"Apapun yang dilakukan di klinik ini adalah bagian pengobatan."
Suara Salsa mendesah manja di telinga Indra. Hal yang tidak pernah dia dengar dari Bella. Apapun yang dilakukannya, Bella selalu diam dan menahan dirinya kalau sedang bercinta dengannya. Indra sudah berhasil melepas semua kancing kemeja Salsa dan melemparkannya sembarang tempat. Kini, di bawahnya terpampang jelas Salsa dengan bentuk tubuh yang indah, dua bukit kembar yang menantang di balik bra renda berwarna hitam. "Baiklah, aku akan segera sembuh," jawab Indra di sela decapannya. Indra seperti orang yang sedang kesurupan. Dia meraba, menjilat dan mencium setiap inci kulit Salsa. Dengan satu kali sentakan, dia berhasil melepaskan pengait di belakang tubuh Salsa. "Inilah obatnya..." desah Salsa yang juga tidak mampu lagi menahan hasratnya karena serangan Indra yang brutal. Salsa menarik kepala Indra hingga tenggelam diantara kedua dadanya, Indra berada di aliran parit kecil yang siang tadi selalu dia curi pandang. "Aku pasti bisa," jawab Indra. Salsa tersenyum sambil memejamkan matanya, kemudian dia menggigit bibirnya saat Indra dengan begitu lihai bermain di area dadanya. Melihat dari kemampuan Indra ini, Salsa pastinya tidak percaya kalau Indra memiliki masalah pada keperkasaannya. Karena semua terlihat seperti normal. Indra bahkan bisa membangkitkan hasratnya dengan begitu cepat. Indra sudah seperti kucing saja, dia merambati seluruh tubuh Salsa sambil melepaskan rok yang melekat pada tubuh Salsa, hingga kini perempuan itu hanya berbalut kain terakhir berwarna senada dengan bra nya, yang menutupi bagian bawah pahanya. Ketika kepala Indra berhenti tepat di antara kedua paha Salsa, dia mendongak. "Apakah yang ini juga bagian dari obatnya?" tanya Indra sambil tangannya bermain diperut Salsa, kemudian menelusuri aksen renda celana dalam Salsa itu. "Tentu saja, jika kamu bisa menembusnya, maka kamu dinyatakan sembuh," jawab Salsa sambil menggigit bibirnya menahan sensasi hangat yang menjalar keseluruh tubuhnya. "Ahhhh..." desah Salsa yang akhirnya lepas dari mulutnya. Suara itu semakin membuat Indra bersemangat. Adik kecil yang menjadi pemicu masalahnya dengan Bella kini berdiri dengan tegak, seperti anggota paskibra sedang latihan baris berbaris. Dengan menggunakan mulutnya, Indra menarik pelan kain renda segitiga itu ke bawah. Salsa tersenyum, Indra benar-benar telah menguasai secara teori. Dia mempraktekkan apa yang dia tulis di bukunya saat si pemeran utama sedang bergumul dengan pasangannya. "Kamu bisa seperti Joni..." gumam Salsa yang kini tangannya bermain di dadanya sendiri. "Benarkah?" tanya Indra. "Iya, kamu hebat," puji Salsa. Mendapat pujian dari mulut Salsa membuat Indra semakin merasa dihargai. Selama ini, setiap kali berhubungan dengan Bella dia selalu dituntut, Bella selalu mewanti-wanti jangan sampai Indra gagal lagi, itu membuatnya tertekan hingga akhirnya permainan tidak pernah sampai ke inti, gagal lagi dan gagal lagi. Tapi, berbeda dengan Salsa. Dia memberikan pujian dan rangsangan balasan, sehingga membuat "dia" masih bisa berdiri sampai saat ini, sudah beberapa menit permainan mereka. Indra mengambil alih kerja tangan Salsa, dia memberikan sentuhan lembut sebelum tangannya bermain di area bawah tubuh Salsa. Salsa memejamkan matanya, permainan tangan Indra sudah cukup mahir. "Aku akan melakukannya..." bisik Indra di telinga Salsa. "Silakan..." Indra sudah bersiap-siap memegang "dia", kedua kaki Salsa dilebarkan. Dan pada saat pertama kali dia memasuki tubuh Salsa, miliknya masih bisa berdiri seperti seharusnya. Bahkan dia berhasil membuat Salsa mengerang. Tapi... Detik berikutnya, si "dia" langsung lemah terkulai. "Ayolah, kenapa harus sekarang..." ujar Indra yang masih berusaha membangunkannya. Salsa paham, dia tidak marah sekalipun ada rasa sedikit rasa kecewa, karena dia sudah siap. Tapi, ternyata disaat pertempuran sedang sengit, lawannya justru mati tanpa sebab. "Tidak apa, dia sudah hebat kok," ujar Salsa sambil memegang dada Indra. Indra masih berada di atas tubuh Salsa, dia terduduk lemas. Malu dan kesal bercampur menjadi satu. Dia yang menantang melakukan ini, tapi dia juga yang kalah. "Namanya pengobatan, tidak langsung sembuh, kan? Semua butuh proses, dia juga butuh latihan yang sering," sambung Salsa sambil meminta Indra turun dari tubuhnya. "Tapi, seharusnya tidak seperti ini, kan?" "Dia sudah bertahan cukup lama. Ada sekitar dua puluh menit. Bukankah biasanya dia tidak bertahan lama?" ucap Salsa sambil turun dari ranjang mengenakan kembali semua pakaiannya yang teronggok sembarangan di lantai. "Iya." "Itu artinya sudah ada perubahan." "Dok, boleh coba lagi?" tanya Indra sambil menahan tangan Salsa yang ingin mengenakan bra nya."Bu...""Jangan mendekat! Kau jahat!" teriak Seva lagi.Seva menunjuk ke arah Indra dengan tajam. Matanya menyala merah.Salsa berusaha menenangkan dengan memeluknya.Sementara Indra memegang wajahnya yang terasa panas akibat tamparan dari Seva tersebut.Iya, Indra lah yang ditampar oleh Seva dengan begitu keras. Bahkan tatapan matanya menunjukkan kebencian yang begitu besar kepada Indra.Sungguh tidak disangka kalau Seva menampar Indra. Awalnya Indra menyangka kalau Seva mengenalinya dan menyadari kalau kini anaknya sudah besar."Sayang, aku ajak ibu masuk ya," ujar Salsa kepada sang suami."Iya, Sayang.""Kamu gapapa?" tanya Salsa khawatir.Indra mengangguk sambil tersenyum. "Aku gapapa."Salsa kembali mendorong kursi roda Seva ke kamarnya, tidak banyak bicara.Apalagi melihat Seva sedang begitu emosional. Bahkan, dia memegang besi pegangan kursi itu sangat erat.Mungkinkah, Seva melihat Indra mirip Tomy. Dan, dia begitu dendam kepada Tomy?"Suster, tolong tenangi ibu ya," ujar Sal
"Bagaimana dengan kalian?" tanya Indra kepada Rudi yang tampak sedang menikmati rokoknya di pagi hari."Lita masih berpikir, Pak.""Kamu tetap memaksanya bekerja?" tanya Indra sambil menatap sang ajudan lekat-lekat."Maunya sih begitu, biar ibuku ada temannya," jawab Rudi."Kendalanya apa?""Lita masih mau kerja. Dan juga kan, kebetulan kami bisa bekerja di satu tempat," jawab Rudi sembari mengembuskan asap rokoknya.Indra mengangguk. "Sepertinya kamu yang harus mengalah dan pahami lagi tujuan kalian menikah. Kalau untuk teman ibumu, kamu bisa sewa perawat.""Saya sih maunya begitu, Pak. Tapi, Ibu saya memaksa istri saya harus tinggal bersama dengannya.""Apa ibumu bisa meyakinkan akan memperlakukan istrimu dengan baik?" Rudi tidak menjawab, dia sendiri pun mungkin bingung dengan keinginan ibunya.Rudi seperti sedang makan buah simalakama. Dimakan mati emak gak dimakan mati bapak.Padahal seharusnya, ibunya yang mengerti keadaan anaknya, bukan malah membuat anaknya ragu."Berikan pen
Akhirnya, hari pernikahan Indra dan Salsa tiba..Tawa dan tepuk tangan bergema, memenuhi ruangan yang dipenuhi bunga segar. Kilau lampu kristal menari di permukaan meja, menyilaukan mata seolah ingin menegaskan bahwa hari itu hanyalah tentang kebahagiaan. Semua orang larut dalam suasana, namun di balik senyum yang ia pajang, dada Indra menyimpan sesuatu yang tak bisa dibagikan kepada siapa pun.“Indra,” suara berat Tomy terdengar di telinga. Pria paruh baya itu menepuk bahu Indra dengan bangga. “Kamu membuat Papa terharu hari ini. Kamu tampak dewasa, bertanggung jawab, dan bahagia.”Indra membalas dengan senyum kecil. “Terima kasih, Pa.”Yulia ikut mendekat, meraih tangan Salsa. “Kau sekarang resmi menjadi bagian keluarga ini. Kami bangga padamu, Nak.”Salsa tersipu, lalu menunduk sopan. “Aku yang berterima kasih. Papa dan Mama menerima aku dengan terbuka, meskipun tahu darimana aku berasal.”Indra menatap keduanya. Dari luar, semua tampak sempurna, orangtua yang penuh cinta, istri
"Aku harus mencari tahu."Indra tersenyum ke arah Salsa. Di dalam kepalanya, dia yakin kalau memang apa yang terjadi pada ibunya asal muasalnya pasti karena Tomy."Kenapa kamu malah mencurigai Papa? Bukankah Papa yang telah mempertemukan kamu dengannya? Papa juga yang membiayainya, dan itu tidak murah," tanya Salsa heran.Apalagi, menurut Tomy juga apa yang dia lakukan juga atas persetujuan Yulia, istrinya."Justru itu letak anehnya," jawab Indra."Kenapa?""Sejatinya, seorang wanita itu pasti tidak akan senang kalau pasangannya memikirkan orang lain, apalagi itu mantannya. Meskipun katakanlah ibu tidak lagi waras. Biasanya, yang sudah mati saja kerapkali dianggap saingan. Tapi, ini Mama Yulia santai banget," jawab Indra."Bukannya bagus? Itu artinya Mama Yulia sangat baik dan bisa menerima Papa apa adanya.""Menerima apa adanya, atau karena ada apanya?" tanya Indra."Aku angkat tangan, aku gak ngerti loh maksud kamu," ujar Salsa.Indra tertawa. "Siapa tahu, aku dan ibu sengaja di tum
"Hah? Kenapa harus yang ini?" tanya Indra setengah tidak percaya dengan apa yang dia lihat."Ini sangat menarik, ceritanya berbeda dari yang lain."Tomy hanya bisa menahan senyum. Dia tahu, Indra sangat malu dengan buku-bukunya yang terdahulu.Dan Yugo malah memilih buku yang tidak ingin Indra ingat."Hasrat Menggelora di Bilik Tetangga."Itulah buku yang dipilih oleh Yugo, yang akan diadaptasi ke film komedi romantis. "Tapi, buku ini isinya..."Indra bahkan tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Mengingat isi buku itu benar-benar kacau dan memalukan baginya."Saya sudah membaca, ini lucu dan juga masih aman untuk difilmkan," jawab Yugo."Kalau menurut Bapak demikian, saya menurut saja," ujar Indra.Sebenarnya, Indra berharap kalau Yugo meminang buku terbarunya yang menjadi best seller untuk diadaptasi menjadi film.Tapi, malah buku yang tidak di duga-duga."Mengenai pembagian hasil...""Saya belum berpengalaman untuk hal ini, Pak. Jadi, saya percaya saja kalau Bapak tidak akan mencu
Indra menghentikan langkahnya, dia melihat ke arah Seva.Tapi, wanita itu masih sama saja. Tanpa ekspresi. Bahkan tidak menunjukkan kalau dia baru saja memanggil Indra."Ini Indra, Bu," ucap Indra mendekat.Indra meraih tangan Seva, berharap wanita itu mengenalnya.Tapi, Seva masih sama saja. Dia malah menggeleng. "Indra menangis, dia pasti lapar," gumam Seva.Indra memejamkan matanya. Waktu untuk wanita ini terhenti saat Indra kecil. Berarti, ada kemungkinan dia meninggalkan Tomy bukan karena keinginannya, tapi sebuah keterpaksaan."Indra mencariku," sambung Seva lagi.Indra menatap Tomy. "Apakah benar dulu dia meninggalkan Papa?"Tomy mengangguk. "Iya. Tapi, Papa tidak tahu apa masalahnya. Dia tidak meninggalkan pesan ataupun tanda.""Terus?""Papa sudah berusaha mencari, tapi tidak menemukannya," jawab Tomy."Jangan-jangan waktu itu dia pergi karena ada yang memaksanya," gumam Indra."Entahlah, waktu itu tidak ada yang melihatnya. Juga, tidak ada cctv. Jadi, Papa benar-benar tidak