Share

2. Tuduhan

Malam ini dengan penampilan yang sangat rapi, hasil dari omelan juga paksaan sang suami. Bagaimana mungkin setelah Aji meminta pada Ajeng memasak sepuluh jenis makanan, dan baru selesai di jam setengah tujuh malam. Pria itu pulang ke rumah, mendapati Ajeng yang belum mandi dan masih bau asap. Ketidaksukaan Aji lontarkan dari setiap kata yang mengatakan, “Sebagai istri harusnya kamu bisa menjaga penampilan. Jangan seperti ini. Suami pulang kerja bukannya bau wangi, yang ada justru bau ayam panggang. Buruan mandi karena setengah jam lagi Mama akan sampai.” Sebenarnya Aji hanya ingin memberikan masukan, tapi gaya bahasa Aji terlalu kasar dan tidak berperasaan. Tak peduli apakah Ajeng akan sakit hati atau tidak.

Tidak berhenti sampai di situ saja ketika Ajeng sedang merias diri dengan cukup tergesa-gesa, kembali Aji berucap, “Kamu ini belum punya anak saja tidak bisa memanagement waktu dengan sebaik-baiknya. Bagaimana nanti jika sudah ada anak? Yang ada suamimu tak akan terurus. Padahal aku sudah memintamu berhenti bekerja, dengan harapan kamu memiliki banyak waktu untukku.”

Ajeng diam. Baru sekarang Ajeng mengetahui jika mulut sang suami sangatlah pedas rupanya. Dulu saat mereka masih dekat dan belum menikah, mulut manis Aji telah memerangkapnya. Sekarang kenapa jadi berubah seperti ini. Ajeng hanya bisa menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan rasa sakit hati akan semua ucapan sang suami.

Menjamu mertua pun sebenarnya tak banyak yang dituntut oleh papa dan juga mamanya Aji. Hanya Aji saja yang kebanyakan mau dan selalu membanding-bandingkan sang ibu dengan istrinya.

“Kamu harus seperti Mama, Ajeng. Selain pandai merawat papa, juga kami anak-anaknya. Mama juga pandai merawat diri.”

Jika ini Ajeng tidak membantahnya, karena memang benar adanya sang mama mertua di usia kepala enam masih terlihat energik dan juga cantik tentunya. Entah apa resep awet mudanya sang mama mertua. Yang pasti apa yang Aji katakan masih menjadi tanda tanya besar bagi Ajeng. Benarkah mama mertuanya dulu juga mengurus sendiri semua masalah rumah tangga? Jika memang iya, berarti sungguh hebat sekali beliau. Pantas saja jika Aji tumbuh menjadi seorang perfeksionis sekali, yang apa-apa maunya selalu sesuai dengan perintah dan keinginannya.

Ini masih di bulan ketiga Ajeng dan Aji menikah. Namun, perubahan besar dalam hidup Ajeng sudah mulai kentara. Ajeng masih bisa menerimanya. Mungkin memang dia perlu menyesuaikan dirinya dengan kehidupan sang suami. Semua butuh proses dan Ajeng akan terus berusaha untuk menjadi istri yang baik untuk Aji.

“Kapan kalian punya anak?” Pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut mama mertuanya, membuat Ajeng yang tengah menunduk mengunyah makanan pun mendongak sekarang. Menoleh pada sang suami yang terlihat begitu santai.

“Sedikasihnya saja, Ma. Kami berdua juga masih berusaha,” jawab Ajeng karena Aji yang dia harapkan dapat menajwab, nyatanya hanya diam saja dan masih fokus pada makanan.

“Tapi kalian tidak ada rencana menundanya, kan?”

Hei, kenapa Mama berbicara seperti itu, batin Ajeng berucap. Namun, yang ada Ajeng justru tersenyum lalu menjawab apa yang menjadi tanda tanya besar mama mertunya.

“Tentu saja tidak, Ma. Saya sendiri juga kesepian di rumah saat harus ditinggal Mas Aji bekerja. Jika ada anak, setidaknya ada yang meramaikan rumah juga menemani saya.”

“Baguslah jika demikian. Mama tidak sabar juga ingin segeta memiliki cucu darimu dan Aji.”

“Mama sabar saja. Doakan agar Ajeng secepatnya hamil.“ Akhirnya Aji menimpali juga.

Usai makan malam keluarga, Papa juga mamanya sudah pulang. Aji yang melihat adanya Ajeng di dalam kamar menyempatkan bertanya. “Kamu tidak pernah mengkonsumsi pil pencegah kehamilan, kan?”

Kaget adalah reaksi yang Ajeng berikan. Bagaimana mungkin sang suami bisa-bisanya menuduhnya seperti ini. “Mas, kamu ini bicara apa?”

“Ya, siapa tahu saja kamu sengaja menunda kehamilan.” Tuduhan yang sangat menyayat hati seorang wanita.

“Kenapa Mas menuduhku demikian? Aku tidak pernah ada keinginan untuk menunda kehamilan, Mas. Justru yang ada aku ini ingin segera hamil dan punya anak agar tidak merasa kesepian.”

“Jadi kamu tidak suka aku minta berhenti kerja?” Dan Aji justru salah paham dengan semuanya.

“Astaga, Mas. Jika memang begitu, sudah sejak dulu aku menolak ketika Mas Aji memintaku tak lagi bekerja," ucap Ajeng sembari menggelengkan kepalanya.

“Lantas kenapa sampai sekarang kita belum memiliki anak juga.”

Ajeng hanya mampu menahan sabar demi bisa menjawab setiap pertanyaan serta tuduhan yang suaminya lontarkan. Seolah Aji ini tak ada Tuhan yang mengerti bahwa segala sesuatu di dunia ini hanya Tuhan yang sanggup mengaturnya.

“Ya, karena memang belum ada rejeki saja. Baru beberapa bulan juga kita menikah.” Wanita itu mencoba memberikan pengertian berharap sang suami agar segera paham.

Ajeng tak paham akan pemikiran suaminya ini. Kenapa sekarang jadi menuntut soalan anak segala. Padahal seharusnya mereka bisa menikmati dulu waktu untuk berdua selagi belum ada anak di antara mereka. Tapi rupanya sang suami seolah menyalahkannya yang tidak kunjung hamil di usia tiga bulan pernikahan mereka.

Tak mau berdebat dengan sang suami, Ajeng memilih diam saja. Tak membantah juga tak menyahut omongan Aji yang jujur sangat menyakitkan hatinya sebagai seorang istri. Dituduh yang bukan-bukan yang jelas tidak pernah Ajeng lakukan.

Ajeng memilih merebahkan dirinya ketika Aji ikut merangkak naik lalu mendekatinya. “Aku ingin segera punya anak darimu Ajeng, agar Mama tak lagi menuntut banyak hal seputar anak padaku.”

“Aku juga tidak keberatan memiliki anak darimu, Mas. Tapi semua kembali lagi pada rejeki yang Tuhan berikan untuk kita berdua. Jika ditakdirkan kita memiliki anak sekarang, maka aku pun akan cepat hamil. Yang penting kita tidak berhenti berusaha.”

“Oh ... tidak berhenti berusaha. Aku setuju. Jika begitu mari kita berusaha membuatnya. Akan kubuat kau hamil Ajeng.”

Rasa sakit hati yang sempat singgah di dalam hati Ajeng, kini menguap sudah seiring dengan perhatian juga kasih sayang yang Aji berikan. Inilah Aji yang terkadang sanggup membuat Ajeng melambung tinggi dengan semua sikap manis juga perlakuan yang baik padanya. Namun di sisi yang berbeda, terkadang Aji memperlakukannya tidak baik sampai membuat Ajeng sakit hati dengan kata-kata pedas yang kerap Aji lontarkan untuknya. Lama- lama Ajeng kebal juga telinganya karena seringnya Aji melampiaskan amarah kepadanya ketika sedang banyak kerja atau sedang banyak masalah. Meski seharusnya hal seperti itu tidak baik untuk kelangsungan rumah tangga mereka. Namun, rasa cinta yang Ajeng miliki untuk sang suami, meredam semua ego yang wanita itu miliki. Semua demi kebahagiannya kelak dalam berumah tangga bersama lelaki pilihannya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status