"Saya dikhianati. Rumah tangga saya tidak jelas arahnya. Dan wanita ini dengan santainya membuat pesta. Seolah tidak punya rasa bersalah sedikit pun."
Semua pandangan tertuju ke arah Hanin. Aku tersenyum tipis. Dengan langkah pelan, aku mendekati Hanin yang dipegangi oleh beberapa tamu undangan. "Itu seriusan? Gak bohongan, 'kan?"Terdengar bisik-bisik tamu. Aku diam sejenak. Berhenti tepat di samping Hanin. Rasanya, aku tidak percaya ketika mengetahui semuanya. Ah, seperti mustahil terjadi. "Ria!"Mendengar panggilan itu, aku langsung menoleh. Mendapati Mas Riky yang berdiri di bawah panggung. Mau apalagi dia?Mas Riky bergegas ke atas panggung. Menggenggam tanganku, mengajak untuk ke tempat lain. Wanita yang menjadi selingkuhannya itu juga ikut. Dia sudah menangis. Malu, karena aku membuat kacau acaranya. "Apa yang barusan kamu lakukan, hah?! Kamu mempermalukan aku di depan umum, Ria!"Aku tertawa mendengarnya. "Itu fakta."Tidak ada gunanya berdebat disini. Aku memilih berdiri. Mengambil tas."Aku tunggu kamu di rumah, Mas. Jangan pernah berpikir kamu bisa menghindar."Sebelum pergi, aku sempat menoleh ke arah Hanin. "Kamu dan bayi kamu akan menyesal, Hanin. Aku tidak akan pernah melupakan ini semua. Dan jangan lupa, kamu sudah menghancurkan rumah tanggaku."***Mas Riky pulang malam-malam. Aku sudah mempersiapkan semuanya. "Kenapa barang-barang aku di luar, Ria?" tanya Mas Riky kebingungan. "Silakan pergi dari rumah ini. Karena rumah ini sudah atas namaku, Mas."Pria itu mengambil tas yang aku berikan. "Ini jangan lupa, Mas."Aku memberikan kertas. Disana, ada hutang-hutang Mas Riky yang belum lunas. Beberapa bulan terakhir, aku yang membayarnya. Menggunakan uang gaji Mas Riky. Mas Riky terdiam menatap kertas yang aku berikan. Dia pasti tidak menduga hutangnya yang banyak itu."Tunggu surat perceraian dariku. Atau kamu mau langsung menalakku?"Dia memalingkan wajah. Tidak sudi mendengar perkaatanku barusan. Sebelum Mas Aji pergi dari rumah ini, ada orang yang datang. Itu Mamaku. "Saya sudah mendengarnya. Bagus sekali, anak saya kamu manfaatkan."Mas Riky melirik sebentar, kemudian bergegas meninggalkan rumahku. "Apa rencana kamu selanjutnya, Ria?" tanya Mama sambil duduk di sofa. Aku menghela napas pelan. Apa yang akan aku lakukan? Belum terpikirkan sebenarnya. Beberapa minggu yang lalu. Saat Mas Riky kerja. Aku tidak sengaja melihat selembar foto di saku kemejanya. Foto Mas Riky dan wanita sok polos itu—Hanin. Ada rasa tidak percaya. Hampir dua hari aku memastikan semuanya. Ya, itulah kenyataannya. Mas Riky berkhianat. Video itu aku kumpulkan. Membayar orang, mencari informasi. Mengumpulkan bukti-bukti. "Mama benar-benar kecewa pada Riky."Aku mengangguk. Mama benar, Mas Riky tidak pernah memegang perkataannya sendiri. Ponselku berdering. Dari Mama Mas Riky. "Sini, biar Mama yang angkat."Buru-buru aku menggeleng. Biar aku saja yang mengangkat telepon dari Mama Mas Riky. Aku ingin bicara dari mulutku sendiri. Bukan diwakilkan oleh MamaKalau Mama Mas Riky sudah tahu, itu bagus. "Halo, Ria."Mama Mas Riky lebih dulu menyapaku. Menunggu aku membalas sapaannya."Halo, Ma.""Mama sudah mendengar semuanya."Aku terdiam. Benar saja dugaanku tadi. Mama Mas Riky sudah tahu."Maafkan Riky, Ria."Aku tersenyum tipis mendengarnya. Ada rasa sakit di hatiku. Siapa yang bisa memaafkan perbuatan Mas Riky? Jujur saja, itu sangat sulit.Tidak akan bisa. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah bisa memaafkan Mas Riky. Aku menghela napas pelan, kemudian menggeleng.Dia juga tidak pantas untuk dimaafkan. "Besok kita ketemuan, Ma. Ada yang mau Ria bicarakan pada Mama."Akhirnya, aku memilih untuk ketemuan dengan Mama. Daripada bicara lewat telepon. Kurang bebas rasanya.Setelah itu, aku mematikan telepon. "Apa rencanamu, Sayang?" tanya Mama sambil memegang tanganku. "Ria gak akan pernah melepaskan Mas Riky. Ria akan membuat Mas Riky menderita. Juga keluarga mereka. Sampai mereka merasakan lebih parah, dari yang Ria rasakan sekarang."***Jangan lupa like dan komen, yaa."Saya mau bertemu dengan pimpinan perusahaan.""Sebentar, Bu. Saya cek dulu."Sebenarnya, aku sudah mengenal pimpinan perusahaan Mas Riky. Namun, aku akan menemuinya disini sekarang. Beberapa detik menunggu. Akhirnya, aku diperbolehkan menemui pimpinan perusahaan. "Ah, Ria. Apa kabar?"Pria berjas hitam duduk di kursi kebanggaannya. Aku tersenyum tipis, mendekatinya."Baik, Bang. Ada yang mau Ria bicarakan."Bang Cakra—pria dengan wibawa tinggi yang sangat mengenalku. Ini benar-benar kesempatan bagus untuk membujuknya. "Silakan duduk."Meksipun sudah akrab, aku tetap menghormatinya. "Abang tahu apa yang mau kamu bicarakan, Ria."Pasti berita kemarin menyebar dengan cepat. Aku tersenyum kembali, urusanku akan semakin mudah. "Ini yang kamu mau, 'kan?"Bang Cakra menggeser dua lenbsr kertas. Aku langsung membukanya. Membaca dengan cepat. Surat yang benar-benar di luar dugaanku. Sudah aku bilang, urusan ini akan mudah. "Tidak perlu kamu datang kesini. Abang akan memproses semuanya.
"Aduh, ngeselin banget, deh. Pakaian aku basah semua. Aku mau pulang aja. Urusan ganti rugi besok-besok."Hanin langsung mendorong kereta bayinya. Dia sama sekali tidak membayar makanannya.Aku menatap beberapa helai rambut yang ada di dalam plastik. Ya, aku akan melakukan tes DNA. Untuk membuktikan apakah benar bayi itu anak kandung Mas Riky.Ah, aku juga sempat memasukkan perekam suara di kereta bayi. Tersembunyi. Tidak akan ketahuan."Kamu lihat saja. Apa yang akan aku lakukan pada keluargamu nanti."***Sampai di rumah, aku mengernyit ketika melihat mobil Mas Riky terparkir di halaman depan. Mau apalagi dia kesini?"Ria. Ada yang mau aku bicarakan."Aku melirik Mas Riky tanpa minat. "Ada apa, Mas? Mau membahas apa yang sudah berlalu?"Mas Riky melempar kertas ke atas meja. Ah, kertas pemecatannya."Ini semua gara-gara kamu. Kamu yang ngadu ke kantor? Kamu yang buat aku dipecat?"Wajah Mas Riky memerah. Terlihat sekali, dia sedang menahan marah. Aku tersenyum tipis."Kesalahan kamu
"Wow. Ada pelakor rupanya."Aku menceletuk, sambil tertawa pelan. Sedangkan beberapa orang menoleh ke aku. "Serius, Bu Ria? Pelakor?"Kali ini, pandangan Hanin ke arahku. Dia menggeram pelan. Buru-buru mendekatiku. "Iya. Gak malu banget. Saya sampai kesal sendiri lihat orang ini."Tanganku ditarik Hanin. Kami menjauhi kerumunan. Aku menatap Hanin. Melipat kedua tangan di depan dada. Wanita ini benar-benar tidak tahu malu."Kenapa? Malu dibilang pelakor di depan banyak orang? Gimana kalau aku bilang, kamu yang rebut suami aku? Malunya berkali-kali lipat mungkin.""Diam kamu, Ria. Kebanyakan bicara. Awas aja kalau sampai semuanya tahu."Mendengar perkataan Hanin, aku tertawa. Tidak salah dia berkata seperti itu?Sebenarnya, aku juga ingin memberitahukan semuanya. Ah, tapi itu jadi tidak seru. Biarlah mereka tahu sendiri. Sedangkan aku, berjalan dengan rencanaku. "Meskipun aku gak kasih tahu semuanya sekarang, tapi akan ada saatnya semua orang tahu, kalau kamu yang merebut suamiku."
"Ngapain, sih, malam-malam nyuruh kesini? Kurang kerjaan?"Aku mendongak, mendapati Mas Riky. Pria itu melipat kedua tangan di depan dada. Pandanganku beralih ke meja Hanin. Eh? Kemana mereka? "Malah diam. Ngapain, Ria?" tanya Mas Riky kembali.Hanin dan pria itu tidak ada lagi. Padahal, aku hanya mengalihkan pandangan beberapa menit. "Gak jadi."Ah, ini benar-benar aneh. Tiba-tiba saja mereka menghilang. Atau—Hanin sudah tahu, kalau aku datang?Setelah membayar pesanan, aku menyuruh Mas Riky membawa barang-barang. "Kok banyak banget belanjanya? Kamu pakai uang siapa?"Aku menoleh ke pria itu. "Bukan urusan kamu."Masalah tadi, membuatku kesal. Harusnya, Mas Riky bisa tahu kelakuan Hanin. "Biar aku yang nyetir. Kalau kamu, lagi kayak gini, ngeri."Mataku membulat mendengarnya. Langsung masuk ke mobil, duduk di kursi penumpang. "Nih, lihat. Kelakuan Hana."Akhirnya, aku memutuskan untuk memberitahukan Mas Riky, meskipun hanya foto. Dia memang harus tahu kelakuan si Hanin.Sebelum
"Kok aku tadi malam gak pulang ke rumah Hanin?"Aku menoleh. Mas Riky sedang mendumal sendirian. "Lupa ingatan kali kamu. Kamu ketiduran tadi malam."Mas Riky bersungut-sungut. Dia tampak sebal sekali. Berjalan meninggalkan dapur. "Ma, Papa mana?" "Udah kerja kayaknya, Sayang. Kamu duduk sini, sarapan." Adel mengangguk. Berjalan ke arahku. "Nanti Mama mau pergi lagi?" Aku terdiam mendengar pertanyaan Adel. Sebelum kasus perselingkuhan Mas Riky ini, aku memang jarang sekali keluar rumah. "Iya. Ada urusan sebentar. Nanti, Adel bareng Oma aja. Mama anterin nanti."Buru-buru aku mengambilkan Adel sarapan. Agar dia tidak banyak bertanya lagi. "Mama lagi ada masalah, ya? Atau berantem sama Papa?"Mendengar pertanyaan Adel, aku sedikit tersentak. Menggigit bibir, berusaha mencari jawaban yang tepat. "Enggak. Mama sama Papa lagi sibuk aja. Gak ada masalah apa-apa, kok."Adel masih menatapku tidak percaya. Dia mengambil piring yang aku sodorkan. Gantian aku menatap Adel. Anak perempu
"Kamu ngapain di kamar Mama? Bukannya mau ke kamar mandi, ya?"Aku menoleh, menatap Mama mertua yang tampak panik sendiri. Mama Mas Riky langsung menutup pintu kamar. Menatapku sambil berkacak pinggang. "Gak sopan kamu itu masuk ke dalam kamar Mama. Pantas saja Riky suka sama wanita lain."Mendengar itu, aku tertawa pelan. Orang yang aku kira baik dari keluarga Mas Riky, ternyata jahat. Ah, sedikit menyakitkan dari kenyataan ini. "Ngapain ketawa-tawa? Riky memang gak pantas sama kamu lagi.""Riky yang gak pantas sama saya, Bu. Lalu Ibu? Dengan entengnya, Ibu membela saya di depan mata saya sendiri. Mengkhianati di belakang. Wow. Benar-benar keluarga yang kompak."Tidak ada lagi panggilan Mama untuk wanita di hadapanku ini. Mama Mas Riky tampak terkejut mendengar perkataanku barusan. "Saya memang diduakan, Bu. Saya dikhianati oleh anak Ibu. Tapi saya tidak bodoh."Aku membuka pintu kamar Mama Mas Riky. "Dengan senyum bahagia berdiri. Ah, saya tahu. Wanita itu telah memberikan Ib
"Mama mau pergi lagi?" tanya Adel ketika melihatku mengambil tas."Sebentar doang, Sayang. Kamu langsung makan, ya."Aku mencium kening Adel sebelum pergi. Aku ingin memastikan kebenaran anaknya Hanin. Sampai di rumah sakit, aku langsung turun. Ini rumah sakit yang dibilang tetangga tadi. Setelah bertanya pada suster, aku langsung berjalan ke ruangan anaknya Hanin. "Ngapain kamu disini?"Eh? Aku menoleh. Mendapati Mas Riky yang melihatku heran. "Mas sendiri ngapain?" "Anakku sakit. Mana Adel?"Ah, aku punya ide bagus. Tanpa harus bertanya pada Hanin sendirian. "Jawab dulu, anak kamu sakit apa?"Demi mengecek semuanya, aku harus bertanya pada Mas Riky. Ini benar-benar menyebalkan. "Cuma demam. Mana Adel?" Kelihatan sekali, Mas Riky saya pada Adel. Berkali-kali dia bertanya mengenai Adel. "Di rumah. Yaudah, aku duluan."Aku berlalu dari hadapan Mas Riky. Tidak ke pintu keluar, tapi muter-muter dulu. Ini rumah sakit yang sama dengan aku melakukan tes DNA. Aku melirik ruangan la
"Mas Riky udah pergi, ya, Bi?" tanyaku sambil membuka pintu kamar pembantuku. "Udah, Bu. Barusan saja tadi."Aku mengangguk-anggukkan kepala. Kembali menutup pintu kamar Bibi. Dengan langkah pelan, aku menuju kamar Adel. Menatap anak perempuanku itu. Dia sudah tidur. Aku mengulas senyum. Berjalan mendekat. "Adel apa kabar?" tanyaku pelan. Akhir-akhir ini, aku jarang sekali memperhatikan Adel. Terlalu sibuk mengurus urusan rumah tanggaku. Lupa, kalau Adel juga butuh kasih sayang. Aku mengusap kepala Adel. Mencium keningnya. "Gimana sekolah, Adel? Maaf, ya, Mama baru bisa sapa Adel sekarang. Baru bisa tanya kabar Adel sekarang."Maaf, Adel. Mama sudah tidak bisa lagi mempertahankan keluarga kita. Mama sudah memutuskan untuk berpisah dari Papa. Mataku sudah berkaca-kaca. Menggigit bibir, berusaha agar tidak menangis. "Mama sayang sama Adel. Selalu."***Aku menelepon Mas Riky. Tidak diangkat. Rencananya, hari ini aku akan memperlihatkan hasil rekaman CCTV di restoran. Kalau foto