"(Om Sani, lama banget itu berapa lama? Sejam apa seharian?)"
Sekali lagi Arimbi bertanya, membuat Sani mengalihkan pandangannya dari Arum, "kalau menurut Arimbi lama sekali itu berapa lama?" tanya Sani membuat Arimbi terdiam.
Gadis kecil yang tubuh dan pipinya dipenuhi luka membiru itu terlihat berpikir keras lalu mengangkat tangan kecilnya pada Sani.
Arimbi menunjukkan empat jarinya pada Sani yang ia tatap, lalu menekuk kelingking kecilnya sendiri yang terus kembali karena jempol Arimbi tak bisa menahan kelingking kecilnya itu.
Sampai akhirnya Sani membantu gadis kecil yang terlihat begitu sibuk, ia membantu menahan kelingking Arimbi agar tak terus berdiri bersama tiga jarinya yang lain.
"Tiga?" tanya Sani membuat Arimbi mengangguk, "tiga hari?" tanya Sani membuat gadis kecil itu menggeleng.
"(3 jam, Om Sani,)" jawab Arimbi lalu terkikik geli, "(tiga hari itu lamaaaa sekali, Om, kalo bangun nanti bisa-bisa kepala mama pusing,)" ucap bibir
"Neng arimbi, mau apa? Mau makan? Minum? apa mau pipis?" tanya bi Lisa membuat gadis kecil di depannya berpikir sambil menatapi sang mama. "(Bibi, aku mau minum teh,)" ucap Arimbi lupa suaranya tak terdengar lalu menatap sang bibi yang hanya diam menunggu nona kecilnya memberi jawaban. "Neng Arim mau apa?" ulang bi Lisa membuat Arimbi memiringkan kepala berbalut perbannya, heran. Karena ia sudah mengatakan yang ia mau. "(ah!)" dan seperti ingat sesuatu. Gadis kecil yang sadar suaranya tak terdengar karena percaya tenggorokannya sakit itu menatap menatap wanita yang menunggu dengan senyum meski mata bi Lisa sembab. Jika gadis kecil ini adalah gadis sama yang tadi pagi pergi ke sekolah dengan semangat meski sedih tak bisa ikut Arum yang naik mobil wiu-wiu. Arimbi pasti sudah bertanya banyak hal pada Lisa, bertanya kenapa wajahnya berbeda dan akan terus bertanya lalu bercerita apa saja yang ia lakukan di sekolah, dapat snack apa saja kemarin, apa saja ya
"Untuk apa manusia menciptakan hukum kalau tak bisa digunakan dan pilih kasih?" ucap Lency membuat wanita di sampingnya diam menatapi Arimbi."Padahal mereka si pencipta hukum itu mengatakan dengan mulut mereka sendiri semua sama di mata hukum. Haah, betapa munafiknya," geram Lency kembali menarik nafasnya dalam-dalam, mengepalkan tangannya kuat, lalu tersenyum meski matanya menunjukan kemarahan dan kecewa."Kurasa kamu benar, Bi Lisa. Mungkin memang hanya Tuhan yang adil dan tak memilih siapa dirimu, dari mana asalmu, siapa orang tua yang melahirkanmu, apa margamu, sebanyak apa harta yang kau miliki, siapa penguasa yang kau kenal. Karena semua sama di mata Tuhan, setidaknya itu yang kupercaya."Lency yang memandangi Arimbi, menggigit bibirnya keras sampai terasa sakit, lalu memandang langit-langit ruang rawat inap Arum yang jadi terasa menyesakkan."Hanya saja, aku muak pada hukum manusia yang katanya untuk manusia. Tapi, nyatanya- hukum manusia tak berl
"Kamu, takkan pergi kemana pun, Bagas. Kecuali menemaniku dan carmen," ucap Maya menarik begitu dalam nafasnya beberapa kali, ia mengatur emosinya yang tak ingin ia tunjukan lalu tersenyum saat rasanya kembali tenang.Wanita yang menyibak kasar selimut yang ia pakai itu turun dari ranjang berantakan dan masuk ke kamar mandi, menyusul Bagas yang terkejut ada tangan yang memeluknya dari belakang dengan gerakan manja yang membuat Bagas terdiam di bawah aliran dingin air shower."Seharusnya kamu membangunkanku, Mas, dan kita bisa mandi bersama," ucap Maya begitu manja dengan tangan menyusuri dada pria yang membalikkan tubuh."Apa yang tadi belum cukup?" tanya Bagas yang kepalanya ditarik Maya lalu mengecup bibirnya begitu lapar."Kamu tak pernah membuatku cukup, Bagas satrio aji," ucap Maya menunjukkan senyum menantang, "tapi, kita bisa lanjutkan ini nanti atau kita akan terlambat menjemput Carmen.""May-""Please, Mas Bagas. Anak kita merinduka
"Bisakah Carmen hanya menyebut Arimbi anak nakal saat hanya ada mami saja? please.""Kenapa? Bukannya mami juga sering bilang Arimbi anak nakal?" tanya Carmen penasaran dengan ucapan sang mami."Mami mau tanya sama Carmen, apa Arimbi anak yang nakal?" Ucap Maya pelan pada gadis kecil berpita pink yang terdiam.Carmen berpikir beberapa lama lalu menggeleng, "tidak, Arimbi tidak nakal," ragu Carmen berucap sampai tangan kecilnya menggenggam erat jemarinya sendiri, "tapi- ... tapi aku gak suka sama Arimbi, Mi!" jawab gadis kecil itu dengan wajah cemberut."Kenapa Carmen tidak suka Arimbi?""Ng ... aku tak suka sama Arimbi karena ... karena, pokoknya Carmen tidak suka, titik.""Mami ngerti, Sayang. Tapi, Carmen tidak boleh bilang Arimbi nakal kecuali seperti kemarin, saat Arimbi buat kamu berdarah dan nangis, karena kalau seperti kemarin semua orang akan percaya kalau Arimbi itu nakal. Kalau tidak, tidak akan ada yang percaya kalau Arimbi
Srrreegg...!Bi lisa yang menggeser pintu kamar rawat inap Arum, berjalan masuk sambil membawa botol aluminium berisi air panas yang akhirnya ia beli sendiri. Langkahnya terhenti sejenak karena heran, mendapati 4 orang dewasa yang duduk di sofa hanya diam tanpa kata, rapat menutup mulut masing-masing.Ia, wanita yang tampak bisa membaca suasana itu, hanya mengangguk pada mata-mata yang menatapnya, yang ingin masuk keruangan lain, ruangan tempat tubuh Arum berbaring. Kamar yang di pisahkan tembok dan pintu tapi masih di dalam satu ruangan yang sama.Setelah meletakkan beberapa kaleng minuman dingin yang sengaja ia beli, "minumannya saya taruh di sini," ucap bi Lisa yang mendapat anggukan dan senyum dari Ali."Makasih ya, Bi," ucap Sani yang dijawab anggukan oleh bi Lisa. Wanita yang ahirnya pamit untuk menemani sang nona kecil yang masih terlelap.Tapi, belum sempat membuka pintu menuju kamar Arum, bi Lisa berhenti melangkah, meski tangannya sudah t
"Ya tuhan apa yang akan terjadi pada gadis kecil itu, kini?" Ucap Lency yang lolos begitu saja. Membuat tiga pria yang berada dalam satu ruangan dengannya menatap Lency dan tampak memikirkan hal sama.Begitupun genggaman Ali dan Marko yang makin erat dalam diam."Jika berpikir jauh kepala kita jadi terasa mampet, lakukan saja yang kita bisa untuk saat ini," ucap Sani membuka kaleng soda di tangan yang menimbulkan bunyi desisan dan langsung ditenggaknya habis. Tanpa sisa."Apalagi luka-luka di tubuh Arimbi yang tampak pasti bisa di sembuhkan bahkan hilang tak berbekas, mengingat ia masih begitu kecil," tambah Sani masih belum usai meski pria tinggi itu menarik dalam nafasnya yang terlihat berat sebelum berucap kembali."Tapi, luka batin? Well, lo berdua butuh lebih dari sekedar kuat dan sabar."Sani menatap dua sahabatnya yang tidak berkomentar. Karena Ali dan Marko tahu tak ada hal yang lebih penting dari Arimbi saat ini. Gadis kecil kesayangan mer
"Siapa?"Mata awas guru yang jeweran mautnya terkenal ini mengikuti langkah dua pasang kaki anak kecil yang tadi meminta lembar tugas darinya untuk Arimbi, satu dari tiga muridnya yang hari ini tak masuk karena harus menemani mamanya yang sakit untuk beberapa hari kedepan, meski dalam izinnya Arimbi berketerangan sakit.Dua bocah menggemaskan yang ia perhatikan masuk ke dalam mobil asing dengan bule yang meski jauh, ketampanannya terpancar jelas. Apalagi bule itu menutup pintu untuk dua anak yang jadi tanggung jawab miss Eva.Meskipun, pandangannya heran juga kagum karena yang menjemput Rei dan Joe bukan pak Tian dan bu Miranda, miss Eva tampak biasa saja karena memang tak sembarang orang bisa datang untuk menjemput anak-anak didik di yayasan ini. Kecuali wali mereka, memberi tahu pihak sekolah terlebih dahulu. Jadi, bisa dipastikan bule tampan itu bukan orang mencurigakan yang perlu diwaspadai."Soto pak Bas!" seru wanita yang bergegas ke kantor untuk me
"Arimbi, kenapa?" tanya Rei menatapi gadis kecil yang tingginya hampir sama dengannya itu, penuh penasaran."Sakit, ya?" tanyanya lagi dan takut-takut hendak menyentuh perban di kepala Arimbi, sementara Joe diam memperhatikan Arimbi yang ujung bibirnya sobek."Is it hurt?" tanya Joe mengulurkan tangan kecilnya, menyentuh pelan pipi Arimbi yang membiru dan gadis kecil yang lebih tinggi darinya itu mengangguk."(Iya, sakit,)" ucap bibir Arimbi membuat dua teman kecilnya itu heran dan saling menatap, lalu memperhatikan gadis kecil yang meski mulutnya terlihat bicara tapi tak satupun suaranya terdengar sambil menunjuk tenggorokannya sendiri."Arimbi, kenapa? Kok gak ngomong?""Your neck sick, to?" tanya joe membuat Rei menatapnya cepat."Ini sakit?" ucap Rei menunjuk leher Arimbi yang meski mengangguk, tampak tak yakin karena ia sama sekali tak merasakan sakit di bagian leher ataupun tenggorokannya sendiri."Jadi, Arimbi gak bisa ngomong