Share

Bab 7. Introgasi

Alan dan Meyra duduk di hadapan Nyonya Helena Sanders, neneknya Alan.

Jantung Meyra merasa berdebar di bawah tatapan tajam wanita sepuh yang masih terlihat bugar itu. Ia merasa seperti sedang dihakimi neneknya sendiri, persis seperti saat neneknya hidup. Sorot mata bijak itu sedang menatapnya dengan pandangan penuh selidik.

Di belakang Nyonya Helena, Leo dan seorang wanita lainnya juga ikut menonton. Menunggu klarifikasi dari mereka.

"Jadi sekarang jelaskan padaku, apa benar kalian sudah menikah?" tanya Nyonya Helena.

Meyra melirik ke arah Alan dengan ujung matanya, lalu menemukan lelaki itu menarik napas dalam.

"Benar," jawab Alan singkat.

Meyra kembali melirik tiga pasang mata di hadapannya untuk melihat reaksi yang mereka berikan.

Semuanya tampak terkejut. Sesaat kemudian ...

"How dare you!" pekik Nyonya Helena sambil bangkit dari duduknya dan mendekati Alan. Kepalan tangannya yang keriput memukuli tubuh sang cucu dengan membabi buta.

"Berani-beraninya kau menikah tanpa memberitahuku! Dasar kau cucu durhaka!"

"Granny! Ya ampun ... Aw!" Alan berusaha mengelak pukulan tangan sang nenek. Namun, tentu saja Nyonya Helena tidak membiarkannya dengan mudah. Pukulan tangan itu semakin bertubi menghantam tubuh kekarnya.

"Ma-maaf ..." Meyra membuka suara dengan ragu. Namun setidaknya itu membuat gerakan tangan Nyonya Helena terhenti di udara.

Semua mata kini tertuju pada Meyra.

"Se-sebenarnya ini bukan salah Tuan Alan. Dia juga terpaksa melakukannya."

Dan tiga pasang bola mata di hadapannya seakan akan melompat keluar saat mendengar ucapan Merya barusan.

"Terpaksa?" Mereka bertanya serentak. Seakan ada yang memberi aba-aba.

Meyra melihat Alan menangkupkan wajahnya sendiri dengan telapak tangannya yang besar. Tidak lupa helaan napas kasar lelaki itu yang membuat Meyra menyadari kesalahan yang baru saja ia lakukan!

Well, dia memang tidak ahli dalam berbohong, karena selama ini ia terlalu nyaman menjadi diri sendiri. Dirinya dicap liar, nekad, keras kepala, suka membantah, tidak bisa diatur, dan masih banyak label buruk lainnya. Meyra tidak pernah peduli akan hal itu. Ia akan menyuarakan apa yang ada di pikirannya.

"Apa maksudmu dengan kata 'terpaksa', gadis kecil?" Kini mata abu-abu milik Nyonya Helena melotot pada Meyra. Sontak saja gadis itu menelan ludahnya gugup.

"Eh? Eng ... Mmm ... M-mungkin sebaiknya Tuan Alan saja yang menjelaskannya. Sepertinya aku akan melakukan banyak kesalah jika aku yang menjelaskan."

Oke, baiklah. Kali ini Alan pun ikut melotot ke arahnya. Dan kedua bola mata biru laut yang sempat membuat Meyra terpesona saat pertama sekali melihatnya di antara kerumunan itu kini terlihat menakutkan.

"Tidakkah kau berpikir itu agak sedikit terlambat sekarang, hem?" Senyuman di wajah Alan jelas menipu. Nyatanya suara lelaki itu terdengar seperti sedang menahan amarah.

"M-maaf," ucap Meyra menyesal. Ia sungguh-sungguh menyesal. "Aku hanya berusaha menjelaskan agar semua tidak semakin kacau karena kesalahan pahaman," lanjutnya lagi.

Alan mengerang frustasi, "kau hanya menambah masalah, Meyra Gharvita!"

"Sudah sudah!" potong Nyonya Helena tidak sabar, "Sekarang jelaskan padaku apa maksudnya terpaksa menikah? Apa-apaan ini? Apa yang kau lakukan, Alan?"

"Granny, please. Aku akan menjelaskannya nanti, saat ini kami butuh istirahat. Bisakah kami istirahat sebentar?" Alan memohon dengan frustasi.

"Tidak. Kau harus menjelaskan dulu, apakah wanita ini memang benar istrimu?"

"Ya, dia istriku." tegas Alan cepat. Maksudnya agar percakapan ini bisa segera selesai. "Aku menikahinya secara hukum. Tidak ada keterpaksaan di sini, kami sama-sama sadar saat melakukannya," lanjut Alan sambil membatin bahwa pernikahan mereka memang dilakukan secara hukum, walau hanya berdasarkan hukum pulau Lemuri yang menurutnya saja sangat aneh. Tetapi neneknya tidak perlu tahu itu.

Di sisi lain, Meyra menatap wajah suaminya dengan mata terbelalak. Terkejut dengan pernyataan Alan. Jantungnya berdebar hanya dengan kata-kata yang ia tahu tidak serius diucapkan suaminya itu. Alan mengakui pernikahan mereka hanya karena desakan keluarga.

'Ya Tuhan, mengapa jantungku berdebar begitu cepat? Mengapa aku jadi berharap kalau--' Ungkapan batin Meyra terhenti seketika. Seakan menyadari bahwa apa yang baru saja ia pikirkan adalah kebodohan besar.

'Hentikan Meyra, kau tidak boleh jatuh cinta padanya. Karena pernikahan kalian bukanlah untuk selamanya!' Meyra mengingatkan dirinya sendiri.

Tetapi mengapa sulit sekali menenangkan debaran jantungnya? Bahkan saat ini ketika Alan menatapnya dengan tajam? Lelaki itu seakan memperingatinya untuk tidak lagi membuka suara.

"Benarkah ...?" Nyonya Helena bertanya pada Meyra sambil mendorong tubuh Alan menjauh, lalu duduk di antara mereka berdua. Sekaan tidak peduli lagi dengan keberadaan sang cucu, Nyonya Helena duduk menghadap Meyra dan membelakangi Alan.

"Ya Tuhan, Sayangku. Siapa tadi namamu, Nak? Aku pasti melupakannya karena Alan tidak memiliki inisiatif untuk mengenalkan kita secara langsung." Wanita sepuh itu sengaja menajamkan ucapannya untuk menyindir sang cucu yang kini menghela napas panjang di belakang tubuhnya.

"Granny ...." Alan akan kembali membuka suara, namun Nyonya Helena langsung memotongnya.

"Aku tidak berbicara padamu, aku bertanya pada istrimu!" ucapnya tajam. Lalu kembali melemparkan senyum lebar ke arah sang cucu menantu. Bagaimanapun ia hanya marah pada cucu badungnya itu, bukan pada wanita yang dibawa Alan sebagai istrinya ke rumah ini.

"A-aku ... Namaku Merya Gharvita. Aku dari Pulau Lemuri, Indonesia."

"Indonesia?" Nyonya Helena berseru takjub, "Oh, aku punya kenangan manis dengan negara itu. Mendiang Ayah suamiku berasal dari sana. Dari pulau Bali, Pulau Dewata."

"Benarkah?" Meyra berseru takjub. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Alan memiliki darah Indonesia di tubuhnya. Walaupun mungkin tidak banyak. "Pulau Lemuri berada tidak jauh dari pulau Bali."

"Ah, pantas saja Alan bisa menemukanmu di sana. Dia memang sedang mengembangkan bisnisnya di pulau Bali. Tentu saja atas desakanku. Aku sangat ingin ke pulau yang selalu dibanggakan mendiang suamiku itu."

Meyra tersenyum mendengar nada lembut penuh cinta Nyonya Helena saat membicarakan sang mendiang suami. Mereka pasti pasangan yang saling mencintai.

"Ceritakan tentang orang tuamu, Meyra," pinta Nyonya Helena kemudian.

Baru saja Meyra hendak menjawab, Alan kembali membuka suara untuk memotong percakapan mereka.

"Granny, please, kami mau istirahat dulu. Mungkin kalian bisa berbicara lagi nanti." Alan mengingatkan setelah beberapa saat dirinya merasa diabaikan.

Lelaki itu tidak menyangka bahwa sang nenek bisa langsung sedekat itu dengan Meyra, meskipun mereka baru bertemu beberapa waktu lalu.

"Ah ya, benar. Maafkan aku, Sayang. Kau pasti sangat kelelahan, apalagi setelah menghadapi cucuku yang keras kepala ini." Nyonya Helena meraih tangan Meyra dan menepuknya pelan.

"Ah ... Tidak juga. Alan sangat baik padaku," sanggah Meyra lembut.

Ucapan Meyra membuat sang nenek tersenyum geli.

"Ya Tuhan, kau pasti satu-satunya orang yang mengatakan bahwa dia sangat baik. Kau pasti sangat istimewa," kekeh Nyonya Helena sambil memeluk hangat tubuh Meyra.

"Granny ..." Alan kembali membuka suara, dan lagi-lagi sang nenek tidak membiarkannya melanjutkan.

"Baiklah ... Baiklah ... Aku akan mengalah. Kalian berdua beristirahat lah, kau pasti sangat kelelahan, Sayang." Nyonya Helena berkata pada Meyra. Gadis itu menyambutnya dengan senyuman.

"Kalau kau membutuhkan sesuatu, kau bisa mengatakannya pada Eshilde. Dia akan membantumu mendapatkannya." Nyonya Helena menunjuk ke arah wanita bertubuh bongsor yang sejak tadi hanya diam memperhatikan mereka.

"Tentu saja, Sayang. Kau akan berada di tangan yang tepat," ucap wanita bernama Eshilde itu. "Ngomong-ngomong, panggil saja aku Eshee. Hal pertama yang akan aku lakukan adalah memperbaiki gizimu, agar kau bisa menghasilkan keturunan Sanders yang sehat nanti."

UHUKK!!

WHAT??

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status