LOGIN
Gelap.
Itulah yang terakhir Alya rasakan. Tubuhnya dingin, napasnya berhenti, dunia lenyap begitu saja di hadapannya. Ia yakin hidupnya sudah berakhir. Namun entah mengapa, perlahan kesadaran kembali. Rasa sakit di perutnya hilang, napasnya kembali teratur. Tubuhnya terasa utuh, tak lagi berat dan lemah seperti beberapa saat sebelum ia mati. Kelopak matanya bergetar. Lalu terbuka. Yang pertama ia lihat adalah langit-langit putih dengan cat yang sedikit mengelupas di sudut. Bukan rumah sakit. Bukan pula ruangan dingin penuh noda darah seperti yang ia bayangkan neraka. Melainkan… kamar yang sangat ia kenal. Alya bangkit pelan, duduk di tepi ranjang. Pandangannya berkeliling, mencari pegangan pada realitas. Sofa kecil berwarna biru di pojok ruangan, meja rias sederhana dengan cermin bundar, lemari kayu dengan engsel berdecit—semua itu… miliknya. Barang-barang lama yang sudah ia singkirkan bertahun-tahun lalu. Tangannya gemetar meraih sebuah bingkai foto di meja. Foto dirinya bersama Raka, masih mengenakan busana pengantin, dengan senyum lebar penuh cinta. Senyum yang belakangan hanya menyisakan luka. Alya terengah, dadanya naik-turun cepat. “Tidak… ini tidak mungkin.” Ia berdiri terburu-buru, hampir kehilangan keseimbangan. Matanya menangkap kalender tergantung di dinding. Dengan langkah gontai ia mendekat, jantungnya berdetak keras. Tanggalnya jelas: 12 Juli 2019. Tepat tiga tahun setelah pernikahan mereka. “Tidak mungkin…” bisiknya, suaranya bergetar. “Tujuh tahun… harusnya sudah tujuh tahun… dan aku…” Alya menatap tangannya sendiri, halus, tanpa luka, tanpa darah. Ia menepuk-nepuk wajahnya, berharap terbangun dari mimpi buruk. Namun yang terasa hanya kulitnya sendiri, hangat dan nyata. Suara dering tiba-tiba memecah keheningan. Alya menoleh cepat. Di meja nakas, sebuah ponsel bergetar—ponsel lamanya, model lama dengan nada dering klasik yang sudah lama ia lupakan. Dengan ragu ia meraihnya. Layarnya menyala, menunjukkan panggilan masuk. Nama yang terpampang membuat darahnya berdesir. “Suamiku ❤️.” Tangannya hampir menjatuhkan ponsel itu. Nafasnya tercekat. Ini… nyata? Atau hanya tipuan pikiran sekarat? Panggilan berhenti. Sesaat kemudian, pesan masuk. > “Sayang, aku pulang agak telat. Jangan lupa kita dinner malam ini, ya. Happy anniversary ke-3 ❤️.” Alya terpaku. Rasanya kepalanya berputar. Air mata menggenang di matanya, bercampur antara rindu, marah, dan ketidakpercayaan. Anniversary ke-3. Bukan ke-7. Ia berjalan terpincang menuju kamar mandi. Tangannya memutar keran air, lalu menangkupkan air ke wajahnya. Dingin. Nyata. Dengan gemetar, ia menatap cermin. Yang kembali menatapnya bukanlah wajah seorang perempuan yang hancur, penuh luka batin, dan sekarat. Melainkan dirinya yang lebih muda: kulit lebih kencang, mata masih segar, senyum samar yang belum hilang dari bibir. Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. “Tuhan…” suaranya lirih, bergetar. “Apa ini… kesempatan kedua untukku?” Alya menempelkan kedua telapak tangannya ke permukaan dingin wastafel, mencoba menahan tubuhnya agar tidak gemetar. Nafasnya pendek-pendek, seakan paru-parunya menolak percaya apa yang sedang ia alami. Air yang masih menetes dari wajahnya mengalir ke dagu, menetes di lantai. Ia merasakan setiap detailnya. Begitu nyata. Terlalu nyata untuk sekadar mimpi. “Kalau ini mimpi, kenapa aku bisa merasakan sakit dinginnya air?” pikirnya, menggertakkan gigi. Ia mencubit lengannya keras-keras, sampai kulitnya memerah. Rasa perih menyengat. “Bukan mimpi…” Ia melangkah kembali ke kamar, matanya menyapu tiap sudut ruangan. Tumpukan buku lama di rak, vas bunga plastik yang dulu sering ia cuci, bahkan boneka kecil pemberian Raka di tahun pertama menikah—semuanya ada di sana. Benda-benda yang sudah lama hilang. Detik itu, sebuah kesadaran perlahan menyusup ke dalam pikirannya. Ia benar-benar kembali. Bukan ke masa remajanya, bukan ke awal pernikahan, melainkan tepat di tahun ketiga rumah tangganya. Tujuh tahun sebelum malam pengkhianatan itu. Suara pintu depan terbuka membuat Alya tersentak. Ia buru-buru menghapus air matanya, menahan gemetar. “Sayang?” suara itu bergema, begitu familiar, membuat hatinya bergetar. Raka. Langkah kaki terdengar mendekat. Dan tak lama kemudian, sosok lelaki yang dulu begitu ia cintai muncul di ambang pintu kamar. Dengan kemeja rapi dan dasi yang sedikit longgar, Raka tampak seperti versi terbaik dirinya—bukan monster yang Alya lihat di malam terakhir hidupnya. “Eh, kamu sudah pulang?” Alya mencoba terdengar tenang, meski suaranya sedikit bergetar. Raka tersenyum hangat, senyum yang dulu bisa membuat dunia Alya terasa aman. “Iya. Sengaja pulang lebih cepat. Kan hari ini istimewa.” Ia mengangkat sebuah kotak kecil berbungkus rapi. “Happy anniversary, sayang.” Alya menatap kotak itu, dadanya terasa sesak. Ia teringat tujuh tahun kemudian, bagaimana senyum ini akan hilang, berganti dengan tatapan dingin penuh pengkhianatan. Air mata hampir jatuh, tapi ia buru-buru menunduk, pura-pura sibuk merapikan meja. “T-terima kasih…” Raka mendekat, menyentuh bahunya lembut. “Kamu baik-baik aja? Kok wajahmu pucat?” Alya menggenggam erat jemarinya sendiri agar tidak goyah. “Aku cuma… sedikit pusing. Capek kerja.” “Makanya jangan terlalu keras sama diri sendiri,” jawab Raka sambil menatap penuh perhatian. “Aku selalu ada buat kamu.” Kata-kata itu, yang dulu terasa menenangkan, kini justru menusuk Alya. “Selalu ada buatku?” Hatinya menjerit. “Tujuh tahun dari sekarang, kau akan menusukku dari belakang.” Malam itu, mereka duduk di meja makan, dengan lilin kecil dan makanan sederhana. Dari luar, semuanya tampak sempurna: pasangan muda yang merayakan tiga tahun pernikahan. Namun di dalam hatinya, Alya menyimpan badai. Ia menatap Raka yang tertawa ringan, memuji masakannya, lalu memandang cincin di jari manisnya sendiri. Tiga tahun lalu… aku percaya kebahagiaan ini abadi. Tapi sekarang aku tahu, semua ini hanya topeng. Di penghujung malam, ketika Raka sudah tertidur lelap di sampingnya, Alya terjaga. Ia duduk di tepi ranjang, menatap wajah lelaki itu dalam remang. Air mata kembali mengalir, tapi bukan lagi tangisan putus asa. Ada sesuatu yang lain di dalam matanya—api kecil yang mulai menyala. “Tuhan…” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. “Kalau ini memang kesempatan kedua… aku janji tidak akan menyia-nyiakannya.” Ia mengepalkan tangan, menggenggam selimut dengan kuat. “Kali ini… aku yang akan mengubah jalan cerita.”Sudah hampir satu tahun sejak hari ketika salah satu investor menarik diri dan membuat Alya hampir menyerah. Sejak saat itu, hidupnya tidak lagi sekadar bertahan — tapi bertumbuh. Kini, aroma baru mengisi ruang utama Alyara Home: campuran wangi mawar, jeruk, dan sedikit kayu manis. Sebuah aroma yang ia racik sendiri dan dinamainya Serenity — ketenangan. Produk itu menjadi simbol perjalanan panjangnya, sekaligus varian utama untuk peluncuran cabang pertama Alyara Home di pusat kota. Alya berdiri di depan kaca besar butik barunya. Papan bertuliskan “Alyara Home – Soul of Calm” menggantung elegan di atas pintu, dengan huruf timbul berwarna emas lembut. Di bawahnya, etalase menampilkan deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser yang dikemas dengan desain sederhana tapi menawan. “Siap, Bu?” tanya Nita sambil memegang clipboard. Suaranya terdengar campur antara gugup dan bangga. Alya tersenyum. “Sudah lebih dari siap, Nit. Hari ini bukan hanya peluncuran toko. Hari ini, kita m
Pagi itu, suasana di Alyara Home tidak seperti biasanya. Tidak ada tawa riang di ruang workshop, tidak ada aroma lavender yang menenangkan. Semua orang tampak tegang — bahkan Nita, yang biasanya paling ceria, terlihat gelisah di depan laptop. Alya menatap layar yang menampilkan grafik penjualan dan tabel pengeluaran bulan berjalan. Angkanya tidak buruk, tapi masalahnya bukan di situ. Masalahnya adalah pesan singkat yang baru saja masuk tadi pagi — dari salah satu investor kecil mereka. > “Dengan berat hati, kami harus menarik modal dari Alyara Home mulai akhir bulan ini.” Hanya satu kalimat sederhana, tapi cukup membuat udara di ruangan terasa berat. Investor itu bukan yang terbesar, tapi ia adalah salah satu penopang utama di fase awal. Modal darinya digunakan untuk produksi massal batch pertama lilin aromaterapi, juga untuk membayar sewa tempat tambahan yang kini sedang dipakai tim baru. Alya menghela napas panjang. “Sudah coba hubungi, Nita?” Nita mengangguk lemah. “Sudah, Bu
Langit pagi itu berwarna lembut — campuran biru muda dan jingga yang menenangkan. Di halaman depan Alyara Home, Alya berdiri memandangi taman kecil yang mulai dipenuhi bunga lavender dan melati. Aroma lembutnya bercampur dengan wangi minyak esensial yang menguar dari ruang workshop di belakang rumah. Tempat itu dulu hanyalah ruang kosong, tapi kini menjadi sumber kehidupan baru bagi banyak orang — terutama bagi Alya sendiri. Suara tawa pelan terdengar dari dalam. Beberapa perempuan muda tengah sibuk mencampur bahan untuk membuat lilin aromaterapi. Mereka adalah bagian dari tim kecil yang dibentuk Alya — sebagian mantan ibu rumah tangga, sebagian lagi anak muda yang mencari arah hidup. “Bu Alya, ini campuran lavender sama vanilla-nya pas nggak?” tanya salah satu dari mereka, dengan tangan penuh sisa lilin cair. Alya tersenyum, mendekat sambil mengambil sendok kecil dari meja kerja. “Coba sedikit tambahkan vanilla-nya. Wangi lavender yang terlalu kuat bisa bikin kesan dingin. Kita ma
Sudah hampir setengah tahun sejak Alyara Home menjadi nama yang mulai dikenal. Bisnisnya stabil, keuangan cukup sehat, dan beberapa media menulis kisah Alya sebagai simbol ketangguhan perempuan. Namun di tengah kesibukan itu, ada sesuatu yang tiba-tiba mengetuk kembali — masa lalu yang selama ini ia biarkan diam di belakang. Sore itu, Alya baru saja selesai melakukan sesi pelatihan dengan beberapa ibu rumah tangga di ruang komunitas kecil miliknya. Mereka tertawa saat membicarakan aroma lilin baru yang sedang dikembangkan, aroma “cempaka dan tanah basah” — wangi yang menenangkan, katanya. Salah satu dari mereka, Sinta, berkata sambil tersenyum, “Bu Alya, wangi ini seperti hujan pertama setelah kemarau. Lembut tapi mengingatkan banyak hal.” Alya mengangguk pelan. “Kadang memang, hal sederhana seperti aroma bisa membawa kita ke masa lalu.” Ia tak tahu, kalimat itu akan menjadi pengantar dari sesuatu yang benar-benar datang dari masa lalunya sendiri. Begitu pelatihan selesai dan r
Pagi itu, aroma lavender dan melati bercampur lembut di udara. Alya menatap rak pajangan di ruang produksinya — deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser dari kayu jati kecil yang tertata rapi dengan label Alyara Home. Setiap produk dibungkus dengan kertas daur ulang berwarna krem, dihiasi pita tipis dan logo bunga sederhana hasil desainnya sendiri. Tiga bulan terakhir terasa seperti mimpi. Pesanan yang awalnya hanya datang dari teman dan tetangga kini mulai meluas ke luar kota. Ia bahkan harus menambah dua karyawan untuk membantu proses pengemasan dan pengiriman. Alya tersenyum kecil, mengingat hari-hari awalnya — saat ia membuat sabun pertama dengan tangan gemetar, takut gagal, takut tak ada yang tertarik. Kini, suara tawa para pegawainya di ruang belakang terdengar seperti musik yang menandai betapa jauh ia sudah melangkah. “Bu Alya, ini pesanan dari toko konsep di Bandung. Mereka minta stok dua kali lipat bulan ini,” ujar Dimas, asistennya yang kini dipercaya menga
Sudah hampir satu bulan sejak dunia Alya berubah total — kali ini bukan karena kehancuran, tapi karena kebebasan. Rumah mungilnya di pinggiran kota kini terasa seperti tempat perlindungan. Setiap pagi ia menyeduh teh hangat, membuka jendela, dan membiarkan cahaya matahari masuk tanpa rasa takut apa pun. Tak ada lagi teriakan Raka, tak ada aroma parfum mahal milik Selina yang menempel di dinding rumah. Hanya aroma lavender dan melati dari produk Alyara Home yang menenangkan setiap sudut. Hari itu, Alya baru saja selesai membungkus beberapa pesanan pelanggan ketika ponselnya bergetar. Pesan dari Dimas, asisten mudanya, muncul di layar. > “Bu Alya, lihat berita siang ini. Tentang Pak Raka.” Alya mengerutkan dahi, menekan tautan berita yang dikirimkan. Layar menampilkan wajah Raka — bukan dengan jas rapi seperti dulu, melainkan dengan ekspresi lelah dan pakaian kusut. Judul besar terpampang: “Mantan Direktur PT Gracindo Group Diperiksa Terkait Penggelapan Dana.” Ia membaca perlahan







