihat santai tak terganggu sama sekali."Perasaan kamu aja kali," jawabku sambil memalingkan wajah. Menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba melanda."Kali aja kalian kembar terpisah, kan," celetuk Riana sambil tertawa kecil. Sikapnya kini sudah mulai cair, tidak se-kaku tadi saat pertama kali Erik datang."Kembar beda emak sama bapak, ya," timpal Erik yang juga terkekeh pelan."Ho'oh," sahut Riana diiringi tawa yang semakin melebar.Mereka mungkin mengira ini hanya candaan. Tapi tidak bagiku yang memang sudah mengetahui apa yang sebenarnya."Aku pulang dulu ya. Sudah dhuhur kayaknya. Terima kasih banyak loh udah diizinkan main ke sini," tutur Erik sambil berdiri dari duduknya. "Buku ini aku pinjam ya?" Erik mengacungkan sebuah buku bersampul hitam ke arah Riana."Iya. Bawa aja," jawab Riana yang juga ikut berdiri dari duduknya. "Oleh-oleh yang tadi jangan lupa. Nanti ketinggalan," lanjutnya sambil mengi
"Kasian loh Raisa kalau kelamaan gak punya ibu. Meski bagaimanapun dia itu membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Dan menurut Tante, yang paling cocok jadi ibunya itu ya Sandra. Secara Sandra ini kan Tantenya Raisa. Kalau cari wanita lain, takutnya malah jadi ibu tiri yang galak. Iihh jangan sampe." Wanita dengan rambut sebahu itu terus saja berbicara mempromosikan Mbak Sandra."Maaf nih, Tante. Bicaranya dilanjutkan nanti, ya? Saya permisi sebentar. Belum solat ashar soalnya. Saya benar-benar minta maaf," tutur Tuan Raihan sopan."Oh ... Iya, silakan, Nak Raihan. Kadung nunggu lama dari tadi. Sekalian aja," jawab Tante diiringi suara tawa pelan."Mas, aku juga mau numpang ke toilet, dong." Itu suara Mbak Sandra. "Mah, aku ke toilet sebentar," lanjutnya.Jadi Tante yang duduk di depan itu ibunya Mbak Sandra? Itu artinya ibunya Mbak Sarah juga. Berarti ibu mertuanya tuan Raihan. Aku bergumam dalam hati.Tuan Raihan dan Mbak Sandra muncul bersamaan. Mata Riana mendelik menatap wanita yan
Jantungku berpacu semakin cepat. Apa maksud Tante Herni berbicara seperti itu? Bukankah kematian Mbak Sarah dulu akibat pendarahan setelah melahirkan? Atau mungkin aku yang salah dengar?"Ssstt ... ibu ini ngomong apa? Sudah diam. Nanti kalau ada yang dengar bisa berabe." Mbak Sandra mengingatkan. Benar saja, setelah itu, suara mereka tidak terdengar lagi. Karena takut ketahuan, aku pun buru-buru pergi dari depan pintu yang tertutup rapat itu.Sampai malam merangkak naik, mataku tak kunjung mau terpejam. Perkataan Tante Herni terus terngiang di telinga. Tapi, bagaimana bisa aku mencari tau semuanya? Apalagi sampai berhasil mengungkapkannya. Sementara aku juga tidak punya bukti apa-apa. Yang terpenting sekarang, Tuan Raihan jangan sampai terjerat oleh tipu daya kedua manusia licik tersebut. Pantas saja pasangan ibu dan anak ini begitu ngotot memperjuangkan Tuan Raihan. Ternyata mereka hanya mengincar hartanya saja.Rasanya aku tak rela, kalau orang-orang sebaik Tuan Raihan dan Riana
Memang benar kata orang. Marahnya orang yang pendiam itu mengerikan. Hari ini aku baru percaya, kalau orang sebaik dan sesabar Tuan Raihan bisa begitu marah. Dadanya masih terlihat naik turun menahan emosi yang mungkin masih menggelegak di dadanya.Namun, dibalik kemarahannya, ada seulas rasa bahagia yang membuncah di hatiku. Tuan Raihan begitu membelaku di hadapan Tante Herni dan Mbak Sandra. Dia bahkan tidak rela aku disakiti oleh kedua wanita itu. Apa memang benar apa yang tadi diucapkannya? Bahwa Tuan Raihan menyayangiku seperti adiknya sendiri.Kekaguman tiba-tiba langsung menyeruak dalam dada. Harga diriku yang semula diinjak-injak oleh Mbak Sandra, kini diangkat tinggi oleh majikanku sendiri.Wajah Tante Herni dan Mbak Sandra sudah berubah pucat pasi bak mayat. Keringat mengucur deras dari pelipis keduanya. Padahal AC di ruangan ini cukup dingin."Tante mau jujur sendiri atau mau saya yang bongkar semuanya?" tanya Tuan Raihan dengan nada lebih tenang."A-apa maksudnya? Tante ti
Sekarang aku mengerti, kenapa Tuan Raihan masih betah hidup menyendiri. Padahal tidak ada yang kurang dari dirinya sebagai seorang laki-laki. Single, tampan, mapan, dan saleh tentunya.Tuan Raihan hanya tidak mau salah memilih pasangan. Dia tidak mau memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri. Tapi lebih memikirkan kebahagiaan Raisa Dan Riana. Sungguh, aku begitu kagum pada kesabaran Tuan Raihan menahan kesepian hidup menyendiri bertahun-tahun. Menahan syahwat yang pastinya tidak mudah untuk lelaki yang sudah baligh dan pernah berpengalaman sebelumnya. Berbeda dengan lelaki lajang yang belum pernah berpengalaman sebelumnya.Pandangan Tuan Raihan masih menerawang lurus ke depan. Sorot matanya begitu layu. Kesedihan nampak jelas dari gurat wajahnya yang kusut.Riana masih setia menemani Tuan Raihan di sampingnya. Aku juga enggan beranjak pergi meninggalkannya dalam kondisi seperti ini. Meskipun suara jam terus berdetak merangkak semakin larut."Kamu dan Raisa adalah segalanya buat kakak. J