LOGINHari sudah gelap ketika Indra tiba di apartemen. Pikirannya berkecamuk, masih terbayang bagaimana proses pengobatan yang dia lewati hari ini.
Aneh dan tidak biasa, tapi dia menikmatinya. Godaan dari klinik itu membekas di kepalanya, bagaimana senyuman Salsa dan cara berjalan Lita. Bahkan di masih bisa mencium aroma tubuh Salsa yang sempat begitu dekat dengannya, bibir tipis yang basah dan hampir saja dia nikmati tadi. “Klinik yang tidak biasa,” gumam Indra. Kriet! Langkah Indra berat saat membuka pintu apartemen. Semua ruangan sudah terang, lampu-lampu sudah dinyalakan, itu artinya Bella, sang istri, sudah pulang ke rumah. Bahkan Bella tidak mencari tahu kemana dia pergi saat pulang dia tidak dirumah. Kadang, Indra sempat berpikir apa arti dari hidupnya ini. Kini, dia berkeluarga tapi rasanya hampa, seperti tidak berkeluarga. Aroma kopi dari dapur menyambutnya, tapi tak mampu menenangkan hati yang berkecamuk. Indra menaruh kunci di meja, duduk di sofa, dan mengusap wajahnya yang lelah. “Dia bahkan tidak menyambut suaminya pulang,” keluh Indra melirik ke arah dapur, dimana disana, Bella sedang menyeduh kopi, seperti kebiasaannya. Indra menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, tubuhnya terlalu lelah juga pikirannya. Ting! Ponsel Bella yang tergeletak diatas meja berbunyi, sepertinya ponsel itu ketinggalan di sana. Biasanya, Bella tidak pernah melupakan ponselnya walaupun sedetik. Bahkan ke kamar mandi pun selalu dibawa, dia tidak pernah membiarkan Indra menyentuh ponselnya. Layarnya menyala, tampak sebuah pesan tampil di layar. Awalnya, Indra tidak peduli, tapi entah mengapa dia begitu penasaran dengan ponsel itu, dia ingin melihatnya. Tangannya terulur meraih ponsel itu, namun ketika membaca sekilas pesan diatas layar, jantungnya seolah tidak lagi pada tempatnya. ‘[Sayang, thank you. Tadi, kamu sangat hebat. Kamu selalu hebat sih, dan aku sudah merindukan tubuhmu lagi. Malam ini, bisa kita bertemu?]’ Jantung Indra mencelos. Tangan gemetar saat, dia semakin penasaran dengan pesan yang lainnya. Indra mencoba membuka layar kuncinya, namun percobaan pertama tidak bisa. Dia tidak tahu kunci ponsel Bella. Namun, Indra memutar otak mengingat angka-angka yang kemungkinan digunakan oleh Bella. Dan akhirnya dia mengkombinasikan beberapa angka yang disukai Bella. Dan taraa… Dia berhasil membuka kunci layar ponsel itu. Tangannya dengan cekatan membuka pesan yang ada disana. Pesan yang tadi sempat di abaca dari kontak bernama Gio, dibuka. Dia baca dari atas hingga bawah. Tangan Indra gemetar, pesan-pesan yang tidak pantas. Foto semi telanjang yang saling mereka kirim, bahkan ada satu video intim keduanya di kamar hotel yang dikirimkan seminggu lalu oleh lelaki bernama Gio itu. Indra terduduk lemas, wajahnya menegang. Rasa sakit yang menyesakkan perlahan berubah menjadi bara amarah. “Jadi, selama ini aku yang bodoh?” tanya Indra pelan. Dia kembali meletakkan ponsel itu diatas meja setelah berhasil mengambil gambar dan mengirimkan video itu ke ponselnya. Kemudian dia mengembalikan seperti semula, seolah dia tidak menyentuh benda itu. “Apa karena kamu tidak bisa berdiri?” tanya Indra lagi sambil menatap bagian bawah perutnya, seolah “dia” lah yang sedang diajak bicara. Indra memejamkan matanya, ingatan tentang ruang pemeriksaan berkelebat. Di mana sorot mata dokter Salsa yang tajam tapi menggoda dan suara lembut Lita saat berbisik di telinganya. Tadi, dia menolak mereka. Menolak karena logikanya masih berpikir. Tapi kini, semuanya tampak seperti lelucon pahit. Disaat dia menolak sentuhan wanita lain karena ingin setia, ternyata ranjangnya telah lama ternoda. “Kau darimana?” suara tajam Bella yang berjalan dari dapur, diikuti dengan aroma kopi yang menguar ke seluruh ruangan. Indra tidak membuka matanya. “Dari klinik.” “Kau berobat?” tanya Bella penasaran. “Iya.” “Apa kata dokter?” “Masih bisa diobati.” “Baguslah, setidaknya kau bisa menjadi lelaki di atas ranjang,” ucap Bella sinis. Indra tersenyum kecut, kemudian perlahan dia membuka matanya. Dia menatap sang istri dengan tajam. “Untuk apa lagi?” tanya Indra. “Apanya?” “Untuk apa kau memintaku berobat? Bukankah kau sudah mendapatkannya dari lelaki lain?” Wajah Bella berubah memucat, dia gelagapan. Segera meraih ponselnya, dan dia baru sadar kalau Indra telah membaca pesan yang Gio kirimkan untuknya. Situasi itu hanya beberapa detik saja, kemudian Bella sudah mampu menguasai keadaan, dia menatap Indra dengan tatapan tajam. “Kau membuka ponselku?” “Kenapa? Salah?” “Iya, karena ponsel adalah sebuah privasi. Kau tidak berhak membukanya tanpa seizinku!” ujar Bella dengan suara tajam. “Meskipun kau istriku?” “Iya.” “Seluruh tubuhmu sudah aku jamah, tidak ada privasi lagi. Kenapa ponsel masih harus privasi?” “Itu hal berbeda.” “Karena kau takut aku tahu apa yang kau lakukan!” suara Indra sedikit meninggi, tapi itu tidak membuat Bella takut. Bella menatap Indra tajam. “Baguslah kalau kau tahu. Kau pikir aku bisa menahan dengan keadaanmu yang tidak bisa diandalkan itu? Aku juga butuh kepuasan batin.” “Bukankah kau sudah punya beberapa alat?” “Tidak cukup hanya alat. Makanya, jadi orang kau harusnya berusaha! Kau pikir, aku akan bertahan denganmu yang tidak berguna ini? Tidak ada uang, aku bisa maklum. Tapi, apa aku harus memaklumi itu juga? Sampai kapan aku harus bertahan?” tanya Bella dengan tawa sinis. Indra tidak menjawab dia hanya mengangguk dan menghela nafas berat. Dia tahu, tidak ada gunanya lagi dia bertahan dengan setia. Bella bahkan tidak menyesal sedikitpun, dia menjadikan kekurangannya sebagai alasan untuk mencari kepuasan dari orang lain. “Kau mau kemana?” tanya Bella ketika Indra berjalan menuju pintu keluar. “Pergi,” jawab Indra. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah satu, yaitu klinik tempat dimana Dokter Salsa dan perawatnya berada. Tidak ada lagi keraguan dalam dirinya, yang semula menolak karena merasa bersalah, kini tidak lagi dipikirkan. Dan apa yang dilakukan di klinik itu menjadi hal yang dibenarkan bagi Indra. Pukul sembilan malam, Indra kembali tiba di klinik. Tidak ada lagi resepsionis nenek tua yang menunggu di meja depan. Bangunan itu terasa lebih horor saat malam hari. Suara dedaunan yang saling bergesekan membuat suasana semakin mencekam. Indra langsung masuk ke ruangan dokter Salsa, dan kebetulan sang dokter masih berada disana. Kini, Salsa tidak lagi mengenakan jas dokternya. Dia hanya mengenakan kemeja yang kesempitan itu. “Pak Indra, ada apa? Klinik kami sudah tutup,” ujar Salsa yang terkejut melihat kedatangan Indra secara mendadak dan tidak terduga. “Saya ingin melanjutkan pengobatan,” jawabnya dengan mata yang terus menatap Salsa. “Kamu sudah yakin?” tanya Salsa berjalan mendekat. “Saya siap,” jawab Indra yang langsung merasakan aura yang berbeda melihat dokter berjalan ke arahnya. Dimana kedua buah dadanya bergoyang-goyang seolah memanggilnya. “Baiklah,” jawab Salsa yang kemudian mendorong Indra ke arah ranjang. Kini tubuhnya terdesak dan dengan cepat dia mendominasi keadaan. Indra mendorong dokter Salsa ke atas ranjang dan mengunci tubuh itu di bawah tubuhnya. “Apakah ini juga bagian pengobatan?” tanya Indra sembari membuka semua kancing kemeja sang dokter.Indra tersentak mendengar apa yang dikatakan oleh Aliman. Ini sungguh diluar prediksinya. Dan dia tidak pernah berpikir akan mendengar permintaan itu.“Menikah?”“Iya. Izinkan Papa menikah dengan Ibumu.”Pernahkan terbayangkan seseorang meminta izin kepadamu untuk menikahi ibumu? Mungkin, sebagian orang tidak akan pernah membayangkannya.Begitu juga dengan Indra.Dia seorang anak, apa memang ibunya ingin melakukan sesuatu harus izin darinya? Sedangkan ibunya masih mampu untuk memutuskan sendiri. Dan dia bukan anak kecil yang masih bergantung pada orang tua.Dia sudah dewasa, bahkan sudah memiliki anak.“Sudah bahas sama ibu?” tanya Indra kemudian setelah degup jantungnya mulai normal.“Belum.”“Kenapa harus mengatakan kepadaku lebih dulu, harusnya dibahas bersama Ibu. Karena, aku sama sekali tidak pernah tahu apa yang telah kalian rencanakan dulu,” jawab Indra.“Karena, Papa ingin izin darimu terlebih dahulu nanti baru akan Papa bahas dengan Seva.”Indra terdiam, dia kembali menatap l
“Baby, aku sangat mengantuk,” ucap Budi.Bukan dia tidak menginginkan tubuh Yumna, karena tubuh itu sudah menjadi candu baginya. Tapi, Budi baru saja menyelesaikan proyek bukunya, begadang beberapa malam demi selesai tepat waktu.Buku akan segera masuk cetak.“Kamu diam saja, biar aku yang bekerja,” jawab Yumna.“Ah, terserah padamu saja, Sayang.”Budi mulai merasakan Yumna memasukkan miliknya dan kemudian gadis itu menggoyang goyangkan pinggulnya. Yumna seperti orang yang berbeda.Hari ini, dia begitu beringas dan cepat.“Ada apa denganmu, Yumna?” tanya Budi di sela-sela desahannya.“Aku hanya ingin memuaskanmu,” jawab Yumna.Budi hanya mengangguk, kantuk yang tadi hinggap, kini benar-benar hilang. Dia melihat kedua dada Yumna bergerak turun naik seperti Ritme yang seirama.**“Suasana disini dingin ya. Lebih sejuk.”Suara seseorang mendekati Indra yang sedang duduk di samping rumah neneknya seorang diri, rokok di tangan tapi tidak menyala.Indra duduk di halaman samping menghadap p
Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi Yumna yang baru saja kembali ke rumah setelah beberapa hari di luar.Tentu saja, sekarang Yumna lebih banyak memilih hidup bersama dengan Budi. Baginya, Budi lebih menghargainya daripada di rumahnya sendiri.“Untuk apa kau ke desa Indra?” tanya Karisa.Kali ini yang menyambutnya bukan Yulia ataupun Tomy, melainkan Karisa. Orang yang selama ini dia tahu adalah kakaknya, tapi pada kenyataannya sepertinya dia salah, Karisa bukanlah kakak kandungnya.Yumna tersenyum miring. Sekarang dia juga baru sadar mengapa semua perusahaan dibawah nama Karisa. Sedangkan dia hanya diberikan kesempatan memimpin perusahaan.Bukan karena dia liar, tapi lebih karena dia bukanlah anak kandung Tomy. Selama ini, Tomy memberikan alasan karena Yumna masih terlalu muda, mudah terbawa suasana dan mudah dimanfaatkan orang lain.“Aku hanya main, Kak.”“Tidak ada tempat lain kah untuk tempat kau bermain?”“Aku suka tempatnya,” jawab Yumna.“Jangan gila! Kau tahu siapa Indra, ka
"Dokter Aliman?" tanya Indra tidak percaya menatap seorang lelaki paruh baya di depan pagar rumahnya."Hai, Indra."Indra masih membeku, seolah dia tidak yakin kalau lelaki di depannya adalah dokter Aliman, ayah kandungnya.Waktu mereka bertemu, dokter Aliman tampak tidak peduli dengan semua ceritanya.Dia bahkan sudah berhenti berharap. Tapi, hari ini lelaki itu tiba-tiba datang."Sayang, siapa yang datang?" tanya Salsa yang sedang menggendong Juna."Dokter Aliman," jawab Indra lirih."Kenapa gak dibuka pintunya?"Indra tersentak, dia baru sadar kalau sedari tadi dia belum mempersilakan dokter Aliman masuk."Ah, maaf."Indra mempersilakan Aliman masuk, berkali-kali Indra mencubit lengannya sendiri untuk memastikan kalau ini bukanlah mimpi.Aliman menatap ke sekeliling, dia belum menemukan keberadaan Seva disana."Aku akan panggilkan ibu," ujar Indra akhirnya setelah Aliman duduk di ruang tamu."Terima kasih."Salsa menemani Aliman di ruang tamu. Juna diletakkan di dalam stroller."Si
“Selamat ya,” ucap Aliman kepada putri bungsunya itu yang baru saja selesai tampil di acara pentas seni sekolahnya.Hari ini adalah ulang tahun sekolahnya, orang tua diundang. Dan Amara tentu saja memaksa sang ayah untuk hadir, kalau tidak dia akan ngambek, namanya anak bontot.“Terima kasih, Papa.”Setelah dari sekolah Amara, Aliman akan langsung ke rumah sakit. Dia akan menyerahkan sampel untuk tes kecocokan antara dia dan Indra.Dia tidak akan bisa mengakui sembarangan orang sebagai anaknya.“Pa, aku tidak setuju Papa jadi menteri,” ujar Amara saat dalam perjalanan pulang.Bukan sekali atau dua kali, bahkan hampir setiap hari Amara mengatakan itu. Dia tidak setuju kalau sang ayah jadi menteri, karena dia yakin ayahnya akan sangat sibuk.“Hmm.”“Aku serius, Pa.”“Kalau misalnya tiba-tiba kamu dan Dira memiliki seorang kakak lelaki gimana? Kamu mau menerimanya gak?” tanya Aliman.“Papa mau nikah lagi?” suara Amara mulai meninggi.“Papa bilang bukan Mama baru, tapi kakak laki-laki.”“
“Papa…” sambut Amara melihat kedatangan Aliman yang pagi-pagi buta sudah tiba di rumah.Kedua anaknya sudah bangun, mereka memang terbiasa bangun pagi. Setiap pagi wajib berolahraga sebentar, ya namanya punya orang tua dokter.“Padahal kan acaranya jam sepuluh, Papa masih bisa santai loh seharusnya,” ujar Aliman sambil mengelus kepala Amara dengan gemas.Dan terakhirnya gadis kecil itu pasti akan berteriak, elusan di kepala itu berakhir dengan rambutnya diacak-acak oleh sang ayah.Aliman memang begitu dekat dengan anak-anaknya.“Papa, jangan berantakan rambutku. Nanti kusut, aku gak mau keramas pagi ini,” gerutu Amara.“Kenapa?”“Kan mau tampil, rambutku harus kering.”“Ada yang namanya alat hair dryer, itu bisa untuk mengeringkan rambut,” jawab Alimna.“Malas.”Aliman duduk disebelah Amara, sedangkan Andira seperti biasa sedang menyiapkan sarapan. Mereka memang memiliki pembantu, tapi setiap pagi Andira akan memilih membuat sarapannya sendiri.Si kecil Amara? Dia akan duduk di sofa d







