Share

ada kebencian

semakin menunduk, agar mas barra tak menyadari .

Aku bisa bernafas lega, mas barra tak mengenaliku, karna aku yang jauh berbeda dengan dulu tak ada jilbab, tak ada wajah kusam dan tak juga telihat tua.

Tak bisa membayangkan bagaimana menertawakan dengan keadaanku sekarang. Harusnya dari dulu aku menyadari bahwa roda berputar, kehidupan akan berganti. Aku meninggalkan mas barra demi mas damar yang mengejarku dan dengan harta yang lebih banyak.

Aku menunggu beberapa saat sampa makan malam keluarga selesai. aku tak lapar, hanya lelah aku ingin segera pulang.

Langah kaki terdengar teratur, aku menengok ada gadis berambut menutupi bahunya, tangannya penuh dengan piring kotor yang tertumpuk.

“ Biar saya saja, nona”

Aku meraih piring-piring yang di bawanya tapi ia memertahan. Dan memasukan ke wastafel.

“Nggak papa saya saja, disana masih ada bekas sayur tante” dengan ramah ia mengatakan.

Mas barra masih duduk disana, Aku menghindari bertatap muka dengannya aku khawatir ia mengenaliku, menertawakan, menghina atu mengejekku itu banyak kemungkinan yang ada di fikiranku.

Kakiku melangkah cepat, menuju dapur,

“ hei, ini semua masakanmu?” Aku mengangguk pelan tanpa masih membelakanginya.

“ lain kali mas yang benar, jangan terlalu pedas” ucapnya aku semakin menuduk dan melanjutkan berjalan. Mas barra ternyata masih tak suka dengan makanan pedas, aku sudah membuatnya tak pedas. aku menghela nafas beratku.

“aw aw pedih” suara gadis itu, ia sedang mengucek matanya. Tanganya penuh dengan busa sabun, aku membenarkan rambut yang terurai yang hampir menutup wajahnya.

“ tenang non kita basuh pakai air biar nggak tambah pedih” aku merangkul pinggangnya mengarahkan ke depan wastafel mengisi tanganku dengan air lalu pelan-pelan membasuh matanya yang terkena busa sabun entah gimana caranya busa sabun bisa sampai ke matanya bukanya dia tahu kalau itu pedih.

Berulang kali mengusap mata hingga ia bisa membuka matanya, aku bergeser ke lemari penyimpanan handuk bersih mengeringkan air yang tersisa.

“ sudah lebih baik” dia hanya mengaguk matanya kini kemarahan.

“ aku memang ceroboh, soalnya ada nyamuk deket mata nggak sadar langsung aku pukul eh busaya kena mata” ia nyengir.

Aku beralih berdiri di depan wastafel membilas piring-piring yang masih penuh sabun melakukan dengan cepat.

“ Non hebat, rajin lagi” aku memujinya.

“ Ini juga karna terpaksa, aku sedang menjalani hukuman” dia tertawa.

“ Oh ya, jadi sekarang aku melakukan untukmu, agar hukumanya tatap di di jalani” aku menata piring di rak piring basah, lalu terdengar gelak tawa darinya.

“ oh ya, sudah lama bekerja dengan nenek?”

“ baru beberapa hari”

“ betah disini?” aku menatapnya mengembangkan senyum padanya,

“ nenek non orang baik, nggak ada orang yang nggak betah disini”

“ nenek galak lo tante” kini ia tertawa aku hanya tersenyum melihat gadis ceria.

“ Lintang, di panggil nenek” suara bariton menghentikan suara tawanya mendadak ruangan senyap, aku dan lintang itu, melihat kearah suara. Mas bara sudah berdiri disana. Entah sejak kapan bahkan kami tak menyadarinya.

Netra kami saling bertemu, lalu cepat ku menunduk aku tak kuasa melihat mata yang dulu menatapku penuh cinta.

Lintang cepat mengusap lenganku dan melangkah cepat menuju ruang belakang aku mengangguk padanya.

Kini hanya kami berdua, beberapa saat tak ada suara, suasana mendadak hening. Mas barra nampak berbeda, wajahnya glowing, ototnya makin jadi di balut dengan kemeja slimfit putih membuatnya begitu terlihat pantas.

“ ma.. eh tuan ada yang bisa saya bantu atau tuan ingin sesuatu” ucapku memecah keheningan. Pertemuan pertama yang kaku, setelah bertahun tahun tak pernah bertemu masing-masing dari kami membuat perubahan.

Ia tak menjawab, ia terus memandangku tanpa aku tahu arti sorot di matanya.

“ tuan membutuhkan apa?” ucapku sekali lagi.

“ semua tak akan tetap sama, lihat kamu sekarang” kalau yang dia maksud tentang penampilanku dan wajah kusamku yang berangsur tua aku tahu keadaanku tak seperti dulu. Mas barra mengejekku. Mas barra lelaki dinamis, selalu berbicara manis humoris, ambisius, pintar dan cukup tampan, tapi yang berdiri di depanku sosok yang lain, lelaki dewasa dengan sifat dinginya dan bermulut pedasnya.

Langkahnya tenang, beberapa langkah lalu berbalik arah padaku.

“ jangan ganggu anak saya.” ucapnya lalu pergi meninggalkan ku sendiri.

Aku berulang kali menghela nafasku, tak pernah terfikirkan olehku ternyata aku di pertemukan kembali dengan mas barra.

Aku berpamitan lebih dulu pada buk soraya, aku sudah menyelesaikan semua pekerjaanku. Ia membawakan sisa makanan dan bebarapa kue dan pie untukku. Jalan komplek lengang meski masih sore, sekitar jam tujuh aku keluar dari rumahnya. Aku tak sabar sampai rumah untuk memeberikan kue dan pie sebagai oleh-oleh.

Baru saja melewati rumah bu yuni tinggal beberapa langkah sampai rumah.

“ tante, ayo barengan” lintang baru saja membuat kaca mobil, aku terperanjat di buatnya swpanjang perjalanan aku banyak melamun. Mas barra hanya siam saja wajahnya menatap kearah ke depan tanpa menatap menengok kearahku.

“ nggak non, rumahnya udah deket” aku menunjuk rumah kedua dari kami berhenti.

“ yaudah tante, aku duluan” ia mengembangkan senyum. Mas barra beruntung memiliki anak seperti lintang baik hati dan ceria.

Aku mengawasi mobil mas barra melaju dan saat sampai di depan rumahku mobilnya melaju dengan begitu pelan, aku meneruskan langkahku sampai di pinggir rumah mobil lain keluar dari area rumahku. Aku tak mengenali mobil asing itu, bukan juga mobil yang di bawa mas damar saat terakhir ia datang ke rumah.

“ Rai..” pintu sudah raisa membuka pintu, Aku masuk rumah, diatas meja ada kotak martabak, aku menyodorkan plastik berisi kue dan pie padanya, ia mengembangkan senyum.

Aku duduk di kursi bersandar di punggung kursi.

“ Siapa yag kesini ya?” ia mengikuti duduk di sebelahku.

“ tante lita” aku mendengkus, meluruskan pinggangku kembali, apakah semua anggota keluarga mas damar ia kerahkan untuk membujuk raisa mau tinggal di rumahnya mas damar benar benar egois.

“ Tante lita ngomong apa” raisa hanya menggeleng, lita mungkin terlibat.

“ Tante lita bawain martabak, sama mie ayam. Mie ayamnya udah yaya makan”

“ Cuma satu?” ia mengguk.

“ tantemu itu keterlaluan”

“ Katanya ibu nggak suka mie ayam, ada martabak aku nungguin ibu agar bisa makan bareng” satu porsi mie ayam sudah membuat raisa kenyang tapi demi menjaga perasaanku, katanya ia menunggui ku untuk makan bersama.

Ia memulai dengan memakan satu potong berada di tangannya. Ia juga menyuapkan padaku.

“ Sayang, ibu sudah kenyang” ucapku sambil mengunyah martabak penuh di mulutku sambil tertawa.

Mataku sulit terpejam, harusnya tak perlu memikirkan terlalu keras bukankah semua sudah ada yang mengatur.

Aku tersenyum getir, mas damar yang katanya dulu akan membuat kehidupan kami sejahtera, membahagian kami tapi sekarang tak ada buktinya, bahkan untuk adil saja tak mampu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status