[Pesta ulang tahun bayiku yang pertama bakalan mewah banget. Kamu rugi kalau gak datang. Aku tunggu, ya.]
Aku tersenyum tipis, melihat pesan yang baru saja masuk. Tentu saja aku akan datang. Kedatanganku nanti, akan menjadi musibah untuk acara anak pertama Hanin—teman kantor suamiku. Bayinya sudah berumur satu tahun sekarang.Hanin. Wanita polos yang penuh misteri. Sayangnya, aku sudah tahu semuanya. Beberapa minggu yang lalu. Wanita itu pelakor. Dia merebut suamiku. Aku justru baru tahu beberapa minggu terakhir. "Sayang, aku berangkat dulu. Kamu cari pakaian yang bagus, buat ke pesta nanti. Jangan malu-maluin.""Mana uangnya, Mas?""Eh?" Mas Riky menoleh ke aku. "Uang apa?""Uang biar gak malu-maluin, Mas. Kamu nyuruh aku dandan, 'kan?"Mas Riky menggaruk rambutnya. Dia kebingungan sendiri. "Pakai uang kamu dulu. Kapan-kapan aku ganti."Aku mengambil tas kerja Mas Riky. Berjalan lebih dulu ke depan rumah. Mengantarnya. "Habis uangku, Mas. Bulan ini kamu cuma kasih setengah dari gaji kamu. Aku tanya, kamu ada perlu. Buat apa? Banyak, lho, itu.""Bulan depan semua gaji aku buat kamu semua. Jangan perhitungan, dong, Ria."Mas Riky langsung mengambil tas kerjanya. Dia masuk ke dalam mobil. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Menatap mobil Mas Riky yang mulai meninggalkan halaman rumah. "Aku bukan perhitungan, Mas. Aku hanya ingin menanyakan hakku sebagai istri."***"Kok baju kamu lusuh gitu? Ini juga, gak kamu setrika, ya?"Mas Riky mengerutkan dahi melihat pakaiannya yang sudah aku siapkan di atas tempat tidur. "Bibi lagi pulang kampung, Mas. Anak kita juga lagi kemping. Gak ada yang bantuin aku di rumah."Sebenarnya, ini sengaja. Dengan kesal, Mas Riky mengambil pakaiannya. Wajahnya kusut sekali. Kami berangkat ke rumah Hanin. Selama di perjalanan, Mas Riky hanya diam. "Ah, akhirnya datang juga. Selamat datang, Ria. Jangan malu-maluin, ya, nanti. Kalau mau makan, makan aja yang banyak."Hanin menyambutku. Tidak tahu saja, aku punya kejutan untuknya. "Terima kasih. Aku gak bakalan malu-maluin, kok."Aku masuk ke dalam rumah Hanin yang cukup mewah. Hanin sering mengaku, suaminya itu pengusaha sukses. Maka nya, jarang kelihatan. Malah, tidak pernah kelihatan.Ah, pengusaha sukses darimana? Acara ini dimulai. "Enak, ya, jadi Hanin. Hidupnya mewah. Berkecukupan. Apalagi suaminya pengusaha sukses. Ah, makin enak hidupnya."Tidak sengaja, aku mendengar perkataan salah satu teman kantor Hanin. "Iya. Buat acara mewah banget. Tapi sayang, pesta pernikahannya gak dibuat disini, tapi di luar negeri. Pasti lebih mewah lagi."Di luar negeri? Tidak salah? Aku menggelengkan kepala mendengarnya. Kabarnya memang seperti itu. Sayangnya, kenyataannya tidak begitu. "Pak, saya sahabatnya Bu Hanin. Mau kasih kejutan ke dia. Saya minta tolong putar video di dalam flashdisk ini."Aku memberikan flashdisk. Menunggu satpam mengambilnya. "Boleh lihat identitas Ibu?"Baiklah. Sepertinya, dia tidak percaya. Setelah memberikan KTP. Tidak lupa aku memperlihatkan foto dengan Hanin. Kami terlihat akrab disitu. Akhirnya, satpam ini percaya juga. "Baik, Bu. Saya akan tinjau dulu videonya."Sebelum aku membuka suara, satpam itu menoleh ke samping. Ada tanda untuk melanjutkan acara. "Yaudah, videonya akan saya putar sekarang, Bu."Bagus. Aku tersenyum tipis. Keluar dari ruangan khusus. Menunggu video diputarkan."Siapa yang penasaran dengan perjalanan bayinya Bu Hanin? Ini akan menjadi video paling istimewa."Aku sudah berdiri di samping panggung. Mas Riky sejak tadi tidak kelihatan. Mungkin, dia bersama bayinya. Video terputar. Semua pandangan tertuju ke panggung. Aku tersenyum tipis. Video ini tentang perselingkuhan Mas Riky. Percakapan mereka berdua. Juga kelicikan mereka.Pandanganku teralih ke Hanin. Wajahnya pucat. Dia duduk di atas panggung. "Hentikan ini!"Hanin lebih dulu berteriak. Ah, dia membuat semuanya kacau. Banyak tamu yang mencegah. Bahkan, masuk ke dalam ruangan khusus.Sebelum video selesai, aku naik ke atas panggung. "Saya adalah istri Pak Riky. Pria yang ada di video tadi. Dan suami saya sudah berselingkuh dengan wanita ini."***Jangan lupa like dan komen, yaa."Saya dikhianati. Rumah tangga saya tidak jelas arahnya. Dan wanita ini dengan santainya membuat pesta. Seolah tidak punya rasa bersalah sedikit pun."Semua pandangan tertuju ke arah Hanin. Aku tersenyum tipis. Dengan langkah pelan, aku mendekati Hanin yang dipegangi oleh beberapa tamu undangan. "Itu seriusan? Gak bohongan, 'kan?"Terdengar bisik-bisik tamu. Aku diam sejenak. Berhenti tepat di samping Hanin. Rasanya, aku tidak percaya ketika mengetahui semuanya. Ah, seperti mustahil terjadi. "Ria!"Mendengar panggilan itu, aku langsung menoleh. Mendapati Mas Riky yang berdiri di bawah panggung. Mau apalagi dia?Mas Riky bergegas ke atas panggung. Menggenggam tanganku, mengajak untuk ke tempat lain. Wanita yang menjadi selingkuhannya itu juga ikut. Dia sudah menangis. Malu, karena aku membuat kacau acaranya. "Apa yang barusan kamu lakukan, hah?! Kamu mempermalukan aku di depan umum, Ria!"Aku tertawa mendengarnya. "Itu fakta."Tidak ada gunanya berdebat disini. Aku memilih berdi
"Saya mau bertemu dengan pimpinan perusahaan.""Sebentar, Bu. Saya cek dulu."Sebenarnya, aku sudah mengenal pimpinan perusahaan Mas Riky. Namun, aku akan menemuinya disini sekarang. Beberapa detik menunggu. Akhirnya, aku diperbolehkan menemui pimpinan perusahaan. "Ah, Ria. Apa kabar?"Pria berjas hitam duduk di kursi kebanggaannya. Aku tersenyum tipis, mendekatinya."Baik, Bang. Ada yang mau Ria bicarakan."Bang Cakra—pria dengan wibawa tinggi yang sangat mengenalku. Ini benar-benar kesempatan bagus untuk membujuknya. "Silakan duduk."Meksipun sudah akrab, aku tetap menghormatinya. "Abang tahu apa yang mau kamu bicarakan, Ria."Pasti berita kemarin menyebar dengan cepat. Aku tersenyum kembali, urusanku akan semakin mudah. "Ini yang kamu mau, 'kan?"Bang Cakra menggeser dua lenbsr kertas. Aku langsung membukanya. Membaca dengan cepat. Surat yang benar-benar di luar dugaanku. Sudah aku bilang, urusan ini akan mudah. "Tidak perlu kamu datang kesini. Abang akan memproses semuanya.
"Aduh, ngeselin banget, deh. Pakaian aku basah semua. Aku mau pulang aja. Urusan ganti rugi besok-besok."Hanin langsung mendorong kereta bayinya. Dia sama sekali tidak membayar makanannya.Aku menatap beberapa helai rambut yang ada di dalam plastik. Ya, aku akan melakukan tes DNA. Untuk membuktikan apakah benar bayi itu anak kandung Mas Riky.Ah, aku juga sempat memasukkan perekam suara di kereta bayi. Tersembunyi. Tidak akan ketahuan."Kamu lihat saja. Apa yang akan aku lakukan pada keluargamu nanti."***Sampai di rumah, aku mengernyit ketika melihat mobil Mas Riky terparkir di halaman depan. Mau apalagi dia kesini?"Ria. Ada yang mau aku bicarakan."Aku melirik Mas Riky tanpa minat. "Ada apa, Mas? Mau membahas apa yang sudah berlalu?"Mas Riky melempar kertas ke atas meja. Ah, kertas pemecatannya."Ini semua gara-gara kamu. Kamu yang ngadu ke kantor? Kamu yang buat aku dipecat?"Wajah Mas Riky memerah. Terlihat sekali, dia sedang menahan marah. Aku tersenyum tipis."Kesalahan kamu
"Wow. Ada pelakor rupanya."Aku menceletuk, sambil tertawa pelan. Sedangkan beberapa orang menoleh ke aku. "Serius, Bu Ria? Pelakor?"Kali ini, pandangan Hanin ke arahku. Dia menggeram pelan. Buru-buru mendekatiku. "Iya. Gak malu banget. Saya sampai kesal sendiri lihat orang ini."Tanganku ditarik Hanin. Kami menjauhi kerumunan. Aku menatap Hanin. Melipat kedua tangan di depan dada. Wanita ini benar-benar tidak tahu malu."Kenapa? Malu dibilang pelakor di depan banyak orang? Gimana kalau aku bilang, kamu yang rebut suami aku? Malunya berkali-kali lipat mungkin.""Diam kamu, Ria. Kebanyakan bicara. Awas aja kalau sampai semuanya tahu."Mendengar perkataan Hanin, aku tertawa. Tidak salah dia berkata seperti itu?Sebenarnya, aku juga ingin memberitahukan semuanya. Ah, tapi itu jadi tidak seru. Biarlah mereka tahu sendiri. Sedangkan aku, berjalan dengan rencanaku. "Meskipun aku gak kasih tahu semuanya sekarang, tapi akan ada saatnya semua orang tahu, kalau kamu yang merebut suamiku."
"Ngapain, sih, malam-malam nyuruh kesini? Kurang kerjaan?"Aku mendongak, mendapati Mas Riky. Pria itu melipat kedua tangan di depan dada. Pandanganku beralih ke meja Hanin. Eh? Kemana mereka? "Malah diam. Ngapain, Ria?" tanya Mas Riky kembali.Hanin dan pria itu tidak ada lagi. Padahal, aku hanya mengalihkan pandangan beberapa menit. "Gak jadi."Ah, ini benar-benar aneh. Tiba-tiba saja mereka menghilang. Atau—Hanin sudah tahu, kalau aku datang?Setelah membayar pesanan, aku menyuruh Mas Riky membawa barang-barang. "Kok banyak banget belanjanya? Kamu pakai uang siapa?"Aku menoleh ke pria itu. "Bukan urusan kamu."Masalah tadi, membuatku kesal. Harusnya, Mas Riky bisa tahu kelakuan Hanin. "Biar aku yang nyetir. Kalau kamu, lagi kayak gini, ngeri."Mataku membulat mendengarnya. Langsung masuk ke mobil, duduk di kursi penumpang. "Nih, lihat. Kelakuan Hana."Akhirnya, aku memutuskan untuk memberitahukan Mas Riky, meskipun hanya foto. Dia memang harus tahu kelakuan si Hanin.Sebelum
"Kok aku tadi malam gak pulang ke rumah Hanin?"Aku menoleh. Mas Riky sedang mendumal sendirian. "Lupa ingatan kali kamu. Kamu ketiduran tadi malam."Mas Riky bersungut-sungut. Dia tampak sebal sekali. Berjalan meninggalkan dapur. "Ma, Papa mana?" "Udah kerja kayaknya, Sayang. Kamu duduk sini, sarapan." Adel mengangguk. Berjalan ke arahku. "Nanti Mama mau pergi lagi?" Aku terdiam mendengar pertanyaan Adel. Sebelum kasus perselingkuhan Mas Riky ini, aku memang jarang sekali keluar rumah. "Iya. Ada urusan sebentar. Nanti, Adel bareng Oma aja. Mama anterin nanti."Buru-buru aku mengambilkan Adel sarapan. Agar dia tidak banyak bertanya lagi. "Mama lagi ada masalah, ya? Atau berantem sama Papa?"Mendengar pertanyaan Adel, aku sedikit tersentak. Menggigit bibir, berusaha mencari jawaban yang tepat. "Enggak. Mama sama Papa lagi sibuk aja. Gak ada masalah apa-apa, kok."Adel masih menatapku tidak percaya. Dia mengambil piring yang aku sodorkan. Gantian aku menatap Adel. Anak perempu
"Kamu ngapain di kamar Mama? Bukannya mau ke kamar mandi, ya?"Aku menoleh, menatap Mama mertua yang tampak panik sendiri. Mama Mas Riky langsung menutup pintu kamar. Menatapku sambil berkacak pinggang. "Gak sopan kamu itu masuk ke dalam kamar Mama. Pantas saja Riky suka sama wanita lain."Mendengar itu, aku tertawa pelan. Orang yang aku kira baik dari keluarga Mas Riky, ternyata jahat. Ah, sedikit menyakitkan dari kenyataan ini. "Ngapain ketawa-tawa? Riky memang gak pantas sama kamu lagi.""Riky yang gak pantas sama saya, Bu. Lalu Ibu? Dengan entengnya, Ibu membela saya di depan mata saya sendiri. Mengkhianati di belakang. Wow. Benar-benar keluarga yang kompak."Tidak ada lagi panggilan Mama untuk wanita di hadapanku ini. Mama Mas Riky tampak terkejut mendengar perkataanku barusan. "Saya memang diduakan, Bu. Saya dikhianati oleh anak Ibu. Tapi saya tidak bodoh."Aku membuka pintu kamar Mama Mas Riky. "Dengan senyum bahagia berdiri. Ah, saya tahu. Wanita itu telah memberikan Ib
"Mama mau pergi lagi?" tanya Adel ketika melihatku mengambil tas."Sebentar doang, Sayang. Kamu langsung makan, ya."Aku mencium kening Adel sebelum pergi. Aku ingin memastikan kebenaran anaknya Hanin. Sampai di rumah sakit, aku langsung turun. Ini rumah sakit yang dibilang tetangga tadi. Setelah bertanya pada suster, aku langsung berjalan ke ruangan anaknya Hanin. "Ngapain kamu disini?"Eh? Aku menoleh. Mendapati Mas Riky yang melihatku heran. "Mas sendiri ngapain?" "Anakku sakit. Mana Adel?"Ah, aku punya ide bagus. Tanpa harus bertanya pada Hanin sendirian. "Jawab dulu, anak kamu sakit apa?"Demi mengecek semuanya, aku harus bertanya pada Mas Riky. Ini benar-benar menyebalkan. "Cuma demam. Mana Adel?" Kelihatan sekali, Mas Riky saya pada Adel. Berkali-kali dia bertanya mengenai Adel. "Di rumah. Yaudah, aku duluan."Aku berlalu dari hadapan Mas Riky. Tidak ke pintu keluar, tapi muter-muter dulu. Ini rumah sakit yang sama dengan aku melakukan tes DNA. Aku melirik ruangan la