Share

Bab 5

BUNDAKU SEGALAKU

πŸ’πŸ’πŸ’

Diana

πŸ’πŸ’πŸ’

Saat hendak mengambil air minum tanpa sengaja aku mendengar perbincangan antara Sarah dan juga Mas Rian, jiwa kepoku meronta- ronta, ada hal menarik yang sayang jika harus dilewatkan.

Aku urungkan niat untuk mengambil minum, melihat dari jarak aman, namun masih bisa mencuri dengar apa yang sedang mereka bicarakan.

Kekecewaanku terhadap Mas Rian sedikit memudar setelah tau perkara yang sebenarnya.

Bahkan aku sempat berfikir Mas Rian dijebak sarah sehingga terpaksa menikahinya.

Sepertinya Sarah hendak berlalu aku gegas pergi menuju kulkas agar tidak ketahuan sedang menguping.

"Sayang," Mas Rian menghampiriku yang sedang duduk di kursi dekat dapur.

"Hmmm," meskipun aku tau aku masih jadi ratu dihati Mas Rian, namun tidak bisa aku pungkiri, aku cemburu saat melihat dirinya bersama perempuan lain.

Jujur saja aku masih begitu mencintai lelaki yang lima tahun lalu mengucap janji suci didepan Ayahku, namun juga kecewa karena tidak pernah berterus terang perihal Sarah.

"Ada apa Mas?" Aku bertanya karena tidak ada lagi kata yang keluar dari mulut Mas Rian.

"Non ada nyonya didepan," saat Mas Rian hendak membuka mulutnya tetiba bi Nani memberi tahu jika aku kedatangan tamu.

"Terimakasih bi, aku segera kedepan," bi Nani hanya menganggukan kepala, Mas Rian mengekor dibelakangku.

"Bunda!" Teriakku saat sudah melihat sosok perempuan sedang duduk dengan anggunnya disofa ruang tamu.

"Hay baby how are you?" Bunda memelukku mencium pipi kiri dan kananku serta seluruh wajahku.

Ada rindu disetiap sorot matanya, sudah lebih dari tiga purnama kami tidak berjumpa.

Bunda baru pulang dari Negeri Sakura, honeymoon katanya.

Ayah memang selalu memanjakan Bundaku, apapun keinginannya selalu Ayah turuti, Bunda benar- benar menjadi wanita paling beruntung diseluruh alam semesta.

Dulu aku juga merasa seberuntung Bunda, memiliki suami seperti Mas Rian yang memperlakukan aku bagaikan ratu, tidak pernah berkata kasar, sangat romantis dan juga setia, ya setidaknya dulu aku mengira begitu.

"Seperti yang Bunda lihat," aku masih memeluk erat Bundaku seperti takut jika harus ditinggal lagi.

Entahlah saat ini aku hanya merasa nyaman dalam pelukan Bunda.

"Rian apa kabar?" Bundaku mengalihkan pandangannya kepada Rian.

"Baik Bun, Bunda sendiri apa kabar? bagaimana bulan madunya?" Mas Rian memang tidak pernah canggung jika berbicara kepada Bunda.

Bunda juga sangat menyayangi Mas Rian seperti anaknya sendiri, tidak pernah membedakan antara anak dan menantu.

"Bunda juga baik, bulan madunya berjalan lancar donk, ehh kalian kapan mau bulan madu lagi, jangan kalah sama Bunda." Ahhh Bunda memang selalu seperti itu, jiwa mudanya masih melekat erat pada diri wanita yang telah melahirkanku, meskipun usianya sudah kepala lima.

"Dijadwalkan secepatnya Bun," aku tidak tau ini hanya sekedar alasan Mas Rian atau memang benar ingin mengajakku.

"Harus donk sayang," Bunda juga memanggil Mas Rian dengan kata seperti itu, benar-benar tidak ada jarak diantara mertua dan menantu.

Aku menjadi khawatir bagaimana kecewanya Bunda jika menantu yang sangat beliau sayangi sudah mengecewakan anak perempuan kesayangannya. Bundaku memang berhati lembut dan penyayang namun juga tidak pernah menerima pengkhianatan.

"Bunda kapan kembali?" Aku mengalihkan pembicaraan sambil menuntun Bunda untuk duduk kembali.

"Semalam, tapi karena cape Bunda langsung istirahat dan sekarang baru sempat kesini."

"Kenapa tidak memberi kabar? kita kan bisa jemput Bunda dibandara." Mas Rian memang selalu perhatian, bukan hanya dengan Ibunya saja, namun dengan Orang tuaku juga.

"Tidak ingin merepotkan kalian."

"Sebenarnya kami tidak pernah merasa direpotkan Bun, oh ya Ayah mana bun? tidak ikut?" Aku membiarkan Mas Rian bercengkerama dengan Bundaku, sementara aku cukup jadi pendengar setia.

"Ah ya Bunda lupa, Ayah titip maaf buat kalian karena tidak bisa ikut kesini."

"Kenpa?" Kali ini aku yang penasaran, aku khawatir Ayah sakit karena kelelahan, atau lambungnya kumat.

"Sebenarnya tadi mau ikut, tapi tanpa diduga ada tamu datang kerumah." Bunda terlihat murung karena suaminya tidak bisa ikut mengunjungiku, biasanya kemanapun Bunda pergi Ayah pasti selalu jadi pengawal setianya, kecuali memang ada urusan mendadak seperti ini.

"Sayang mau ikut Bunda tidak?" Bunda melanjutkan kata-katanya lagi.

"Kemana?"

"Bersenang-senang." Aku pikir tidak ada salahnya mengikuti Bunda menghabiskan hari.

"Tentu saja, tunggu sebentar," aku berlalu kekamar mengganti pakaianku, memoles sedikit make up agar terlihat lebih fresh.

Tidak butuh waktu lama aku sudah kembali menghampiri Bunda.

"Sudah siap sayang?"

"Siap dong."

"Rian, Bunda pinjam istrinya sebentar ya?" Memang Bunda pikir aku ini barang apa, mau mengajakku pergi pake acara pinjam segala.

"Hati-hati, bersenang-senanglah!" Meskipun melepasku dengan kata-kata riang, namun aku lihat sorot khawatir diwajahnya.

"Pasti!" Bunda menjawab sambil menggandeng lenganku.

"Besan?" Kami berpapasan dengan Mama didepan pintu serta pelakor juga tentunya, aku lihat Mama sedikit terkejut sebelum sedetik kemudian memormalkan eksresinya lagi.

"Jeng Fatma, apa kabar?" Bunda balik menyapa, Fatma nama wanita yang telah mengandung suamiku.

"Baik jeng, jeng Lisa sendiri bagaimana kabarnya?" Mama mertua ikut berbasa-basi, meski sudah basi.

"Baik juga, oh iya ini .... " Bunda menunjuk Sarah.

"Sarah bun, anak temennya Mama," aku menjawab cepat sebelum Mama menyebut nama Sarah.

Bunda hanya menganggukan kepala paham.

"Duluan jeng, mau pergi sama Diana," Bunda langsung menggandeng tanganku tanpa menunggu jawaban dari besannya.

πŸ’πŸ’πŸ’

"Menangislah!" Ternyata Bunda mengajakku keapartemen, aku kira akan mengajak jalan-jalan ke mall atau sekedar makan direstaurant.

"Kenapa aku harus menangis?"

"Kamu bisa menutupi lukamu didepan semua orang, tapi tidak berlaku untuk Bunda!" Ah Bundaku memang ter best, selalu mengerti apapun yang aku rasakan.

Tidak mudah menyimpan rahasia dari wanita ayu yang sudah berjuang antara hidup dan mati demi memberikan kehidupan untukku.

"I'm fine Bun, tidak ada yang perlu ditangisi."

"Bunda akan menemani tangismu sampai kamu puas meluapkan segala luka," tidak mudah memperdaya Bunda, alasan apapun tidak berlaku jika Bunda sudah berkata.

Benar memang ikatan batin antara Bunda dan anak tidak bisa dibohongi.

"Bunda!" akhirnya aku tidak kuasa membendung air mata yang selalu aku tahan didepan semua orang.

Aku menangis sesenggukan dipangkuan Bundaku. Bunda tidak mengatakan apapun hanya mengelus sayang rambutku.

Entah berapa lama aku menangis seperti anak TK yang kalah berebut ayunan, namun Bunda masih setia menemaniku.

Tanpa sadar aku tertidur dipangkuan Bunda, dan ketika aku bangun, aku sudah tidur dikasur dengan selimut menutupi tubuhku.

Meskipun aku sudah bersuami tapi bagi Bundaku, aku tetaplah gadis kecilnya, yang tidak akan dibiarkan terluka sendiri, dan akan selalu dilindungi dari siapapun yang ingin menyakitiku.

"Sayang sudah bangun?" Bunda mendekatiku ketika melihatku sudah duduk.

Aku menganggukan kepala, "bagaimana, sudah baikkan?" Tanya bunda lagi, menangis tidak akan menyelesaikan masalah, namun menangis bisa membuat hati kita sedikit lega. Lagi-lagi aku hanya menganggukkan kepala.

"Makanlah, kamu pasti lapar, Bunda siap mendengarkan kapanpun kamu siap bercerita."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status