Beranda / Rumah Tangga / Ku Tentukan Takdirku / Bab 2 – Retakan Pertama

Share

Bab 2 – Retakan Pertama

Penulis: Mommy Sea
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-26 00:03:31

Jam dinding kantor menunjukkan pukul empat sore ketika Alya menutup laptopnya. Biasanya, ia akan pulang menjelang malam setelah semua laporan selesai. Tapi hari ini, hatinya terdorong oleh keinginan sederhana: memberi kejutan pada Raka.

Tujuh tahun menikah membuatnya paham, kebahagiaan rumah tangga sering tumbuh dari hal-hal kecil. Ia membayangkan betapa senangnya Raka jika melihatnya pulang lebih awal, membawa camilan kesukaan, lalu makan malam berdua tanpa terburu-buru.

Di perjalanan pulang, Alya mampir ke toko roti. Ia membeli dua potong cheese cake favorit suaminya, juga kopi dingin yang biasa Raka nikmati setelah bekerja. Di dalam mobil, ia tersenyum sendiri, membayangkan wajah lega suaminya saat melihatnya. Raka pasti senang sekali… batinnya penuh semangat.

Mobil berhenti di depan rumah mereka. Matahari sore masih menyinari jalanan perumahan yang lengang. Alya turun sambil menenteng kantong belanjaan kecil, kunci rumah sudah siap di tangan. Namun, langkahnya terhenti seketika begitu melihat sesuatu di depan pintu.

Sepasang sepatu wanita.

Bukan miliknya.

Alya menatap sepatu itu dengan dahi berkerut. Sepatu hak rendah warna krem dengan pita kecil di depannya. Bukan gaya yang pernah ia pakai, dan jelas bukan milik tamu biasa. Ia menunduk lebih dekat, jemarinya gemetar menyentuh kulit sintetisnya. Masih baru, seolah pemiliknya baru saja membelinya minggu lalu.

Degup jantung Alya melonjak. “Siapa…?” bisiknya.

Tangannya ragu membuka pintu. Begitu terbuka, aroma asing langsung menyambutnya. Bukan aroma rumah yang biasa—campuran melati dari diffuser dan wangi kopi—melainkan parfum bunga intens yang tajam menusuk hidung.

Ia masuk perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Suasana rumah redup, hanya cahaya dari ruang tamu yang menyala. Dari arah kamar tamu terdengar suara bisik samar, bercampur tawa singkat.

Dengan hati-hati, Alya melangkah mendekat.

Dan ketika pintu terbuka, ia mendapati sosok yang sama sekali tidak ia sangka.

“Selina?” suaranya tercekat.

Sahabatnya itu berdiri di dalam kamar tamu, rambut sedikit berantakan, wajahnya memerah seolah baru tertawa. Selina terlonjak kecil, lalu buru-buru tersenyum canggung.

“Alya! Kamu udah pulang? Kirain masih di kantor…” suaranya terdengar tinggi, dipaksakan ceria.

Di baliknya, Raka muncul dengan ekspresi kaku, memegang beberapa map dokumen. “Sayang, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku sama Selina cuma lagi bahas laporan kerjaan.”

Alya menatap keduanya bergantian. Senyum tipis berusaha ia pasang, meski dadanya terasa sesak. “Bahas kerjaan… di kamar tamu?” tanyanya pelan.

Raka mengangguk cepat, seolah ingin menutup percakapan. “Iya, tadi dokumennya agak banyak. Lagian Selina kan sering bantu aku soal proposal itu. Kamu tahu sendiri.”

Selina menambahkan, “Iya, Alya. Maaf kalau bikin kamu kaget. Aku tadi cuma mampir sebentar.”

Alya menunduk, berusaha menelan bulat-bulat semua kejanggalan. Ia mencoba tersenyum, walau kaku. “Oh… baiklah. Aku kira siapa.”

Udara di ruangan itu tiba-tiba menekan. Alya merasa asing di rumahnya sendiri. Parfum Selina masih kuat menusuk hidungnya, meninggalkan jejak yang membuatnya tidak nyaman.

Selina pamit tak lama kemudian, alasannya ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan. Alya mengantarnya sampai pintu, matanya sempat melirik sepatu wanita itu. Kini, benda sederhana itu terasa seperti simbol kehadiran asing yang mengusik ketenangan hidupnya.

Malamnya, Alya berbaring di ranjang sambil menatap ponselnya. Raka ada di sebelahnya, sibuk mengetik sesuatu di layar HP. Alya berusaha mengabaikan, fokus pada bukunya. Tapi suara getaran pendek membuatnya refleks melirik.

Sebuah pesan singkat muncul di layar ponsel Raka, cukup jelas untuk Alya tangkap sekilas:

> “Jangan lupa hapus jejak tadi. Hati-hati dia curiga.”

Raka buru-buru menutup layar dan menaruh ponsel di nakas. Ia lalu menoleh pada Alya dengan senyum kecil, seolah tak terjadi apa-apa. “Kamu udah ngantuk? Tidur aja, aku masih mau baca sebentar.”

Alya membeku.

“Ya… aku ngantuk,” jawabnya lirih, lalu memalingkan wajah.

Di dalam dadanya, keresahan tumbuh semakin besar. Namun, ia menekan keras-keras pikirannya. Aku nggak boleh suudzon. Itu mungkin hanya pesan kerjaan. Raka sayang sama aku. Selina sahabatku…

Matanya terpejam, tapi hatinya tidak tenang. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Alya merasa dirinya bukan lagi bagian dari cerita indah yang ia percayai.

Sebuah retakan kecil mulai terbentuk.

Alya terbaring di ranjang, matanya menatap langit-langit kamar yang temaram. Lampu tidur di pojok ruangan menyinari samar, menciptakan bayangan yang menari di dinding. Di sampingnya, Raka sudah terlelap, napasnya teratur. Namun bagi Alya, malam terasa begitu panjang.

Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan sepatu krem di depan pintu kembali muncul. Aroma parfum asing masih seakan menempel di hidungnya, bercampur dengan senyum canggung Selina dan tatapan kaku Raka.

“Kenapa harus Selina?” bisiknya pada diri sendiri.

Ia mencoba menenangkan hati, mengingat segala kebaikan yang pernah dilakukan sahabatnya. Selina selalu ada di saat ia jatuh, selalu jadi tempat bercerita, bahkan menjadi penghubung ketika Alya dan Raka bertengkar kecil. Tidak mungkin Selina melakukan sesuatu yang bisa menghancurkannya.

Namun, pesan singkat di ponsel Raka tadi…

Alya memejamkan mata lebih rapat, tubuhnya bergidik. Kata-kata dalam pesan itu terlalu jelas untuk ia salah tafsirkan. Hapus jejak. Hati-hati dia curiga.

Jantung Alya berdetak semakin kencang. Ia ingin bertanya langsung pada Raka, ingin menuntut kejujuran. Tapi mulutnya terkunci oleh rasa takut. Takut jika semua bayangan buruk yang ada di kepalanya benar-benar nyata.

“Kalau aku salah…” gumamnya lirih, air mata mengalir tanpa ia sadari, “aku bisa menghancurkan segalanya sendiri.”

Ia menoleh ke arah Raka yang tidur pulas. Wajah suaminya tampak begitu damai, seakan tidak pernah menyimpan rahasia apa pun. Alya mengulurkan tangan, menyentuh pelan punggung tangan Raka. Ada kehangatan yang familiar, kehangatan yang selalu membuatnya percaya bahwa rumah tangganya aman.

Namun, kali ini berbeda. Kehangatan itu tak mampu mengusir rasa dingin yang merambat ke seluruh tubuhnya.

Pukul dua dini hari, Alya masih belum bisa tidur. Ia bangkit perlahan, melangkah ke ruang tamu. Duduk di sofa, ia menatap kosong ke arah meja makan yang tadi siang penuh tawa. Semua sudah sunyi, sepi, hanya detik jam dinding yang terdengar.

Ia menarik napas panjang, mencoba menguatkan diri. Mungkin aku memang terlalu curiga. Semua ini hanya kebetulan. Selina masuk rumah karena urusan kerjaan. Pesan singkat itu… bisa saja bukan dari dia. Raka tidak mungkin menyakitiku. Dia suamiku. Selina sahabatku.

Kata-kata itu ia ulang berkali-kali, seperti mantra yang bisa menenangkan hati. Tapi setiap kali ia hampir percaya, rasa sesak kembali menghimpit.

Di atas meja, kantong kecil berisi cheese cake masih tersisa, belum sempat dimakan. Alya menatapnya dengan getir. Tadi siang, ia begitu bersemangat ingin memberi kejutan. Namun sekarang, justru dirinya yang dikejutkan oleh sesuatu yang tak ia mengerti.

Air matanya jatuh lagi. “Kenapa rasanya… seperti ada sesuatu yang pelan-pelan hilang dariku?”

Menjelang pagi, Alya akhirnya tertidur di sofa, kelelahan oleh pikirannya sendiri. Saat terbangun, sinar matahari sudah menembus tirai. Raka berdiri di dapur, menyiapkan sarapan dengan ekspresi biasa, seolah tidak terjadi apa-apa semalam.

“Sayang, kenapa tidur di sini?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.

Alya menatapnya lama, berusaha mencari kebenaran di balik senyum itu. Akhirnya ia hanya menggeleng pelan. “Nggak apa-apa. Aku cuma nggak bisa tidur.”

Raka mendekat, mengecup kening Alya dengan lembut. “Kamu jangan terlalu stres kerja. Aku nggak mau kamu sakit.”

Kata-kata itu terdengar begitu tulus, membuat Alya merasa bersalah karena sempat menaruh curiga. Ia memaksakan senyum. “Iya. Aku baik-baik aja.”

Namun jauh di dalam hatinya, benih ketidaknyamanan itu sudah tertanam. Ia bisa saja menepisnya untuk sementara, bisa saja meyakinkan diri bahwa semua hanya prasangka. Tapi Alya tahu, ada sesuatu yang tidak wajar di balik perhatian Raka dan senyum ramah Selina.

Sesuatu yang, cepat atau lambat, akan ia temukan.

Dan ketika waktunya tiba, ia mungkin tak akan siap menghadapi kenyataannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 15 – Keluarga sebagai Medan Pertarungan

    Hari itu rumah besar keluarga Alya dipenuhi riuh rendah suara. Hari Minggu selalu menjadi momen keluarga besar berkumpul, dan seperti biasa, suasana terasa hangat. Di ruang tamu yang luas, para paman, bibi, dan sepupu berkumpul, saling bertukar cerita. Aroma masakan khas Ibunya Alya menyeruak dari dapur, menambah kesan akrab yang sulit ditandingi. Namun di tengah semua kehangatan itu, Alya duduk dengan hati yang bergejolak. Ia tahu, hari ini bukan sekadar pertemuan keluarga. Ini adalah panggung di mana Raka akan berusaha kembali memainkan perannya sebagai menantu ideal, dan ia—Alya—akan memanfaatkan kesempatan untuk menabur benih keraguan. Raka masuk dengan penuh percaya diri, senyumnya ramah, suaranya tenang, sikapnya persis seperti yang selalu dikagumi keluarganya. “Selamat siang semuanya!” sapanya sambil menyalami satu per satu dengan penuh hormat. “Terima kasih sudah mengundang kami.” Beberapa sepupu Alya berbisik kagum, mengomentari betapa beruntungnya Alya memiliki suami sepe

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 14 – Kedok Raka Mulai Retak

    Malam itu rumah terasa begitu sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar jelas di ruang tamu. Alya duduk di sofa dengan buku catatan kecil di pangkuannya. Matanya tidak benar-benar membaca catatan yang ada di dalamnya, melainkan sibuk berpura-pura. Ia menunggu. Menunggu sesuatu yang selama ini ia tahu akan datang, meski ia tak bisa memastikan kapan. Raka pulang larut malam. Aroma alkohol samar tercium dari tubuhnya, meski ia berusaha menutupi dengan parfum yang terlalu menyengat. Alya mengangkat kepala perlahan, menatapnya tanpa banyak bicara. “Belum tidur?” tanya Raka datar sambil melepas jasnya. Alya tersenyum tipis. “Nungguin kamu. Aku masakin sup, mau?” “Besok aja, aku capek,” jawab Raka singkat, lalu berjalan menuju kamar. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu di meja: amplop kecil berisi dokumen. Alya sengaja menaruhnya di sana, pura-pura lupa membereskan. “Ini apa?” Raka menatap curiga. “Oh, itu? Hanya catatan dari kantor Ayah. Tentang laporan keuangan,

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 13 – Strategi Awal

    Alya duduk di teras rumah orang tuanya, memandangi ayah dan ibunya yang sedang bercengkerama di ruang tamu. Senyum mereka hangat, sama seperti dulu, namun kali ini hatinya terasa berat. Ia tahu, dalam hitungan tahun, kebahagiaan sederhana itu akan direnggut oleh penyakit dan pengkhianatan. “Alya, kenapa melamun?” suara ibunya memecah lamunan. Alya tersenyum, berusaha menutupi gundah. “Nggak, Bu. Aku cuma kangen suasana rumah.” Ayahnya, Pak Surya, tertawa kecil sambil menepuk bahunya. “Rumah ini selalu jadi rumahmu, Nak. Tidak ada yang bisa mengubah itu.” Kata-kata itu menancap dalam hati Alya. Ia tahu, justru rumah dan tanah inilah yang kelak akan diperebutkan. Ia menatap ayahnya lama, lalu berkata pelan, “Ayah, pernah nggak terpikir untuk menyiapkan dokumen warisan sejak dini?” Pak Surya mengernyit, kaget mendengar putrinya tiba-tiba menyinggung hal serius. “Kenapa tiba-tiba bicara soal itu? Ayah masih sehat, kan?” Alya cepat-cepat meraih tangan ayahnya. “Bukan begitu, Yah. Aku

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 12 – Selina yang Mencurigakan

    Matahari sore menembus jendela besar ruang tamu, menyinari lantai marmer rumah dengan kilau hangat keemasan. Alya sedang beres-beres buku catatan keuangan, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa was-was tentang kondisi ayah. Namun, dering ponsel bernada ceria milik Selina membuat langkah Alya terhenti di depan kamar tamu. Selina sudah seminggu ini lebih sering datang dengan alasan “kerja sama proyek” dengan Raka. Alya menunduk, pura-pura sibuk merapikan vas bunga di meja kecil dekat pintu, tapi telinganya menangkap jelas suara Selina. “Ya, aku sudah bicara dengan dia… tenang saja. Semua sesuai rencana.” Suara Selina terdengar pelan namun penuh keyakinan. Alya menahan napas. Dia bicara tentang siapa? Tentang Raka? “Astaga, jangan sebut nama! Kita harus hati-hati… kalau sampai bocor, semuanya berantakan.” Jantung Alya berdegup kencang. Ia beringsut sedikit lebih dekat, berusaha tidak menimbulkan suara. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat Selina berjalan mondar-mand

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 11 – Janji pada Ayah

    Pagi itu udara masih lembab setelah semalaman hujan. Alya datang ke rumah orang tuanya lebih awal dari biasanya, membawa beberapa roti hangat dan susu segar. Ia ingin memastikan ayahnya sarapan dengan makanan bergizi, sesuatu yang dulu ia abaikan di kehidupan pertamanya. Ayah sedang duduk di teras, menatap halaman dengan pandangan jauh. Rambutnya yang mulai memutih tampak basah oleh embun, namun sorot matanya masih teduh seperti biasa. Alya berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. “Papa, sarapan dulu ya. Aku bawain roti keju kesukaan Papa.” Ia berusaha tersenyum, menyembunyikan kegelisahan. Ayah menoleh, bibirnya melengkung hangat. “Kamu ini selalu perhatian. Dulu waktu masih kuliah, susah sekali bangun pagi, sekarang malah bawain sarapan untuk Papa.” Alya terkekeh kecil, meski hatinya nyeri. Kalau saja Papa tahu betapa aku dulu terlambat… betapa aku menyesal karena tidak menjaga kesehatanmu lebih baik. Mereka makan bersama di teras, ditemani suara burung gereja yang hinggap di

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 10 – Luka dalam Senyum

    Langkah Alya terasa ringan saat memasuki halaman rumah orang tuanya. Udara sore dipenuhi aroma tanah basah setelah hujan, membawa kenangan masa kecil yang selalu menenangkan. Rumah itu sederhana namun hangat, penuh dengan kenangan yang tidak pernah pudar meski ia kini telah berumah tangga.Ibunya menyambut dengan senyum lebar, meski kerutan di wajahnya semakin jelas. “Alya sayang, akhirnya sempat mampir juga. Mama masak sayur asem kesukaanmu.”Alya memeluk sang ibu erat-erat. Kehangatan itu menembus sampai ke dadanya, membuatnya ingin menangis. Setelah semua kecurangan dan pengkhianatan yang ia hadapi di balik pernikahan, berada di rumah ini seakan mengingatkannya bahwa masih ada cinta yang tulus.Di ruang tengah, ia melihat ayahnya duduk di kursi rotan, memegang koran yang sebagian sudah terlipat. Dari kejauhan, Alya menangkap perubahan kecil—ayahnya tidak lagi tegap seperti dulu. Tubuhnya terlihat lebih kurus, tangannya gemetar sedikit saat mencoba membalik halaman koran.“Papa…” Al

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status