Share

Bab 3 Ternoda

Ranjang besar itu bergerak-gerak. Rangga merasa kepalanya pusing seiring dengan gerakan di sisi lain ranjangnya.

‘B*****k! Kenapa kepalaku seperti mau pecah? Apa yang terjadi sebenarnya? Ahhh, panas sekali. Sial! Kenapa begini rasanya?’

Samar Rangga mendengar pria dan wanita berbicara. Namun, tidak paham apa yang mereka bicarakan. Sedangkan matanya berat, tidak mau terbuka. Tangan dan kakinya lemas, tidak dapat digerakkan. Dia berusaha berteriak, tetapi yang keluar hanya rintihan samar. Amarahnya semakin membuat kepalanya berdenyut.

Selang beberapa lama, terdengar pintu ditutup. Rangga merasa kesadarannya mulai kembali. Tangannya berusaha bergerak, tetapi tidak terkontrol. “Apa ini sebenarnya? Sudah matikah aku? Kenapa aku seperti mayat hidup begini?”

****

Maura yang tersadar karena rasa perih di bagian bawah tubuhnya dan kepala berat, beringsut pelan sambil mendorong tubuh pria sebesar gorila di atasnya.

“Apa yang terjadi?! Kenapa aku bersama gorila sialan ini?” lirih Maura.

Dengan mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, Maura berusaha membuka mata dan menarik selimut menutupi tubuhnya. Matanya nanar menatap sekeliling kamar yang hanya diterangi lampu redup di pojok kamar. Perasaan marah dan terhina membuatnya menoleh ke sisi kiri dan matanya melihat seorang pria dengan tubuh atletis yang tadi merenggut mahkotanya.

Rasa malu membuat Maura beringsut turun dari ranjang dan mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai. Dia menuju kamar mandi dan membasuh muka sekenanya. Maura keluar dari kamar mandi, berjalan ke sisi ranjang, mengambil sebuah bantal dan memukul wajah pria yang sedang pulas itu sekeras yang dia mampu, berulang kali.

Bug. Bug. Bug.

“Hei!” Pria itu tersentak marah pada pukulan ketiga. “Hentikan!”

“Bangun, Ba****an! BANGUN KATAKU!” Suara teriakan Maura membahana di seluruh ruangan.

Dengan mata yang setengah terpejam, pria sebesar gorila itu duduk bersila di atas ranjang. Ruas jarinya yang kokoh mengucek matanya, meraih kesadaran.

“Apa-apaan ini?!” bentak pria gorila tak kalah keras.

“Aku yang harusnya tanya padamu. Apa yang kamu lakukan padaku?!” geram Maura.

Prok. Prok. Byarr!

Pria gorila bertepuk tangan dua kali dan ruangan yang semula remang-remang, berubah menjadi terang benderang. Maura tak siap dengan serangan sinar lampu di matanya, refleks melindungi matanya dengan lengan.

Maura tersentak ketika menurunkan lengannya, wajah pria gorila itu begitu dekat dengan wajahnya, bahkan hidung mereka hampir bersentuhan.

Tap!

Maura dengan cepat mendorong dada liat pria gorila hingga tubuh pria itu kembali terbaring di ranjang. Pria itu mengernyitkan dahinya sambil mengumpat berulang kali. Maura mundur dua langkah, mengantisipasi kalau-kalau pria besar di depannya membalas serangannya.

“Apa maumu sebenarnya?!” Pria itu kembali berteriak sambil beringsut turun dari ranjang dan membungkus tubuhnya dengan sprei abu-abu. Dia membuat Maura mundur dua langkah lagi. “Dari mana asalmu?!”

“Aku yang seharusnya bertanya. Apa yang kamu lakukan padaku?! Kenapa aku bisa berada di sini?!”

Pria besar itu menggelengkan kepalanya dan mengumpat beberapa kali. “Diam di sini,” desisnya sambil menunjuk tempat Maura berdiri lalu melangkah cepat ke kamar mandi.

Maura memutuskan untuk duduk, khawatir kedua lututnya yang gemetar tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Rasa perih yang luar biasa membuat Maura harus mengernyit dan mendesis saat duduk di sofa empuk. Perlahan tubuhnya menekuk, tangannya memeluk lutut menahan perih dan marah.

Pria besar itu sudah berpakaian lengkap ketika kembali ke kamar. Membanting tubuhnya di sofa yang berseberangan dengan Maura, menarik napas dalam sebelum akhirnya membuka suara, “Nona, siapa namamu?”

Maura menegakkan tubuhnya. Mata basahnya menatap tajam. Berharap tatapan mata itu mampu merobek dada bidang di depannya dan mengeluarkan jantungnya.

“Jawab aku! Siapa yang menyuruhmu?!” Pria besar itu membalas tatapan mata Maura.

“Apa maksudmu?!” Maura kembali tersulut.

“Apa yang dia janjikan padamu sebagai bayaran? Katakan! Aku akan membayarnya tiga kali lipat, asal kau sebutkan sebuah nama.”

“Pria gila. Jangan memutar balikkan fakta. Apa tujuanmu melakukan semua ini padaku, hahh?!”

Melihat emosi masing-masing, Maura dan Rangga sama-sama terdiam. Mereka mulai menyadari bahwa mereka berdua hanya korban yang dijebak oleh oknum yang memiliki tujuan berbeda.

“Nona, masalah ini tidak akan selesai bila kita terus seperti ini. Katakan padaku, siapa namamu?” Rangga menilai dengan seksama wanita di depannya.

‘Dari pakaiannya, dia jelas wanita yang memiliki pekerjaan. Caranya berbicara dan mengendalikan emosi, dia berpendidikan dan cukup dewasa dibanding usianya. Cantik.’ Pemikiran terakhir membuat Rangga menelan saliva.

Maura bergeming. Membuang mukanya dengan sebal saat menyadari sudut bibir pria gorila itu sedikit terangkat.

“Oke. Walau tidak dapat menyelesaikan masalah dan mengembalikan keadaan seperti semula.” Rangga mencondongkan tubuhnya, menopangnya dengan kedua siku menumpu pada paha. “Maaf,’ ucapnya tulus.

Mendengar kata maaf yang sengaja diucapkan pria gorila itu dengan penekanan lebih, Maura kembali menatap pria besar itu. Matanya panas, dadanya bergemuruh.

“Maaf saja tidak cukup untuk menjelaskan semua ini,” geramnya.

“Lalu, apa yang kau inginkan? Uang? Sebutkan! Aku akan berikan sekarang juga.”

‘Rupanya dia pria kaya dan sombong. Tapi, aku melihat ketulusan dalam ucapannya.’

Maura berdiri dan mengepalkan kedua tangannya menahan sakit, tak mau pria itu melihatnya lemah dan kalah.

Rangga ikut mengeraskan rahangnya ketika melihat mimik wanita itu mengerut menahan sakit.

“Nona, sebaiknya kau duduk. Kondisimu .…”

“DIAM!” Maura mengusap wajahnya kasar. “Aku benci!” desisnya.

Rangga ikut berdiri, mengikis jarak di antara mereka dengan dua langkah lebar. Meraih wanita yang bahkan tidak dikenalnya itu ke dalam dekapan. “Maaf. Apa sangat sakit?”

Nada lembut yang pria gorila gunakan, dekapan hangatnya serta tangannya yang mengelus punggung Maura, membuat airmatanya berderai. Marah, malu, dan perih bercampur aduk menjebol tanggul pertahanannya.

“Tenangkan dirimu. Kita perlu bicara.” Rangga melirik jam dinding. “Damned!”

Rangga membantu wanita dalam pelukan untuk kembali duduk. “Sekarang, katakan semua tentangmu. Maaf, tapi harus aku katakan, waktuku tak banyak.”

Maura menatap pria besar di sampingnya. Entah kenapa, perkataan pria itu membuatnya marah. “Tuan, bukan hanya waktumu yang berharga. Waktuku lebih berharga.” Maura memaksa dirinya untuk kembali berdiri dan melepaskan diri dari kehangatan lengan kokoh yang melingkari bahunya.

“Tidak perlu kita perpanjang. Anggap malam ini sebuah kesalahan,” ujar Maura dengan mantap.

Setelah berkata demikian, Maura meraih tasnya, memakai sepatunya dan melangkah menuju pintu. Baru dua langkah, kaki manjanya mendadak lemas, membuatnya hampir jatuh karena telapak kaki kanannya menekuk ke dalam.

Dengan sisa harga diri yang dia punya, Maura melepas sepatunya dan menjinjingnya sambil terus melangkah cepat menuju pintu.

Rangga seperti tersihir melihat adegan di depannya. Di mana seorang wanita berusaha keras untuk tetap kuat melangkah pergi, setelah apa yang terjadi di antara mereka tanpa meninggalkan tuntutan yang tak masuk akal atau ancaman gila.

Di luar kamar, Maura melirik jam tangannya yang ternyata sudah pukul tiga pagi. Menyempatkan diri berbalik menghadap pintu dan mengacungkan jari tengahnya. Maura melangkah cepat tanpa alas kaki menuju lobi. Melambai pada taksi yang kebetulan menurunkan penumpang, masuk dengan tenang sambil berusaha mengingat kejadian memalukan bagai mimpi buruk dalam hidupnya.

****

Kediaman Keluarga Bagaskara

Maura berhasil masuk ke kamarnya tanpa seorang pun yang tahu. Hal pertama yang dilakukannya adalah berdiri di bawah shower dengan pakaian lengkap. Guyuran air dingin membuatnya benar-benar sadar dan mulai menangisi keadaan, meluapkan amarah.

 “Maura, sadarkan dirimu. Pikir! Jangan tiba-tiba jadi wanita bodoh …!” teriaknya sambil memukul dinding kamar mandi dengan kepalan tangannya.

Setelah menggigil, barulah Maura keluar dari bawah pancuran dan melepas bajunya yang basah. Masih terasa perih di daerah sensitifnya. Ada bercak darah di celana dalamnya saat ia melepasnya. “Dosa apa aku sampai mengalami kejadian ini?!” gumamnya di antara isak tangis.

Keluar dari kamar mandi dengan tubuh terbungkus bathrobe, Maura mengikat erat tali jubahnya seakan itu dapat menutupi noda yang sudah tertoreh di tubuhnya. Naik ke atas ranjang, meraih selimut dan meringkuk, berharap selimut dapat melindunginya dari rasa malu. Maura kembali menangis sampai jatuh tertidur.

Terbangun karena kepalanya berdenyut, Maura mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya dan membukanya perlahan.

“Ra ….” Suara Soraya memanggil. “Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit? Gak biasanya kamu telat bangun.” Maura bingung harus menjawab apa karena dia sendiri tidak tahu apa yang terjadi padanya.

Tangan Soraya meraba kening Maura dan terkejut, “Ra, kamu demam. Pantas saja telat bangun. Mama panggilkan dokter, ya?” Nada suaranya mulai khawatir.

Berusaha tersenyum Maura menjawab, “Gak perlu, Ma, minum obat aja nanti juga sembuh. Maura ingin sendirian, boleh?”

“Boleh, Sayang. Nanti biar Bik Sumi bawakan obat dan sarapan ke kamar, ya. Istirahat, ya, Nak.” Sekali lagi tangan Soraya mengusap kening Maura sebelum keluar kamar.

Setelah sarapan dan minum obat yang Sumi bawakan, Maura bersandar di ranjang dan mulai berpikir tentang kejadian semalam. Nuraninya menolak mengingat kembali kejadian memalukan itu, tetapi otaknya berkata dia harus meluruskan dan mencari siapa dalang semua ini.

Beberapa jam berpikir, kesimpulannya, dia harus bertanya langsung pada kakaknya karena terakhir yang diingatnya, Maura bersama Amel di sebuah café. Membulatkan tekad, dia beranjak keluar kamar menuju ruang tengah. Dilihatnya semua sedang berkumpul.

“Pa, Ma, ada yang mau Maura bicarakan.”

“Ada apa, Ra?” tanya papanya.

“Sebelumnya, ada yang mau Maura tanyakan ke Kak Amel.” Sambil memandang Amel yang mengabaikannya. “Kak, apa yang terjadi semalam?” Amel pura-pura terkejut dengan pertanyaan Maura.

“Memangnya apa yang terjadi?” Amel balik bertanya. Dalam hatinya bersorak gembira melihat muka adiknya yang kusut dan pucat seperti mayat.

“Kak, aku tanya sekali lagi. Apa yang terjadi semalam?!” tanya Maura sambil berteriak histeris. Sontak semua terkejut mendengar teriakannya.

“Maura! Apa-apaan kamu?! Sopan sedikit sama kakakmu!” bentak papanya.

“Mas, tenang dulu. Jangan ikutan teriak.” Soraya menengahi. “Ra, coba ceritakan apa yang terjadi, agar kami paham maksud pertanyaanmu, Nak.”

"Semalam, Amel menghubungi dan minta bertemu di sebuah café. Setelah minum jus pemberian Amel, Maura jadi lemas dan mengantuk. Dan, ketika bangun, Maura berada dalam pelukan seorang pria asing di sebuah hotel." Maura kembali menatap Amel. "Sekarang, katakan padaku, apa yang kamu lakukan semalam?"

“Jadi, kamu menuduh kakakmu yang melakukannya?!” Papa mulai marah.

“Maura hanya bertanya cerita sebenarnya, bukan menuduh. Karena Maura gak merasa pesan kamar hotel bersama seorang pria, Pa.” Maura semakin marah melihat reaksi Armand.

“Kamu kalau mau nuduh yang masuk akal, dong! Masa, iya, aku menjebak kamu tidur dengan pria tak dikenal. Perbuatan keji itu. Tega banget kamu, Ra.” Amel membela diri.

“Cukup! Sebaiknya kamu cari tahu tentang kejadian semalam. Kamu sudah dewasa, Ra, harus mampu bertanggung jawab atas perbuatanmu. Jangan sampai hal ini menjadi konsumsi publik. Bikin malu!” Armand membanting koran di tangannya dan berlalu.

“Kalau sudah gak tahan pengen nikah, gak usah bikin heboh gini, Ra. Bilang aja sama Papa, pasti dicarikan salah satu anak relasi Papa. Malu-maluin aja kamu!” sembur Amel sambil berlalu pergi.

“Ra, Mama minta maaf, ya. Mama bingung mau berkata apa,” ucap Soraya sambil mengusap kepala Maura.

'Apa mungkin Mama Aya tahu sesuatu tentang malam itu?' tanya Maura dalam hati.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status