LOGINFahri terdiam beberapa detik, seolah kata “talak aku sekarang juga” baru saja menghantam dadanya dengan keras. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Bu Laila hendak bersuara lagi, namun Fahri mengangkat tangan, memberi isyarat agar ibunya diam.
“Lis… cukup,” katanya lirih namun memaksa. Tanpa menunggu persetujuan, Fahri menarik pergelangan tangan Khalisa dan menyeretnya menuju tangga. “Mas! Lepasin aku!” Khalisa memberontak, kukunya mencengkeram lengan Fahri, tapi cengkeraman itu terlalu kuat. “Bicara sama aku di kamar. Jangan bikin malu di depan semua orang,” bisik Fahri dengan nada menekan. Khalisa tertawa getir. “Malu? Kamu masih punya rasa malu setelah bawa selingkuhanmu ke rumah istrimu sendiri?!” Namun Fahri tak menggubris. Pintu kamar utama dibuka kasar, lalu ditutup keras hingga suaranya menggema di seluruh rumah. Begitu pintu tertutup, Fahri melepas tangannya. Khalisa mundur beberapa langkah, dadanya naik turun, napasnya terengah. Matanya merah, tapi sorotnya dingin—bukan lagi tangisan perempuan terluka, melainkan amarah yang sudah matang. “Lis…” Fahri mengusap wajahnya frustasi. “Dengerin aku baik-baik. Jangan keras kepala. Semua ini bisa dibicarakan.” “Dibicarakan?” Khalisa terkekeh pelan, suaranya bergetar oleh tawa pahit. “Apa lagi yang mau kamu bicarakan, Fahri? Kamu sudah hancurkan aku sampai ke dasar. Kamu masih pikir aku perempuan bodoh yang bisa kamu rayu dengan kata-kata manis?” Fahri mendekat, mencoba meraih bahunya. “Aku tahu aku salah. Aku khilaf. Tapi aku tetap suamimu. Aku masih tanggung jawab. Aku nggak ninggalin kamu, Lis.” Khalisa menepis tangannya keras. “Jangan sentuh aku!” bentaknya. “Setiap sentuhanmu bikin aku mual.” Fahri tersentak. “Lis, jangan berlebihan—” “Berlebihan?” potong Khalisa tajam. “Berlebihan itu kalau aku masih mau tidur seranjang dengan laki-laki yang menghamili perempuan lain. Berlebihan itu kalau aku masih mau pura-pura bahagia sementara aku dijadikan cadangan!” Fahri menghela napas panjang, suaranya melembut, nada manipulatifnya mulai keluar. “Lis… aku tahu kamu terluka. Tapi pikirkan logis. Kita sudah empat tahun menikah. Kamu belum dikasih rezeki anak. Nayla hamil, itu sudah terjadi. Aku nggak bisa buang anak itu. Tapi aku juga nggak mau kehilangan kamu.” Khalisa menatapnya lama. Sangat lama. Lalu ia tersenyum kecil—senyum yang membuat Fahri bergidik. “Jadi… solusi versi kamu adalah aku harus terima kamu berbagi ranjang, berbagi cinta, berbagi harga diri?” suaranya pelan, tapi setiap kata terasa seperti pisau. “Aku harus terima kamu pulang dari rahim perempuan lain, lalu datang ke aku seolah aku ini istri terhormat?” “Lis, kamu tahu aku tetap sayang kamu—” “Tidak!” Khalisa meninggikan suara. “Kamu tidak sayang aku. Kamu hanya takut kehilangan kenyamanan. Takut kehilangan rumah ini. Takut kehilangan status istri sah yang rapi di mata orang!” Fahri terdiam. Khalisa melangkah mendekat, menatap wajah Fahri tepat di depan mata. “Aku tahu kamu. Kalau aku perempuan miskin, nggak punya apa-apa, kamu sudah ceraikan aku sejak Nayla hamil. Tapi karena aku punya rumah ini, punya harga diri, kamu ingin dua-duanya.” Air mata Khalisa jatuh, tapi suaranya justru semakin tegas. “Aku bukan perempuan yang bisa kamu parkir di rumah sementara kamu bangun keluarga lain.” Fahri menggeleng. “Lis, jangan emosional. Kamu pikir kamu bisa hidup sendiri? Kamu pikir kamu bisa apa tanpa aku?” Khalisa tersenyum dingin. “Kalimat itu… persis seperti ucapan ibumu.” Ia melangkah mundur, lalu menunjuk pintu kamar dengan tangan gemetar namun tegas. “Keluar.” Fahri terkejut. “Apa?” “Keluar dari kamarku,” ulang Khalisa, suaranya dingin. “Ini kamarku. Ini rumahku. Dan mulai detik ini… kamu tidak punya hak sedikit pun atas aku.” “Lis, kamu jangan sok berani—” “Keluar, Fahri!” teriak Khalisa, suaranya menggema. “Sebelum aku benar-benar kehilangan kendali dan memanggil satpam untuk menyeret kamu dan selingkuhanmu keluar dari rumah ini!” Fahri menatapnya lama. Dadanya naik turun. Untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang berbeda di mata istrinya—bukan lagi ketergantungan, bukan lagi cinta buta. Yang ada hanya penolakan total. “Kamu akan nyesel,” ucap Fahri akhirnya, suaranya rendah. Khalisa tertawa kecil, pahit. “Tidak. Yang akan menyesal itu kamu. Tapi bukan sekarang.” Ia membuka pintu kamar lebar-lebar. “Keluar.” Dengan rahang mengeras, Fahri melangkah pergi. Pintu ditutup keras dari luar. Begitu sendirian, Khalisa bersandar di pintu. Tubuhnya gemetar hebat. Air matanya jatuh deras, tapi kali ini ia tidak terisak. Tangisnya sunyi—tangis perempuan yang baru saja memutus ikatan, bukan meratap. Ia berjalan ke cermin. Menatap wajahnya sendiri. Mata sembab, pipi basah, tapi sorotnya… hidup. “Aku mungkin terluka,” bisiknya lirih. “Tapi aku belum kalah.” Dari luar kamar, terdengar suara tawa Nayla dan suara Bu Laila yang riuh. Tapi kali ini, Khalisa tidak menutup telinga. Ia justru mengepalkan tangan. “Silakan tertawa,” gumamnya. “Karena setelah ini… giliran aku yang berbicara.”Keesokan harinya, suasana rumah terasa lebih panas dari biasanya. Bukan karena cuaca, melainkan karena orang-orang di dalamnya.Khalisa duduk santai di teras depan rumah. Di meja kecil di samping kursinya, beberapa kotak camilan tergeletak rapi. Ia sengaja memesan makanan itu untuk dirinya sendiri. Tangannya meraih satu potong, dikunyah pelan sambil menatap halaman rumah tanpa ekspresi.Langkah kaki terdengar dari dalam. Laila muncul lebih dulu, diikuti Arman, lalu Arini dan Arlina. Nayla berdiri sedikit menjauh, sengaja mengambil posisi yang memungkinkan ia melihat segalanya tanpa ikut campur.“Enak ya,” sindir Laila sambil melipat tangan di dada. “Tinggal menikmati hasil keringat suami.”Khalisa tidak menoleh. Ia tetap mengunyah, seolah tidak mendengar.“Kamu itu nggak tahu diuntung,” lanjut Laila, nadanya meninggi. “Sudah dikasih hidup enak, malah ngelunjak.”Arman ikut bersuara. “Khalisa, kamu pesan makanan buat kamu saja? Kami mana?”Khalisa menoleh sebentar. “Suruh yang lain pes
Di dalam kamar, Nayla mondar-mandir dengan wajah kesal. Tangannya meraih ponsel dari atas meja, lalu menekan nomor Fahri tanpa ragu. Ia duduk di tepi ranjang, mengatur napas, memastikan suaranya terdengar selembut dan setersakiti mungkin.“Halo, Mas,” sapa Nayla dengan nada manja bercampur keluhan.Di seberang sana, Fahri terdengar menghela napas. “Iya, Nayla. Ada apa nelpon malam-malam begini?”Nayla langsung memainkan perannya. “Mas, aku nggak nyaman di sini,” katanya cepat. “Khalisa marah-marah. Dia melarang kami nonton TV, Mas. Bahkan ibu juga kena bentak. Masa kami diperlakukan kayak orang nggak dianggep di rumah sendiri?”Fahri terdiam sejenak. “Lis gitu?” tanyanya, nada suaranya terdengar ragu.“Iya,” jawab Nayla cepat, menambahkan api. “Aku udah berusaha sabar, Mas. Tapi aku capek. Aku kan lagi hamil. Harusnya aku tenang, bahagia. Bukan malah ditekan terus.”Fahri menghela napas lagi. “Ya sudah, kalian istirahat saja dulu di kamar. Jangan diperpanjang malam-malam.”Nada suara
Khalisa menoleh perlahan, menatap lurus ke mata Nayla. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum tulus, melainkan senyum getir. “Kita lihat nanti saja. Siapa yang benar-benar sendirian pada akhirnya.” Nayla terdiam, tak menyangka Khalisa bisa balik menohok. Malam itu, Khalisa duduk di kursi empuk ruang tamu, meraih remote, lalu mengganti saluran TV. Ia menonton acara berita, meninggalkan Nayla yang hanya bisa menatap dengan wajah dingin. "kalian kita bisa menguasai rumahku, jangan mimpi." lirih khalisa dengan senyum getir.Khalisa bersandar di sofa empuk ruang tamu. Ia meraih remote, mengganti saluran TV ke acara berita, lalu menyilangkan kaki dengan tenang. Wajahnya datar, tapi matanya tajam.Nayla masih berdiri beberapa langkah darinya, jelas tidak terima diperlakukan seperti itu.Khalisa menoleh sedikit saja, cukup untuk menegaskan jarak dan kuasanya. “Kenapa masih berdiri di situ?” ucapnya dingin. “Silakan pergi. Jangan ganggu kenyamananku. Bersyukur saja aku belum mengusirmu sek
Khalisa mendengar semuanya. Tangannya gemetar saat menyendok nasi ke piringnya sendiri. Air mata hampir jatuh lagi, tapi ia buru-buru menegakkan kepala.Ia duduk, lalu mulai makan. Satu suapan, dua suapan. Hatinya masih perih, tapi ia menelan semuanya dengan mantap. “Nggak apa-apa. Aku masih punya harga diri. Aku masih lebih berharga daripada mereka yang hidupnya numpang tapi berani menghina.” Setiap suapan terasa pahit, bercampur dengan rasa sakit di dadanya. Tapi semakin ia makan, semakin ia merasa ada sedikit kekuatan kembali di tubuhnya.Khalisa sadar: kalau ia menyerah, kalau ia terus sembunyi, maka mereka akan menang. Ia tidak boleh kalah. Setelah suapan terakhir ditelannya, Khalisa meletakkan sendok dengan tenang. Perutnya kenyang, tapi hatinya masih terasa pahit. Ia duduk tegak, menatap kosong beberapa detik, lalu menarik napas dalam-dalam. Ada tekad yang baru saja tumbuh dalam dirinya: ia tidak boleh terus diperlakukan seperti boneka bisu.Dengan langkah pasti, ia berjalan ke
keesokan paginya, khalisa belum pernah keluar dari kamarnya sejak kemarin, namun suara koper diseret pelan terdengar di lantai bawah, Fahri sudah berpakaian rapi dengan jas kerjanya. Rambutnya disisir ke belakang, wajahnya berusaha terlihat tenang, meski jelas ada gurat lelah dan kegelisahan. Ia berdiri di depan pintu kamar Khalisa. Tangannya mengetuk pelan. “Lis… aku berangkat dulu. Tolong bukain pintunya sebentar. Aku cuma mau pamit.” Tidak ada jawaban. Hanya hening. Fahri mengetuk lagi, lebih keras. “Lis, jangan begini. Aku tahu kamu marah, tapi aku cuma minta kita pamit baik-baik.” Masih tidak ada suara. Di dalam kamar, Khalisa duduk di atas sajadahnya. Matanya sembab, wajahnya pucat. Air mata menetes lagi, membasahi sajadah yang sudah lama jadi saksi bisunya doa-doa. Bibirnya terus bergetar, menyebut nama Allah dengan suara lirih. “Ya Allah… hanya Engkau tempatku bersandar. Kalau memang rumah tanggaku ini bukan yang terbaik, kuatkan aku untuk melepasnya. Kalau masih ada jal
Fahri terdiam beberapa detik, seolah kata “talak aku sekarang juga” baru saja menghantam dadanya dengan keras. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Bu Laila hendak bersuara lagi, namun Fahri mengangkat tangan, memberi isyarat agar ibunya diam. “Lis… cukup,” katanya lirih namun memaksa. Tanpa menunggu persetujuan, Fahri menarik pergelangan tangan Khalisa dan menyeretnya menuju tangga. “Mas! Lepasin aku!” Khalisa memberontak, kukunya mencengkeram lengan Fahri, tapi cengkeraman itu terlalu kuat. “Bicara sama aku di kamar. Jangan bikin malu di depan semua orang,” bisik Fahri dengan nada menekan. Khalisa tertawa getir. “Malu? Kamu masih punya rasa malu setelah bawa selingkuhanmu ke rumah istrimu sendiri?!” Namun Fahri tak menggubris. Pintu kamar utama dibuka kasar, lalu ditutup keras hingga suaranya menggema di seluruh rumah. Begitu pintu tertutup, Fahri melepas tangannya. Khalisa mundur beberapa langkah, dadanya naik turun, napasnya terengah. Matanya merah, tapi sorotnya dingin—b







