Share

Bab 6

TENTANG AYAH

๐Ÿ’๐Ÿ’๐Ÿ’

Banyak sekali yang ingin aku tanyakan pada Bunda, terutama darimana beliau mengetahui semua yang terjadi.

Aku paham betul siapa Bundaku, dirinya pasti tidak akan pernah memaafkan sebuah pengkhianatan, tapi sekarang justru Bunda bersikap sangat tenang didepan menantu dan besannya.

Mungkinkah Bunda juga tahu jika Mas Rian hanya dijebak Sarah.

Nanti aku tanyakan, sebaiknya aku memberi makan cacing yang sedang berdisko ria didalam perutku.

"Bunda masak?" tanyaku pada Bunda yang masih setia menungguku beranjak dari zona nyaman.

"Tidak sayang, Bunda tadi pesan via online, mau makan sekarang? nanti Bunda panaskan lagi."

"Boleh Bund."

Aku segera beranjak kekamar mandi sekedar mencuci muka agar terlihat lebih segar, sedangkan bunda berlalu menuju dapur.

๐Ÿ’๐Ÿ’๐Ÿ’

"Bund," panggilku pada Bunda yang sedang asyik dengan gawainya.

Saat ini kami sedang berada di ruang tengah, memilih santai sejenak sebelum melanjutkan petualangan mencari kesenangan.

"Ada apa sayang?" tanyanya, ia meletakkan ponselnya keatas meja, menunggu kalimat selanjutnya.

"Kenapa Ayah tidak ikut?" Aku tahu ada tamu hanyalah alasan Bunda. Tidak mungkin Ayah lebih mementingkan tamu dibanding bertemu denganku yang sudah seperempat tahun tidak bertemu.

Terlihat Bunda menghela nafas berat, "kamu tahu Ayah kan?" tanyanya, dan aku hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Aku sangat paham perangai ayahku, tidak ada pengampunan dengan alasan apapun untuk sebuah kesalahan.

Lelaki cinta pertamaku adalah orang yang dingin, tegas, juga angkuh, ya setidaknya itu yang orang lain kenal.

Berbeda denganku, bagiku Ayah adalah sosok yang hangat, penyayang, juga bijaksana.

Dulu ketika ditanya, lelaki seperti apa yang aku inginkan, jawabanku lelaki yang seperti Ayahku.

Itulah kenapa aku labuhkan cintaku pada Mas Rian. Meski tidak sesempurna Ayah tetapi Mas Rian juga lelaki yang penyayang, romantis, penuh cinta dan setia, lemah lembut juga tidak pernah berbicara keras.

Dengannya bukan hanya ingin menua bersama namun juga berharap sesyurga bersama.

Ya, setidaknya sesimpel itu impianku, Dulu.

Sekarang? Entahlah apakah kami mampu melewati badai yang terjadi, sedangkan nahkodanya saja bingung menentukkan arah disaat kapal hampir karam.

"Kamu tahu apa yang akan terjadi jika ayah ikut?"

"Fatal bund."

Ayah pasti akan menghajar Mas Rian tanpa menunggu penjelasan, setelahnya Rumah Sakit akan sangat heboh karena kedatangan tamu istimewa.

Karena penyakit lambung yang Ayah derita, menyebabkan dirinya tidak boleh memikirkan masalah terlalu serius, asam lambung akan naik jika emosinya tidak terkontrol.

"Bunda tahu ini bukan kesalahan Rian, suamimu tidak akan setega itu menyakitimu."

Bunda ternyata lebih mengenal karakter Mas Rian dibanding denganku yang setiap hari membersamianya.

Awalnya aku bahkan sangat percaya Mas Rian melakukan pengkhianatan, tapi Bunda justru tidak yakin jika Mas Rian sampai hati melakukan itu.

"Rian dijebak."

Aku menyandarkan kepalaku disandaran sofa, mengingat kembali obrolan mereka ditaman belakang rumah waktu itu.

Ada rasa ingin melepaskan semua dengan menyudahi masalah, membebaskan Sarah pergi dari kehidupanku, dengan mengatakan yang sebenarnya kepada Mas Rian.

Namun disisi lain ada rasa ingin membalas perbuatan Sarah, bukan hanya saat ini saja, tapi perbuatannya beberapa tahun yang lalu.

"Kenapa tidak kamu katakan yang sebenarnya? masih ingin bermain-main?" bukan Bunda namanya jika tidak tahu impianku.

"Setidaknya aku harus membalas sakit hatiku delapan tahun yang lalu."

Dendam dan benci adalah penyakit hati yang tidak ada obatnya, aku tahu itu.

Sebenarnya aku juga sudah berusaha ikhlas, ingin melupakan semuanya, menganggap Sarah tidak pernah hadir dalam kehidupanku, namun takdir berkata lain.

Semesta menginginkanku menyaksikan penderitaan i***s berwujud manusia dan menjabat sabagai sahabat.

"Bukankah kamu sudah ikhlas?" Setidaknya itu yang Bunda tahu, karena dulu aku mengatakan seperti itu.

"Sudah Bund, tapi mungkin perempuan itu menginginkan kenang-kenangan terindah dariku, itulah kenapa dirinya hadir lagi," Aku yakin, Bunda pasti tahu maksduku.

"Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, benar salah Bunda akan selalu dipihakmu, tapi berusahalah untuk selalu benar." Aku tahu itu, Bunda pasti akan selalu membereskan kekacauan yang aku lakukan.

"Jangan keluar jalur" Bunda melanjutkan kata-katanya lagi.

"Aku tahu." Jawabku singkat sambil tersenyum.

Bunda mengambil ponselnya kembali, hanya untuk melihat jam.

"Bersiaplah! sudah cukup istirahatnya."

Bunda hendak bangkit dari duduknya, "Sebentar Bund," aku menahannya hingga Bunda memposisikan kembali duduk ditempat semula.

"Apalagi?"

Sepertinya Bunda sudah tidak sabar berburu diskonan.

"Darimana Bunda tahu Mas Rian menikah lagi?" dari tadi aku sangat penasaran, apa mungkin bunda punya mata-mata dirumahku, atau mungkin diam-diam Bunda memasang CCTV, tapi aku rasa itu tidak mungkin.

Satu-satunya tersangka adalah Bi Nani, ya pasti bi Nani yang jadi agen rahasianya Bunda.

"Itu tidak penting!" Bunda bangkit dari duduk, " ayo bersiap, ganti pakaian yang lebih style jangan kaya gembel." Bunda memberi titah sambil melangkah menuju kamar.

Padahal tidak ada yang salah dengan outfitku, hanya karena tadi dipakai buat tidur saja makanya terlihat berantakan.

Berasama Bunda semuanya memang harus perfect.

Mau tidak mau aku mengikuti Bunda masuk ruangan ternyaman.

"Rian telpon,"Bunda berkata sambil mengoles bibir dengan pewarna khusus, tanpa menoleh kearahku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status