Ia menoleh sekilas lalu kembali berpaling menghadap jendela dapur yang terbuka, setelah itu kulihat di luar gerimis mulai turun karena memang sejak pukul enam pagi cuaca sangat mendung."Desti! Angkat cucian di belakang, Nak!" "Ya, Ma! Dita, bantuin Kakak!" teriak Desti, ia memang seperti itu jika disuruh selalu meminta bantuan adiknya.Hingga mereka berdua berlarian mengangkat jemuran sambil tertawa lepas. Dan mata kami berdua memandang mereka dengan tatapan kosong."Kamu lihat Desti, Mas, semenjak kamu meninggalkan perempuan itu sikapnya kembali hangat, baik pada kita ataupun pada adik-adiknya."Terdengar ia mengehela napas sambil mengusap wajahnya dengan sebelah tangan."Simpan di keranjang ya, Kak," ujarku saat mereka berdua masuk ke dapur sambil membawa bergunung-gunung pakaian hingga menutupi sebagian tubuhnya."Baiklah, jika kamu merasa tak nyaman dengan perbuatanku tadi maka aku minta maaf."Untuk kesekian kalinya aku memancing tapi tetap saja ia tak mau bicara, apakah aku ha
"Dan kamu ... kita bercerai saja, karena Susan tak mau jadi yang kedua."Terasa ada yang meledak di atas kepala, aku memejamkan mata dengan erat dan mengepalkan jemari hingga urat-urat di tangan terlihat.Untuk beberapa saat tubuhku terasa melayang, rasanya ingin pingsan lalu bangun kembali dalam keadaan baik-baik saja, aku harap ini mimpi, tapi tidak, ini nyata bahkan lenganku terasa sakit saat kucubit.Dua tahun aku menanti dan berjuang keras agar ia kembali, setidaknya bukan untukku tapi demi putri kami, tapi ternyata ambisinya tak pernah mengikis meski sudah dihujani kasih sayang setiap harinya.Hatimu lebih keras dari karang di lautan, Mas.Sebelah tanganku meraih bangku lalu berpegangan erat padanya, dengan sisa tenaga bangku itu ditarik lalu kududuki perlahan.Merenung sambil menopangkan siku ke atas meja, setelah itu memijat kening yang terasa berdenyut."Maaf, Yul. Tapi kamu tak usah khawatir aku pasti akan tanggung jawab pada anak-anak."Aku menengadahkan wajah yang terasa b
"Mungkin pergi, Dek.""Oh, sepagi ini?""Hem," jawabku.Seperti hari biasanya aku mengantar mereka ke sekolahnya masing-masing, beruntung sekarang Dara jarang memintaku untuk menungguinya di sekolah.Ia selalu patuh jika aku berpamitan pulang karena tak bisa menunggunya seperti biasa."Mama akan jemput setengah sepuluh nanti ya, Sayang.""Iya, Ma."Aku memutuskan kembali ke rumah, untuk saat ini rasanya aku tak ingin bepergian ke mana-mana apalagi bertemu banyak orang.Aku butuh menyendiri dan mengumpulkan tenaga untuk menghadapi kenyataan-kenyataan yang akan terjadi selanjutnya."Assalamualaikum, Mba."Dari arah pintu terdengar suara perempuan masuk, buru-buru aku menghapus jejak air mata dan melangkah ke luar."Lira, Ibu."Mereka yang sudah duduk di sofa kembali berdiri ketika melihatku."Apa kamu baik-baik aja, Yul?" tanya ibu sementara Lira--adikku--menatap sendu."Ya tentu baik-baik aja, Bu, memangnya kenapa?" Aku menatap mereka berdua bergantian."Semalam Desti telpon aku, dia n
"Apa Susan akan tinggal di sini menggantikanku?"Mas Ferdi tersenyum tipis mendengar pertanyaanku itu seolah hal yang lucu."Tentu saja, karena Susan akan melahirkan anak laki-laki untukku maka ia pantas tinggal di sini," jawabnya dengan tatapan remeh.Aku tersenyum, memperlihatkan jika diri dan hatiku sama sekali tak terluka oleh perbuatannya, serta memperlihatkan jika aku wanita kuat."Oh ya? Apa dia sudah mengandung anakmu, Mas?" tanyaku dengan tatapan menantang."Iya, Yul, dia sedang hamil anakku, dan aku yakin dia berjenis kelamin laki-laki," jawabnya dengan sangat percaya diri.Sebenarnya hatiku luluh lantak saat ini, rasa sakit yang kurasa bukan lagi berdarah melainkan bernanah."Tapi, apa kamu yakin dia itu benar-benar anakmu Hem? Mengingat dia tinggal di club malam itu, aku takut dia open bo dan tidur dengan sembarang lelaki."Aku tersenyum lebar sementara senyuman yang terlukis di bibirnya mendadak padam."Hati-hati ya, Mas, jangan sampai kamu tertipu." Senyumku makin lebar
Raut ketakutan terpancar dari wajah Dita sementara Dara hanya tercenung kebingungan."Aku ikut Mama sama Kakak aja deh. Dek, kamu juga ikut Kakak sama Mama ya, jangan tinggal di sini," ujar Dita, sementara Dara hanya menganggukkan kepala."Ayo, kemasi barang-barang kalian sama Kakak, besok pagi kita pergi dari sini ya." Aku menatap mereka dengan tenang."Emang kita akan pergi ke mana, Ma?" tanya Dita.Aku hanya tersenyum kecil, tentu saja Mama akan bawa kalian ke tempat yang jauh lebih baik dari rumah ini."Kita lihat aja besok ya, sana kemasi dulu barang-barang kalian.""Iya deh." Mereka berdua pergi menyusul kakaknya ke kamar, sekarang hanya kami berdua yang masih berdiri berhadapan."Siap-siap saja kamu akan kehilangan anak kita, Mas." Aku tersenyum kecil sambil menatap wajahnya dari jarak dekat"Mungkin bukan hanya kehilangan anak, tapi juga segalanya." Aku menyeringai lebar, lalu pergi meninggalkannya yang masih berdiri.Ia pasti heran kenapa aku terlihat kuat tanpa ada satu air
(POV FERDI)"Coba kamu pikir, Mas. Tiba-tiba aja tensi darahmu naik lalu terkena stroke, padahal sebelumnya kamu baik-baik aja 'kan?""Lalu sekarang, Mba Yuli ga bawa kamu terapi. Aku curiga jangan-jangan dia ga menginginkan kamu sembuh, karena dia juga yang buat kamu sakit."Celoteh Susan membuatku berpikir jika Yuli memang meracuniku dengan daging kambing, saat malam pertama aku membawa Susan ke rumah ini.Dua kali tak dibawa terapi olehnya membuat prasangka buruk ini menguat, terlebih ia sering memperhatikanku sambil menyeringai puas.Aku sudah kenal lama dengan Yuli, yang kutahu perempuan itu memang bermuka dua, selalu memperhatikan expresi lain dari isi hatinya.Masih kuingat saat lima tahun usia pernikahan kami, saat itu kucing tetangga kerap masuk dan mencuri ikan ataupun ayam di rumah kami.Yuli merasa jengkel dan terganggu dengan kucing itu, terlebih saat ia menemukan kucing tersebut makan ikan goreng jatah untuk Desti di kolong meja makan.Dengan lemah lembut ia membawa kuci
Di depan Yuli yang tersenyum puas Susan marah-marah, tak bisakah ia meredam amarahnya itu sebentar sebelum Yuli benar-benar pergi? Aku benar-benar malu."Hadeuuh! Ini belum dua puluh empat jam, jadi kemungkinan hapenya ga aktif karena alasan lain, misal hapenya kehabisan baterai, kamu terlalu berlebihan menanggapi sesuatu," ujarku sambil terus memandangi Yuli yang kini masuk ke dalam mobil hitam itu.Hatiku sedikit panas saat mendengar jika mobil hitam mengkilap itu miliknya, ia tak boleh selangkah di depanku, lagi pula dari mana ia memiliki uang sebanyak itu, apa jangan-jangan?"Tapi, Mas, setelah aku cari di mesin pencarian nomor identitas orang itu tidak ada, aku yakin dia pasti mau nipu kita, ini gara-gara kamu tahu ga." Pusing dengan omelan Susan aku beranjak masuk meninggalkannya tanpa banyak berkata.*Sudah lebih dari dua puluh empat jam tapi orang yang menyewa mobilku belum juga kembali, berkali-kali menghubunginya tapi tetap tak bisa."Nomornya masih tidak aktif, Mas, aku y
Langkah kakiku terhenti saat melihat seorang lelaki memandang rumah kami tanpa berkedip, dia Mas Ferdi."Ehhmm!"Lelaki itu terperanjat lalu berbalik badan hingga tubuh kami saling berhadapan, kutatap matanya tetapi ia seperti berusaha berpaling."Kenapa, Mas? Untuk apa kemari? Apa kamu menyesal?" tanyaku diiringi senyum tipis.Aku menghela napas sambil menukar posisi kantung belanjaan, dari tangan kanan ke tangan kiri."Menyesal?" Mas Ferdi menyeringai sinis."Ga usah mimpi, aku kemari tadi karena lihat Desti naik ojek online, dan ternyata kalian tinggal di rumah ini."Ia menunjuk rumah yang baru saja kubeli beberapa bulan lalu, rencananya rumah itu adalah kado untuk anniversary pernikahan kami yang ke empat belas.Sejak satu tahun lalu aku berencana untuk membeli rumah baru, setelah Mas Ferdi benar-benar sembuh kami semua akan menempati rumah ini, tetapi Tuhan berkehendak lain."Oh gitu, ya sudah aku mau masuk, anak-anak pasti sudah nunggu."Aku mengayunkan langkah kembali tak acuh