MasukJam dinding kantor menunjukkan pukul empat sore ketika Alya menutup laptopnya. Biasanya, ia akan pulang menjelang malam setelah semua laporan selesai. Tapi hari ini, hatinya terdorong oleh keinginan sederhana: memberi kejutan pada Raka.
Tujuh tahun menikah membuatnya paham, kebahagiaan rumah tangga sering tumbuh dari hal-hal kecil. Ia membayangkan betapa senangnya Raka jika melihatnya pulang lebih awal, membawa camilan kesukaan, lalu makan malam berdua tanpa terburu-buru. Di perjalanan pulang, Alya mampir ke toko roti. Ia membeli dua potong cheese cake favorit suaminya, juga kopi dingin yang biasa Raka nikmati setelah bekerja. Di dalam mobil, ia tersenyum sendiri, membayangkan wajah lega suaminya saat melihatnya. Raka pasti senang sekali… batinnya penuh semangat. Mobil berhenti di depan rumah mereka. Matahari sore masih menyinari jalanan perumahan yang lengang. Alya turun sambil menenteng kantong belanjaan kecil, kunci rumah sudah siap di tangan. Namun, langkahnya terhenti seketika begitu melihat sesuatu di depan pintu. Sepasang sepatu wanita. Bukan miliknya. Alya menatap sepatu itu dengan dahi berkerut. Sepatu hak rendah warna krem dengan pita kecil di depannya. Bukan gaya yang pernah ia pakai, dan jelas bukan milik tamu biasa. Ia menunduk lebih dekat, jemarinya gemetar menyentuh kulit sintetisnya. Masih baru, seolah pemiliknya baru saja membelinya minggu lalu. Degup jantung Alya melonjak. “Siapa…?” bisiknya. Tangannya ragu membuka pintu. Begitu terbuka, aroma asing langsung menyambutnya. Bukan aroma rumah yang biasa—campuran melati dari diffuser dan wangi kopi—melainkan parfum bunga intens yang tajam menusuk hidung. Ia masuk perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Suasana rumah redup, hanya cahaya dari ruang tamu yang menyala. Dari arah kamar tamu terdengar suara bisik samar, bercampur tawa singkat. Dengan hati-hati, Alya melangkah mendekat. Dan ketika pintu terbuka, ia mendapati sosok yang sama sekali tidak ia sangka. “Selina?” suaranya tercekat. Sahabatnya itu berdiri di dalam kamar tamu, rambut sedikit berantakan, wajahnya memerah seolah baru tertawa. Selina terlonjak kecil, lalu buru-buru tersenyum canggung. “Alya! Kamu udah pulang? Kirain masih di kantor…” suaranya terdengar tinggi, dipaksakan ceria. Di baliknya, Raka muncul dengan ekspresi kaku, memegang beberapa map dokumen. “Sayang, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku sama Selina cuma lagi bahas laporan kerjaan.” Alya menatap keduanya bergantian. Senyum tipis berusaha ia pasang, meski dadanya terasa sesak. “Bahas kerjaan… di kamar tamu?” tanyanya pelan. Raka mengangguk cepat, seolah ingin menutup percakapan. “Iya, tadi dokumennya agak banyak. Lagian Selina kan sering bantu aku soal proposal itu. Kamu tahu sendiri.” Selina menambahkan, “Iya, Alya. Maaf kalau bikin kamu kaget. Aku tadi cuma mampir sebentar.” Alya menunduk, berusaha menelan bulat-bulat semua kejanggalan. Ia mencoba tersenyum, walau kaku. “Oh… baiklah. Aku kira siapa.” Udara di ruangan itu tiba-tiba menekan. Alya merasa asing di rumahnya sendiri. Parfum Selina masih kuat menusuk hidungnya, meninggalkan jejak yang membuatnya tidak nyaman. Selina pamit tak lama kemudian, alasannya ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan. Alya mengantarnya sampai pintu, matanya sempat melirik sepatu wanita itu. Kini, benda sederhana itu terasa seperti simbol kehadiran asing yang mengusik ketenangan hidupnya. Malamnya, Alya berbaring di ranjang sambil menatap ponselnya. Raka ada di sebelahnya, sibuk mengetik sesuatu di layar HP. Alya berusaha mengabaikan, fokus pada bukunya. Tapi suara getaran pendek membuatnya refleks melirik. Sebuah pesan singkat muncul di layar ponsel Raka, cukup jelas untuk Alya tangkap sekilas: > “Jangan lupa hapus jejak tadi. Hati-hati dia curiga.” Raka buru-buru menutup layar dan menaruh ponsel di nakas. Ia lalu menoleh pada Alya dengan senyum kecil, seolah tak terjadi apa-apa. “Kamu udah ngantuk? Tidur aja, aku masih mau baca sebentar.” Alya membeku. “Ya… aku ngantuk,” jawabnya lirih, lalu memalingkan wajah. Di dalam dadanya, keresahan tumbuh semakin besar. Namun, ia menekan keras-keras pikirannya. Aku nggak boleh suudzon. Itu mungkin hanya pesan kerjaan. Raka sayang sama aku. Selina sahabatku… Matanya terpejam, tapi hatinya tidak tenang. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Alya merasa dirinya bukan lagi bagian dari cerita indah yang ia percayai. Sebuah retakan kecil mulai terbentuk. Alya terbaring di ranjang, matanya menatap langit-langit kamar yang temaram. Lampu tidur di pojok ruangan menyinari samar, menciptakan bayangan yang menari di dinding. Di sampingnya, Raka sudah terlelap, napasnya teratur. Namun bagi Alya, malam terasa begitu panjang. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan sepatu krem di depan pintu kembali muncul. Aroma parfum asing masih seakan menempel di hidungnya, bercampur dengan senyum canggung Selina dan tatapan kaku Raka. “Kenapa harus Selina?” bisiknya pada diri sendiri. Ia mencoba menenangkan hati, mengingat segala kebaikan yang pernah dilakukan sahabatnya. Selina selalu ada di saat ia jatuh, selalu jadi tempat bercerita, bahkan menjadi penghubung ketika Alya dan Raka bertengkar kecil. Tidak mungkin Selina melakukan sesuatu yang bisa menghancurkannya. Namun, pesan singkat di ponsel Raka tadi… Alya memejamkan mata lebih rapat, tubuhnya bergidik. Kata-kata dalam pesan itu terlalu jelas untuk ia salah tafsirkan. Hapus jejak. Hati-hati dia curiga. Jantung Alya berdetak semakin kencang. Ia ingin bertanya langsung pada Raka, ingin menuntut kejujuran. Tapi mulutnya terkunci oleh rasa takut. Takut jika semua bayangan buruk yang ada di kepalanya benar-benar nyata. “Kalau aku salah…” gumamnya lirih, air mata mengalir tanpa ia sadari, “aku bisa menghancurkan segalanya sendiri.” Ia menoleh ke arah Raka yang tidur pulas. Wajah suaminya tampak begitu damai, seakan tidak pernah menyimpan rahasia apa pun. Alya mengulurkan tangan, menyentuh pelan punggung tangan Raka. Ada kehangatan yang familiar, kehangatan yang selalu membuatnya percaya bahwa rumah tangganya aman. Namun, kali ini berbeda. Kehangatan itu tak mampu mengusir rasa dingin yang merambat ke seluruh tubuhnya. Pukul dua dini hari, Alya masih belum bisa tidur. Ia bangkit perlahan, melangkah ke ruang tamu. Duduk di sofa, ia menatap kosong ke arah meja makan yang tadi siang penuh tawa. Semua sudah sunyi, sepi, hanya detik jam dinding yang terdengar. Ia menarik napas panjang, mencoba menguatkan diri. Mungkin aku memang terlalu curiga. Semua ini hanya kebetulan. Selina masuk rumah karena urusan kerjaan. Pesan singkat itu… bisa saja bukan dari dia. Raka tidak mungkin menyakitiku. Dia suamiku. Selina sahabatku. Kata-kata itu ia ulang berkali-kali, seperti mantra yang bisa menenangkan hati. Tapi setiap kali ia hampir percaya, rasa sesak kembali menghimpit. Di atas meja, kantong kecil berisi cheese cake masih tersisa, belum sempat dimakan. Alya menatapnya dengan getir. Tadi siang, ia begitu bersemangat ingin memberi kejutan. Namun sekarang, justru dirinya yang dikejutkan oleh sesuatu yang tak ia mengerti. Air matanya jatuh lagi. “Kenapa rasanya… seperti ada sesuatu yang pelan-pelan hilang dariku?” Menjelang pagi, Alya akhirnya tertidur di sofa, kelelahan oleh pikirannya sendiri. Saat terbangun, sinar matahari sudah menembus tirai. Raka berdiri di dapur, menyiapkan sarapan dengan ekspresi biasa, seolah tidak terjadi apa-apa semalam. “Sayang, kenapa tidur di sini?” tanyanya dengan nada penuh perhatian. Alya menatapnya lama, berusaha mencari kebenaran di balik senyum itu. Akhirnya ia hanya menggeleng pelan. “Nggak apa-apa. Aku cuma nggak bisa tidur.” Raka mendekat, mengecup kening Alya dengan lembut. “Kamu jangan terlalu stres kerja. Aku nggak mau kamu sakit.” Kata-kata itu terdengar begitu tulus, membuat Alya merasa bersalah karena sempat menaruh curiga. Ia memaksakan senyum. “Iya. Aku baik-baik aja.” Namun jauh di dalam hatinya, benih ketidaknyamanan itu sudah tertanam. Ia bisa saja menepisnya untuk sementara, bisa saja meyakinkan diri bahwa semua hanya prasangka. Tapi Alya tahu, ada sesuatu yang tidak wajar di balik perhatian Raka dan senyum ramah Selina. Sesuatu yang, cepat atau lambat, akan ia temukan. Dan ketika waktunya tiba, ia mungkin tak akan siap menghadapi kenyataannya.Sudah hampir satu tahun sejak hari ketika salah satu investor menarik diri dan membuat Alya hampir menyerah. Sejak saat itu, hidupnya tidak lagi sekadar bertahan — tapi bertumbuh. Kini, aroma baru mengisi ruang utama Alyara Home: campuran wangi mawar, jeruk, dan sedikit kayu manis. Sebuah aroma yang ia racik sendiri dan dinamainya Serenity — ketenangan. Produk itu menjadi simbol perjalanan panjangnya, sekaligus varian utama untuk peluncuran cabang pertama Alyara Home di pusat kota. Alya berdiri di depan kaca besar butik barunya. Papan bertuliskan “Alyara Home – Soul of Calm” menggantung elegan di atas pintu, dengan huruf timbul berwarna emas lembut. Di bawahnya, etalase menampilkan deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser yang dikemas dengan desain sederhana tapi menawan. “Siap, Bu?” tanya Nita sambil memegang clipboard. Suaranya terdengar campur antara gugup dan bangga. Alya tersenyum. “Sudah lebih dari siap, Nit. Hari ini bukan hanya peluncuran toko. Hari ini, kita m
Pagi itu, suasana di Alyara Home tidak seperti biasanya. Tidak ada tawa riang di ruang workshop, tidak ada aroma lavender yang menenangkan. Semua orang tampak tegang — bahkan Nita, yang biasanya paling ceria, terlihat gelisah di depan laptop. Alya menatap layar yang menampilkan grafik penjualan dan tabel pengeluaran bulan berjalan. Angkanya tidak buruk, tapi masalahnya bukan di situ. Masalahnya adalah pesan singkat yang baru saja masuk tadi pagi — dari salah satu investor kecil mereka. > “Dengan berat hati, kami harus menarik modal dari Alyara Home mulai akhir bulan ini.” Hanya satu kalimat sederhana, tapi cukup membuat udara di ruangan terasa berat. Investor itu bukan yang terbesar, tapi ia adalah salah satu penopang utama di fase awal. Modal darinya digunakan untuk produksi massal batch pertama lilin aromaterapi, juga untuk membayar sewa tempat tambahan yang kini sedang dipakai tim baru. Alya menghela napas panjang. “Sudah coba hubungi, Nita?” Nita mengangguk lemah. “Sudah, Bu
Langit pagi itu berwarna lembut — campuran biru muda dan jingga yang menenangkan. Di halaman depan Alyara Home, Alya berdiri memandangi taman kecil yang mulai dipenuhi bunga lavender dan melati. Aroma lembutnya bercampur dengan wangi minyak esensial yang menguar dari ruang workshop di belakang rumah. Tempat itu dulu hanyalah ruang kosong, tapi kini menjadi sumber kehidupan baru bagi banyak orang — terutama bagi Alya sendiri. Suara tawa pelan terdengar dari dalam. Beberapa perempuan muda tengah sibuk mencampur bahan untuk membuat lilin aromaterapi. Mereka adalah bagian dari tim kecil yang dibentuk Alya — sebagian mantan ibu rumah tangga, sebagian lagi anak muda yang mencari arah hidup. “Bu Alya, ini campuran lavender sama vanilla-nya pas nggak?” tanya salah satu dari mereka, dengan tangan penuh sisa lilin cair. Alya tersenyum, mendekat sambil mengambil sendok kecil dari meja kerja. “Coba sedikit tambahkan vanilla-nya. Wangi lavender yang terlalu kuat bisa bikin kesan dingin. Kita ma
Sudah hampir setengah tahun sejak Alyara Home menjadi nama yang mulai dikenal. Bisnisnya stabil, keuangan cukup sehat, dan beberapa media menulis kisah Alya sebagai simbol ketangguhan perempuan. Namun di tengah kesibukan itu, ada sesuatu yang tiba-tiba mengetuk kembali — masa lalu yang selama ini ia biarkan diam di belakang. Sore itu, Alya baru saja selesai melakukan sesi pelatihan dengan beberapa ibu rumah tangga di ruang komunitas kecil miliknya. Mereka tertawa saat membicarakan aroma lilin baru yang sedang dikembangkan, aroma “cempaka dan tanah basah” — wangi yang menenangkan, katanya. Salah satu dari mereka, Sinta, berkata sambil tersenyum, “Bu Alya, wangi ini seperti hujan pertama setelah kemarau. Lembut tapi mengingatkan banyak hal.” Alya mengangguk pelan. “Kadang memang, hal sederhana seperti aroma bisa membawa kita ke masa lalu.” Ia tak tahu, kalimat itu akan menjadi pengantar dari sesuatu yang benar-benar datang dari masa lalunya sendiri. Begitu pelatihan selesai dan r
Pagi itu, aroma lavender dan melati bercampur lembut di udara. Alya menatap rak pajangan di ruang produksinya — deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser dari kayu jati kecil yang tertata rapi dengan label Alyara Home. Setiap produk dibungkus dengan kertas daur ulang berwarna krem, dihiasi pita tipis dan logo bunga sederhana hasil desainnya sendiri. Tiga bulan terakhir terasa seperti mimpi. Pesanan yang awalnya hanya datang dari teman dan tetangga kini mulai meluas ke luar kota. Ia bahkan harus menambah dua karyawan untuk membantu proses pengemasan dan pengiriman. Alya tersenyum kecil, mengingat hari-hari awalnya — saat ia membuat sabun pertama dengan tangan gemetar, takut gagal, takut tak ada yang tertarik. Kini, suara tawa para pegawainya di ruang belakang terdengar seperti musik yang menandai betapa jauh ia sudah melangkah. “Bu Alya, ini pesanan dari toko konsep di Bandung. Mereka minta stok dua kali lipat bulan ini,” ujar Dimas, asistennya yang kini dipercaya menga
Sudah hampir satu bulan sejak dunia Alya berubah total — kali ini bukan karena kehancuran, tapi karena kebebasan. Rumah mungilnya di pinggiran kota kini terasa seperti tempat perlindungan. Setiap pagi ia menyeduh teh hangat, membuka jendela, dan membiarkan cahaya matahari masuk tanpa rasa takut apa pun. Tak ada lagi teriakan Raka, tak ada aroma parfum mahal milik Selina yang menempel di dinding rumah. Hanya aroma lavender dan melati dari produk Alyara Home yang menenangkan setiap sudut. Hari itu, Alya baru saja selesai membungkus beberapa pesanan pelanggan ketika ponselnya bergetar. Pesan dari Dimas, asisten mudanya, muncul di layar. > “Bu Alya, lihat berita siang ini. Tentang Pak Raka.” Alya mengerutkan dahi, menekan tautan berita yang dikirimkan. Layar menampilkan wajah Raka — bukan dengan jas rapi seperti dulu, melainkan dengan ekspresi lelah dan pakaian kusut. Judul besar terpampang: “Mantan Direktur PT Gracindo Group Diperiksa Terkait Penggelapan Dana.” Ia membaca perlahan







