Share

Bab 4. Kesepakatan

Alan masih tidak percaya bahwa dirinya telah menjadi seorang suami saat ini. Lebih parahnya lagi, ia menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dikenalnya.

Lelaki itu melirik wanita yang beberapa jam yang lalu dinikahinya itu. Ia sedang memikirkan bagaimana cara menjelaskan semuanya pada Meyra.

"Meyra ..." panggil Alan akhirnya setelah sekian lama mereka hanya diam dan terjebak di dalam situasi kaku tersebut.

Setelah tiba di hotel tadi, mereka langsung masuk ke dalam kamar dan memilih memesan makanan dari kamar saja.

Meyra menoleh dan tampak berusaha menutupi rasa gugupnya dengan tersenyum kaku.

"Ya?" Suara wanita itu terdengar bergetar.

"Kita harus membicarakan sesuatu. Aku rasa ini serius. Kau harus benar-benar paham akan situasi ini."

Meyra tidak menyahut. Ia hanya mendengar dengan dahi berkerut. Menandakan saat ini wanita itu sedang kebingungan.

"Jujur saja, aku tidak pernah berpikir akan menikah seperti ini. Aku bahkan tidak berniat untuk menikah dalam waktu dekat." Alan memulai.

Ia berjalan mendekati Meyra yang saat ini sedang duduk di bibir ranjang. Lalu ikut duduk di sampingnya.

"A-aku mengerti. Tidak ada yang tahu bagaimana masa depan. Anda pun demikian. Pasti mengejutkan karena harus menikah dengan cara seperti ini." ucap Meyra sambil terus memilin kedua tangannya di atas pangkuan. Berusaha menutupi perasaan gugupnya.

Alan menarik napas panjang, lalu membawa kedua tangannya untuk meraih tangan wanita cantik di hadapannya itu.

Well, ya. Harus diakui bahwa wanita ini memang cantik. Sangat cantik malah, apalagi dengan postur tubuhnya yang semampai. Alan tidak mungkin memungkiri keindahan ciptaan Tuhan yang saat ini berada di dalam kamarnya itu.

Bahkan, Meyra masih pantas disandingkan dengan model-model papan atas dunia. Hanya saja, beberapa bagian penting di tubuh wanita yang kini menjadi istrinya ini memang lebih berisi dengan cara yang begitu tepat. Membuatnya tampak lebih cantik dan ... seksi!

Jujur saja, tidak mudah bagi Alan yang merupakan lelaki normal untuk tidak memperhatikan bentuk payudara dan pinggul Meyra yang menggoda.

Seandainya saja mereka bertemu dengan cara yang berbeda ...

Shit! Fokus Alan, fokus!

"Dengar, Meyra. Saat aku membeli dirimu di pelelangan tadi, aku hanya berpikir ingin melepaskanmu dari tradisi mengerikan itu. Seorang wanita dilelang seperti halnya barang. Itu mengerikan!" Alan memulai dengan suara pelan namun tegas. Ia sengaja melakukannya seperti itu agar Meyra mengerti setiap ucapannya dengan baik.

Dari cara wanita itu berbicara, dapat dipastikan bahwa ia baru mempelajari bahasa Inggris.

Meyra membalas tatapan Alan dan menyimak setiap katanya dengan tenang.

"Aku tidak tahu bahwa membeli dirimu artinya aku harus menikahi-mu juga. Aku hanya berniat ingin membuatmu bebas menjadi dirimu sendiri. Bukan budak nafsu dari seseorang."

"Bukankah nafsu adalah hal paling primitif yang memang dimiliki setiap makhluk?" Meyra bertanya dengan polos.

Alan terkejut mendengar pertanyaan Meyra. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan respon demikian.

"Kau benar. Tapi, ketika kau merasakan dan meluapkannya, kau harus melakukan tanpa paksaan dari siapapun. Apalagi dari seorang lelaki asing yang sama sekali tidak kau kenal sebelumnya." jelas Alan berusaha untuk tetap tenang.

Kepolosan wanita itu mulai membuatnya frustrasi.

"Tapi saat kau menjadi suamiku, kau bukan lagi orang asing bagiku. Kau adalah suamiku. Banyak yang menikah karena perjodohan, dan pernikahan mereka berlangsung lama dan selamanya." sahut Meyra lugas dan tanpa beban.

"Kau sama sekali tidak mengenalku, Meyra. Bisa saja aku berniat buruk padamu. Bagaimana kalau aku ingin menjual dirimu di New York. Atau menjadikanmu mesin pencetak uang. Kau tidak bisa mempercayai orang asing begitu saja." Alan mulai merasa semakin frustasi menghadapi wanita keras kepala di hadapannya itu. Ia melepaskan tangan Merya dan mengusap wajahnya dengan telapak tangan.

"Aku tahu kau tidak akan melakukan itu. Dan aku juga percaya pada penilaian Nyonya Kartika tentang pembeli kami. Ia tidak akan menyerahkan kami begitu saja pada sembarang orang." jawab Meyra lagi dengan yakin.

Alan hanya mampu menatap wanita di sampingnya itu dengan pandangan tidak percaya. Lalu membawa mengusap rambutnya sendiri yang hitam dan lebat ke belakang, dan meremas tekuknya sambil menunduk ke bawah. Menatap lantai sambil berusaha menenangkan diri.

Sabar tidak pernah menjadi karakternya. Dan saat ini, kesabarannya diuji dengan cara yang luar biasa.

Lelaki itu terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menarik napas panjang dan menghembuskannya dalam sekali sentakan keras.

"Dengar, Meyra. Yang harus kau tahu adalah, aku tidak ingin mengikat diriku dalam pernikahan. Setidaknya tidak dalam waktu dekat. Jadi, kondisi ini ... maksudku, pernikahan ini, hanya bersifat sementara. Hanya sampai aku yakin kau sudah cukup siap untuk hidup sendiri di luar sana. Biar aku tebak, kau tidak pernah keluar dari pulau itu, benar kan?"

Meyra hanya membalas tatapan Alan dalam diam. Untuk beberapa saat ia tidak menjawab apa pun, hingga membuat Alan berpikir bahwa wanita itu tidak mengerti ucapannya.

"Meyra? Kau mengerti maksudku?" tanya lelaki itu lagi memastikan.

Wanita itu menarik napas panjang dan menghembuskannya cepat. Seakan baru saja memutuskan sesuatu yang berat.

"Anda benar. Aku memang tidak pernah keluar dari pulau itu. Mendaftar di pelelangan ini juga karena aku ingin segera pergi dari sana." jawab wanita itu akhirnya.

"Nah, anggap saja aku sudah membantumu mewujudkan keinginan itu." sahut Alan cepat sambil menepuk tangannya keras. Ia bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapan Merya sambil menopang pinggang dengan kedua tangannya. Wajahnya terlihat lega.

"Jadi kau setuju dengan usulan dariku?" Alan lanjut bertanya.

"Ya, dengan satu syarat." Meyra menjawab sambil menundukkan wajah. Ia menatap kakinya yang mengetuk-ngetuk lantai.

Mendengar itu, Alan memutar kedua bola matanya jengah. "Sebenarnya, kau tidak dalam situasi yang berhak mengajukan persyaratan apa pun." sahut Alan tajam.

"Kalau begitu anggap saja ini permintaan." balas Meyra lagi dengan ngotot. Ia menatap lelaki yang berstatus suaminya itu dengan lantang dan berani. Sifat keras kepalanya terpancar dari sorot matanya yang indah dan bening.

Alan mendesah pasrah. "Baiklah. Apa itu?" Akhirnya ia menyerah.

"Selama menjadi istrimu, izinkan aku menjadi seorang istri yang baik." ucap Meyra dengan suara tegas.

Itu permintaan paling tidak masuk akal yang pernah didengar Alan. Ia menyangka bahwa Meyra akan meminta kebebasan serta uang bulanan sebagai nyonya Sanders.

"Istri yang baik?" Alan memastikan lagi dengan penuh rasa curiga.

"Ya. Aku akan menyiapkan semua keperluan anda. Membersihkan rumah anda dan juga membuat diriku nyaman berada di sana. Ah, apakah anda tinggal bersama keluarga? Karena jika benar, aku juga ingin diperkenalkan sebagai istri anda pada mereka."

Alan terlalu terkejut hingga mampu berkata-kata.

"Aku tidak tinggal bersama keluarga." sahut Alan. "Syukurlah Granny tinggal di kota yang berbeda," lanjutnya dalam hati sambil mengingat sang nenek.

"Baiklah. Kalau begitu, cukup Anda membiarkan aku merasa nyaman berada di rumah anda nanti. Aku akan cepat menyesuaikan diri."

"Kau bisa melakukan itu, maksudku membuat dirimu nyaman. Tapi kau tidak perlu menyiapkan semua keperluanku. Ada pelayan yang akan melakukannya."

Meyra berpikir sejenak, sebelum akhirnya kembali menjawab, "kalau begitu, mereka bisa membantuku menyiapkan keperluan Anda." katanya riang sambil menarik kedua sudut bibirnya dan tersenyum lebar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status