Home / Rumah Tangga / Ku Tentukan Takdirku / Bab 1 – Hidup yang Tampak Sempurna

Share

Bab 1 – Hidup yang Tampak Sempurna

Author: Mommy Sea
last update Last Updated: 2025-09-26 00:03:23

Udara sore itu berhembus lembut melalui jendela ruang tamu yang terbuka separuh. Tirai putih bergoyang pelan, membawa aroma bunga melati dari taman kecil di halaman belakang. Alya menatap meja makan yang sudah ia tata rapi sejak dua jam lalu. Lilin-lilin kecil berjejer di tengah meja, mengapit buket mawar merah muda yang segar. Di atas piring porselen putih, tersaji hidangan sederhana: ayam panggang dengan saus rosemary—makanan favorit suaminya, Raka.

Hari ini genap tujuh tahun usia pernikahan mereka. Tidak ada pesta besar, tidak ada perayaan di hotel mewah. Hanya makan malam sederhana di rumah mereka yang hangat. Tapi bagi Alya, kebahagiaan tidak selalu diukur dari kemewahan. “Yang penting kebersamaan,” begitu ia selalu percaya.

Alya berdiri sejenak di depan cermin di ruang tamu. Gaun biru muda selutut membalut tubuh rampingnya. Rambut hitam panjang ia ikat setengah, menampilkan wajah lembut dengan riasan tipis. Senyum samar merekah di bibirnya—senyum seorang istri yang merasa hidupnya cukup sempurna.

Suara pintu terbuka terdengar. Raka masuk, menenteng kantong kertas dari toko kue favorit mereka. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang tampan, membuat Alya merasakan sensasi hangat di dada.

“Aku pulang,” ucap Raka sambil melangkah mendekat. Ia meletakkan kantong itu di meja lalu meraih tangan Alya, menciumnya seolah mereka pasangan yang baru menikah kemarin.

“Pas banget, semua sudah siap,” jawab Alya lembut.

Raka menatap meja makan dengan tatapan puas. “Kamu memang istri terbaik. Aku beruntung memilikimu.”

Ucapan itu membuat pipi Alya merona. Hatinya dipenuhi rasa syukur. Tujuh tahun bersama bukan perjalanan singkat. Ada jatuh-bangun, ada pertengkaran kecil, tapi semua bisa mereka lewati. Alya percaya, rumah tangganya adalah buah dari kesabaran dan cinta.

Tak lama, bel pintu berbunyi. Alya membuka, dan di sana berdiri Selina—sahabat karibnya sejak kuliah. Rambut cokelat sebahunya terurai rapi, bibirnya dilapisi lipstik merah muda. Seperti biasa, Selina membawa hadiah kecil: sebotol wine dan sekotak cokelat impor.

“Selamat ulang tahun pernikahan!” seru Selina riang, memeluk Alya erat.

“Terima kasih, Lin. Masuk, ayo.”

Suasana makan malam itu hangat. Mereka bertiga duduk mengelilingi meja, bercanda, tertawa, mengenang masa-masa lalu. Raka sesekali menggenggam tangan Alya di atas meja, membuat Alya semakin yakin bahwa cintanya masih kuat. Selina, seperti biasa, ikut menambahkan keriuhan dengan cerita-cerita lucu dari pekerjaannya.

Namun, di balik tawa itu, ada sesuatu yang samar. Saat Alya menunduk untuk menuangkan minuman, telinganya menangkap bisikan cepat di antara Raka dan Selina.

“Aku kira kau tidak akan datang…” suara rendah Raka.

“Tenang, aku selalu punya alasan,” balas Selina lirih.

Alya terdiam sejenak, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mengangkat kepala, namun keduanya sudah kembali tertawa seolah tidak terjadi apa-apa. Alya tersenyum, mencoba menepis perasaan aneh yang baru saja menyusup ke hatinya. Mungkin aku salah dengar… pikirnya.

Malam itu berlanjut dengan potongan kue yang manis. Raka menyuapkan sepotong ke mulut Alya, membuat Selina bersorak menggoda. Alya tertawa, meski hatinya masih menyimpan keganjilan kecil.

Setelah makan, Selina membantu membereskan meja. Alya merasa lega karena punya sahabat seperti dia. “Kalau bukan kamu, Lin, aku nggak tahu bisa kuat jalani hidup ini atau tidak,” ucap Alya tulus.

Selina hanya tersenyum samar, matanya berkilat sekilas sebelum kembali menunduk. Alya tak sempat menangkap ekspresi itu.

Saat malam semakin larut, Alya berdiri di balkon, memandangi langit bertabur bintang. Raka mendekat dari belakang, melingkarkan tangan di pinggangnya.

“Tujuh tahun, sayang. Kita akan selalu bersama, kan?” suara Raka hangat di telinganya.

Alya menoleh, menatap mata suaminya dengan penuh cinta. “Tentu. Sampai tua, kita tetap bersama.”

Raka tersenyum, menempelkan keningnya ke kening Alya. Dari luar, mereka tampak sempurna—pasangan yang harmonis, sahabat setia yang selalu ada. Hidup yang membuat orang lain iri.

Namun jauh di dasar hatinya, Alya tidak bisa mengabaikan bisikan kecil dari tadi. Percakapan singkat antara Raka dan Selina terus bergema di telinganya, meski ia berusaha menghapusnya.

Malam itu berakhir dengan tawa, pelukan, dan janji manis. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang retak, tak terlihat, namun perlahan tumbuh.

Malam semakin larut, tapi Alya masih duduk di ruang tamu, menatap meja makan yang kini kosong. Piring-piring sudah dicuci, lilin-lilin sudah padam, hanya menyisakan aroma manis parafin yang samar. Raka sudah masuk kamar lebih dulu, sementara Selina baru saja pulang setelah membantu membereskan segalanya.

Alya menunduk, jemarinya mengusap pelan permukaan meja. Ada sesuatu yang terasa berbeda malam ini. Bukannya tidak bahagia, tapi rasa hangat yang biasanya penuh justru menyisakan celah tipis di hatinya. Celah yang dipenuhi pertanyaan.

Kenapa Raka dan Selina berbisik tadi?

Kenapa suaranya terdengar begitu rahasia?

Ia menggeleng pelan, mencoba menghapus kegelisahan itu. “Aku terlalu sensitif,” gumamnya lirih. “Mungkin mereka cuma bercanda. Aku kan tahu Raka sayang padaku… Selina juga sahabat terbaikku. Aku yang terlalu banyak mikir.”

Namun, semakin ia menepis, semakin jelas potongan suara itu bergema di kepalanya.

Alya menarik napas panjang lalu berdiri, berjalan ke arah balkon. Angin malam menyapu wajahnya, membawa dingin yang menembus kulit. Ia menatap ke langit, mencari ketenangan pada bintang-bintang yang bersinar jauh di atas sana.

Dalam hati, ia mengulang-ulang doa: semoga rumah tangganya selalu dilindungi, semoga ia tidak salah menaruh kepercayaan.

Tak lama, Raka muncul, menyusulnya dengan piyama abu-abu. Senyumnya hangat, seolah dunia mereka tak punya celah. Ia menyelubungkan selimut tipis ke bahu Alya.

“Kamu masih di sini? Nanti masuk angin,” katanya lembut.

Alya tersenyum kecil, menoleh pada suaminya. “Cuma… lagi mikirin banyak hal.”

Raka meraih tangannya, menggenggam erat. “Tujuh tahun ini sudah cukup membuktikan, kan? Kita bisa melewati semuanya. Aku akan selalu ada buat kamu, Alya.”

Mata Alya berkaca-kaca. Ia ingin percaya sepenuh hati. Ingin meyakini bahwa perkataan Raka adalah kebenaran mutlak. Ia mengangguk pelan. “Aku tahu.”

Namun, jauh di lubuk hatinya, ada rasa yang sulit ia jelaskan—seperti bayangan gelap yang bergerak pelan di sudut matanya.

Malam itu, sebelum tidur, Alya sempat berbaring menatap langit-langit kamar. Foto pernikahan mereka tergantung tepat di atas lemari, menampilkan dirinya dan Raka dengan senyum lebar tujuh tahun lalu.

“Selamanya, ya?” Alya berbisik lirih, nyaris seperti doa.

Raka yang sudah setengah tertidur hanya bergumam, “Hm… selamanya.”

Alya memejamkan mata, memeluk dirinya sendiri di balik selimut. Di permukaan, hidupnya memang tampak sempurna. Ia punya suami tampan dan penuh perhatian, sahabat yang setia, karier yang mapan. Tapi entah mengapa, malam itu ia merasa seolah ada sesuatu yang tak kasat mata sedang menunggu untuk meruntuhkan segalanya.

Sesuatu yang ia belum bisa lihat dengan jelas, tapi akan segera datang.

Dan di sudut lain rumah itu, di layar ponsel Raka yang bergetar di meja, sebuah pesan singkat muncul sekejap sebelum akhirnya ia hapus saat Alya terlelap:

> “Kapan kita bisa bicara tanpa dia?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 84– Cahaya yang Dipilih

    Sudah hampir satu tahun sejak hari ketika salah satu investor menarik diri dan membuat Alya hampir menyerah. Sejak saat itu, hidupnya tidak lagi sekadar bertahan — tapi bertumbuh. Kini, aroma baru mengisi ruang utama Alyara Home: campuran wangi mawar, jeruk, dan sedikit kayu manis. Sebuah aroma yang ia racik sendiri dan dinamainya Serenity — ketenangan. Produk itu menjadi simbol perjalanan panjangnya, sekaligus varian utama untuk peluncuran cabang pertama Alyara Home di pusat kota. Alya berdiri di depan kaca besar butik barunya. Papan bertuliskan “Alyara Home – Soul of Calm” menggantung elegan di atas pintu, dengan huruf timbul berwarna emas lembut. Di bawahnya, etalase menampilkan deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser yang dikemas dengan desain sederhana tapi menawan. “Siap, Bu?” tanya Nita sambil memegang clipboard. Suaranya terdengar campur antara gugup dan bangga. Alya tersenyum. “Sudah lebih dari siap, Nit. Hari ini bukan hanya peluncuran toko. Hari ini, kita m

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 83– Ujian Terakhir

    Pagi itu, suasana di Alyara Home tidak seperti biasanya. Tidak ada tawa riang di ruang workshop, tidak ada aroma lavender yang menenangkan. Semua orang tampak tegang — bahkan Nita, yang biasanya paling ceria, terlihat gelisah di depan laptop. Alya menatap layar yang menampilkan grafik penjualan dan tabel pengeluaran bulan berjalan. Angkanya tidak buruk, tapi masalahnya bukan di situ. Masalahnya adalah pesan singkat yang baru saja masuk tadi pagi — dari salah satu investor kecil mereka. > “Dengan berat hati, kami harus menarik modal dari Alyara Home mulai akhir bulan ini.” Hanya satu kalimat sederhana, tapi cukup membuat udara di ruangan terasa berat. Investor itu bukan yang terbesar, tapi ia adalah salah satu penopang utama di fase awal. Modal darinya digunakan untuk produksi massal batch pertama lilin aromaterapi, juga untuk membayar sewa tempat tambahan yang kini sedang dipakai tim baru. Alya menghela napas panjang. “Sudah coba hubungi, Nita?” Nita mengangguk lemah. “Sudah, Bu

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 82– Kehidupan yang Tumbuh

    Langit pagi itu berwarna lembut — campuran biru muda dan jingga yang menenangkan. Di halaman depan Alyara Home, Alya berdiri memandangi taman kecil yang mulai dipenuhi bunga lavender dan melati. Aroma lembutnya bercampur dengan wangi minyak esensial yang menguar dari ruang workshop di belakang rumah. Tempat itu dulu hanyalah ruang kosong, tapi kini menjadi sumber kehidupan baru bagi banyak orang — terutama bagi Alya sendiri. Suara tawa pelan terdengar dari dalam. Beberapa perempuan muda tengah sibuk mencampur bahan untuk membuat lilin aromaterapi. Mereka adalah bagian dari tim kecil yang dibentuk Alya — sebagian mantan ibu rumah tangga, sebagian lagi anak muda yang mencari arah hidup. “Bu Alya, ini campuran lavender sama vanilla-nya pas nggak?” tanya salah satu dari mereka, dengan tangan penuh sisa lilin cair. Alya tersenyum, mendekat sambil mengambil sendok kecil dari meja kerja. “Coba sedikit tambahkan vanilla-nya. Wangi lavender yang terlalu kuat bisa bikin kesan dingin. Kita ma

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 81 – Jejak Masa Lalu

    Sudah hampir setengah tahun sejak Alyara Home menjadi nama yang mulai dikenal. Bisnisnya stabil, keuangan cukup sehat, dan beberapa media menulis kisah Alya sebagai simbol ketangguhan perempuan. Namun di tengah kesibukan itu, ada sesuatu yang tiba-tiba mengetuk kembali — masa lalu yang selama ini ia biarkan diam di belakang. Sore itu, Alya baru saja selesai melakukan sesi pelatihan dengan beberapa ibu rumah tangga di ruang komunitas kecil miliknya. Mereka tertawa saat membicarakan aroma lilin baru yang sedang dikembangkan, aroma “cempaka dan tanah basah” — wangi yang menenangkan, katanya. Salah satu dari mereka, Sinta, berkata sambil tersenyum, “Bu Alya, wangi ini seperti hujan pertama setelah kemarau. Lembut tapi mengingatkan banyak hal.” Alya mengangguk pelan. “Kadang memang, hal sederhana seperti aroma bisa membawa kita ke masa lalu.” Ia tak tahu, kalimat itu akan menjadi pengantar dari sesuatu yang benar-benar datang dari masa lalunya sendiri. Begitu pelatihan selesai dan r

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 80– Langkah Pertama

    Pagi itu, aroma lavender dan melati bercampur lembut di udara. Alya menatap rak pajangan di ruang produksinya — deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser dari kayu jati kecil yang tertata rapi dengan label Alyara Home. Setiap produk dibungkus dengan kertas daur ulang berwarna krem, dihiasi pita tipis dan logo bunga sederhana hasil desainnya sendiri. Tiga bulan terakhir terasa seperti mimpi. Pesanan yang awalnya hanya datang dari teman dan tetangga kini mulai meluas ke luar kota. Ia bahkan harus menambah dua karyawan untuk membantu proses pengemasan dan pengiriman. Alya tersenyum kecil, mengingat hari-hari awalnya — saat ia membuat sabun pertama dengan tangan gemetar, takut gagal, takut tak ada yang tertarik. Kini, suara tawa para pegawainya di ruang belakang terdengar seperti musik yang menandai betapa jauh ia sudah melangkah. “Bu Alya, ini pesanan dari toko konsep di Bandung. Mereka minta stok dua kali lipat bulan ini,” ujar Dimas, asistennya yang kini dipercaya menga

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 79– Babak Baru Dimulai

    Sudah hampir satu bulan sejak dunia Alya berubah total — kali ini bukan karena kehancuran, tapi karena kebebasan. Rumah mungilnya di pinggiran kota kini terasa seperti tempat perlindungan. Setiap pagi ia menyeduh teh hangat, membuka jendela, dan membiarkan cahaya matahari masuk tanpa rasa takut apa pun. Tak ada lagi teriakan Raka, tak ada aroma parfum mahal milik Selina yang menempel di dinding rumah. Hanya aroma lavender dan melati dari produk Alyara Home yang menenangkan setiap sudut. Hari itu, Alya baru saja selesai membungkus beberapa pesanan pelanggan ketika ponselnya bergetar. Pesan dari Dimas, asisten mudanya, muncul di layar. > “Bu Alya, lihat berita siang ini. Tentang Pak Raka.” Alya mengerutkan dahi, menekan tautan berita yang dikirimkan. Layar menampilkan wajah Raka — bukan dengan jas rapi seperti dulu, melainkan dengan ekspresi lelah dan pakaian kusut. Judul besar terpampang: “Mantan Direktur PT Gracindo Group Diperiksa Terkait Penggelapan Dana.” Ia membaca perlahan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status