happy reading jangan lupa kasih luv💖“raisa” ucapku, raisa masih betah di kamar meskipun aku sudah pulang, ia selalu sibuk dengan ponselnya hanya gelak tawa yang aku dengar. Bukan karna mengobrol denganku tapi ia tertawa karna melihat ponsel pintarnya.“ oiya hampir lupa, tadi ada yang kesini nyariin ayah, raisa bilang nggak ada terus nyariin ibu?”“ siapa, raisa kenal?” ia menggeleng.“katanya mau kesini kalau ibu pulang” ucapnya lagi.Aku tak pernah membuat janji dengan siapapun apa lagi laki-laki, kalaupun teman mas damar bukannya mereka tahu kalau mas damar sudah menikah lagi dan tk tinggal disini.Aku sudah selesai sholat magrib dan membaca belembar mushaf alquran, raisa lebih dulu makan, ia lebih suka memesan dari pada yang aku masak, mas damar menghujaninya uang.Aku mengunyah satu suap capcay, buk soraya selalu membawakan sayur yang aku masak sebagian untukku. Suapan terakhir lalu aku meminum air putih. Membawa piring kotor kedapur untuk langsung mencuci.“Tok tok” aku segera
“ La, aku menikahi aruna” suara berat mas damar terdengar samar olehku kepalaku mendadak pusing.“ kami membuat usaha bersama, ini nantinya buat kamu juga biar kamu hidup enak” mas damar membuat alasan tak masuk akal untukku.“ tanpa kamu bilang setuju atau tidak aku sudah menikah denganya, beberapa hari yang lalu akad nikah kami” bagai petir di siang bolong ucapan mas damar benar-benar membuatku membeku.“ mas ini tidak benar, pernikahan bukan agar hidup enak setelahnya”“ lalu apa yang kamu lakukan dulu menikah denganku agar hidupmu enak setelahnya. Dan sekarang aku bangkrut, jadi buruh serabutan” mas damar tersenyum menyeringai mengingat bagaimana aku yang dulu suka dengannya karna dia banyak harta.“ tapi itu dulu mas, pelan-pelan aku coba berubah untuk menerima semua keadaan kita, berusaha sebaik mungkin iamenjalani takdir” urat leherku menegang bicaraku setera dengan mas damar mencoba menjelaskan bagaimana aku juga berusaha keras melatih diri untuk bisa menerima takdir.Mas
Aku mengusap kedua mataku, rasanya berat untuk membuka, hampir semalaman aku menangis, menghentikan mas damar pun aku tak mampu. Hanya penyesalan yang aku rasakan sedikit banyak keputusan yang diambil mas damar juga karna ku. Untuk memenuhi semua keinginkanku dan raisa.“ Buk, ada sepatu bagus nih, beli ya” raisa baru keluar dari kamarnya. Ia masih fokus menghadap layar ponselnya seingatku belum ada sebulan yang lalu ia juga memesan sepatu di marketplace orange dan itu masih beberapa kali pakai. Aku masih menunduk tanpa melihat, berusaha menyembunyikan mata sembabku. “ Lihat deh buk” raisa kini duduk di sebelahku ia menyodorkan ponselnya aku bahkan tak tertarik untuk melihatnya.“ Bukanya sebulan yang lalu baru beli sepatu yaya?” suara parau ku terdengar olehnya ia sibuk menatap wajahku yang masih tertunduk. “ ibu kenapa?, ibu abis nangis?” netra kami saling menatap. Mata beningnya masih mengawasiku dengan wajah yang penuh tanya. Aku mengusap hidungku yang berair mengalihkan pan
“Ibu kasian sama kamu mar, belasan tahun menikah dengan laila bukanya makin sukses ini makin susah hidup, padahal awal awal papamu berbaik hati ngasih salah satu cabang tokonya.Tapi kamu nggak bisa kelola” aku membasahi bibirku setelah mendengarkan ucapan ibuTak terucap sepatah kata pun untuk menjawab ibu, kadang ada benarnya yang di katakan ibu. setelah belasan tahun hidup bersama laila kondisi perekonomianku semakin sulit.“ sebelum kamu di tinggalkan karna jatuh miskin lebih baik kamu tinggalain aja dulu laila” ibu masih belum merestui kami untuk bersama meski sudah ada raisa.“ laila dan raisa kan tanggung jawabku bu” aku menimpali ibu lirih, tanpa melihat kearahnya.“ raisa iya anakmu. Tapi laila, kalau kalian berpisah dia bukan tanggung jawabmu lagi kan” aku tercenung mendengar ucapan ibu. Setelah itu ini beranjak dari sofa menuju dapur, rumah besarnya masih sama nyaman dan terawat. Ibu masih memeperkerjakan bi nah dirumah ini, sedang lita adik perempuanku di rumah suaminy
“ raisa” aku mengetuk pintu kamar raisa, sedari kemarin tak keluar kamar, aku tau ia sedang marah, entah marah pada mas damar, padaku atau pada dirinya sendiri.“ Sayang” sebelum aku mengetuknya lagi raisa sudah membukanya dan berdiri diambang pintu siap dengan seragam biru putihnya. Tak sepatah katapun yang ia ucapkan. Ia lalu berjalan menuju meja makan meletakan tas beratnya duduk dan meneguk segelas air dalam gelas.“ telor mata sapi” aku menghidangkan di piring di depan raisa, ia mendongak mata beningnya menatapku ia menyimpan kesedihan dan itu membuatku sesak. Ia tetap diam tak ada protes dengan apa yang aku masak. Aku ingin mendengar ia mengatakan bosan dengan masakan telor goreng, aku juga ingin mendengar ancaman ia tak mau makan lagi kalau menu nya masih sama seperti biasa saat ia sedang ceria.Raisa hampir menghabiskan isi piringnya mengunyah dengan cepat meski terlihat sulit menelan karna menahan tangis. aku menghentikan kunyahanku menatap raisa yang kini menahan bulir di
Aku kekamar mencari dompet kecil berwarna merah muda, tempat biasanya aku menyimpan uang. Aku mendengkus saat yang kudapati hanya satu lembar uang sepuluh ribuan dan satu lembar uang dua ribuan. Aku mengoyangkan dompet memastikan tak ada yang tertinggal disana dan benar saja pecahan lima ratus perak menggelinding di lantai sempat kaki menahanya agar tak menggelinding semakin jauh. Setidaknya ini cukup untuk membeli sepapan tempe dan beberapa potong tahu. Dan setelah ini aku harus mencari pekerjaan. menerima uang dari mas damar rasanya berat. meski ia mengatakan ini hak ku dan lain sebagainya.Warung buk bariah seperti tak kehabisan pembeli bahkan di siang hari seperti ini. Buk yuni sudah membawa satu kresek besar sayuran hijau, bayam, kangkung, ayam dan entah apa lagi. Ia sudah selesai berbelanja tapi ia duduk di bangku kayu diikuti mbak utami yang belum dapat apa-apa.“ Buk, beli 2 tempe dan tahunya lima ribu aja ” buk bariah masih sibuk memilah kulit bawang merah yang mengering.
Bab 6LiburanRumah besar berwarna olive muda dan warna putih di beberapa kusennya, asri bergaya klasik. Suasana terlihat lengang aku memberanikan untuk mendekat mengetuk pintu rumah.“ assalamualaikum” ketukan pertama belum ada sahutan dari dalam, kuulangi lagi sampai dua kali belum juga ada sahutan. Ku melepaskan nafas beratku mengurungkan untuk mengetuk lagi memilih pergi. Baru tiga langkah handle pintu terdengar di tekan perlahan aku membalik badan. Aku menatap seseorang baju tarakota berdiri di ambang pintu, rambutnya rapih clean bagian depan cepol belakang, hanya sedikit keruput yang terlihat wajahnya masih berseri aku tebak ia rutin melakukan perawatan salon.Aku mendekat sambil membenahi ujung jilbabku yang aku kaitkan di bahu.“ bu permisi, apa masih nerima pekerja buat bantu-bantu dirumah ini” tak menjawab ia hanya menganguk sekali lalu mempersilahka untuk masuk rumahnya.Aku memperhatikan setiap sudut rumah, terawat dan rapi. Aku mengekor pada perempuan berjalan l
DamarBerat meski hanya untuk menampakkan wajahku padany,a laila terlanjur sakit hati. aku beranikan melangkah menuju rumah, mungkin saja laila masih mengis seperti yang ia lakukan saat terakhir aku kerumah ini.Aku menatap atap rumah yang sudah tak kokoh hanya tinggal beberapa bulan lagi rumah ini bisa di tempati aku menyewanya hanya satu setengah tahun tanpa sepengetahuan laila.Atas keinginan ibu aku menjemput raisa, berusaha berbakti padanya dengan mengikuti semua yang ia katakan termasuk menikahi aruna.“ Raisa” tak ada sahutan dari dalam, pintu langsung terbuka saat aku mendorongnya. Sepi dan lengang. Tak terdengar suara ribut benturan wajan dan spatula saat laila masak, atau teriaknya saat membangunkan raisa.“Laila” ucapku lirih, menuju kamar kami tak kudapati ia disana, semua terlihat rapi bantal yang sudah tertata dan mukena yang terlipat di letakan kursi kayu dan di nakas alquran yang terbuka, aku menutupnya. Setelah membaca laila lupa menutup dan meletakan dengan benar.