Share

Part 8

Penulis: Ida Saidah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-05 17:58:41

“Kak Fita, ini kalungnya. Terima kasih karena kakak sudah mengikhlaskan Mas Akmal buat aku!” ucap Dewi menarikku dari lamunan.

Dia lalu keluar menenteng tas besar yang aku tidak tahu apa isinya. Mungkin semua baju-bajunya atau, jangan-jangan dia pergi membawa barang-barang berharga yang ada di rumah ini.

Ah, aku tidak peduli. Aku tidak menginginkan harta. Aku hanya ingin keutuhan rumah tanggaku kembali walaupun tidak akan mungkin terjadi.

Segera mengunci pintu garasi serta pintu rumah, tidak akan kubiarkan kedua makhluk tidak bermoral itu kembali masuk.

Setelah semuanya terkunci rapat aku memutuskan untuk masuk ke kamar Dewi dan memeriksa isi lemari wanita tersebut, mengeluarkan barang-barang milik Dewi lalu membakarnya tanpa sisa. Mataku membeliak kaget ketika melihat galeri foto di ponsel wanita yang sudah aku beri tumpangan itu, dan ternyata banyak sekali foto-foto Mas Akmal yang ia simpan di dalam album di ponselnya.

Apa dia sengaja tidak menghapus foto tersebut supaya aku tahu kalau dia begitu mencintai suamiku?

Segera kureset pabrik ponsel itu, aku berniat menghibahkannya kepada orang yang kurang mampu serta membutuhkan. Pun dengan laptop milik Dewi yang biasa ia pakai untuk belajar.

Setelah itu aku berjalan ke arah jendela, ingin melihat apakah masih tertutup rapat ataukah sudah terbuka, dan benar dugaanku, jendela itu sudah dicongkel serta tidak bisa lagi dikunci. Rasanya semakin teremas-remas jantung ini kala mengingat ternyata orang yang selalu menghabiskan malam bersama Dewi adalah suamiku sendiri. Sakit, perih seperti disayat-sayat pisau lalu disiram menggunakan air cuka.

Mungkin kemarin pagi Mas Akmal hendak keluar melalui pintu Dewi, terus dia melihat aku sudah berada di dapur. Hingga akhirnya dia nekat mencungkil jendela dan kakinya terluka menginjak pecahan kaca yang sengaja aku sebar di bawah jendela kamar adikku.

Dua bungkus kontrasepsi kembali aku temukan di kamar membuat diri ini merasa sedih, kecewa karena tidak mampu mendidik adik semata wayangku itu.

Apa yang harus aku katakan kepada Emak nanti jika dia bertanya?

Aku keluar dari rumah hendak pergi ke kontrakan Anita. Saat menutup pintu pagar, aku melihat Mas Akmal sedang berjalan menuju teras dipapah oleh Dewi. Sepertinya aku harus segera menjual rumah Mas Akmal supaya tidak melihat kemesraan mereka setiap hari, apalagi rumah Mas Akmal dan Papa hanya bersebrangan jalan saja.

Jujur, hatiku teramat sakit melihat pemandangan itu. Mataku juga terasa panas. Kenapa dua makhluk tidak punya malu itu masih berada di tempat Papa? Benar-benar tidak memiliki nurani mereka.

“Fit, Efita!” teriak Mas Akmal memanggil namaku.

Aku tetap berjalan tanpa menghiraukan panggilan dari laki-laki yang telah menghancurkan perasaanku itu, sebab sudah tidak mau lagi berurusan dengannya.

“Fita, dengarkan penjelasanku dulu. Aku mau bicara empat mata sama kamu, sayang!” teriaknya lagi.

‘Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Mas. Karena semuanya sudah jelas. Semua bukti juga mengerucut ke kamu!’ batinku.

Kuusap air mata yang mengalir dari pelupuk menggunakan ujung jari-jari. Aku harus kuat, harus bisa berdiri di atas kakiku sendiri dan akan membuktikan kepada Mas Akmal kalau aku juga bisa hidup tanpa dia.

Bruk!

Seorang laki-laki yang sedang berjalan terburu-buru tiba-tiba menabrakku.

“Afwan, Ukhti. Saya tidak sengaja,” ucapnya sembari menangkupkan tangan.

“Saya yang seharusnya meminta maaf, Mas. Soalnya saya jalannya meleng,” sahutku seraya mengulas senyum tipis lalu menunduk.

“Ya sudah saya permisi dulu, Ukhti. Sekali lagi saya minta maaf, assalamualaikum!” Dia lalu menyeberang jalan dan menaiki sebuah angkutan umum.

Lekas kupanggil tukang bajaj untuk mengantar ke rumah kontrakan Anita. Sepanjang perjalanan, aku terus saja menangis mengingat pengkhianatan yang telah dilakukan oleh Mas Akmal juga Dewi. Hatiku seperti dicacah-cacah. Andai saja yang menikamku dari belakang bukan adikku sendiri, mungkin rasanya tidak sesakit ini.

“Mbak, sudah sampai,” kata tukang bajaj sambil menatap iba diri ini.

“Iya, Pak!” jawabku sembari menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan.

Kusapu jejak air mata supaya Anita tidak tahu kalau aku sedang dirundung nestapa. Aku tidak mau membuka aib suami serta adikku di depan perempuan itu supaya Allah menutup aibku di akhirat nanti.

“Assalamualaikum!” Tok! Tok! Tok!

“Waalaikumussalam!” sahut Anita dari dalam rumah.

Pintu terbuka dan seraut wajah cantik tersenyum manis di hadapanku. Dia lalu menangis dan memelukku dengan erat.

Ya Allah, ada apa dengan Anita. Apa dia juga sedang mengalami masalah yang berat sama sepertiku.

“Apa bener gosip yang sedang beredar, Fit. Kalau suami kamu selingkuh sama Dewi?”

Deg!

Dari mana dia tahu? Apa ada yang cerita sama Anita?

“Gosip apa sih, Nit?” tanyaku pura-pura tidak paham.

“Itu yang lagi rame di sosmed. Aku lihat video kamu lagi ngelabrak si Dewi karena dia udah selingkuh sama Mas Akmal. Ya Allah, Efita. Aku nggak nyangka banget, ternyata adik yang selama ini kamu bangga-banggakan, yang selalu kamu nomer satukan bisa menusuk kamu dari belakang seperti itu. Aku sedih banget liatnya, Fit. Kamu yang sabar ya, Sayang. Pasti ada hikmah di balik semua musibah. Aku yakin kamu bisa mendapatkan suami yang lebih baik daripada si Akmal itu. Kamu masih muda dan cantik, belum punya anak lagi,” ucap Anita tanpa melepas pelukan.

Aku benar-benar penasaran, siapa sebenarnya orang yang tega menyebabkan video itu dan apa maksud dari perbuatannya tersebut.

Apa jangan-jangan di kompleks tempat tinggalku ada orang yang kurang suka kepadaku dan sengaja menyebarkan video tersebut?

Ah, lagi-lagi aku harus berburuk sangka gara-gara masalah ini.

“Nit, kita jalan-jalan, yuk. Biar nggak bete di rumah terus,” ajakku dan langsung diiyakan oleh ibu beranak dua itu.

Kuajak Anita beserta dua orang putranya jalan-jalan ke sebuah mal supaya otakku tidak terus memikirkan Mas Akmal dan Dewi. Aku butuh piknik, sebab jika memikirkan masalah itu terus bisa-bisa tubuhku yang sudah kurus tambah kering. Lagian, untuk apa diri ini memikirkan orang yang tidak pernah memedulikan perasaanku.

Dewa dan Damian berlari kegirangan ketika kami mengajaknya ke tempat permainan anak. Hatiku mencelos melihat dua bocah berusia lima serta tiga tahun tersebut.

Andai saja aku memiliki seorang anak, tentu hidupku sekarang tidak akan hampa seperti ini karena ada buah hati yang menjadi pengobat duka juga lara. Namun, ah, sudahlah. Memang garis takdirku harus seperti ini. Aku harus menerima dengan lapang dada apa yang sudah disuratkan oleh Tuhan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kontrasepsi di Kamar Adikku    Part 229 (Ending)

    Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban

  • Kontrasepsi di Kamar Adikku    Part 228

    Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng

  • Kontrasepsi di Kamar Adikku    Part 227

    "Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j

  • Kontrasepsi di Kamar Adikku    Part 226

    #POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr

  • Kontrasepsi di Kamar Adikku    Part 225

    Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.

  • Kontrasepsi di Kamar Adikku    Part 224

    "Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status