“Jadi Abang mau belikan aku perhiasan?”
“Enggak.”
“Loh terus ngapain di sini?”
“Cuma lihat-lihat.”
“Abang bohong pasti mau ngasih aku kejutan ‘kan, aku ga suka kejutan biar aku pilih sendiri aja Bang.”
“Siapa yang mau membelikanmu perhiasan?”
“Ya Abang lah, ini Bang aku suka yang ini.”
“Ini Pak, barangnya.” Penjaga toko malah menyerahkan paper bag padaku.
“Itu apa, Bang?”
“Ini hadiah buat sepupuku yang mau menikah.”
“Boleh aku lihat?”
“Enggak.” Aku menjauhkan paper bag itu dari jangkauan Santi, menyembunyikannya di balik badanku. Tapi Santi tak mau menyerah dia malah berusaha mengambilnya dariku.
“Saya Arga, salam kenal Mbak Nisa.” Lelaki muda itu tersenyum. Ramah pada istriku.“Ekhem-Ekhem.” Aku sengaja berdehem. Aku ini bukan lelaki bodoh yang tak peka, jelas sekali dia menyukai istriku. Caranya memandang Nisa. Tersenyum lalu gelagatnya sungguh mengundang curiga. Laki-laki itu terlihat sedikit gelagapan. Dia mulai mengulurkan tangannya padaku.“Saya Irwan, pemilik rumah ini.” Sengaja kurangkul pundak Nisa. Dia tak menolak, hanya menatap heran padaku, tapi kemudian tersenyum kecut sembari memalingkan wajahnya ke arah jalan raya.“Mbak Nisa, memang enggak kenal saya?” Nisa terlihat mengerutkan dahi, laki-laki ini kenapa gayanya sok akrab sekali dengan istriku.“Maaf saya lupa.”“Saya Agra adik kelas Mbak waktu di SMK, masih inget? Murid terlebay?” Nisa tiba-tiba saja tersenyum.&l
“Abang enggak punya alasan? Sudahlah aku pergi, wassalamu’alaikum.”“Sa, Abang mohon jangan pergi.” Kutahan kopernya agar tak bisa ditarik Nisa.“Kalau gak punya alasan, berati memang pernikahan kita juga sudah tak punya alasan untuk tetap bertahan. Lepaskan!”“Yasudah, kalau gitu biar Abang antar ke rumah Ibu.” Aku membawa kopernya menuruni tangga dengan cepat. Nisa terlihat kesal meski dia tak meluapkannya lewat ucapan. Aku menunggunya di depan pintu. Dia berjalan cukup pelan. Mungkin luka operasinya belum sepenuhnya sembuh.“Aku bisa pulang sendiri Bang, kembalikan kopernya!”“Udah biar Abang aja!” Aku segera memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil.” Sialnya saat aku sibuk dengan kopernya Nisa malah sudah berjalan ke luar gerbang.Bodoh! Kenapa aku malah fok
“Tunggu sebentar Sa, mobil itu yang di depan benar milikmu atau pemberian orang lain?”“Memangnya siapa yang mau memberiku mobil, Bang?”“Ya, mungkin aja Pria lain.” Nisa malah tertawa.“Abang pikir aku punya selingkuhan lalu memerasnya untuk mendapatkan mobil?”“Hmmm lalu itu mobil dari mana?”“Sudah kubilang itu mobilku. Abang selalu memberiku banyak uang dan semua itu aku kumpulkan. Aku tak sehina itu untuk membalas pengkhianatan abang dengan hal yang sama.” Aku terdiam sejenak. Apa memang benar dia membeli mobil memakai uangku. Aku memang selalu memberinya uang banyak. Pantas saja dia tak pernah memakai pakaian yang modis ternyata uangnya disimpan sampai jadi mobil. Soal uang aku memang tak pernah perhitungan dengannya, tapi hebat juga ya bisa cukup untuk membeli mobil. Rasanya sedikit aneh
Langkah kami terhenti. Sejenak pandangan kami bertemu. Tampak jelas di sana, bibir Nisa sedikit bergetar seolah hal yang akan dia katakan penuh kesakitan.“Enggak kok, aku akan tetap di sini.” Istriku tersenyum canggung, meski aku kurang peka, tapi jangan berbohong di depanku juga. Pasti ada sesuatu yang sedang disembunyikan.“Sudahlah ayo pergi! Seharusnya akan lebih baik kalau kita pergi ke sini saat malam jadi bisa menyaksikan pertunjukan air mancurnya.” Nisa malah mengalihkan topik pembicaraan kami. Kini dia bersiap melangkah pergi. Kutarik lengannya lalu menenggelamkan tubuh kurus itu dalam pelukan. Bobotnya banyak berkurang setelah aku memintanya untuk berbagi suami.“Malu Bang, dilihat orang.”“Aku enggak peduli Sa, jangan pergi. Kemarin aku hampir saja kehilanganmu, kamu membuatku takut.”“Bang jangan begini, lepaskan
PoV Irwan“Kang, ini hot tangnya.” Penjual makanan itu malah menyerahkan hot tang padaku, sedang emosi begini Hutang hotang, menjengkelkan sekali.“Tunda saja dulu Bang, nanti saya ambil. Ini uangnya ga usah kembalian, saya ada urusan sebentar.”“Alhamdulillah, makasih Kang,” ucap penjual itu, kulirik sekilas dia begitu bahagia hanya karena kembalian 30 ribu yang tak kuminta.“Mana Zifia Han, Kamu tinggalkan dia di rumah?” tanyaku sinis.“Maaf Bang ini cuman salah paham di-dia sekertarisku.”“Sekertaris kamu bilang? Mau dia siapa mu aku tak peduli, kenapa pakai suap-suapan segala? Keluar kamu!” Reihan tampak gugup tapi dia keluar juga, sedang perempuan yang bersamanya tampak gemetar ketakutan, tapi dia tetap duduk di sana.“Zifia lagi hamil kamu malah selingkuh, otakmu
PoV NisaSaat kita hidup sederhana di rumah kecil yang halaman depannya mengarah pada pesawahan. Kita sering makan di gubuk tengah sawah, meski lauk pauknya sederhana hanya tempe goreng dan ikan asin. Aku merasa sangat bahagia, perlakuanmu saat itu begitu manis. Terlebih ketika kamu menyuapiku sembari mengucapkan janjimu.“Setelah kita sukses nanti, kita akan kembali ke tempat ini, menyuapimu lagi seperti ini, tapi tentunya bukan dengan ikan asin, ikan gurami mungkin.” Lelakiku itu tertawa kecil. Aku tak bisa ikut tertawa waktu itu, malah menangis terisak. Hidup kami pas-pasan sekali, tapi entah kenapa rasanya lebih bahagia saat kami lebih sering kekurangan dibanding sekarang serba berlebihan tapi tak ada lagi cinta di dalamnya. Dia mengusap pipiku pelan-pelan.“Jangan nangis,” ucapnya lembut. Dia mengangkat lenganku, lalu menempelkan telapak tanganku di kepalanya. Bang Irwan mengangkat tanganya dan menaruhnya
PoV IrwanSejenak keheningan tercipta, netranya menatapku dalam diam.“Kamu ragu?” tanyaku kembali. Dia kembali mengangguk, seketika ada perasaan bahagia yang mulai mendesir ke dalam hati, meski belum yakin sepenuhnya. Aku telah berhasil membuat dinding keyakinannya mulai goyah. Tinggal sedikit lagi untuk membuatnya roboh.“Ayo pergi Bang, kita jalan lagi. Reina Raina, sudah habis ‘kan? Kita ke sana liat air mancurnya.”“Ayo, Mah.” Kedua anak kecil itu bersemangat sekali. Mereka menggandeng tangan papahnya dengan erat. Bang Irwan menatapku sambil tersenyum, baru tadi pagi dia memohon agar mau diimami salat subuh, sekarang mereka telah lupa dengan kesalahan Papahnya. Anak-anak memang mudah sekali berubah. Andai saja kamu juga seperti itu Bang.“Pah lihat deh ke sana, ada gelembung.”“Raina mau?” tanyaku.
“Abang kok belain Mbak Nisa?”“Ya kamu aneh jadi aneh. Orang Nisa enggak cemburu. Kenapa malah maksa?”“Ih, Abang.” Dia malah semakin merajuk. Seperti inikah perempuan seharusnya, Bang? Yang tempo hari kamu bilang harus bermanja-manja padamu? Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya, kalau menyaksikannya sendiri aku pun muak.“Pokoknya Abang harus ikut aku!” Dia menarik Bang Irwan dengan paksa. Tenaganya itu kenapa kuat sekali atau memang Bang Irwan yang tak mau menahan diri agar tak ikut dengannya? Aku ini terlalu lugu. Tentu saja dia lebih memilih Santi dari pada aku. Dia lebih muda, gesit dan tentunya dia sempurna sebagai perempuan. Bukan sepertiku yang tak punya rahim.“Papah, Papah mau ke mana?” Si Kembar berteriak memanggil Papahnya yang di bawa pergi. Mereka baru menyadarinya saat Bang Irwan sudah agak jauh. Suamiku terlihat menengok k