LOGINHari-hari berikutnya berubah menjadi ruang senyap penuh tekanan. Sejak pertemuan sore itu, Selina merasa seperti ada mata-mata yang mengikuti ke mana pun ia pergi. Setiap kali bertemu dengan kerabat Raka atau rekan kantor, selalu ada senyum aneh, lirikan halus, dan sapaan yang terlalu ramah untuk menjadi tulus. Ia mulai menyadari — reputasinya sedang digerogoti perlahan. Di kafe tempat biasa ia dan Raka bertemu untuk membahas proyek, Selina duduk dengan tangan gelisah di pangkuan. Kopi di depannya sudah dingin. Ia tidak meminumnya. Pikirannya hanya berputar pada satu hal: Alya. “Apa dia benar-benar sengaja?” Pertanyaan itu menempel di kepalanya seperti luka yang tak kering. Ia tahu Alya tampak lembut, tapi di balik senyum tenang itu ada sesuatu yang licin dan tak terduga. Saat Raka datang, Selina langsung menegakkan bahu. Ia tersenyum manis, berusaha tampak wajar. “Maaf ya, nunggu lama?” tanya Raka sambil menaruh map kerja di meja. “Enggak, aku juga baru datang,” jawab Sel
Ruang tamu keluarga Bagaskara sore itu tampak hangat dan rapi. Wangi teh melati menguar dari cangkir-cangkir porselen yang disajikan Alya di atas meja kaca. Beberapa kerabat perempuan sedang berkumpul, berbincang santai — setidaknya di permukaan. Namun di balik tawa kecil dan obrolan ringan itu, tersembunyi arus halus yang disulut oleh satu orang: Alya. Ia tidak mengatakan apa pun secara langsung. Hanya bercerita sekilas, dengan nada lembut yang membuat siapa pun tak merasa sedang mendengar gosip. “Selina memang orangnya perhatian,” ucap Alya sambil menuangkan teh. “Kadang sampai datang ke rumah tanpa bilang dulu. Katanya mau bantu Raka urus bisnis.” Nada suaranya tenang, bahkan diselipi senyum kecil — tapi kata “tanpa bilang dulu” menempel di kepala para tamu. Salah satu dari mereka, Tante Mira, mengangkat alis. “Oh? Sering, Alya? Wah, hebat juga ya dia… sampai segitu dekatnya sama keluarga kalian.” Alya tersenyum lembut. “Iya, mungkin karena Raka dan dia sudah kerja baren
Malam itu turun dengan tenang, namun hawa tegang di rumah keluarga Bagaskara masih tersisa. Raka duduk di ruang kerja, menatap layar laptop yang sejak satu jam terakhir tak juga berubah halaman. Pikirannya berantakan. Ia tahu ibunya mulai curiga, dan yang membuatnya muak adalah — Alya yang menanamkan bibit itu dengan wajah polosnya. Ia menutup laptop kasar, lalu berdiri dan berjalan ke jendela. Dari situ, ia bisa melihat halaman belakang yang diterangi lampu taman. Dan di sana — Alya duduk sendirian, di bangku kayu, dengan selimut tipis menutupi bahu. Tangannya menggenggam sesuatu — mungkin buku doa kecil milik ibunya yang dulu sering dipakai setiap malam. Raka mendengus, separuh kesal, separuh bingung. Bagaimana bisa perempuan itu masih terlihat begitu tenang setelah semua yang terjadi? Ia tidak tahu, bahwa ketenangan itu bukan kepasrahan. Itu adalah strategi. Alya memejamkan mata, mendengarkan desir angin yang lembut. Ia tahu Raka menatap dari jendela — bisa merasakan tat
Pagi itu, rumah keluarga Bagaskara terasa terlalu tenang. Cahaya matahari menembus tirai ruang makan, menyorot meja panjang dengan taplak putih yang tampak sempurna — tapi suasana di sekitarnya tidak seindah tampilan luar. Alya duduk di ujung meja, mengenakan gaun sederhana berwarna gading. Wajahnya tenang, tapi matanya menatap kosong ke arah cangkir teh di tangannya. Di seberangnya, duduk Raka, dengan ekspresi canggung, berusaha tampak biasa saja. “Kenapa kalian berdua diam terus?” suara lembut tapi tegas itu datang dari Ibu Raka, Bu Ratna, yang duduk di tengah meja, memperhatikan mereka berdua dengan pandangan tajam khas seorang ibu yang tahu lebih banyak dari yang dikatakan. Alya mengangkat pandangan perlahan dan tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Bu. Kami hanya sedang sama-sama sibuk akhir-akhir ini.” Raka menimpali cepat, seolah ingin menutup topik. “Ya, betul. Perusahaan lagi padat.” Tapi mata Bu Ratna tidak berpindah dari Alya. Ia menatap lebih dalam — melihat senyum lembu
Malam itu, restoran langganan Raka tampak lebih sunyi dari biasanya. Lampu-lampu gantung berwarna tembaga memantulkan cahaya hangat ke meja tempat dua orang duduk saling berhadapan — Raka dan Selina. Suasana yang dulu terasa menyenangkan, kini penuh tekanan yang tak kasat mata. Raka sibuk menatap layar ponsel, wajahnya tegang. Selina menyandarkan tubuh ke kursi, memainkan sedotan minumannya, mencoba memancing reaksi. “Kenapa kamu kayak orang dikejar utang, sih?” sindir Selina setengah bercanda. Raka tidak menjawab. Matanya tetap terpaku ke layar, ke pesan terakhir yang baru diterimanya dari tim keuangan: > ‘File yang Anda berikan palsu. Kami sudah cek sumbernya. Perlu klarifikasi segera.’ Selina mencondongkan tubuh. “Raka?” Raka akhirnya meletakkan ponselnya, menarik napas berat. “Kayaknya ada yang salah sama laporan keuangan perusahaan. Aku curiga ada yang manipulasi dokumen.” Selina tertawa pelan. “Manipulasi? Siapa yang mau repot ngurusin itu?” Raka menatapnya, wajahnya k
Pagi itu, rumah terasa berbeda. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada sapaan basa-basi. Hanya denting sendok dan suara langkah yang bergantian menggema di antara ruang makan yang terlalu luas untuk dua orang yang saling berpura-pura bahagia. Raka duduk membaca koran, matanya menelusuri halaman depan tanpa benar-benar membacanya. Alya di seberang meja, menyuap roti perlahan sambil menatap jendela. Cahaya matahari menembus tirai tipis, membentuk siluet lembut di wajahnya. Tenang. Tapi di balik tenang itu, ada sesuatu yang berdenyut — sebuah kesadaran baru. Raka yang dulu berkuasa kini tampak kecil di matanya. “Berangkat jam berapa?” tanya Alya ringan, tanpa menoleh. Raka menurunkan korannya. “Sebentar lagi. Kamu kenapa nanya?” Alya mengangkat bahu. “Cuma pengin tahu, biar tahu kapan bisa bersih-bersih ruang kerja kamu.” Nada itu datar. Tapi bagi Raka, itu seperti sindiran tajam yang menembus kulit. Ia menatap Alya beberapa detik — ada ketegangan yang tak terucap. Alya tidak mengh







