"Apaan, sih? Ini siapa, Yah? Tiba-tiba datang marah-marah. Kurang obat atau baru pulang dari rumah sakit jiwa?" Aku menggelengkan kepala mendengar perkataan Hanin. Mereka semua menoleh, ketika aku masuk. Mengambil posisi di belakang Bang Ridwan. "Kamu dengar, Ri?" tanya Bang Ridwan sambil menatapku. "Kamu bilang, kamu menginginkan anak laki-laki dari aku, Mas?" Aku tertawa pelan. "Kamu akan tahu alasannya, kenapa aku tidak bisa memberikanmu anak laki-laki. Tapi tidak sekarang."Mas Riky menatapku penasaran. Aku mengangkat bahu. Bdrbisik pada Bang Ridwan. Menyuruh Abangku itu melanjutkan semuanya. Biarlah. Biar Bang Ridwan yang menyelesaikan semuanya. "Sudahlah. Tidak ada gunanya lagi bicara sama manusia ini."Buk! Bang Ridwan meninju Mas Riky. Aku saling tatap dengan Hanin. Dia menggendong bayinya. "Apa? Mau jambak-jambakan?" tanyanya sambil menatapku galak. Mas Riky tersungkur di lantai. Aku melebarkan mata. Buru-buru menarik Bang Ridwan. "Sudah, Bang.""Kamu akan menyesal
"Bang, bisa bantuin Ria, gak?" tanyaku sambil duduk di sofa. Bang Ridwan yang sedang sibuk dengan ponselnya menoleh ke aku. Dia menatap heran. Abangku ini baru saja pulang. Adel langsung aku suruh mandi. Belanjaan yang mereka bawa banyak sekali. Entah apa yang Bang Ridwan belikan untuk Adel. "Biasanya gak mau minta bantuan. Kok tumben."Aku menyenderkan punggung ke sandaran kursi. Menghela napas pelan. "Ini menyangkut rahasia, sih. Kalau Abang gak mau, yaudah.""Eh? Rahasia? Rahasia apaan?" Nah, kalau sudah dipancing begini, Bang Ridwan pasti mau menuruti permintaanku. Kemudian dia akan menyetujuinya nanti. "Soal pria yang bersama Hanin."Bang Ridwan diam sejenak. Dia menatapku dalam. "Sudahlah, Ria. Kamu sudah mau berpisah dari Riky. Tidak perlu menyelidiki itu semua lagi.""Bukan masalah itu, Bang. Ria cuma mau membuktikan semuanya. Bahwa Mas Riky gak pantas sudah memilih wanita itu."Wajah Bang Ridwan memerah. Dia tidak ingin aku ada urusan lagi dengan Hanin dan Mas Riky.
"Siapanya Hanin?" Tubuhku menegang. Ini sudah masuk ke interogasi. Bang Ridwan memang benar-benar keren. "Sabar dulu. Saya belum tahu kamu kenal atau tidak dengan Hanin. Saya tidak bisa langsung memberitahukan siapa Hanin sebenarnya."Ah, jangan sampai dia curiga. Bang Ridwan diam sejenak. Sepertinya sedang berpikir. "Gini aja, saya punya foto bareng Hanin. Kamu mungkin bisa lihat." Aku mengernyit. Bang Ridwan dapat foto darimana?Tidak ada pembicaraan. Aku menatap dari jauh. Ferdi sedang melihat ponsel Bang Ridwan yang kedua. "Oke. Ternyata kamu kenal dengan Hanin."Hm. Pasti Bang Ridwan mengedit foto itu. Dia memang pintar mengedit sesuatu. "Saya pacarnya Hanin."Ah, benar dugaanku. Tapi belum bisa dipastikan, apakah bayi Hain adalah bayi laki-laki itu. "Pacar? Sekarang Hanin sudah punya bayi." "Eh? Kamu tahu juga?" Nadanya terdengar terkejut sekali. Seolah-olah kabar itu hanya dia yang tahu. "Tentu saja aku tahu. Banyak teman lain juga tahu. Nah, ini yang aneh. Kamu meng
Bang Ridwan menemaniku ke pengadilan agama untuk menghadiri sidang pertama perceraian dengan Mas Riky. "Udah siap belum, Ri?" tanya Bang Ridwan sambil mengetuk pintu kamarku. "Belum, Bang. Sebentar lagi." Aku menatap cermin sekali lagi. Menghela napas pelan. Sebenarnya, aku belum siap untuk menghadiri sidang, aku belum siap untuk menjaga Adel sendirian. Masih ada sesuatu yang lemah di dalam diriku. Apalagi mengingat kebersamaanku dengan Mas Riky yang bisa dibilang cukup lama kami bersama. "Dek? Nanti kita terlambat, loh. Kamu ngapain di dalam kamar?" Bang Ridwan kembali mengetuk pintu kamar, dia tidak sabaran lagi. Buru-buru aku mengusap pipi. Berusaha tersenyum. Ya, aku bisa, jangan sampai aku goyah, karena satu hal. Cinta. Ah, sulit sekali melupakan itu semua. Aku membuka pintu kamar, mengajak Bang Ridwan untuk segera berangkat. "Kamu kayaknya sedih banget hari ini. Gak kayak biasanya, gak ceria."Mendengar perkataan Bang Ridwan, aku langsung menoleh. Perasaan, tadi aku suda
"Emang muat makanan sebanyak itu?" Saat pelayan rumah makan mengantar pesanan, Putra langsung melongo melihat pesananku. "Muat, dong." Putra menggaruk rambutnya. Dia menatapku serba salah. "Gak masalah, sih, kalau habis. Uang aku banyak, tapi kalau gak habis? Kamu mubazir."Eh? Kok jadi dia yang menasehati? Aku menatapnya galak, bilang saja dia tidak mau membayarkan makanan ini. Namun, kalimatnya barusan benar juga. Putra banyak uang, kenapa dia harus pusing memikirkan cara membayar makanan ini? Aduh, kenapa saat bersama Putra, pemikiranku kurang jalan? Aku merutuki diri sendiri dalam hati. "Kalau gak habis, tinggal dibungkus. Bawa pulang, dimakan lagi. Kalau gak kasih anak-anak lain. Gampang." Putra menatapku. Beberapa menit kemudian, dia mengangguk. "Ajaib. Si cantik ini ajaib." Wajahku memerah mendengarnya. Nada Putra seperti pujian, tapi tetap saja menyebalkan. "Serasa jadi obat nyamuk di sini." Kami berdua menoleh ke Bang Ridwan. Aku mencubit pinggangnya, menyuruh dia
Sungguh, aku tidak paham dengan pemikiran Mama. Kenapa tiba-tiba Mas Riky ada di sini? Apakah Mama sudah memaafkannya? Ah, tidak mungkin. Aku menggelengkan kepala, menatap Mama bertanya-tanya. "Ridwan mau bicara sama Bunda."Bang Ridwan lebih dulu bersuara, dia mengajak Mama ke ruangan lain. Sedangkan aku menatap Mas Riky. Mama memang dipanggil Bunda oleh Bang Ridwan. Biar ada bedanya katanya. Aku melangkah pelan, mendekati Mas Riky yang terlihat tidak berdosa sedang makan. "Ngapain kamu di sini?" tanyaku ketus. "Memangnya gak boleh kalau ke rumah mertua sendiri? Salah?" Dia bertanya santai. Aku terdiam. Beberapa menit kemudian, aku tertawa pelan. Dia memang ciri-ciri pria tidak tahu malu. "Mana istri simpanan kamu, Mas? Gak sekalian diajak kesini? Makan gratis di rumah mertua kamu." Wajah Mas Riky memerah mendengar perkataanku. Dia sepertinya tersindir sekali. "Jangan bawa-bawa Hanin dulu, Ria. Aku kesini mau bujuk kamu untuk kembali membangun pernikahan kita yang hampir han
"Udah bawa masuk aja. Aman, kok. Nanti jangan lupa tanya sama si Putra."Aku menganggukkan kepala mendengar perkataan Bang Ridwan, langsung membawa masuk bunga dan paket. "Abang pergi sebentar, mau ketemuan sama orang. Si Adel udah di kamar."Bang Ridwan mengusap rambutku, kemudian berjalan cepat ke ruang tamu. Dia memang selalu buru-buru kalau sudah terlambat. Mungkin mengurus kerjaan atau mengurus masalah cintanya. Ah, aku ingin sekali melihat Bang Ridwan menikah, belum kesampaian saja sampai sekarang. Mama juga begitu, belum merasa berhasil mendidik Bang Ridwan, kalau Abangku itu belum menikah. Apalagi orang tuanya Bang Ridwan menitipkan Abang sepupuku itu pada Mama. "Om Ridwan tadi kemana, Ma?" Lamunanku langsung terputus, ketika Adel bertanya. "Pergi sebentar katanya. Kenapa?" Adel mengacungkan cokelat. "Adel dikasih ini, padahal gak minta." Mataku melebar melihat cokelat. Pasti Bang Ridwan membeli diam-diam dan pastinya dia tidak hanya beli satu. Aku tersenyum. "Gak pap
"Gimana? Boleh, 'kan?" tanya Putra pelan. Dia menatapku penuh harap, ingin aku mengatakan iya. Baiklah. Aku menganggukkan kepala, membuat Adel bersorak senang. Adel langsung memelukku. Dia berterima kasih, sesekali aku menatap Putra yang tersenyum. Sungguh, aku bisa melihat ada ketulusan di sana. "Sini dulu, Adel. Om yang pakein." Aku menyuruh Adel kembali mendekati Putra. Menerima gelang yang diberikannya. "Kalau udah, Adel langsung tidur, ya. Jangan lupa baca doa." Bang Ridwan seakan menjadi satpam. Putra meringis pelan, dia sepertinya merasa tersindir dengan perkataan Bang Ridwan. Ini memang sudah cukup malam. "Om kapan main kesini lagi?" tanya Adel pelan. Sebenarnya, Adel ingin berbisik, tapi suaranya terdengar keras. Aku tersenyum, menggelengkan kepala sendiri. Dari jauh saja, Adel dan Bang Ridwan tampak sekali seperti anak dan bapak. Ah, aku jadi merindukan kebersamaan kami. "Nanti, kalau Mama kamu ngizinin. Pasti Om mau datang kesini lagi." Adel menatapku sekilas. Di